NovelToon NovelToon

Pohon Beringin (Many Hidden Secrets)

1. Firasat seorang ibu

 

Namanya Dimas Raharja. Dia bekerja sebagai seorang PNS yang di tugaskan bekerja di sebuah kantor pemerintahan. Dimas menjalankan pekerjaannya dengan baik selama tiga tahun terakhir ini.

Karena suatu alasan, Dimas harus di pindah tugaskan ke suatu tempat yang sama sekali belum Dimas kunjungi.

Belum ada seorang pun di sana yang Dimas kenal.

Tapi demi menjalankan kewajibannya, Dimas rela di pindah tugaskan oleh sang atasan.

Menurut desas-desus yang Dimas dengar, setiap mereka yang bekerja di kota yang akan Dimas datangi, mereka selalu tidak betah dan hanya mampu bertahan sampai dua atau tiga bulan saja.

Dimas juga tidak tahu pasti apa penyebab mereka semua tidak betah dan memilih dipindah tugaskan kembali.

“Dimas berangkat dulu ya, Pak, Bu. Doakan Dimas, semoga semuanya lancar,” ucap Dimas berpamitan dan memohon doa restu kepada kedua orang tuanya.

“Pasti, Dim. Pesan ibu hanya satu, jangan pernah kamu meninggalkan salat lima waktumu. Dan setiap sehabis magrib, sempatkan diri kamu untuk membaca Al-Quran,” ucap ibu Dimas menasihati.

Dimas mengangguk dan tersenyum. Dia akan berjanji dalam hati untuk tidak meninggalkan salat dan membaca Al-Quran setiap harinya.

Setelah salim dengan kedua orang tuanya, Dimas segera menaiki ojek online yang sudah dia pesan dan sedang menunggu dirinya sejak tadi.

Ibunya terlihat tidak rela melepaskan anaknya kali ini untuk pergi.

Tidak biasanya sang ibu merasakan hal yang tidak wajar seperti itu. Ada perasaan tidak nyaman dan khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak baik.

Namun, ibu Dimas selalu menggumamkan doa untuk anaknya yang sedang berjuang mencari uang untuk membantu perekonomian keluarganya.

“Perasaan Bapak mendadak tidak enak, Bu. Entah hanya perasaan Bapak saja atau ibu juga merasakannya?” tanya bapak Dimas kepada istrinya.

“Ibu juga merasakan hal yang sama. Tapi, ibu akan selalu berdoa semoga Allah SWT menjauhkan Dimas dari segala bahaya,” ucap ibu Dimas tulus mendoakan anaknya itu.

..........

Dimas telah sampai di suatu kota, tepatnya di provinsi Jawa Timur, setelah perjalanan jalur darat yang cukup memakan waktu lama.

Setelah turun dari bus, Dimas langsung di sambut oleh seseorang yang memang ditugaskan untuk mengantar dirinya sampai rumah dinas.

“Mas Dimas bukan?” tanya laki-laki paruh baya itu yang bisa Dimas perkirakan usianya sudah menginjak kepala empat.

“Iya, saya sendiri, Pak. Apa bapak ini, bapak Wongso?” tanya Dimas memastikan.

“Betul sekali, Mas. Ayo naik motor saya. Akan saya antar Mas menuju rumah dinas,” ucap pak Wongso ramah.

Dimas menurut. Dia menaiki jok belakang yang masih kosong. Setelah memastikan Dimas benar-benar duduk, pak Wongso segera melajukan motor bututnya menuju rumah dinas tempat Dimas akan tinggal.

Di perjalanan menuju rumah dinas, Dimas bisa melihat jalan raya yang begitu padat dipenuhi kendaraan.

Dimas hanya pasrah saat pak Wongso membawa motornya dengan ugal-ugalan karena menyalip kanan dan kiri.

Dimas sampai takjub dengan kemampuan pak Wongso mengendarai motornya.

Sangat lincah dan lihai.

Tidak berselang lama, akhirnya motor telah sampai di pelataran sebuah rumah yang masih berdinding bata merah dengan desain tradisional seperti rumah Tempo Doeloe.

Sangat luas dan besar sekali.

Jika di bandingkan dengan rumahnya, mungkin rumah dinas ini besarnya tiga kali lipat dari besar rumah kedua orang tuanya.

