NovelToon NovelToon

ALOVA Tawanan Istimewa

Bab 1 Rumah Sakit

Seorang gadis berlari sambil menangis di halaman sebuah rumah sakit ternama di kota itu. Sebuah panggilan masuk beberapa menit lalu saat ia tengah berada di kantor membuatnya terburu-buru menuju rumah sakit.

Dialah Alova Bratadikara, seorang gadis yang baru 3 bulan diangkat sebagai CEO di perusahaan ayahnya sendiri. Ia ditemani oleh mantan asisten pribadi ayahnya yang kini menjadi asisten pribadinya di perusahaan.

"Ken, kita kemana?" Tanyanya panik pada Asisten pribadi yang berjalan tak kalah cepat darinya.

"Tenanglah, Bu!" Ken menarik tangan Lova dan membawanya menuju sebuah kursi untuk menunggunya mencari informasi ke meja resepsionis.

"Tunggu disini, saya akan mencari informasi mengenai Pak Brata." Lantas secepat kilat pria berjas rapi itu meninggalkan Lova yang terus menangis senggugukan.

Ia mendapat kabar dari salah satu pekerja di rumahnya bahwa Brata, ayahnya tak sadarkan diri diduga karena keracunan.

Beberapa bulan belakangan, kondisi ayahnya memang semakin memburuk. Tekanan darah yang selalu diatas normal, hingga kaki yang sulit di gunakan untuk berjalan. Setiap hari Brata harus mengkonsumsi obat-obatan resep dari dokter pribadi. Alova bahkan mempekerjakan seorang perawat pribadi untuk mengurus ayahnya.

Kondisi kesehatan yang semakin menurun membuat Brata menyerahkan seluruh tanggung jawab perusahaan pada putrinya.

"Bu, Bapak sedang di tangani dokter Nugroho, dokter pribadinya." Ken duduk di sebelah Lova dan berusaha menenangkan bosnya.

"Ken, bisakah kamu pulang dan cari tau kenapa Ayah sampai mengalami keracunan." Pinta Lova pada Ken yang usianya 5 tahun lebih tua darinya.

Ken lumayan bisa diandalkan. Pria itu sudah bekerja dengan ayahnya hampir tujuh tahun. Ken juga sudah terbiasa keluar-masuk rumah besar Bratadikara. Ken orang ke dua yang di hormati di rumah itu setelah Pak Brata.

"Baiklah. Saya akan segera pulang." Ken bersiap berdiri. "Saya akan minta Nur untuk menemani anda disini. Nur sedang mondar-mandir di IGD karena panik."

Ken berjalan menjauh dari Lova. "Ken...!" Lova memanggil Ken saat pria itu sudah berjalan beberapa langkah. Pria itu berbalik.

"Aku mengandalkanmu!" Lova menghapus air matanya. Harapannya hanya Ken. Pria yang bisa mengungkap dugaan bahwa seseorang telah berusaha meracuni ayahnya.

"Saya akan melakukan yang terbaik, Bu!"

****

"Ayah..." Lova menggenggam erat tangan pucat di hadapannya. Brata sedang berada di ruang ICU. Gadis itu terus menangis melihat keadaan satu-satunya keluarga yang ia punya.

Bundanya sudah meninggal puluhan tahun lalu karena kecelakaan. Kakak laki-lakinya juga meninggal di saat yang sama. Sementara Lova selamat dari kecelakaan itu.

"Ayah, jangan tinggalkan Lova sendirian, Yah. Lova sendirian, Yah. Lova tidak punya siapa-siapa lagi."

Puas menumpahkan tangisnya, ia memutuskan untuk keluar dari ruangan sepi yang hanya di terdengar suara alat-alat medis yang terpasang di tubuh ayahnya.

"Ayah cepat bangun, Yah. Lova menunggu ayah membuka mata." Ia mencium kening penuh kerutan itu. Ia keluar dari ruang ICU dengan langkah lemah.

