Dulu aku hidup bergelimang harta. Rumah kami besar dan mewah. Rasanya saat itu kekayaan orang tuaku tak akan pernah bisa habis di makan tujuh turunan. Sebagai anak tunggal aku tak pernah melakukan pekerjaan rumah karena banyaknya pekerja di rumahku. Aku benar-benar tidak menyangka jika kehidupan bisa berbalik dalam waktu sekejap saja.
Tidak ada satu bulan kehidupan langsung berbalik 180 derajat, sangat mengenaskan. Bisnis papi tiba-tiba bangkrut, ditambah lagi dengan ditipu oleh temannya sendiri. Semua aset disita oleh Bank. Bahkan rumah tempat kami bernaung setiap hari juga harus dijual untuk membayar gaji para karyawan.
Sampai yang tersisa di dompet papi hanya tinggal 100 ribu rupiah saja. Uang yang dulunya kami anggap uang recehan saja sekarang nominalnya terlihat sangat besar. Baju dan tas branded punya mami juga dijual untuk membayar uang sekolahku yang tidak lagi bisa kami remehkan.
Aku yang biasanya ceria ketika di sekolah langsung insecure ketika bergaul dengan teman-temanku yang semuanya kaya raya. Maklum sekolahku adalah sekolah international tempat anak-anak orang kaya bersekolah untuk bersenang-senang saja. Kami tidak pernah serius mencari ilmu toh orang tua kami sudah kaya dan masing-masing dari kami akan mewarisi bisnis orang tua kami. Itu pikiran yang tertancap di benak kami saat itu.
Aku Pun kemudian menjaga jarak dengan teman-temanku karena aku tidak mau mereka menggunjingku di belakangku. Kabar hancur nya bisnis keluargaku pasti sudah menyebar diantara para pengusaha dan tentunya teman-temanku sudah mengetahui hal itu dari orang tua mereka.
Untungnya saat itu aku sudah di kelas akhir, hampir lulus. Jadi aku tidak terlalu lama menanggung rasa tidak percaya diri dan kecanggungan yang menghinggapiku meskipun untuk membayar biaya sekolahku mami harus menjual barang-barang mewahnya dan aku sendiri juga harus menjual barang-barang ku yang berkelas untuk uang jajan dan biaya transportasiku. Aku belum bisa move on dari hidup mewah dan belum bisa menerima sepenuhnya saat itu.
Aku yang biasanya punya banyak kartu dan uang cash segepok di dompetku kini tidak ada lagi yang seperti itu. Bahkan aku sudah tak punya dompet lagi. Barang-barang bermerk itu kami jual secara online membuatnya laku murah tapi kami tak punya daya karena sangat membutuhkannya untuk mengganjal perut kami.
kami mengontrak rumah yang kecil di pedesaan yang harganya murah dan bisa dibayar tiap bulan.
Papi ku bekerja serabutan menjadi pesuruh,, jadi kuli, dan pekerjaan apa saja dilakoninya untuk aku dan mami. Wajah papi yang merupakan keturunan cina tentu saja membuatnya berbeda dengan warga setempat.
Kerap kali papi diejek oleh sesama teman kerjanya karena aneh melihat orang cina tapi kere. Entah itu sengaja atau hanya sekedar bergurau saja tapi papi kulihat tidak ambil pusing. Justru aku yang merasa kasihan melihatnya.
Hidup kami tak lagi seperti dulu tapi mami yang merupakan orang jawa asli, amat bersyukur dengan keadaan kami. Hal itu membuat aku dan papi juga turut mensyukuri keadaan ini. Kami ingat bagaimana dulu saat kami masih kaya kami jarang sekali bisa bertemu dan bercengkerama seperti sekarang.
Meski satu rumah tapi aku ada di lantai atas dan kamar papi mami ada di lantai bawah
Mami selalu sibuk dengan dengan perkumpulan geng sosialitanya. Papi juga kerap pulang malam saat kami sudah terlelap sehingga kami jarang berkumpul seperti sekarang.