“Sudah sampai, Mas. Langsung masuk aja karena ada teman-teman yang lain juga di dalam. Kalau butuh apa-apa, tinggal pergi ke rumah saya aja yang berada di sana,” ucap pak Wongso sambil menunjuk salah satu rumah yang jaraknya mungkin sekitar seratus meter dari rumah dinas yang akan Dimas tinggali.

“Terima kasih ya, Pak. Kalau begitu, saya masuk dulu,” ucap Dimas kemudian dan akan melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah yang terdapat pintu gerbangnya itu.

Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat pak Wongso kembali memanggil dirinya.

“Ada apa ya, Pak?” tanya Dimas penasaran.

“Saya hanya ingin mengingatkan kepada mas Dimas untuk tidak duduk di teras depan di atas jam sebelas malam,” ucap pak Wongso sambil melirik ke arah pohon beringin yang memang sudah menjadi pusat perhatian Dimas sejak tadi.

Dimas mengikuti arah pandang pak Wongso yang menatap pohon beringin di depannya dengan tatapan yang tidak bisa di artikan.

“Kenapa memangnya ya, Pak?” tanah Dimas penasaran.

“Pokoknya jangan aja, Mas. Saya pergi dulu ya, Mas,” jawab pak Wongso yang masih enggan memberitahu alasannya.

Dimas mengangguk mengizinkan pak Wongso untuk pulang ke rumahnya.

Hari sudah semakin gelap dan waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

Dimas segera melangkahkan kaki menuju ke dalam rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya selama mengurusi pekerjaannya.

Sebelum benar-benar masuk, Dimas menyempatkan diri untuk melihat satu kali lagi pohon beringin yang daunnya lebat, banyak akar yang menggantung, dan pohon tersebut tidak terlalu tinggi.

Terlihat menyeramkan pada malam hari.

Bulu kuduk Dimas seketika merinding. Entah itu reaksi apa, Dimas juga tidak tahu.

Lebih baik Dimas segera masuk dan melaksanakan salat isya.

Dimas mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum benar-benar masuk.

Tok. Tok. Tok.

Tidak berapa lama, ada seseorang dari dalam yang membukakan pintu untuk Dimas.

“Selamat datang,”

Dimas langsung terlonjak kaget saat mendengar bisikan suara wanita yang entah dari mana asalnya.

Dimas melihat sekitar dan tidak di temukan siapa-siapa di sekitar sini.

Dia sampai berbalik badan untuk memastikan bahwa barusan ada yang berbicara kepadanya.

“Sudah datang?” ucap seseorang dari dalam rumah.

Lagi-lagi Dimas terlonjak kaget karena suara seseorang dari dalam rumah yang lumayan kencang lengkap dengan suara baritonnya.

Sangat berbeda dengan suara yang baru saja Dimas dengar.

“Eh, hai Mas. Saya Dimas ....”

“Aku sudah tahu kok, ayo masuk, Dim,”

Ucap Dimas terpotong oleh orang tersebut.

Dimas menurut, dia masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya.

“Perkenalkan, namaku Satrio. Aku juga tinggal di sini bersama salah satu temanku yang bernama Riko. Kita akan tinggal di sini bertiga,” ucap seseorang bernama Satrio tersebut bermaksud menjelaskan.

“Iya, Mas Satrio. Senang bertemu Mas Satrio,” jawab Dimas sambil tersenyum.

“Panggilnya tidak usah pakai mas, Satrio saja. Umur kita kayaknya sama,” ucap Satrio lagi dengan ramah.

“Baiklah Satrio.” jawab Dimas mengerti.

Setelah itu, Dimas di antar menuju kamarnya oleh Satrio.

Setelah Satrio pamit untuk kembali ke kamarnya, Dimas mengangguk mengizinkan dan segera mencari sajadah untuk melaksanakan salat isya.

Beruntung, ada kamar mandi di dalam kamar yang Dimas tiduri. Jadi, Dimas tidak perlu mencari kamar mandi di luar kamar lagi.

Setelah mengambil air wudu, Dimas segera menggelar sajadah dan melaksanakan kewajibannya kepada Allah SWT.

 

2. Kejadian aneh

 

Keesokan harinya, Dimas terbangun tepat pukul empat pagi. Sudah seperti alarm, Dimas selalu terbangun pada jam-jam seperti itu.

Setelah membuka matanya lebar-lebar dan mengumpulkan nyawa sebanyak-banyaknya, Dimas segera berjalan ke kamar mandi untuk berwudu dan membersihkan diri dengan mandi.