Ia menghela nafas berat. "Nur, kamu pulanglah." Perintahnya pada perawat ayahnya yang setia menemaninya. Wajah wanita 24 tahun itu tampak pucat, ia menangis dan ketakutan karena dialah yang mengurus semua makanan dan minuman Pak Brata.

"Non..." Nur berlutut di kaki Lova. "Demi Tuhan, Non, bukan saya yang memasukkan racun ke makanan dan minuman Bapak." Gadis itu terisak. "Saya... sendiri yang memasak makanan itu dan memastikan semuanya aman, Non." Ini kali entah keberapa Nur memohon pengampunan pada Lova.

"Bangun lah, Nur!" Lova memintanya untuk bangun. Ia dan Nur duduk bersebelahan. "Saya tidak bisa menghukum kamu ataupun memaafkanmu karena saya belum mengetahui kebenarannya."

"Kelak, kalau saya sudah punya bukti, saya akan menghukum orang tersebut."

"Tapi... tuduhan akan mengarah pada saya, Non?" Tangannya bergetar, ia ketakutan karena kalau sampai ada bukti yang mengarah padanya ia akan di hukum oleh Lova.

"Kalau kamu tidak salah, kamu tidak perlu takut."

"Sekarang, pulanglah!"

Sepulangnya Nur, Lova menunduk lemas. Mengapa ia bisa kecolongan begini? Kenapa Ayahnya sampai bisa menjadi bahan percobaan pembun*uhan?

Dokter mengatakan memang ada racun yang masuk ke tubuh Ayahnya. Tidak mematikan, hanya saja kemungkinan besar membuat ayahnya lumpuh dan ingatannya melemah.

Tuhan, ku mohon petunjuk-Mu!

Lova menengadahkan kepala saat melihat sepatu mengkilap ada di depannya. "Ken?"

Benar saja. Pria berwajah dingin itu berdiri dihadapannya. "Bagaimana, Ken?" Lova segera berdiri berharap Ken membawa kabar baik.

"Duduk dulu, Bu."

Ken dan Lova duduk di kursi tunggu. Ken melihat kanan dan kiri. Ia mencoba melihat situasi. Ia takut ada orang yang mendengar obrolan keduanya.

"Saya sudah menyelidiki bahkan mengambil sample makanan dan minuman di rumah."

"Semua aman!"

Love menghela nafas. "Tidak ada jejak sedikitpun, Ken?" tanyanya dengan nada lemah.

Ken menggeleng. Lova memijat keningnya. Bagaimana mungkin bisa semulus ini.

"Tapi orang yang bisa dicurigai hanya sedikit, Bu."

Lova menatap Ken. Ada banyak orang di rumah itu lalu mengapa Ken bisa menyimpulkan hanya ada sedikit orang yang menjadi terduga?

"Di rumah hanya ada Nur dan 2 orang asisten rumah tangga yang sedang bersih-bersih dan mencuci pakaian."

"Pak Ujang, si tukang kebun yang sedang merapikan tanaman dari pagi sekali hingga kejadian berlangsung."

"Supir sedang mengantar Bu Mariska serta Mauren dan Mauza ke Bandara."

"Ah, ya... aku hampir melupakan mak Lampir dan dua orang anaknya itu," ucapnya kesal. Ia memang kurang cocok dengan wanita yang dinikahi ayahnya beberapa tahun setelah kepergian bundanya.

Wanita yang hanya pura-pura baik dihadapannya hingga Lova rela kuliah di luar kota demi tidak bertemu secara intens dengan ketiga wanita berbeda usia itu.

"Mereka akan kemana, Ken?" Tanya Lova.

"Mereka akan ke Paris!" Jawab Ken singkat.

"Astaga! Aku lupa. Mauren juga mengajjkan cuti selama seminggu!"

"Mereka hanya bisa menghabiskan uang saja!" Gerutu Alova karena Ibu tiri dan kedua putrinya itu hanya bisa menghamburkan uang saja. Ketiganya memang rutin jalan-jalan keluar negeri meski tanpa Ayahnya. Dan kali ini ketiganya ingin mencari universitas terbaik untuk putri keduanya, Mauza.