Sedangkan aku biasanya pulang larut malam karena setelah pulang sekolah tidak langsung pulang ke rumah melainkan jalan-jalan dulu ke mall atau ke mana saja dengan teman-teman ku yang tidak pernah merasakan kekurangan uang tapi butuh kasih sayang dan kehangatan keluarga dan kami mencoba melupakannya dengan berhura-hura dan berfoya-foya.
Dan juga yang patut kami syukuri adalah saat kami kaya kami tidak semena-mena terhadap pegawai dan karyawan maupun orang-orang yang kami temui. Sedangkan yang kami sesali adalah saat dulu kami kaya kami selalu bermewah-mewahan dan membuang-buang duit.
Tuhan tidak kesusahan cara untuk membalikkan keadaan. Kami yang biasanya hidup bermewah-mewahan kini harus berhemat dan sering sekali menelan ludah saat melihat makanan yang dulu biasa kami buang dengan alasan kurang bersih atau kurang fresh.
Sekarang yang penting ada makanan yang halal kami bisa dan mau tak mau harus menelannya karena perut yang kelaparan.
Entah kemana keluarga papi dan mami di saat kami seperti ini. Mereka menutup mata atau mereka memang tak tahu bahwa kami sedang mengalami kesusahan seperti ini.
Saat ujian selesai ada waktu sekitar dua bulan untuk mendapatkan ijazah. Dengan memberikan banyak alasan akhirnya aku diperbolehkan untuk tidak ke sekolah dan mengikuti berbagai acara yang dipersiapkan untuk acara perpisahan nanti.
Aku memilih bekerja di toko kue yang sangat ramai di kota ini. Tidak ada lagi keinginan untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi karena biayanya pasti mahal. Meskipun ada jalur beasiswa tapi tetap saja akan membutuhkan biaya transportasi, buku dll. Apalagi mengingat otakku yang pas-pasan ini. Lebih baik aku menggunakan uang yang kudapatkan nanti untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja.
Seandainya saja ada pilihan aku ingin bekerja sambil sekolah pada hari Sabtu Minggu.
Keberuntungan kami akhirnya perlahan mulai datang lagi.
Abah Fanani yang mempunyai bisnis percetakan dan mempunyai pondok pesantren mengajak kami untuk tinggal di tempat beliau karena melihat papi yang dulunya adalah donatur tetap di sana sedang mendapatkan musibah.
Aku juga patut mensyukuri hal itu. Meskipun kami dulu jarang solat tapi papi selalu tidak lupa untuk mengeluarkan zakat kecuali 3 bulan terakhir. papi Seakan lupa dan tidak mengeluarkan zakat sama sekali selama tiga bulan itu.
Begitupun dengan mami yang tidak melakukan kegiatan sosial dengan berbagai alasan dan tanpa menunggu waktu yang lama sebelum akhirnya kerajaan bisnis papi runtuh seketika.
Mendapatkan penawaran dari abah Fanani Awalnya papi tidak mau karena merasa tidak enak takut malah akan merepotkan. Tapi abah meyakinkan kami bahwa mereka sedang membutuhkan tenaga untuk memasak di pesantren dan butuh tenaga di sawah dan kebun abah.
Abah, begitu kami memanggilnya, bercerita jika bisnis percetakan saat ini sudah tidak bisa diandalkan karena perkembangan zaman yang membuat ilmu pengetahuan bertebaran di depan mata dalam genggaman tangan tanpa perlu media buku.
Kini abah sudah menutup percetakan nya dan sedang menekuni bidang pertanian dan perkebunan. Abah ingin belajar tentang cara pemasaran hasil pertanian dan cara pengemasannya agar bisa sampai ke tangan konsumen masih dalam keadaan fresh. Abah berharap papi sebagai orang yang pernah berkecimpung di dunia bisnis mau membantunya untuk menghubungkannya dengan teman-teman papi yang bergerak di bidang itu.
