“Tunggu di sini bentar, ya! Aku mau balik kedalam sebentar,” ucap seorang pria kepada keempat temannya.
“Kamu mau ngapain balik kedalam? Ini udah malam, loh!”
“Buku tugasku, ketinggalan. Kalo gak ku ambil, aku gak bisa kerjain tugas. Bisa-bisa, aku di marahin Papa,” kata pria itu kepada teman-temannya.
“Dit, aku temenin ya!” tawar teman pria itu, ia seorang wanita.
“Gak usah, aku sendiri aja. Kalian tunggu di sini!”
Ya! Nama pria itu Radit, keempat temannya terdiri dari dua perempuan dan dua pria. Seperti dirinya. Nama teman-temannya, yaitu Sarah, Lidia, Toni dan juga Farhan. Mereka berlima sudah berteman sejak di bangku SMA, dan kini, mereka berlima sudah menjadi siswa di Universitas Garuda. Universitas yang sudah berdiri sejak generasi orangtua mereka.
Radit segera kembali memasuki gedung Universitas itu. Ia menuju di mana kelasnya berada, segera di raihnya bukunya yang memang tertinggal di meja belajarnya itu.
Setelah ia mengambil buku itu, ia segera kembali keluar. Saat ia melintas di hadapan kelas lain, ia mendengar suara seseorang sedang bernyanyi.
“Lalala..!” suara lembut itu terdengar semakin jelas di telinganya. Radit penasaran, ia segera mencari di mana keberadaan orang yang bernyanyi itu.
Ia memberanikan diri untuk memasuki ruangan kelas yang tertutup di haradapannya itu. Ruangan itu tidak terkunci, di sudut ruangan itu, duduk seorang wanita yang mengenakan dress putih. Wanita itu menundudukan kepalanya sambil bersenandung merdu.
Karena keadaan yang remang-remang di malam itu. Membuat penglihatan Radit tidak jelas, dengan perasaan takut yang di dominasi dengan perasaan penasaran. Radit mendekati wanita itu, ia menyentuh bahu wanita itu.
“Permisi! Maaf saya mengganggu, kenapa kamu malam-malam sendirian disini?” tanya Radit.
Wanita itu berhenti bernyanyi, ia sedikit mengangkat kepalanya. Tapi, ia tidak menjawab pertanyaan Radit.
“Hey, Mbak. Kenapa diam saja? Kenapa mbak berada di kelas ini sendirian? Apakah mbak tidak takut?” tanya Radit.
“Saya gak bisa pulang!” sahut wanita itu dengan suara pelan.
“Kenapa?” tanya Radit. Wanita itu hanya menggeleng pelan.
“Saya antar, ya!” tawar Radit. Wanita itu menjawab lagi dengan anggukan kepala.
Radit segera mengulurkan tangannya, wanita itu menyambut tangan Radit yang hangat. Radit terkejut setelah meyentuh tangan wanita itu, tangan yang begitu dingin.
“Kenapa tangannya begitu dingin? Apakah dia sakit?” batin Radit.
Radit menuntun wanita itu keluar dari ruangan itu, saat sampai di lorong yang cukup terang. Radit menghentikan langkahnya, ia melihat wajah wanita itu. Wajah yang begitu cantik tapi sangat pucat.
“Kamu sakit?” tanya Radit dengan pelan. Lagi-lagi wanita itu menggeleng.
“Siapa nama kamu?” tanya Rendi.
“Cempaka!” timbal wanita itu.
Radit kembali menuntun wanita itu keluar dari gedung Universitas itu. Di satu sisi Radit sedang bersama wanita misterius itu. Di sisi lain, teman-teman Radit sedang kesal, karena Radit lama sekali.
“Radit ngapain aja sih? Di dalem kok lama banget!” gerutu Lidia.
Jam sudah menujukan pukul setengah 8 malam. Tapi, Radit yang pamit untuk mengambil buku tugasnya yang ketinggalan, belum juga kembali. Sudah lebih setengah jam, ia berada di dalam gedung itu. Tapi, belum juga kembali. Teman-temannya sudah jenuh menunggu.
“Kita su-su-sulin a-a-aja gimana?” Farhan yang gagap memberi ide kepada ketiga temannya.
“Ide bagus!” Lidia berjalan lebih dulu memasuki gedung Universitas itu, dan di ikuti oleh ketiga temannya.