Saat sedang membasuh dirinya di bawah pancuran shower, Dimas merasa ada yang sedang mengawasi dirinya dari segala arah.

Dimas mematikan shower dan menatap sekeliling.

Nihil.

Dia tidak menemukan siapa-siapa.

Dimas berpikir sejenak.

“Mungkin ini cuma perasaanku aja,” monolog Dimas pada dirinya sendiri.

Akhirnya Dimas memilih melanjutkan ritual mandinya lagi hingga selesai.

Setelah selesai, Dimas melilitkan handuk di pinggangnya.

Kemudian Dimas berjalan menuju wastafel untuk menggosok giginya terlebih dahulu.

Saat ingin mengambil pasta gigi yang tergeletak di pinggiran wastafel, tiba-tiba pasta gigi tersebut bergeser sendiri.

Dimas masih berusaha untuk berpikir positif. Dia kembali mengambil pasta giginya itu, lagi-lagi pasta gigi itu berpindah sendiri.

Dimas kemudian celingukan ke sana ke mari untuk mengecek apa ada orang di dalam kamar mandi selain dirinya.

Setelah menarik dan menghembuskan nafasnya, Dimas mencoba untuk mengambil pasta gigi itu kembali.

Saat tangannya berhasil menyentuh pasta gigi tersebut, di saat bersamaan, Dimas merasa ada tangan lain yang juga menyentuh punggung tangannya.

Dimas langsung tersentak dan mundur beberapa langkah.

Nafasnya terdengar memburu. Dimas tidak percaya dengan kejadian yang baru saja dia alami.

Dimas memepetkan tubuhnya pada tembok dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Tidak ada siapa pun selain dirinya.

Dimas mulai tahu bahwa dirinya sedang diganggu oleh makhluk tak kasat mata.

Saat pandangannya jatuh pada cermin di depannya, Dimas membelalak tak percaya, tubuhnya bergetar menahan takut karena melihat sosok berambut panjang dan berpakaian serba putih sedang berada tepat di atas kepalanya.

Posisi sosok itu merayap seperti cecak.

Kemudian terdengar suara tertawa menggelegar di seisi kamar mandi.

Hahahaha!!

Hahahaha!!

Makhluk tersebut merayap ke sana ke mari dan berhenti di langit-langit kamar dengan posisi menatap Dimas.

Bisa Dimas lihat wajah makhluk tersebut begitu menyeramkan dengan wajah rusak dan salah satu matanya keluar dan menggantung di depan wajahnya.

Dimas menutup telinga dan matanya rapat-rapat.

Karena tidak mungkin berdoa di dalam kamar mandi karena itu merupakan suatu larangan dari Allah SWT, Dimas memilih melafalkan doa di dalam hati.

Berbagai macam doa pengusir makhluk halus berusaha Dimas lafalkan dengan tubuh yang bergetar hebat.

Hingga perlahan, suara tertawa itu berubah menjadi suara tangisan merintih yang menyayat hati.

Dimas terus melafalkan doa yang dia bisa dan hafal. “Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa naum. Lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ardli man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa biidznih, ya’lamu maa baina aidiihim wamaa kholfahum wa laa yuhiithuuna bisyai’im min ‘ilmihii illaa bimaa syaa’ wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardlo walaa ya’uuduhuu hifdhuhumaa wahuwal ‘aliyyul ‘adhiim.”

Setelah selesai melafalkan ayat tersebut, suara-suara yang tadi ada kini sudah tidak terdengar lagi.

Bersamaan dengan itu, suara azan subuh mulai terdengar dari masjid dengan pengeras suara.

Dimas akhirnya membuka matanya yang sudah mengembun karena rasa takut yang mendera di hatinya. Ya, Dimas menangis.

Seharusnya Dimas tidak boleh takut, tapi ini merupakan kejadian pertama yang Dimas alami, yaitu bisa mendengar dan melihat makhluk halus itu sendiri.

Setelah menguasai dirinya kembali, Dimas segera mengambil air wudu dan keluar dari dalam kamar mandi.

Setelah memakai pakaian lengkap, Dimas segera menjalankan kewajibannya pagi itu sebagai umat muslim.

*

“Selamat pagi, Satrio, Riko,” sapa Dimas untuk pertama kali di meja makan.

“Selamat pagi, Dimas. Bagaimana tidurnya? Nyenyak?” tanya Satrio memastikan.

“Nyenyak kok, Sat,” jawab Dimas yang memang tidak berbohong.

