NovelToon NovelToon

Days After You

Bab 1 - Pernikahan

Aku memandang wanita yang perlahan melangkah menghampiriku, dengan gaun putih sederhana tanpa hiasan renda atau berlian yang mencolok dan wajahnya yang tertutup oleh kudung semi-transparan, dia berjalan didampingi ayahnya. Keduanya berjalan menyusuri lorong diantara barisan kursi yang terisi oleh dua keluarga besar yang akan dipersatukan hari ini.

Wanita yang berjalan sambil menggait lengan ayahnya itu bernama Stella, anak dari rekan bisnis ayahku yang karena sesuatu dan lain hal berakhir dijodohkan denganku. Seorang wanita yang polos, tidak begitu cantik, tidak berpenampilan menonjol, dan cenderung sederhana untuk seseorang yang terlahir dari keluarga berada seperti dikelasnya. Sebelum hari ini aku baru bertemu dengannya sekali, walau kudengar dia pernah beberapa kali berkunjung ke rumah kami tapi aku tak ingat pernah melihatnya. Aku hanya ingat pertemuan singkat kami di salah satu restaurant tiga bulan lalu yang diatur oleh kedua orang tua kami.

Hari itu, aku terlambat datang karena rapat di perusahaan selesai lebih lelet dari yang telah dijadwalkan, dan Stella jadi menunggu disana untuk waktu yang lebih lama.

"Maafkan aku karena terlambat, nona Stella. Rapatnya selesai lebih lama dari seharusnya."

"O-oh, tidak apa-apa. Aku juga baru sampai disini. Silahkan duduk."

Tidak mungkin aku bakal percaya ucapannya setelah mendapati dia lagi hendak memesan minuman keduanya bersamaan ketika aku tiba tadi, tapi aku tak mengatakan apapun tentang hal itu. Kurasa dia hanya ingin bersikap sopan tapi dia tidak pandai berbohong untuk itu. Sungguh...wanita yang polos.

Tak ada yang membuatku terkesan padanya selain dari fakta kalau dirinya begitu berbeda dari yang ada dalam ekspetasiku. Jangan salahkan aku, tapi aku juga pria yang punya selera sendiri untuk seorang wanita. Saat ayah bilang akan menjodohkanku dengan anak Pak Wesley—salah satu direktur cabang dari perusahaan grup keluargaku—aku membayangkan seorang wanita yang anggun, cantik dan kelihatan berkelas seperti yang biasa kutemui di pesta-pesta bisnis. Seorang wanita yang dapat mengimbangi argumentasiku dan yang kelihatan independen.

Stella, di lain sisi terlihat serupa tipikal wanita manja yang tidak begitu pintar dan akan selalu bergantung pada orang di sekitarnya dari cara dia berpakaian yang kekanakkan dan sikap yang tidak anggun. Dia cukup ceroboh dengan tangannya dan kadang berbicara terlalu kecil untuk bisa kudengar dengan jelas. Aku gelisah saat membayangkan harus menghabiskan hidupku dengan seseorang sepertinya. Syukurlah telepon dari Rio asistenku yang mengabarkan akan diadakan rapat dadakan untuk membahas beberapa masalah aset perusahaan menyelamatkanku dari pertemuan yang membosankan itu.

"Luiz, bagaimana pertemuanmu dengan Stella? Kalian bakal segera menikah, sering-seringlah bertemu dengannya diwaktu luangmu supaya kalian bisa saling lebih mengenal lagi," ucap ayahku di akhir rapat, namun aku tak begitu menghiraukannya selain dari memberi respon properku padanya. Begitu, kedua kalinya aku bertemu Stella barulah pada hari ini.

Aku tidak menyukai Stella. Aku yakin dari dulu dan masih yakin hingga saat ini. Ketika Stella dan ayahnya tiba dihadapanku dan aku mengulurkan tangan untuk meraih telapak tangan mungil itu dari ayahnya yang menangis terharu, aku diam-diam membuat perjanjian dipikiranku untuk mengakhiri ikatan ini cepat atau lambat. Empat tahun. Harusnya itu waktu yang cukup untuk memuaskan keluarga kami dan meyakinkan mereka kalau pernikahan ini bukanlah yang terbaik bagi kami.