“Gi-gi-gitu aja ge-ge-gercep!”
“Toni dan Sarah tertawa geli, mendengar perkataan Farhan. Pasalnya, memang benar yang di katakan oleh Farhan. Bahwa Lidia akan bergerak cepat jika berhubungan dengan Radit. Mungkin, Lidia menyukai temannya itu.
“Hahaha, gak usah heran. Lidia kan emang gitu, kalo berhubungan sama Radit!” ujar Sarah.
.
.
.
“Dit, Radit!” panggil Lidia yang sudah lebih dulu sampai di dalam Gedung itu.
Lidia terus memanggil nama Radit. Radit yang terus menggandeng tangan Cempaka, mendengar namanya di panggil. Tanpa sadar, Radit melepaskan tangan itu.
“Woi, Radit!” teriak Lidia pada Radit yang tidak jauh dari hadapannya.
“Oei, kamu kenapa nyusulin aku?” teriak Radit. Ia pun berjalan mendekati Lidia.
“Kamu ngapain sih lama banget? Kami capek nungguin tau gak!” omel Lidia sembari bersedekap tangan di dada.
“Itu, aku tadi ketemu dia di ruangan kelas nomer 5 dari urutan kelas kita!” ujar Radit sambil menujukan ke arah Cempaka.
“Dia siapa?” tanya Lidia, ia celingak celingukan mencari ‘dia' yang di maksud oleh Radit.
“Loh!” Radit terkejut, karena di belakangnya tidak ada siapa-siapa.
“Pergi kemana Cempaka? Kenapa cepat sekali?” batin Radit.
BERSAMBUNG!
“Loh!” Radit terkejut, karena di belakangnya tidak ada siapa-siapa.
“Mana? Gak ada siapa-siapa?” Lidia melotot ke arah Radit.
“Aku gak bohong, tadi dia sama aku. Aku gandeng tangannya, tapi pas kamu manggil aku tadi, aku gak sengaja lepasin tangannya,” kata Radit dengan jujur. Tapi, Lidia tidak percaya. Karena tidak ada siapapun di tempat itu, kecuali mereka berdua.
“Ka-ka-kalian ke-ke-kenapa?” tanya Farhan dengan kegagapannya. Ia, Toni dan Sarah baru saja tiba di dalam ruangan itu.
“Ini nih! Si Radit bilang, dia tadi ketemu sama orang. Tapi dari aku masuk kesini, kau gak liat siapapun selain dia,” ucap Lidia kepada ketiga temannya itu.
“Cewek apa cowok, Dit?” tanya Toni. Toni bukan serius bertanya, melainkan lebih menjerumus ke arah meledeknya.
“Cewek, dia cantik tapi mukanya pucat. Rambutnya panjang segini!” Radit menyebutkan ciri-ciri Cempaka kepada ketiga temannya itu.
“Namanya Cempaka!” sambung Radit.
“Ngaco! Mana ada cewek malam-malam di tempat kaya gini sendirian!” ujar Sarah.
“Ja-ja-jangan ribut! U-u-udah malam, ga-ga-gak baik kita disini malam-malam!” ujar Farhan. Ia berbicara fasih setelah Sarah menepuk pundaknya.
“Ya udah, ayo pulang. Mungkin cewek itu juga udah pulang duluan,” kata Radit. Ia pun berjalan meninggalkan teman-temannya. Dalam benaknya masih kebingungan, kemana Cempaka pergi. Kenapa secepat itu? Dan kenapa gadis itu tidak pamit padanya, apakah dia takut setelah mendengar suara Lidia? Sampai-sampai ia pergi begitu saja.
“Kenapa ya, kok dia pergi gitu aja? Mana cepet banget lagi.” Batin Radit. Ia terus berjalan meninggalkan teman-temannya yang masih di belakang.
“Woi! Radit, tungguin dong!” seru Lidia. Gadis tomboy itu berlari mengejar Radit yang sudah jauh dari koridor itu.
Mereka berlima pun pulang ke rumah masing-masing. Kini, Radit sudah berada di rumahnya. Baru saja ia masuk kedalam rumah, Papanya sudah memanggil dan bertanya.
“Radit, dari mana aja kamu? Kenapa sudah jam segini baru pulang?” tanya Papa Radit. Bukan bertanya, tepatnya menginterogasi.