Setelah sarapan selesai, mereka berangkat ke kantor pemerintahan bersama dengan mengendarai mobil yang memang sudah di siapkan khusus untuk pegawai di sana.

Saat akan melewati pohon beringin, tubuh Dimas tiba-tiba merinding.

Entah mengapa Dimas selalu merinding saat melewati pohon beringin tersebut.

Dimas menatap pohon beringin itu sekali lagi sebelum dirinya benar-benar pergi dari sana.

Tidak ada yang aneh sedikit pun. Tapi, Dimas selalu merasa ada sesuatu dengan pohon beringin tersebut.

“Kenapa Dimas? Kok malah melamun?” ucap Riko yang berhasil menyentak lamunan Dimas akan misteri pohon beringin yang ada di depannya.

“Eh! Ayo berangkat sekarang saja!” ajak Dimas yang di angguki oleh kedua temannya.

Sesampainya di kantor, Dimas menyapa ramah kepada setiap orang yang berpapasan dengan dirinya.

Setelah sampai, Satrio memberitahukan di mana meja yang akan Dimas tempati sebagai tempat bekerjanya.

Meja Dimas dengan kedua temannya tidak terlalu jauh. Sehingga Dimas bisa bergabung lebih dulu dengan mereka karena belum mengenal satu pun di antara pekerja lainnya.

“Karyawan baru yang dari luar kota ya?” sapa seorang perempuan yang panjang rambutnya hanya sebahu itu.

Dimas mengangguk dan tersenyum ramah untuk menjawabnya.

“Perkenalkan, nama saya Clarissa,” ucap perempuan tersebut sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Dimas tersenyum dan membalas uluran tangan tersebut.

“Saya Dimas. Senang bisa mengenal kamu,” ucap Dimas ramah.

Perempuan itu tersenyum dan meminta izin untuk kembali ke mejanya. Setelah Dimas mengangguk, perempuan itu ternyata duduk di sebelah meja yang Dimas tempati.

Saat pandangannya masih fokus menatap Clarissa, tiba-tiba ada suara bisikan lagi yang terdengar di telinga Dimas.

“Bunuh dia!” ucap suara bisikan tersebut.

Dimas sangat mengenali jika itu bukan suara dari salah satu temannya.

Dimas memejamkan matanya sebentar dan menghembuskan nafasnya dengan kasar.

Dimas mencoba untuk kembali menatap Satrio yang ada di sebelahnya namun, “Aargh!” Dimas memekik kaget hingga terjatuh ke lantai karena bukan Satrio yang Dimas lihat.

Dimas sampai menjadi pusat perhatian para pegawai yang berada di ruangan tersebut. “Kamu kenapa, Dim? Kamu kaya lihat hantu saja sampai ketakutan seperti itu,” tanya Satrio sambil berniat membantu Dimas untuk berdiri lagi.

Dimas diam untuk mencerna kejadian aneh yang dirinya alami lagi.

“Mengapa di sini aku banyak sekali melihat ‘mereka’? Padahal dulu aku tidak pernah melihatnya,” monolog Dimas pada dirinya sendiri.

“Kamu nggak papa kan, Dim? Dimas? Woy!?” sentak Satrio lagi karena tak kunjung mendapat jawaban.

Dimas langsung tersentak dari lamunan dan menggeleng lemah sebagai jawaban.

Dimas melihat sosok yang tadi pagi Dimas lihat di dalam kamar mandi.

wajahnya yang rusak dan salah satu matanya yang keluar itu berhasil membuat Dimas bergetar hebat.

Apalagi wajah sosok tersebut begitu dekat dengan wajahnya. matanya yang menggantung sedikit lagi akan menempel di wajah Dimas.

Seketika Dimas mengusap wajahnya takut-takut ada darah yang tertinggal di wajahnya karena hampir menempel mata sosok itu yang keluar dari tempatnya.

"Kamu kenapa Dimas? nggak ada apa-apa kok di wajah kamu," ucap Satrio kebingungan saat melihat Dimas seperti menghapus kotoran di wajahnya.

Dimas menggeleng lagi dan masih enggan untuk menceritakan kejadian yang dirinya alami.

Dimas jadi bertanya-tanya, apakah cuma dirinya yang dihantui makhluk tak kasat mata itu?

Apa Satrio dan Riko tidak mengalami hal yang dirinya alami?

 

3. Sosok wanita berkebaya

Dimas sedang melaksanakan salat magrib berjamaah di masjid yang dekat dengan rumah dinas.