Stella hampir terjatuh saat menaiki tangga karena terantuk gaunnya sendiri dan tanganku refleks memeganginya lebih erat. Aku tersentak dan segera mengesampingkan pikiran-pikiran sebelumnya di benakku. Badan Stella terasa jauh lebih berat dari yang terlihat atau mungkin itu karena gaunnya? Entahlah.

"Hati-hati..." bisikku.

"...Ah, terima kasih, maaf aku sangat gugup," dengan tawa gugup, Stella mengangkat kudung yang menutupi wajahnya untuk menatapku. Aku bisa mendengar seruan ibuku segera setelahnya yang menyuruhnya untuk menutup wajahnya kembali dan dia yang terkejut langsung menarik kudungnya sampai-sampai membuat mahkota dipuncak kepalanya miring karenanya.

Beberapa undangan tertawa dan aku hanya bisa menghela napas sambil membantu Stella berdiri di sebelahku. Tiba-tiba saja tubuhnya menjadi sangat tegang dan kaku ketika prosesi dimulai. Lenganku yang dipegang sedikit terlalu erat olehnya juga terasa sedikit tak nyaman. Kuharap semua ini cepat berakhir.

Prosesi pernikahan diluar dugaan berlalu cukup lancar, kecuali dari Stella yang sempat terbata waktu mengucap janji dan hampir menjatuhkan cincin, semuanya berjalan seperti yang telah direncanakan. Aku bersikap layaknya seorang pria yang baik dan terlihat sesantai mungkin, bahkan ketika kami telah dinyatakan sebagai pasangan suami istri sah dan aku dipersilahkan untuk mencium sang pengantin wanita, aku masih terlihat tenang.

Stella menatapku begitu lekat, bola matanya membesar seiring wajahku mendekati miliknya. Aku teringat dengan video kucing yang pernah kulihat akibat Rio asistenku tak sengaja salah mengirimnya kepadaku dulu dan aku sungguh ingin tertawa karenanya.

"...Tutup matamu."

"O-oke."

Stella menutup matanya erat-erat, namun alih-alih menjadi lebih baik, ekspresinya menjadi dua kali lebih menggelikan dengan alisnya yang ditekuk dan pipinya yang dikembungkan seolah sedang menahan napas sekuat tenaganya. Astaga, sekarang dia terlihat seperti ikan kembung.

Tak tahan, akupun berbisik lagi, "Kau tak perlu menahan napas sampai seperti itu, kau tahu kan?"

"Ah?"

Takut ekspresiku akan terlihat aneh juga, aku segera mendaratkan bibirku ke bibirnya. Bersamaan dengan itu, sorak dari keluarga terdengar memenuhi gereja tapi perhatianku untuk sesaat hanya terpusat pada bibir lembut Stella. Aku menghitung hingga lima sebelum melepaskan tautanku. Stella tersenyum tipis dengan wajah yang memerah dan aku hanya bisa membalasnya dengan seulas senyum yang sama karena untuk beberapa alasan wajahku pun terasa hangat selepasnya. Dia tidak terlihat secantik atau semempesona itu dalam gaun pernikahannya, tapi dia tetaplah wanita dan ini adalah pertama kalinya aku melakukan kontak yang begitu dekat dengan wanita terlebih menciumnya.

Pada hari yang sama, aku dan Stella juga melalui rangkaian acara pesta resepsi yang begitu melelahkan. Aku sudah bilang untuk tidak mengundang terlalu banyak orang dan membuat pestanya lebih privat tapi tentu saja keluargaku dan Stella tidak mendengarkan itu dan malah mengundang dua ratus lebih orang yang juga termasuk kenalan biasa atau pegawai kantor yang tidak pernah kukenal. Alhasil aku dan Stella harus berdiri dan menyalami ratusan tamu yang datang sampai pegal.

"Bulu mataku terasa berat sekali," aku tak sengaja mendengar Stella bergumam.