Papi akhirnya bersedia ikut abah dengan syarat agar diperbolehkan turun ke sawah untuk bekerja seperti yang lainnya dan papi akan berusaha untuk menghubungi temannya.
Jadilah saat ini kami tinggal di rumah yang disediakan untuk para pekerja di pesantren dan unit usaha yang di miliki oleh abah. Kami termasuk yang mendapat kan tempat spesial. mungkin karena kami sekeluarga sehingga rumah yang disediakan oleh abah untuk kami memiliki dua kamar, dapur kecil dan kamar mandi di dalam.
Rumah yang kami tempati saat ini tidak lebih besar dari rumah kontrakan kami sebelumnya tapi di sini suasana sangat kental dengan nilai agama.
Sedangkan para pekerja yang lain biasanya adalah anak-anak pondok yang sudah lulus sekolah dan ingin mengabdi pada pesantren terlebih dahulu sebelum mereka boyong dan kembali ke rumah nya masing-masing. Sama seperti kami mereka bebas makan dan akan mendapatkan sedikit bayaran untuk uang jajan.
Dan ada juga beberapa warga yang ikut serta bekerja dengan niat membantu pesantren dengan bayaran pada umumnya orang bekerja.
Selama kami tinggal di pesantren aku pun mulai belajar menutup aurot, ikut mengaji jika kebetulan kerjaku libur dan bantu-bantu memasak untuk keperluan seluruh keluarga besar anggota pondok.
Mami bertugas membuat menu untuk anak-anak pondok dan para pekerja juga untuk keluarga abah. Tentu saja itu bukan hal yang sulit karena dulunya kakek kami memiliki depot di alun-alun kota yang sekarang sudah berpindah ke tangan pak lekku.
Sedangkan papi ikut bekerja ke sawah maupun ke kebun bersama dengan para pekerja yang lainnya. Di sini lingkungannya sangat kondusif membuat kami betah dan benar-benar bisa move on dari status sosial yang disebut kaya.
Papi ku yang berkulit putih dan bermata sipit mendapatkan perhatian lebih. Pandangan mereka bukan pandangan kasihan karena seorang cina kok ngere tetapi pandangan mereka malah seperti orang yang kagum.
Bagaimana bisa ada orang cina yang mau hidup susah dan menjalankan syariat islam dengan benar. Mereka tidak tahu jika sebelumnya papi masuk islam karena ingin menikahi mami dan itu tentu saja mendapat penolakan dari keluarga besarnya. Sampai-sampai papi dikeluarkan dari kartu keluarga.
Pada awalnya papi dan mami mengerjakan solat dan puasa sesuai syariat tapi setelah bisnis papi semakin berkembang mereka pun jarang melakukan solat dengan alasan tidak ada waktu karena terlalu sibuk.
Aku pun menjadi tidak begitu tahu tentang ajaran islam yang benar sehingga membuat aku salah jalan dan terjerumus kedalam pergaulan bebas.
****Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji****?”
**************
Sore itu saat aku baru saja sampai depan rumah sepulang kerja , aku melihat ada mobil berkelas berlogo bundar dengan tiga kaki seperti mobil kami dulu di depan rumah abah. Aku menyandarkan sepedaku di samping rumah, penasaran siapa yang datang. Mungkin saja donatur, pikirku selanjutnya.
"Assalamualaikum mi..." ucapku saat melihat mami keluar dari rumah dengan buru-buru.
Ternyata berada di lingkungan seperti ini membuat kami sekeluarga menjadi lebih religius rupanya, tanpa kami sadari.
"waalaikumsalam warahmatullah... sudah pulang?" tanya mami yang keluar dari rumah kemudian turun dari serambi dan buru-buru memakai sandalnya.
"Mau kemana mi?" Aku tak menjawab pertanyaan mami dan balik bertanya.
"Ada tamunya papi..." kata mami sambil berjalan ke rumah abah.