"Mereka tidak bisa di hubungi, mungkin sedang berada di dalam pesawat." Lanjut Ken.

"Biarkan saja. Aku juga tidak butuh mereka!" ucapnya datar.

"Lalu, siapa lagi orang yang ada di rumah?" Lanjutnya.

"Tidak ada karena sopir satu lagi, mengantar Bi Marni ke pasar."

"Oh, karena itu Nur dan yang lain kesulitan mencari kendaraan untuk membawa Ayah ke rumah sakit?"

"Ya, Bu. Tidak ada orang yang bisa membawa mobil."

"Kenapa kebetulan begini?" Gumam Lova.

"CCTV juga aman! Tidak ada tamu sama sekali."

Lova menggaruk dagunya. "Mengapa begitu membingungkan, Ken?"

"Ada dua hal yang mencurigakan, Bu."

"Apa? Katakan Ken?"

"Obat terakhir yang Bapak minum dan Jus yang anda tinggalkan di atas meja makan. Bapak menghabiskan jus itu."

"Ayah meminum jusku?"

"Ya, dan Nur membiarkannya karen jus yang anda tinggalkan sama seperti jus yang biasa Bapak minum."

Lova semakin bingung. Kalau racun itu ada di jus yang harusnya ku minum. Itu artinya....

Lova membulatkan mata. "Mungkinkah aku targetnya."

"Anda targetnya, Bu!" Ken juga mengatakan hal yang sama.

Ken dan Lova saling tatap. "Kita sepemikiran, Ken?"

Ken mengangguk. "Obat itu resep dari dokter pribadi Bapak. Jadi, sepertinya aman, Bu."

Bab 2 Tetap Waspada

Seminggu kemudian. Fakta mengenai tragedi yang terjadi pada Brata belum terungkap karena gelas jus yang harusnya di bawa ke laboratorium untuk diperiksa sudah di cuci oleh asisten rumah tangga.

Kesehatan Brata mulai membaik, namun ia mengalami kelumpuhan di kakinya hingga pria tua itu harus menggunakan kursi roda. Pria itu juga jarang keluar dari kamarnya karena kondisi fisik yang lemah.

Lova memperingatkan seluruh asisten rumah tangga untuk lebih berhati-hati. Jangan membiarkan orang lain masuk ke dalam rumah. Dan Nur, menjadi orang yang paling Lova tekan.

"Nur, jangan kecewakan saya. Semua makanan dan minuman Bapak harus kamu pastikan keamanan dan kebersihannya."

"Berhati-hatilah Nur!" Berulang kali Lova selalu memperingatkan perawat ayahnya itu agar tak lengah sekalipun.

Ia juga semakin berhati-hati karena dugaannya dan Ken masih menjadi misteri. Apakah benar dirinya ataukan ayahnya yang menjadi target? Ataukah memang keduanya?

Pagi ini, setelah menemui Ayahnya dan memastikan keadaan pria itu baik-baik saja, ia segera menuju meja makan.

Alova menatap sinis Mariska dan kedua saudara tirinya yang sama sekali tidak menunjukkan rasa cemas sedikitpun melihat kondisi Brata.

Ketiganya tak segan memamerkan barang-barang branded yang mereka beli selama liburan di luar negeri.

"Harusnya kakak jalan-jalan ke luar negeri. Supaya tampilan kakak tidak norak begini!" Komentar Mauza sambil menunjuk outfit yang Lova kenakan pagi ini.

"Style kakak seperti SPG parfum," nyinyir Mauza.

Lova tersenyum sinis. Menurutnya pakaian seperti ini yang membuatnya nyaman. Sebuah setelan kerja dari brand lokal ternama yang menjadi langganannya selama ini. Bahkan para pemilik perusahaan besar sekalipun memakai pakaian dengan brand yang sama.

"Ehm!" Mariska berdehem agar putri bungsunya itu tidak banyak bicara. Membuat mood Lova memburuk bisa berakibat fatal untuk suasana rumah besar itu.