Akhirnya setelah semua itu, aku dan Stella pulang ke apartemenku. Sebenarnya aku sempat bimbang antara membeli rumah baru atau tidak. Namun setelah mempertimbangkan rencanaku aku memutuskan kalau itu tidak perlu, lagipula apartemenku sudah lebih dari cukup untuk ditempati dua orang.

Sesuai rencana yang sudah kusiapkan dari beberapa hari lalu, pada malam pertama ini aku membawanya berbicara berdua akan kontrak yang hendak kuusulkan. Layaknya pada pertemuan pertama kami dulu, Stella mendengar semua yang kukatakan dengan seksama. Dia akan mengangguk ketika aku meliriknya seolah ingin mengindikasikan kalau ia masih terus mendengarkan apa yang kukatakan.

"Karena kau dan aku sama-sama korban perjodohan keluarga dan tidak saling cinta, aku mau mengusulkan kita hanya akan menjadi suami isteri diatas kertas untuk empat tahun. Aku takkan mengganggu kehidupan pribadimu dan begitu juga denganmu padaku. Saat cerai nanti aku akan memberikan uang ataupun properti seperti yang tertulis sebagai kompensasi padamu...kau setuju?"

Stella menilik kontrak yang ada di tangannya. Cukup lama hingga membuatku penasaran soal apa yang dia pikirkan.

"Aku tak keberatan..." kata Stella akhirnya, sudah kuduga dia juga ingin mengakhiri hubungan yang dipaksakan ini, terbukti dia tidak protes dengan ideku, "Tapi, kelihatannya pembagian properti ini lebih menguntungkan untukku?"

"Hm, itu tidak masalah, bagaimanapun kau juga ikut di seret ke dalam situasi ini oleh ayah dan kakek."

"Soal itu, ayahku juga terlibat untuk menyeretmu."

Aku mengangguk, "Kalau kau tak ada keberatan lagi, kau boleh tanda tangani surat itu."

Stella meraih pulpen dan baru ingin menggores permukaan kertas, ketika dia tiba-tiba mendongak kembali. Mata bulatnya melihat tepat ke milikku.

"Ada yang mau kau tanyakan lagi?" Tanyaku, sedikit merasa tak nyaman dengan cara dia menatap.

Stella mengangguk, terlihat ragu sebentar sebelum akhirnya bertanya, "Itu...boleh tidak jika aku panggil kau Luiz?"

Hah?

"Boleh kupanggil kau Luiz?" Mungkin Stella mengira aku tak mendengar pertanyaannya, jadi dia mengulangnya kembali namun dengan volume suara yang lebih besar. Pipinya memerah tapi matanya melebar dengan penuh ekspetasi.

Pikiranku kosong untuk beberapa detik. Luiz adalah nama panggilanku dan aku sebenarnya tak begitu peduli jika dia mau memanggilku dengan nama itu atau tidak. Aku hanya tak mengerti mengapa Stella tiba-tiba muncul dengan pertanyaan ini saat aku jelas-jelas sedang membicarakan perjanjian pernikahan kami. Mungkin dia memang hanya orang yang seperti itu dan aku takkan bisa mengerti jalan pikirannya sepenuhnya.

"Terserah kau saja."

Seulas senyum segera merekah di bibir Stella dan dia pun kembali menundukkan kepalanya untuk menandatangani lembaran dimeja.

"Itu saja? Tak ada lagi yang ingin kau tanyakan?"

"Tidak ada lagi,"jawabnya, mengangkat wajah sekilas dengan senyum yang masih sama.

Dia sangat riang. Aku serasa baru saja menikahi gadis muda walau umur kami hanya berjarak tiga tahun saja. Dia tidak cantik ataupun anggun, tapi dia kikuk, sedikit tidak mudah ditebak dan kadang ceroboh.

Sudah kuduga, aku dan dia tak cocok.

Aku tidak menyukainya. Aku tak bisa membayangkan diriku menyukainya.

Pernikahanku selama empat tahun ke depan, entah akan jadi seperti apa. Aku harap setidaknya tidak akan ada banyak masalah.

Ah, harusnya aku membuat kontraknya dua tahun saja.