“Dari kampus lah, Pa. Sebenernya tadi pulangnya pas sebelum magrib. Terus Radit ama temen-temen mampir dulu ke kantin, kan laper, Pa.” Jelas Radit. “Hari udah mulai gelap kan, kami mau pulang. Tapi, Radit ingat kalau buku Radit ketinggalan di kelas. Jadi, Radit balik lagi!” sambungnya.
“Oh gitu, ya udah! Sana masuk kamar, bersih-bersih terus makan. Kayaknya, Mamamu masih ada di dapur!” ujar Papa Radit yang bernama Harun.
Swosss! Angin bertiup sayup.
Papa Harun mencium bau minyak wangi. “Bunga melati,” guman Papa Harun.
“Radit tunggu!” Papa Harun menghentikan langkah Radit.
“Iya, Pa. Kenapa?” Radit menolehkan kepalanya.
“Kamu pakek parfum yang bauk bunga melati?” tanya Papa Harun.
“Enggak, Pa. Tapi tadi, Radit ketemu cewek, dari wangianya. Dia pakek parfum melati deh, soalnya ini tangan Radit masih wangi,” ucap Radit sembari mencium telapak tangannya yang masih tersisa aroma kembang melati itu.
Papa Harun hanya mengangguk. Radit pun segera masuk kedalam kamarnya.
Sepeninggalan Radit, Papa Harun melamun. Ia kembali merindukan wanita yang telah mengisi harinya saat dirinya masih remaja.
“Kemana kamu? Aku lelah mencarimu, jika nanti kau kembali. Tolong maafkan aku, karena aku sudah menikah dengan wanita lain. Dan kini, aku sudah memiliki putra,” guman Papa Harun.
“Siapa yang memiliki putra, Pa?” tanya istri Papa Harun yaitu Mama dari Radit.
“Ahh, Mama bikin kaget aja,” kata Papa Harun sembari mengusap dadanya karena terkejut.
“Mama tanya, siapa yang punya putra?” Mama Radit mengulang kembali pertanyaannya. Ia pun duduk di sofa, di samping suaminya.
“Kita yang punya putra, emang siapa lagi?” Papa Harun memandang istrinya. “Papa gak nyangka aja, waktu begitu cepat berlalu, Ma. Sekarang putra kita udah berumur 21 tahun.”
“Oh, itu.” Mama Radit manggut-manggut. “Mama juga gak nyangka, sekarang dia udah beranjak dewasa. Bahkan udah jadi mahasiswa di Universitas ternama di Kota ini,” kata Mama Radit.
Universitas Garuda, adalah Universitas ternama di Kota itu. Banyak siswa siswi dari Kota lain juga yang datang untuk menempuh pendidikan di Universitas itu.
BERSAMBUNG!
Yang mampir, boleh dong bantu like, coment, dan tekan love nya!
Pagi-pagi sekali, Radit di bangunkan Mama-nya.
“Radit, bangun sayang. Kamu kan mau kuliah, nanti kesiangan!” Mama Radit mengguncang lengan Radit.
“Emmm, Radit masih ngantuk, Ma.” Radit mengucek matanya. Semalam ia tidur terlalu larut, jadi matanya sangat sulit untuk di buka.
“Ayo bangun, nanti kamu di marahin Papa lagi,” kata Mama-nya.
Mendengar kata marah, Radit segera bangun dan beranjak dari ranjangnya. Ia segera berjalan menuju kamar mandi.
Radit sangat takut pada Papa Harun. Papa Harun bukan hanya galak, tapi juga disiplin. Ia tidak ingin, putra semata wayangnya itu tumbuh menjadi pria yang tidak berguna. Bukan karena ia tidak sayang pada Radit, hanya saja, ia tidak ingin Radit terus menjadi pria yang manja. Ia ingin, Radit segera berubah menjadi pria yang hebat dan kuat. Tidak mengandalkan Papa dan Mama terus didalam segala hal.
Singkat cerita, kini Radit sudah berada di meja makan. Bersama Papa dan Mama-nya. Mereka hendak sarapan pagi.
Tiba-tiba saja, hembusan angin masuk melalui cela-cela jendela rumah di area dapur itu.
Swosss!
Papa Harun menggosok hidungnya, mencoba menghirup udara yang berbau bunga melati itu. Ia melihat istrinya yang seperti tidak mencium aroma apapun.