"Habiskan sarapanmu, Za," perintahnya.

"Mauren! Antar adikmu sekalian!" Perintah Mariska karena Lova terus menatapnya tanpa ekspresi. Ia hanya berusaha mengalihkan kecanggungan di meja makan yang hanya berisi mereka berempat.

"Ma... Mauren ada meeting pagi, ini!" Tolak gadis berpakaian rapi itu. Sebagai salah satu staff dibagian keuangan, Mauren harus tunduk pada peraturan perusahaan untuk datang tepat waktu meskipun Lova adalah Bos di perusahaan itu.

"Lebih baik naik taxi atau minta antar supir!" Saran Mauren. "Biasanya mama yang mengantar, kan?"

"Mama ada urusan penting," jawabnya cepat.

Lova tersenyum hambar. Urusan penting apa yang membuatmu sampai melupakan suami yang selalu memenuhi kebutuhanmu itu?

Kini, saat ayahku sudah tak berdaya dan keuangan sudah aku yang mengatur, kamu mulai menunjukkan sifat aslimu yang hanya ingin uang ayahku. Dasar licik.

"Mauren, kantor kamu kan searah dengan sekolah Mauza." Mariska pantang menyerah.

"Ehm..." Lova berdehem. Semenjak menjadi pemimpin perusahaan, Lova memang mulai menunjukkan taringnya. Ia tidak ingin di sepelehkan lagi. Terlebih saat ini keuangan di dalam rumah sudah di atur olehnya.

"Jangan berdebat di meja makan." Lova meletakan kain yang ia gunakan untuk menyeka bibirnya di atas meja. "Membuat selera makanku hilang!" ucapnya dingin.

Ketiganya diam. "Ah yaa... ada yang ingin ku sampaikan." Lova yang bersiap berdiri, kembali duduk. Mereka mulai menegang, takut-takut Lova mengurangi jatah bulanan mereka.

Lova menegakkan duduknya. Ia menatap ketiganya bergantian. "Mulai hari ini, Ken akan kembali menjadi asisten pribadi Ayah."

Sebuah kabar buruk yang membuat ketiganya kesulitan menelan lud*ah. Ken akan membuat ruang gerak ketiganya menjadi sangat terbatas.

"Tapi... tapi untuk apa Lova. Ayah juga sudah tidak bekerja di perusahaan lagi, kan?" tanya Mariska meminta penjelasan.

"Ayah perlu orang untuk membantunya ke kamar mandi. Untuk mengantarkannya ke rumah sakit dan untuk menjaganya dari Iblis yang mungkin akan memasukkan racun kemakanannya!" Ucap Lova dingin penuh sindiran.

Mariska dan kedua putrinya menelan lud*ah yang sekeras batu itu.

"Ada mama dan yang lain. Nur juga ada. Atau kita cari perawat pria agar tidak canggung saat merawat ayah?" Mariska memberi ide.

"Jangan paksa. Aku tidak akan merubah keputusanku."

***

Malam harinya...

Lova melangkahkan kakinya memasuki rumah besar yang sudah bertahun-tahun lamanya ia tinggali.

"Bu, baru pulang?" Sapa Ken yang sedang duduk di teras rumah.

"Ah... ya, Ken!" Lova duduk di samping Ken. "Belum tidur?" Ia meluruskan kakinya yang terasa pegal.

"Belum mengantuk," jawabnya.

"Rosa masih perlu banyak belajar." Ia bicara tanpa diminta. Ia juga menyebut nama asisten pribadinya yang baru. Seorang gadis cantik berusia 30an yang merupakan sekretaris senior di kantornya.

"Apa tidak salah menempatkan saya di rumah, Bu. Sementara kantor sedang butuh saya." Tanya Ken.

"Ayah lebih butuh kamu, dan hanya kamu yang saya..." Ken mengangkat telapak tangannya sebagai isyarat agar Lova berhenti bicara. Pria dengan setelan kaos kerah dan celana pendek selutut itu lantas berlari keluar pagar dan berusaha mengejar seseorang.