Aku melepaskan sepatuku dan menaruhnya di rak sepatu kami yang amat sangat sederhana. Aku melihat sebentar ke arah rumah abah ingin melihat teman papi yang masih mau berhubungan dengan papi yang keadaannya sudah tak seperti dulu. Karena tak melihat apapun kemudian akupun segera masuk ke dalam rumah.
Berjalan ke arah dapur kami yang super mini. Hanya ada kompor, tempat cuci piring, dan rak piring yang atasnya biasanya dipakai untuk tempat nasi dan lauk. Aku tersenyum melihat keadaan kami yang berbanding terbalik dalam waktu yang tidak lama.
Semakin hari berada di sini, aku semakin tahu ternyata harta kekayaan itu hanyalah titipan yang Maha Kuasa. Hanya untuk menguji hambanya apakah dia termasuk orang yang bersyukur atau kufur. Jika sewaktu-waktu Alloh mengambilnya maka manusia tak bisa apa-apa karena sejatinya segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Nya dan berada dalam genggaman Nya.
Setelah mengambil nasi, tumis kangkung dan tempe aku berjalan ke ruang tamu mini kami. Aku menikmatinya dengan lahap padahal dulu aku merasa aneh saat melihat para asisten rumah tangga kami makan makanan seperti yang ada di depanku saat ini.
Bagaimana bisa perut dan lidah mereka mencerna makanan aneh seperti itu, pikirku waktu itu.
Dan sekarang aku baru menyadari nikmat Alloh itu adalah saat kita bisa bersyukur dengan segala karunia Nya.
Benar kata abah, semahal apapun makanan bisa di beli tapi nikmatnya makan Alloh yang bagi-bagi. Setelah lelah bekerja kemudian makan sambil duduk menselonjorkan kaki di ruang tamu yang sempit ini sungguh nikmat sekali. Perasaan seperti itu tidak bisa dibeli. Sungguh nikmat sekali.
Semenjak tinggal di lingkungan ini kami sekeluarga menjadi lebih tenang dan selalu bisa mensyukuri segala sesuatu yang terjadi pada kami. Menjadi lebih dekat pada Sang pemberi kehidupan dari hari ke hari.
Alhamdulillah ala kulli halin mani'matin.
"fia....!" Terdengar suara mami dari depan.
"Ya mii....." Aku mengusap tangan ku dengan serbet yang tergantung dekat rak setelah barusan mencuci piring.
Bergegas mencari kerudung instan lalu memasangnya. Sat set sat set selesai deh. Aku Pun kemudian berlari kecil ke depan.
" Iya mi....."Di bawah ternyata ada seorang wanita dan pria yang terlihat sederhana tapi aku tahu harga pakaian mereka tidaklah murah dan termasuk mehong, he he.
"Ternyata menantuku sudah besar ya...." Kata sang wanita yang langsung berjalan mendekat padaku. Aku pun segera mencium tangannya.
"Cantiknya....." Matanya berbinar-binar indah sekali. Raut wajahnya memancarkan keceriaan menandakan kebahagiaan. Kalau diperhatikan mungkin seumuran dengan mami.
"Ini tante rosi....." Mami memperkenalkan nama wanita cantik yang sekarang sedang memandangiku.
"Jangan begitu jeng sora!" ia menoleh ke arah mami.
"jangan panggil tante, panggil mama. Kamu kan calon mantu mama.... iya kan pah?"
Aku mendekat pada pada
pria yang dipanggil papah oleh tante rosi. pria yang kuperkirakan berumur lima puluh tahunan lebih bermata sipit ,berkulit putih seperti papi dan wajahnya terlihat dingin.
"Hmm" jawabnya.
uh, pria tua yang dingin...., pikirku.
"Mama tidak bisa lama-lama hari ini karena papa sebentar lagi harus bertemu klien. Lain kali mama akan datang kesini dan kita harus bicara panjang lebar..." Ia menangkupkan tangannya di kedua pipiku. Sepertinya gemas sekali.
"Baiklah kami pamit dulu jeng....!" katanya berpamitan.