Bab 2 - Pilihan Kakek dan Ayah

Namaku Gavindra Luiz Wilcolm. Biasa dipanggil Luiz tapi ada juga yang memanggil Gavin. Aku berumur dua puluh delapan tahun dan baru saja menikah seminggu lalu. Aku tak bisa menjelaskan jika kalian bertanya apa hari-hariku terasa berbeda sejak menikah, karena dua hari setelah pernikahan aku langsung berangkat keluar kota untuk melakukan perjalanan bisnis.

Istriku bernama Stella Putri Wesley. Tiga tahun lebih muda dariku. Dia adalah anak dari salah satu direktur cabang perusahaan keluargaku, Pak Wesley. Dia sangat jarang muncul dalam pesta-pesta bisnis atau acara gathering social lainnya, jadi informasi tentangnya sangatlah minim selain dari mengetahui status keluarganya. Yang aku dengar dari ayah, dia adalah wanita yang baik dan yang paling cocok untuk mendampingiku mengarungi bahtera baru di kehidupanku ini. Entah dari sisi apa dia melihatnya, namun kali ini kurasa ayah telah membuat pilihan pertamanya yang salah.

Perusahaan grup keluarga kami—Wilcolm Group—yang bergerak di bidang media dan elektronik bisa dikatakan sebagai salah satu yang terbesar dalam negeri. Dimulai dari kakek hingga ayahku yang memimpin sekarang, nilai perusahaan terus meningkat per tahunnya. Sejak kecil aku sudah dibentuk dan diajar untuk menjadi pewaris dari perusahaan, namun kalau melihat keambisiusan ayahku untuk prospek perusahaan ke depan, aku tahu kenaikan posisiku itu masih akan jadi wacana untuk beberapa tahun kedepan.

Setelah beberapa tahun menyelesaikan kuliah dan bekerja dari posisi pegawai biasa—ayah mau aku mulai dari bawah untuk menyesuaikan diri di perusahaan—sekarang aku telah mencapai posisi yang tepat berada dibawahnya yakni sebagai Direktur. Karena Ayah adalah Direktur Utama aku pun bertanggung jawab langsung padanya. Bukan perjalanan mudah untuk memuaskan ayah, dia selalu punya standar yang cukup tinggi dan selalu disiplin untuk segala sesuatunya, tidak terkecuali yang merangkup perihal anaknya.

Namun begitu, pria yang selalu ingin menuntut kesempurnaan itu malah memilih seorang wanita yang jauh dari kata itu untuk dinikahkan denganku. Entah apa yang membuatnya sangat terpincut oleh Stella. Jika itu soal status atau bisnis, ketahuilah masih banyak anak dari direktur cabang lain atau mungkin direktur perusahaan lain yang dalam opiniku lebih membawa keuntungan ketimbang ayah Stella.

Kakek juga sangat menyukai Stella. Aku berpikir dialah yang membujuk ayahku untuk menjodohkan Stella denganku. Hanya itu alasan yang paling tepat untuk saat ini. Di keluarga kami, ayah hanya tunduk pada satu orang dan itu adalah kakek. Kakek adalah pendiri perusahaan dan yang memulai semuanya dari nol, oleh karena itu opininya sangatlah krusial. Jika kakek bertitah A, sembilan puluh lima persen ayah akan menurutinya tanpa menentang apapun.

Masih jelas percakapan antara aku, ayah, juga kakek yang terjadi sekitar empat bulan lalu. Malam itu, aku yang kebetulan sedang pulang kerumah dipanggil ayah ke kamar kakek untuk mengobrol.

"Luiz, kau sudah tiba. Duduklah cepat. Kakek tak bisa berlama-lama bicara dengan kita," kata ayah saat aku baru saja selesai mengucap salam. Aku lantas segera mengambil tempat di kursi sebelah ayah.

"Apa sesuatu terjadi?" Tanyaku heran dengan suara pelan pada ayah. Jarang sekali bagi ayah dan kakek memanggilku hanya untuk mengobrol basa-basi, pasti ada udang dibalik batu.

Ayah tersenyum dan menepuk pundakku, "Ya sesuatu yang penting. Benar kan, Yah?"

"Hm...Sangat penting," Kakek mengusap-usap janggutnya, "Cu, berapa umurmu sekarang? Kau sudah bertumbuh sangat besar. Sangat besar, sangat besar."