Dimas sengaja salat di masjid untuk menenangkan diri. Dia belum ingin menceritakan masalahnya kepada kedua temannya.

Dimas khawatir mereka akan takut dan yang lebih parahnya lagi, kedua temannya itu tidak percaya dengan apa yang dirinya lihat.

Setelah pulang dari masjid, Dimas tidak langsung pulang melainkan mampir dulu ke rumah pak Wongso.

Setelah sampai, Dimas langsung mengetuk pintu rumah pak Wongso. Tidak berapa lama, terdengar bunyi pintu dibuka dari dalam.

Ceklek.

Pintu terbuka dan menampakkan pak Wongso dengan lilitan sarung di pinggangnya.

Bisa Dimas duga, pak Wongso habis melaksanakan salat magrib pastinya.

“Assalamualaikum, Pak ....” sapa Dimas untuk pertama kali.

“Waalaikumsalam Mas Dimas. Ayo masuk, Mas,” ajak pak Wongso pada Dimas.

Dimas menurut dan masuk ke dalam rumah pak Wongso. Dia mendudukkan dirinya di kursi rotan yang berada di ruang tamu rumah pak Wongso.

“Ada apa ya, Mas? Kok tiba-tiba ke sini?” tanya pak Wongso penasaran.

“Saya mau tanya tentang pak Wongso yang tidak memperbolehkan saya untuk duduk di teras di atas jam sebelas malam, itu maksudnya bagaimana ya, Pak? Mengapa tidak boleh begitu?” tanya Dimas langsung ke intinya.

Pak Wongso tampak gugup setelah mendapat pertanyaan tersebut.

“Saya tidak bisa bercerita, Mas. Kalau saya bercerita, itu tidak akan baik untuk diri saya sendiri,” jawab pak Wongso sambil mengedarkan pandangan menatap sekeliling.

Pak Wongso bertingkah seolah-olah ada yang mengawasi dirinya.

Kebingungan Dimas semakin bertambah. Namun dia tidak akan memaksa pak Wongso untuk bercerita jika itu akan membahayakan keselamatan pak Wongso sendiri.

“Bisakah bapak kasih saran ke saya, harus apa lagi?” tanya Dimas lagi.

“Apa mas Dimas sudah mendengar bisikan-bisikan?” tanya pak Wongso lirih sambil mendekatkan tubuhnya agar lebih dekat lagi dengan Dimas, berharap tidak ada orang lain yang mendengar ucapannya.

Dimas terlihat kaget karena pertanyaan pak Wongso sudah dia alami.

“Saya diganggu sama bisikan itu,” ucap Dimas yang suaranya memelan.

“Saya tidak bisa membantu apa-apa, tapi saran saya, Mas Dimas harus berhati-hati,” ucap pak Wongso menasihati.

*

“Dimas ke mana sih, Sat?” tanya Riko yang menyadari bahwa Dimas sedang tidak berada di rumah.

“Lagi salat magrib di masjid, katanya sekalian mau mampir ke rumah pak Wongso,” jawab Satrio memberitahu tentang keberadaan Dimas.

“Ada perlu apa ke sana memangnya?” tanya Riko lagi belum menyerah.

Satrio hanya mengangkat bahu sebagai jawaban bahwa dirinya juga tidak tahu menahu alasan Dimas pergi ke rumah pak Wongso.

“Menurut aku, sikap Dimas sejak pagi tuh, kaya aneh banget. Masa lihat muka kamu, dia sampai berteriak kencang begitu,” ucap Riko yang mulai mengeluarkan semua yang ada dalam pikirannya.

“Aku juga heran. Apa muka aku sangat tamvan? Aku sadar, kalau aku memang babang tamvan. Dari depan aku tamvan, dari belakang aku tamvan, dari mana-mana aku tetap tamvan,”

Satrio terus mengoceh dengan percaya diri memuji dirinya sendiri.

Riko sama sekali sudah tidak mendengarkan apa pun yang Satrio ucapkan. Fokusnya sekarang ini adalah Dimas yang sedang berdiri di teras dan terlihat menatap ke arah pohon beringin.

Riko terus memperhatikan apa yang akan Dimas lakukan selanjutnya.

Saat Riko melihat Dimas seperti akan berjalan mendekati pohon beringin dengan langkah pelannya, Riko langsung berlari untuk mendekati Dimas.