Lova yang penasaran ikut mengejar Ken. Namun ia tertinggal sangat jauh. Ia memutuskan untuk kembali kedalam rumah. Hal yang pertama ia cari adalah Ayahnya.

Brata sudah tidur. Pria itu tidur sekamar dengan Ken yang menempati satu ranjang kosong di kamar itu. Sementara Nur, menempati kamar belakang. Ia baru akan datang jika Ken menghubunginya.

"Ayah..." bisiknya pelan.

"Tetap berhati-hati, Yah." Ia mengusap tangan ayahnya.

"Kejadian yang lalu mungkin akan terulang lagi."

"Lova belum mendapatkan bukti apapun."

"Menuduh Nur dan yang lain juga tidak mungkin. Lapor polisi juga sepertinya akan membawa dampak buruk pada perusahaan."

"Klien kita bisa saja membatalkan kerja sama jika mereka tahu ada yang berusaha melenyapkan ayah dan aku."

"Ayah... maaf belum bisa selalu di samping ayah." Lova mencium tangan ayahnya.

"Lova janji, akan menjaga amanah yang ayah berikan."

Lova berdiri setelah membenarkan posisi selimut Brata. Tapi ia menghentikan langkah saat pria lemah itu menangkap tangannya.

"Putri ayah. Jaga dirimu baik-baik, Nak." suara lemah itu membuat Lova tersenyum lebar.

"Pasti ayah." Lova kembali duduk. "Ayah tenang saja. Lova bisa menjaga diri."

"Tetap waspada ayah!"

***

Tok... tok...

Pintu kamar Lova diketuk. Ia baru saja selesai mandi dan berganti pakaian dengan piyama satin berlengan panjang.

"Ken?" Ia mengerutkan kening saat melihat pria itu berada di depan pintu kamarnya. Lova melihat kanan dan kiri memastikan situasi aman, lalu meminta pria itu masuk.

"Ada apa?"

"Siapa yang kamu kejar?" Lova menyuruh Ken duduk di sofa. "Tertangkap?"

"Ya, saya berhasil menangkapnya."

"Dia mencari alamat Mariska."

"Ada urusan apa? Mencari alamat, tapi Kenapa gelagatnya seperti pencuri?"

Ken menggeleng pelan. "Pria itu cuma suruhan dan memastikan kalau Mariska tinggal di rumah ini."

"Sekarang dimana pria itu?" Tanya Lova.

"Sudah pergi," jawab Ken sekenanya.

"Kenapa kamu lepaskan begitu saja?" Tanya Lova geram. Ia berharap bisa membongkar satu kebusukan Mariska agar bisa mengusir wanita itu dari rumahnya.

"Percuma. Dia tidak bisa memberikan informasi apapun."

****

Selamat membaca guys...

Semoga suka yaaa 😊

Bab 3 Rencana Mariska

"Seorang pengusaha akan melamar kamu." Mariska membuka obrolan di meja makan suatu pagi.

Beberapa hari ini Lova jarang sarapan dan makan di rumah karena pekerjaan kantor yang lumayan padat. Dan pagi ini Mariska malah mengejutkannya dengan mengatakan hal yang membuatnya geli.

"Dia putra teman mama. Tampan dan kaya, dari keluarga terhormat dan yang pasti dia tertarik denganmu!" Mariska berucap dengan kelembutan. Sangat bertolak belakang dengan sifat aslinya.

"Aku masih sibuk mengurus perusahaan!" Jawab Lova acuh. Ia terus menyantap sepotong sandwich ditangannya.

"Dia putra dari keluarga Hendrico, pemilik perusahaan raksasa yang akan melamarmu!" Mariska pantang menyerah.

"Kamu bahkan tidak perlu lagi bekerja."

"Jemarimu akan dipenuhi cincin berlian hanya dalam sekedipan mata, Lova."

"Perusahaan ayah akan maju puluhan kali lipat." Mariska memberikan iming-iming yang sama sekali tidak membuatnya tertarik.