"Dua puluh delapan, Kek."

"Dua puluh delapan...hm...sudah saatnya, sudah saatnya," ujar kakek dengan suara parau. Kakek punya kebiasaan untuk mengulangi kalimat akhirnya, jadi jangan heran jika pembicaraan singkat biasanya jadi sedikit lebih lama.

Aku yang tak mengerti lantas balik menatap ayah dengan penuh tanya. Ayah yang sangat jarang tersenyum, hari ini terlihat lebih gembira dari biasanya. Melihatnya menatapku dengan penuh perhatian lembut justru terasa asing dan aneh.

"Kami ingin kau segera menikah, Luiz," respon ayah dan kemudian ditimpali oleh kakek dengan 'menikah, menikah' sambil masih mengusap janggutnya tanpa henti.

Sebagai seorang yang dicanangkan akan mewarisi perusahaan, cepat atau lambat, aku selalu tahu waktu ini akan tiba juga. Aku tak pernah tertarik melibatkan diri dengan wanita, karena aku tahu pada akhirnya ayahlah yang akan menentukan siapa yang terbaik untuk dinikahkan denganku. Jika topik ini diangkat, dibanding ingin menentang, aku lebih penasaran dengan siapa aku bakal dipasangkan.

"Menikah? Dengan siapa?" Tanyaku.

"Dengan anak Pak Wesley, Stella, kau tahu dia kan?" Jawab Ayah.

"Hm...Stella, gadis yang baik, gadis yang baik."

Kedua alisku terangkat naik mendengar nama asing itu, "Aku tahu Pak Wesley, tapi aku tak tahu apapun soal anaknya. Aku belum pernah bertemu dia."

"Oh? Padahal aku ingat dia sudah beberapa kali mampir ke sini bersama ayahnya, saat kecil dia bahkan pernah bermain denganmu, kau tak ingat?"

Aku menggeleng. Aku sungguh tak ingat siapapun yang bernama Stella. Baik saat masih kecil hingga saat ini.

"Hm...kau belum mengenalkan mereka kembali, Martin?" Timpal kakek dengan nada kurang puas. Lipatan keriput pada keningnya bertambah dalam.

"Ah salahku. Aku pikir Luiz masih ingat dengan Stella," kata ayah, tertawa garing, "Tapi itu tidak masalah. Kau masih bisa berkenalan lagi dengannya nanti. Dia gadis yang baik seperti kata kakekmu tadi dan kami yakin dia adalah wanita yang cocok untuk mendampingimu."

"Iya...cocok sekali, cocok sekali."

"Aku akan mengabarimu lagi soal ini nanti. Saat itu tiba, luangkan waktumu untuk bertemu dan mengenal dia."

"Baik, ayah."

Malam itu, aku kembali meluangkan waktu sebelum tidur untuk mencoba mengingat sosok bernama "Stella" yang pernah kukenal dari memori lamaku. Namun tak ada yang berarti selain dari sebuah memori samar yang aku juga tak begitu yakin dengannya. Alhasil aku memilih untuk menyerah memikirkannya sampai saat aku bertemu dengan orang aslinya.

Sebulan kemudian, akupun bertemu dia.

"K-kau pasti sibuk sekali ya."

"Tidak juga. Aku hanya kebetulan ada rapat hari ini. Aku tidak bermaksud terlambat, maafkan aku sekali lagi."

"Oh tidak-tidak, sudah kubilang itu tidak apa. A-aku bilang itu dengan maksud memujimu. Kau pasti pekerja keras seperti yang ayahmu ceritakan."

"Oh."

"Iya..."

"Terima kasih kalau begitu."

"Sama-sama."

Aku tidak tahu ingin mengobrol apa dengannya karena atmosfirnya terasa canggung sekali. Dia terus tersenyum sambil menatapku tapi tidak mencoba mengatakan apapun lagi.

"Mm..."

"Ya?"

"Kau sendiri sedang sibuk apa—"

Saat itulah telpon dari Rio yang menyelamatkanku masuk. Aku tidak melanjutkan pertanyaanku lagi. Mungkin belum ada setengah jam aku duduk bersama dia disana dan aku memutuskan untuk pergi.