Riko sudah tidak memedulikan Satrio yang berteriak memanggil dirinya dan mengumpati dirinya karena tidak menanggapi ucapannya.

*

Dimas sudah berada di teras rumah dinas. Dia masih enggan masuk ke dalam karena mempunyai satu tujuan, yaitu memecahkan misteri tentang sosok wanita yang mengikutinya dengan pohon beringin di depannya.

Dimas merasa, keduanya ada sangkut pautnya.

Siapa tahu dengan Dimas melihat lebih dekat lagi pohon beringin itu, dia akan menemukan petunjuk di sana.

Dimas berjalan pelan mendekati pohon beringin yang terlihat menyeramkan pada malam hari tersebut.

Apalagi penerangan yang begitu minim karena lampu teras rumah dinas yang berwarna kuning, bukan putih, membuat suasana semakin mencekam.

Tinggal tiga langkah lagi Dimas mencapai pohon beringin itu, tiba-tiba saja ada yang menepuk punggungnya dari belakang.

“Allahu Akbar!”

“Allahu Akbar!”

“Astagfirullah, astagfirullah!”

Dimas memekik kaget dengan menyebut nama Tuhannya.

“Ini aku, Dimas!” ucap Riko yang sengaja menghampiri Dimas yang sedang berjalan mendekati pohon beringin.

Riko melihat tatapan yang tidak biasa dari temannya itu saat melihat pohon beringin di depannya.

“Bikin kaget saja sih, Rik.” ucap Dimas setengah kesal.

“Ya lagian, kamu malam-malam seperti ini malah berdiri di sini,” jawab Riko beralasan.

Setelah itu, tiba-tiba hujan deras mengguyur dua manusia yang sedang berdebat itu.

Dimas dan Riko segera berlari masuk ke dalam rumah agar tidak kehujanan.

Setelah pintu rumah ditutup, di bawah pohon beringin itu telah berdiri sesosok wanita berambut sebahu lengkap dengan baju tradisionalnya, yaitu baju kebaya.

Sosok itu menatap ke arah Riko dan Dimas dengan tatapan yang kosong dan wajahnya terlihat pucat pasi.

Flashback on.

Tadi, saat Riko tergesa-gesa berlari mengejar Dimas adalah bukan tanpa alasan.

Melainkan, Riko sudah melihat bahwa ada seorang wanita berkebaya yang selalu dirinya lihat setiap kali berangkat dan pulang bekerja.

Riko tahu bahwa dia bukan manusia melainkan makhluk dari dunia lain.

Riko takut makhluk itu akan menganggu Dimas karena Riko sudah memerhatikannya sejak Dimas datang ke rumah yang sekarang dirinya tinggali.

Sosok wanita itu selalu memperhatikan Dimas saat berangkat dan pulang bekerja.

Ketika langkah Dimas kurang tiga langkah lagi menuju pohon beringin, sosok tersebut masih saja menatap datar ke arah Dimas dan dirinya.

Hingga Riko memilih untuk menepuk pundak Dimas agar tidak lagi mendekati pohon beringin tersebut.

Nyatanya, usahanya berhasil membuat Dimas gagal mendekati pohon beringin tersebut.

Flashback off.

"Kamu ngapain berjalan mendekati pohon beringin itu?" tanya Riko mulai menginterogasi.

Dimas tampak terdiam memikirkan jawaban apa yang akan dia berikan. Dimas masih ragu untuk menceritakan kejadian yang di alaminya itu kepada kedua temannya.

"Cuma penasaran aja, kalau aku melihat pohon beringin itu, rasanya kaya menyimpan sebuah misteri," ucap Dimas tidak sepenuhnya bohong.

Riko bisa bernafas lega karena Dimas tidak melihat sesosok wanita yang sedang berdiri di bawah pohon beringin itu.

"Memang penuh misteri. aku aja yang melihat setiap hari, tetap aja merinding kalau melewatinya," ucap Satrio yang ikut menyahut dengan pembicaraan Riko dan Dimas.

"Berarti bukan cuma aku yang merasa bahwa pohon beringin itu seperti menyimpan sebuah misteri?" tanya Dimas berbinar karena menemukan teman yang mempunyai insting yang sama.

"Kalau kamu bagaimana, Rik?" tanya Satrio yang melihat Riko hanya terdiam.

Riko tampak menatap kedua temannya secara bergantian sebelum menjawabnya.

"Memang banyak misteri yang tersimpan di dalam pohon beringin itu,"

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!