"Mama berteman dengan Nyonya Hendrico. Pemilik brand perhiasan ternama yang sudah go internasional." Mariska lagi-lagi membuatnya ingin tertawa. Berteman dengan pengusaha kaya saja bisa membuat wanita paruh baya itu merasa bangga.

Lova tertawa sinis. "Jodohkan saja dengan Mauren." Ia melahap roti isinya. "Aku tidak tertarik."

Air muka Mariska berubah datar. Mauren bersungut kesal. "Aku punya pacar, kak."

"Dengan Mauza saja!" Mauren menunjuk adiknya yang masih berseragam SMA.

"Aku masih ingin kuliah." Gadis berserangam putih abu-abu itu menjawab dengan nada dingin.

"Putranya ingin menikahimu, Lova!" Ucap Mariska pantang menyerah. "Dia tampan. Mama sudah pernah bertemu dengannya." Mariska berulang kali meyakinkan Lova bahwa pemuda itu sangat tampan.

Cih, sejak kapan ia menganggapku anak? Mama katanya? Dasar bermuka dua! Cibir Lova dalam hatinya.

"Atau perusahaan ayah akan rata dengan tanah akibat penolakan kamu." Mariska menyuapkan makanan ke mulutnya sambil berucap tanpa beban seolah ia mengatakan hal sederhana. Padahal isinya jelas merupakan sebuah ancaman.

Lova menatap tajam Mariska. Ibu tiri yang tidak tahu diri. Diberi tumpangan, dibiayai semua kebutuhannya, malah bertingkah menjajakannya ke keluarga kaya seperti barang murah.

Ia segera bangkit dan mendorong kursinya kebelakang. "Lagi-lagi selera makanku hilang!" Lova menatap tajam ibu tirinya itu.

"Katakan pada keluarga kaya itu. Aku menolak lamarannya!" Ucap Lova tegas lalu ia bergegas meninggalkan rumah untuk segera pergi ke kantor.

Suara mobil Lova perlahan menghilang tanda bahwa mobil itu sudah keluar dari halaman rumah.

Mariska tidak gentar sedikitpun atas penolakan Lova, karena ia sudah menyiapkan rencana agar Lova menerima lamaran dari keluarga kaya raya itu.

"Mama serius akan menjodohkan Lova dengan keluarga Hendrico?" Tanya Mauza penasaran.

Mariska tersenyum miring. "Tentu!" jawabnya yakin.

"Putra dari keluarga Hendrico menunjukkan ketertarikan pada Lova saat mama menunjukkan foto kalian bertiga."

Keduanya terkejut. "Mama juga menjajakan kami ke keluarga kaya itu?" Tanya Mauren.

"Demi memperbaiki hidup. Perusahaan Brata juga stuck dan tidak maju-maju!"

"Kita akan cepat kaya kalau salah satu dari kalian menikah dengan putra dari keluarga itu."

Mauren dan Mauza menatap tak percaya pada wanita yang melahirkan mereka itu. Mengapa seorang ibu tega menyerahkan putrinya begitu saja pada keluarga kaya? Bukankah itu sama seperti menjual?

"Bagaimana kalau Lova terus menolak?" Tanya Mauren. "Aku tidak ingin menikah dengan pria yang tidak ku cintai." Gadis itu merengut.

"Aku juga." Sambung Mauza.

Mariska memutar bola matanya. "Putra mereka juga tidak tertarik dengan kalian."

"Kita akan gunakan berbagai cara. Termasuk dengan memanfaatkan si Brata tak berguna itu!" Mariska tersenyum licik.

"Sini..." Mariska meminta kedua putrinya mendekat. Keadaan rumah yang sunyi membuatnya takut obrolan itu di dengar oleh orang lain. Pekerja di rumah itu semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Kita akan mendapatkan sebuah rumah besar dan sekoper besar berisi uang jika kita bisa membuat Lova menikah dengan putra mereka," bisik Mariska pelan.

Mata Mauren dan Mauza berbinar. "Are you kidding me, Ma?"