"Aku harus segera pergi, Nona Stella. Ada urusan penting lagi di kantor. Hm...aku akan membayar bill-nya. Sampai jumpa nanti."

"Oh...oke. Sampai jumpa, hati-hati dijalan."

Dulu aku berpikir dia akan memohon pada ayahnya untuk membatalkan semua perjodohan ini setelah kencan gagal itu, tapi ternyata dia tidak melakukan itu.

Aku cukup kecewa dengan pilihan ayah, aku berekspetasi bertemu dengan  seseorang yang 'lebih' namun Stella ketaranya tak lebih dari tipikal wanita yang selalu bernaung dibawah status ayahnya. Pemalu dan tidqk adq yang menangkap ketertarikanku. Tapi apa boleh buat jika dialah yang ayah dan kakek pilih, aku takkan menentang mereka. Aku tak suka mengundang masalah, jadi aku akan menjalaninya untuk saat ini.

Istriku yang begitu dipuji ayah dan kakek. Aku penasaran apa yang membuat dia begitu disukai mereka. Mungkin aku bisa sedikit menemukan alasannya dalam empat tahun pernikahan ini.

"Hah..."

Aku menghela napas panjang seraya menutup pintu kamarku yang bersebrangan dengan kamar tamu yang kini jadi kamar milik Stella. Di lantai bawah, hadiah-hadiah pernikahan yang belum dibuka juga hampir memenuhi seluruh ruang tamu. Apartemen yang dulu jadi tempat bernaungku sendiri, kini sudah ikut terisi dengan segala hal yang mengingatkanku akan keberadaan Stella.

Ini sudah benar-benar terjadi. Mulai sekarang, akan hidup bersama wanita ini.

Hanya empat tahun. Hanya empat tahun sampai saat perjanjianku dengan Stella akan berakhir dan kami bisa kembali ke hidup kami masing-masing seperti sedia kala. Yang kuperlukan hanyalah bersabar dan waktu itu akan segera tiba.

Stella. Bahkan namanya masih terdengar asing begitu keluar dari mulutku.

Bab 3 - Sarapan

Stella sungguh bukan wanita yang ada dibayanganku untuk menjadi isteriku. Semua tentang dia itu terlalu rata-rata dan jika tidak, dia itu aneh. Tingginya rata-rata, wajahnya rata-rata, pakaiannya rata-rata, dan dia juga ceroboh. Karena itu pernikahan kami pun tak seindah dan seharmonis milik orang lain.

Selama dua bulan awal setelah menikah, aku sebisa mungkin menghindari interaksi dengan Stella. Kami tidur di kamar yang berbeda dan aku bakal berangkat kerja pagi-pagi sekali sebelum dia bangun dan pulang larut malam saat dia telah tidur. Jika aku terlambat bangun karena habis lembur pada malam kemarinnya, aku akan menghindari ajakannya untuk sarapan bersama karena tak tahan memikirkan kecanggungan yang akan terjadi di meja makan nanti.

'Aku harus segera berangkat, sarapannya nanti saja' menjadi alasanku untuk menghindarinya. Sebenarnya kadang aku merasa buruk dengan melakukan itu, apalagi saat menyadari dia juga mulai berusaha bangun sepagi mungkin untuk bisa sempat membuatkan sarapan. Jika aku bangun jam enam, dia bakal bangun jam enam lewat lima dan jika aku bangun jam setengah lima, dia juga bakal bangun setengah lima.

Stella pernah membuatku kaget karena berdiri di depan pintu kamar mandi dengan rambut panjangnya yang masih acak-acakkan dan piyama merah mudanya yang sama berantakan.

"Oh..Pagi Luiz.." gumamnya lalu berlalu begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi. Aku perlu lima belas detik untuk memproses apa yang baru saja terjadi saat itu.

Aku tak bisa mengerti jalan pikiran Stella. Dia kadang melakukan hal-hal diluar nalarku. Suatu kali pada waktu pagi menjelang siang, saat aku kembali untuk mengambil flashdisk berisi data penting yang tertinggal, aku mendapati dia tidur dengan posisi membungkuk dengan tangan terentang ke depan di lantai seolah sedang menyembah sesuatu. Meski sedikit ragu, aku memutuskan untuk menghampirinya.