“Kok bauk bunga melati lagi?” tiba-tiba Radit mencium telapak tangannya.
“Bunga melati apaan?” tanya Mama Radit.
“Ini loh, Ma. Tangan Radit, bauk bunga melati. Dari semalam gak hilang-hilang,” kata Radit sembari menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
“Mama gak mencium aroma apapun,” kata Mama Radit. “Papa juga?” tanya Mama Radit pada suaminya itu.
“Iya, Papa juga gak mencium aroma apapun!” timpal Papa Harun. Ia tidak ingin, istrinya berpikir macam-macam. Jadi, ia mengiyakan perkataan istrinya.
“Radit gak jadi sarapan, deh! Radit mau berangkat sekarang,” ucap Radit sambil mencium punggung tangan Mama dan Papa nya.
“Jangan ngebut-ngebut!” teriak Mama Radit, sebut saja Mama Retno.
“Ya, Ma!” sahut Radit yang sudah menjauh dari area dapur itu.
.
.
.
“Aku harus cari cewek itu!” Radit bicara pada dirinya sendiri. Kini, ia sedang duduk di bawah pohon rindang yang ada di depan kampus.
“Woi! Mikirin apaa?” tiba-tiba saja, Toni mengagetkannya.
“Sialan, ganggu aja!” Radit menatap tidak suka pada Toni.
“Kamu kenapa sih? Kok malah marah, gak kaya biasanya?” Toni duduk di samping Radit.
“Bantuin aku, mau gak?”
“Bantuin apaan?” tanya Toni.
“Bantuin aku, nyari cewek yang semalam itu,” kata Radit. Mendelik lebarlah sepasang mata Toni. Pasalnya, ia dan yang lain nya tidak melihat siapapun di dalam gedung itu semalam.
“Ngaco, cewek mana sih yang kamu maksud? Kami berempat gak liat ada orang sama sekali, loh! Semalam.”
“Ada, beneran. Aku gak bohong, dia cantik, pakek gaun putih. Tatapannya sendu, tangannya dingin banget, terus rambutnya segini!” Radit menjelaskan ciri-ciri gadis itu pada Toni.
“Entah lah, aku gak ngerti! Tapi, aku bakalan tetep bantuin kamu,” kata Toni. Ia pun mengajak Radit masuk ke kelas. Kebetulan, jam pelajaran mereka sudah hampir dimulai.
Saat jam istirahat, Radit pergi sendirian ke perpustakaan yang ada dalam kampus itu. Saat ia sedang sibuk mencari buku yang ia butuhkan, tiba-tiba ia melihat sosok gadis yang ia temui semalam.
Nampak, gadis itu sedang duduk dikursi sambil membaca buku yang ada di tangannya.
“Cempaka!” panggil Radit.
Gadis itu mengangkat kepalanya, ia menatap Radit sekilas. Setelah itu, fokus kembali pada buku yang ada di tangannya.
“Cempaka, kamu semalam kemana?” tanya Radit sembari duduk dikursi yang ada disebelah gadis yang bernama Cempaka itu.
“Pulang.” Jawab Cempaka dengan singkat.
“Kok kamu gak pamit? Padahal aku mau kenalin kamu ke teman-temanku yang lain,” kata Radit.
“Aku gak suka keramaian,” kata Cempaka.
“Aku boleh kan temenan sama kamu?” Cempaka mengangguk, membuat Radit begitu gembira.
“Nama aku Radit!” Radit mengulurkan tangannya. Ia mengenalkan namanya pada Cempaka, pasalnya hanya Radit yang tau nama Cempaka. Sedangkan, ia belum mengenalkan diri pada Cempaka.
Cempaka membalas uluran tangan itu, lagi-lagi Radit di buat tersentak kaget. Pasalnya, tangan itu sangat dingin. Seperti mayat.
“Kamu sakit?” tanya Radit. Tapi, Cempaka hanya menggelengkan kepalanya.
“Tangan kamu, dingin banget. Gak kaya orang pada umumnya!” ujar Radit, Cempaka hanya menatap sekilas pada Radit setelah itu, ia menundukkan kepalanya.
“Aku tidak boleh terbuai dengan kebaikannya. Aku kembali untuk membalaskan dendamku, melalui dirinya!”
BERSAMBUNG!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!