"Ssst! Dengar dulu. Mama juga sudah dapat uang muka 10 M." Mariska menunjukkan sepuluh jemarinya.

Mauren dan Mauza semakin berbinar. Ketiganya lantas tertawa senang. "Kami akan bantu, Ma. Apapun caranya."

Di balik pilar besar di rumah itu, tanpa mereka tahu, ada seorang pria yang menguping pembicaraan mereka.

***

Di Gedung Kantor Bratadikara.

"Apa? Bagaimana bisa, Ros?" Tanya Lova pada asisten pribadinya yang baru saja melaporkan beberapa klien membatalkan kerja sama mereka.

"Entahlah, Bu. Mereka memutuskan semuanya secara sepihak."

Lova merasa kepalanya seperti akan meledak. Ia sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaan.

"Dalam dua hari ini, beberapa orang juga menarik sahamnya, Bu."

Satu kabar lagi yang membuatnya heran. "Kenapa bisa bersamaan begini, Ros?"

"Saya juga sedang mencari tahu, Bu."

"Dan alasan yang tidak masuk akal saya dapati adalah karena anda yang memimpin perusahaan."

"Saya?" Tanya Lova heran. Empat bulan ini ia menjalankan perusahaan dengan baik. Tidak pernah mengecewakan klien dan tidak pernah membuat kesalahan fatal.

"Anda dianggap tidak sekompeten Pak Brata dan tidak adanya Ken sebagai asisten anda juga menjadi alasan mereka, Bu."

"Oh.. my God!" Love menjatuhkan punggungnya di kursi kerjanya.

Bagaimana ia akan menyelamatkan perusahaan ini? Dan lebih buruk lagi, bagaimana jika ayahnya tahu kalau perusahaan sedang dalam masalah besar.

"Bu..." Clara, sekretarisnya masuk kedalam ruangan dengan terburu-buru.

"Ada apa, Cla?" Tanya Rosa yang terkejut karena Clara tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu. "Mengejutkan saja!"

"Bu, saya punya dugaan sementara kenapa klien kita semuanya mengundurkan diri."

"Apa?" Tanya Rosa dan Lova bersamaan.

"Ada perusahaan besar, sebuah grup perusahaan yang menawarkan kerja sama pada mereka."

"Keuntungan yang ditawarkan juga jauh lebih menarik minat para investor, Bu."

"Kamu tahu dari mana?" tanya Lova penasaran.

"Teman saya juga bekerja di salah satu perusahaan yang kliennya juga memutuskan kerja sama secara sepihak, Bu."

"Jam makan siang tadi, dia bercerita pada saya!"

Rosa dan Lova saling tatap. "Jadi, bukan cuma perusahaan kita yang mengalami hal ini, Cla?"

Clara mengangguk.

"Ros! Coba cari tahu!" Perintah Lova.

Rosa segera menuju meja kerjanya. Ia mencari tahu di berbagai sumber di internet. Clara sibuk mengangkat telepon masuk dari investor yang menanyakan kebenaran tentang perusahaan yang sedang tidak baik-baik saja.

"Bu, saya pusing!" Keluh Clara karena panggilan masuk tidak ada hentinya. "Saya harus mengatakan apa lagi pada mereka semua?"

"Tangani dulu, Cla. Saya juga sedang sibuk." Ponsel pribadi Lova juga terus berdering. Ia beberapa kali menjawab panggilan masuk dari rekan kerjanya.

"Dapat, Bu!" Rosa bisa diandalkan. Belum satu jam, ia sudah bisa mencari informasi mengenai perusahaan besar itu.

"Brak!" Pintu terbuka lebar. Ken dengan wajah memerah masuk secara tiba-tiba dan mengagetkan Lova dan Rosa.

"Maaf, Bu. Pak Ken memaksa masuk." Clara yang berada di belakang Ken tak bisa melarang pria itu. Clara menunjukkan ekspresi ketakutan.

"Biarkan Cla. Kamu kembalilah bekerja!" Lova sepertinya memang membutuhkan Ken untuk menyelesaikan masalah ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!