"Stella..." Panggilku, "Stella.."

"Stella bangunlah," Aku menggoyangkan bahunya pelan setelah panggilan saja tidak berhasil membangunkannya. Dia terbangun dan menggosok mata, namun wajahnya sudah terlanjur memerah karena aliran darah yang turun ke kepala. Aku jadi khawatir dia akan merusak otaknya kalau aku tidak kebetulan harus kembali dan menemukan dia saat itu.

"Kenapa kau tidur disini dan dengan posisi begitu?"

"Hah? Oh, Luiz...Bukan apa-apa, aku hanya ketiduran saat mau mencoba yoga tadi," ucapnya lalu tertawa kecil seolah tidak ada yang salah.

Bagaimana dia bisa tidur dalam posisi seperti itu, aku takkan pernah mengerti.

"Jangan begitu, itu tak bagus untuk aliran darah dan otakmu."

"Ah? Bukannya yoga itu bagus untuk tubuh dan pikiran?" Ucap Stella sambil menggaruk-garuk pipi.

"Bukan, aku bicara soal kau yang tertidur di posisi itu."

"Oh..."

Aku masih berusaha menghindari Stella hingga sekarang, namun pagi ini herannya dia tidak seriang biasanya. Waktu aku mulai beralasan lagi harus segera berangkat, alih-alih tersenyum dan mengangguk mengerti seperti yang kemarin-kemarin, dia malah menunduk dan menatap makanan di meja dengan murung. Ini bukan pertama kalinya tapi hari itu raut wajahnya terlihat tiga kali lipat lebih gelap dari yang sudah-sudah.

Langkahku sontak terhenti. Perasaanku dilema akibat merasa bersalah sudah menyinggung perasaannnya terus, selama beberapa saat aku menimbang tindakan yang harus kuambil sebelum pada akhirnya aku memilih menuruti nuraniku. Aku berdeham pelan.

"Sarapannya...jadikan bekal saja, aku akan makan di kantor."

Ekspresi murung Stella lekas bertukar menjadi gembira. Tubuhnya lantas bergegas menyiapkan bekal sementara aku memakai sepatu. Dengan samar aku bisa mendengar beberapa bunyi benda jatuh dari dapur.

...Kuharap aku mengambil keputusan yang tepat dengan ini.

Alhasil aku tiba di kantor sambil menenteng sebuah tas esktra selain dari tas laptop yang sering kubawa, Rio yang selalu membeli sarapan untukku dari kafetaria kantor sudah berdiri rapi di sebelah meja yang tertata dengan makanan. Aku melirik set makanan yang ada di meja sebelum meletakkan bekal dari Stella di sampingnya.

"Aku lupa mengabarimu, hari ini harusnya tidak perlu membeli sarapan," ucapku lalu menunjuk ke makanan di meja, "Semua itu kau saja yang makan."

"Saya pak? Semuanya?"

"Hm. Duduklah, makan bersamaku. Kau belum sarapan kan?"

Rio menatapku seolah sebuah keajaiban baru saja keluar dari mulutku. Sekarang kupikir, rasanya selama ini aku terlalu kaku sebagai seorang atasan. Walau aku selalu memastikan untuk tetap bersikap ramah pada semua pegawai, sepertinya itu belum memadai untuk meningkatkan relasi di antara aku dan mereka. Haruskah aku mentraktir mereka keluar sesekali?

"Wah terima kasih banyak pak!" Seru Rio.

Kembali ke sarapan, Stella, tak kusangka bisa memasak dengan cukup baik. Keraguan yang sempat melintas di benakku akibat mengingat kecerobohannya di dapur tadi berganti dengan rasa terkejut begitu membuka tutup bekal. Makanan yang dia siapkan lumayan simpel, hanya nasi, chicken katsu, tamagoyaki dan sedikit sayuran, tapi penampilan dan aroma yang menyerbak dari semua itu dapat lekas menggugah selera.