Setelah memelukku wanita yang memintaku untuk memanggilnya mama itu segera naik mobil.
Pria dingin itu menatapku sambil menganggukkan kepalanya sedikit setelah bersalaman dengan papi dan mami.
Mama baruku itu melambaikan tangannya saat mobilnya mevvahnya melewati kami.
.
.
.
Kami duduk diruang tamu kami yang tak ada kursinya. Hanya ada tikar yang biasanya kami gunakan untuk duduk bercengkerama bersama.
Aku ingin meminta penjelasan dari apa yang barusan ku dengar tadi. Tentang Perjodohan. Apakah itu serius atau hanya bercandaan antar teman saja. Tapi aku diam saja karena sepertinya mami dan papi juga ingin menjelaskannya sendiri.
"Fi.... papi minta maaf sebelumnya" Papi menghela nafasnya sebentar tanpa melihat ke arahku. Papi ku masih tampan meski usianya sudah senja. Kulitnya yang putih dan matanya yang sipit benar-benar menurun padaku. Tapi sayangnya aku tak setinggi papi.
"Papi tak berniat serius saat itu. Aku dan Pak Adi wijaya adalah keturunan cina dan sama-sama mencintai gadis pribumi. Jadi kami memiliki cerita yang mirip. Sama-sama dikeluarkan dari anggota keluarga besar. Seperti senasib sepenanggungan. Suatu saat Pak Adi mengatakan ingin menjodohkan anak-anak kami. Papi hanya mengiyakan saja tanpa berpikir lama. Ternyata pak Adi menagihnya Sekarang. Kalau saja pak Adi tak mengingatkannya papi juga tak akan ingat. Tadi abah mengatakan kalau memang janji ya harus ditepati.Tapi karena itu masalah perjodohan sebaiknya kedua keluarga bertemu dan membicarakannya. Jika anak-anaknya saling setuju alangkah baiknya tapi seandainya anak-anak tidak setuju para orang tua sebaiknya tidak memaksakan kehendaknya karena bagaimanapun juga mereka yang akan menjalani rumah tangga kedepannya, begitu kata abah tadi." Papi memandangiku seolah ingin menyelami pemikiran putri satu-satunya ini.
Sedangkan mami sedari tadi menggenggam telapak tanganku sambil mengusapnya sesekali.
Aku bingung harus bagaimana. Bertemu keluarga itu saja seingatku baru kali ini. Aku menoleh ke arah mami meminta pendapatnya.
Mami yang mengerti perasaan putrinya ini kemudian berkata," Mami pernah dengar cerita bagaimana Rosululloh saat menerima lamaran untuk putri-putrinya. Untuk putri pertamanya beliau tahu bahwa siti zainab dan Abu al ash saling menyukai maka Nabi yang saat itu belum menerima wahyu kemudian meminta istrinya Siti Khodijah untuk menanyakan bagaimana tanggapan putrinya tentang lamaran dari abu al ash. Tetapi saat Abu lahab datang untuk meminang siti Ruqoyyah dan Ummu kulstum untuk kedua anaknya yakni Utbah dan Utaibah Nabi langsung menerimanya karena tidak enak hati untuk menolak pinangan pamannya tanpa bertanya dulu pada kedua putrinya."
"Mami harap kamu bisa memaafkan kehilafan papimu dan berbesar hati. Sebaiknya kalian bertemu saja dulu, barangkali cocok. Jika seandainya tak cocokpun kalian bisa membicarakan masalah ini baik-baik" lanjut mami.
Aku tersenyum mendengar petuah mami. Padahal baru beberapa bulan saja kami disini tapi mami dan papi sekarang jadi religius sekali dan pemahaman agamanya naik drastis.
"Sebenarnya pak Adi juga berniat untuk mengajak Papi berbisnis lagi tapi papi menolak. Hidup sederhana seperti ini lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Papi takut jika masuk dunia bisnis lagi papi akan kembali terlena dan tidak ada waktu untuk beribadah" Papi menjelaskan lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!