Bagaimana mungkin ini berasal dari tangan yang sama dengan tangan seorang Stella?

"Wah, pak, bekal anda kelihatannya enak sekali. Istri anda pasti pandai memasak," Rio memandang bekalku dengan penuh selera, dia secara natural tahu kalau Stella yang membuat semua ini. Tentu saja, siapa lagi, jika bukan isteriku yang membuatkanku bekal.

Aku mendongak sekilas, lalu mengangguk ke arah makanan di hadapanku, "Cobalah, kalau kau mau."

"Bolehkah pak? Makanan yang spesial dibuat oleh istri anda ini, bolehkah pak?"

Rio, kau berlebihan. Aku melempar pandang padanya namun dia sudah terlanjur terpincut dengan bekalku untuk menyadarinya.

"Iya, cobalah."

Soal makanan hal yang paling penting tetaplah rasa. Aku takkan terburu-buru berspekulasi hanya dari tampilannya yang menggugah, bagaimana jika rasanya justru sebaliknya? Aku butuh jaminan sebelum mencobanya.

Usai mendapat izin, Rio tanpa ragu menyendok sepotong katsu dari bekalku. Aku menilik wajahnya yang bertransformasi dari antusiasme ke terkejut dan berakhir dengan penuh apresiasi.

"Wah, ini enak sekali pak!" Rio menutup mulut dan melototiku seolah ingin menyampaikan seluruh perasaan yang dia rasakan dari gestur itu.

Melihat Rio makan rasanya bagai sedang menonton langsung acara makan-makan yang pernah tanpa sengaja kudapati Stella tonton di tv. Seenak itukah? Tidakkah dia sedikit terlalu berlebihan? Aku yang penasaran lantas ikut mengambil sendok dan mulai mencicipi untuk menilainya sendiri. Itu tidak mungkin sampai seenak itu...

Oh...

Oh...ini enak. Rio tidak berbohong. Tanpa kusadari, tangan dan mulutku terus bergerak untuk menyendok dan mengunyah semuanya. Mungkin salah satu faktor yang mempengaruhi adalah karena aku sudah lama tidak makan makanan rumah dan masakan Stella mengingatkanku pada yang biasa ibuku buatkan dulu. Dalam waktu kurang dari dua puluh menit, tempat bekal itu bersih tanpa sisa.

Rio juga menghabiskan makanannya dan kembali ke mejanya di luar ruang kerjaku. Selagi aku mengelap bibirku dengan saputangan, sebuah gagasan diam-diam menyelinap melewati benakku:

Aku harus sarapan di rumah sesekali untuk menjaga asupan sehatku.

Hm, sudah diputuskan. Bagaimanapun dalam pernikahan kontrak sekalipun harus ada yang namanya simbiosis mutualisme. Aku bekerja mencari nafkah untuk membeli bahan makanan, jadi sudah sepatutnya aku juga menikmati hasil akhirnya bukan?

Beberapa hari kemudian.

"Luiz, untuk sarapan hari ini aku buat menu khusus kentang! Ada sup kentang, tumis sosis kentang dan perkedel kentang. Duduklah-duduklah, aku akan mengambilkannya untukmu," sebelum bisa bereaksi, Stella menarik lenganku untuk duduk di meja makan. Aroma lezat muncul begitu dirinya mengangkat panci dari kompor.

Mulanya aku benar-benar cuma berniat untuk sarapan dirumah sesekali saja, tapi entah mengapa setiap pagi saat Stella memanggil di ujung tangga, aku tak bisa membawa diriku lagi untuk mengatakan alasan lama yang biasanya kugunakan untuk menghindari waktu sarapan. Wajahnya selalu menatap penuh harap dan adakalanya aku merasa telah dijebak oleh dia.

Aku tak menyukai Stella. Karena dia, aku tidak bisa lagi menikmati makanan di luar seperti sedia kala tanpa membandingkannya dengan yang biasa dia masak di rumah. Dia sudah merusak indera perasaku.

^^^ ^^^

...****************...

Bonus:

Rio: Selamat pagi, Pak Luiz! Seperti biasa, anda kelihatan semakin makmur!

Luiz:...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!