#Mengejar Cinta Suamiku part 1 (Mengikhlaskannya)
Aku pulang..
Tanpa Dendam..
Kuterima kekalahanku..
Aku pulang tanpa dendam..
Kusalutkan kemenanganmu..
Kau tunjukan aku bahagia, kau tunjukan aku derita..
Kau berikan aku bahagia, kau berikan aku derita..
Lagu Sheila On7 ini mengalun merdu dari radio HP di kamarku, seolah memahami apa yang terpendam di hati.
Ya, wanita yang kucintai hari ini menikah. Dia lebih memilih lelaki yang mapan meski baru sebulan berpacaran dengannya di belakangku. Seolah tiga tahun kebersamaan kami tak ada arti apapun untuknya.
Sakit? Sangat!
Ingin rasanya aku meninju tepat pada hidung mancung lelaki yang bersanding di pelaminan itu dengannya hari ini. Ah, tapi aku urungkan niat itu demi harga diri.
Apa jadinya jika si lelaki karyawan pabrik ini mencari masalah dengan managernya sendiri? Sudahlah! Percuma aku melampiaskan segala kekesalan ini, toh mereka sudah terikat janji suci.
Apa untungnya buatku? Apapun yang kulakukan tidak akan mengubah apapun, kecuali membuat aku di pandang lebih rendah lagi.
Drrrrttt...drrrttt...drrtttdrtt
HP-ku bergetar menandakan pesan masuk.
*"Mas Rizki, sungguh aku sangat meminta maaf atas semua yang aku lakukan padamu. Ki, sudah dari kecil aku hidup susah. Jika ibuku bisa dikendalikan cinta hingga di hari tuanya dia sibuk banting tulang untuk makan, aku tidak demikian! Aku ingin hidup lebih baik dari ibuku dan ini pula aku lakukan untuk ibu, agar sedikit banyak, aku bisa menopang kehidupannya. Sedangkan denganmu, aku tidak yakin bisa mewujudkan hal tersebut.
Sekali lagi, aku sungguh minta maaf, semoga suatu hari, kamu bisa mendapatkan wanita yang bisa menerima kamu apa adanya, dan menyayangi kamu melebihi aku.
Terimakasih untuk semua kenangan manis yang sudah kamu tanam dalam hidup aku. Dan, terimakasih sudah menjadikan hari-hariku lebih berwarna.
Kamu, salah satu orang penting dalam hidup aku. Dan aku berharap, kelak wanita yang menggantikanku pun memiliki rasa yang sama sepertiku, sesayang aku padamu, Ki."*
Usai membaca pesannya, hatiku bergemuruh. Rasa sesak itu seperti menekan seluruh bagian jantung.
Kubanting gawai tersebut, sampai layar pada benda pipih itu retak dan mati total. Tapi, aku sama sekali tidak peduli! Rasanya, darahku seperti mendidih. Sebisa mungkin aku meredam emosi. Jika dipikirkan kembali, memang benar yang dia katakan. Aku hanyalah karyawan biasa, pria kampung yang merantau di kota dengan besaran gaji UMR setempat. Sedangkan Ibu dan Bapakku hanyalah seorang petani.
Apa yang bisa aku janjikan untuk wanita berparas cantik bak putri Indonesia itu? Dia bisa memilih seperti apa lelaki yang dia mau, karena wajahnya memang mempunyai modal untuk itu.
Bodohnya, seperti tidak mengukur kain pada pakaian sendiri, aku yang dengan percaya diri bisa membahagiakannya ternyata salah besar.
Aku tidak sekufu dengannya. Materiku tidak bisa mengikuti gaya hidupnya. Wajar saja, jika dia lebih memilih pria yang lebih mapan dariku.
Meski berat, akan kucoba untuk melupakannya. Menutup rapat segala kenangan yang sudah kami rangkai bersama.
Bagaimana pun, kehidupan akan terus berjalan meski ada atau tanpa kehadirannya. Akan kucoba memperbaiki diri agar Tuhan memberi ganti yang sesuai dengan keadaan ini.
Aku tahu ini tidak akan mudah, namun aku tidak bisa terus terpaku pada masa lalu. Sheila, namamu akan terus kuingat, cinta pertamaku dengan segala kenangan manis, namun sayang Tuhan tidak mentakdirkan kamu menjadi milikku.
...***...
"Woi, Ki. Lu baik-baik aja kan? Gua denger Sheila kemarin nikah ya? Pantes lu sampai kacau gini. Sabar ya, Ki"
Suara Ajis membangunkan pagi ku yang tidak secerah dulu. Dia adalah teman kosan yang baik, namun sedikit cerewet. Hari ini, dia baru kembali dari kampung halamannya di Bandung.
Aku jamin, jika kemarin dia ada disini, pasti seharian akan menghiburku dengan segala cara. Namun sayang, dia ada kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan, jadilah semalaman suntuk aku bisa menangisi perpisahan dengan Sheila tanpa gangguannya.
"Iya, bukan jodoh Jis." sahutku dengan mata dan kepala yang masih berat akibat tangisan semalam.
"Gua yakin, lu pasti bakal dapet yang lebih baik lagi. Dan, lagian menurut gua, Sheila tuh nggak cocok deh sama lu, Ki" timpalnya sambil menepuk bahuku. Akupun menoleh dengan tatapan heran kepadanya.
"Kenapa emangnya? Karena gua miskin?" jawabku
"Bukan. Karena lu terlalu ganteng buat dia" ujarnya dengan menggerakkan kedua alis. Sontak aku pun tersenyum mendengar guyonannya. Aku tahu ini hanya salah satu cara Ajis menghiburku.
Bagaimana pun, faktanya kecantikan Sheila benar-benar tidak bisa di pungkiri. Seluruhnya yang ada dalam diri Sheila itu sempurna.
Jika saja ada agency yang melihat, aku yakin akan tertarik untuk merekrut Sheila sebagai artisnya.
Banyak lelaki yang bersaing untuk mendapatkan hati Sheila, dan aku salah satu yang beruntung pernah memilikinya. Entah waktu itu dia melihatku dari apa, yang jelas, aku pernah menjadi lelaki paling bahagia karena dicintai kembali oleh orang yang kucintai.
"Guyonan lu garing banget, Jis. Lupa lu dulu pernah naksir juga sama dia?" jawabku dengan senyum kecil.
"Hahaha, gua sampai mikir, lu pakai pelet apaan ya bisa bikin Sheila jatuh cinta? Tapi kayaknya sekarang pelet lu udah pudar, jadi ditinggal kawin deh sama dia wkwkwk" kali ini tawanya pecah, aku pun terkekeh mendengar celotehnya.
"Iya, pelet ikan" jawabku sambil berlalu ke kamar mandi. Tenagaku masih belum cukup untuk menanggapi celotehan Ajis. Aku hendak mandi dan kembali bekerja. Kebetulan Senin pagi ini, aku kebagian shift pagi.
Sheila dan suaminya masih dalam masa cuti, jadi sepertinya hari ini tidak akan terlalu berat untukku, karena aku tidak akan bertemu mereka di tempat kerja.
Untuk kedepannya, biarlah kupikirkan dulu. Seberapa inginnya meninggalkan tempat ini, aku masih membutuhkan pekerjaannya.
Tidak mungkin mencampur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Disinilah profesionalitas diuji.
Setelah selesai mandi, aku mengenakan seragam kerja dan menyiapkan segala keperluan. Ajis sudah tertidur pulas di kasur yang belum sempat dibereskan. Sepertinya dia kelelahan mengendarai motor sejak subuh tadi dari Bandung ke kota Jakarta ini.
Hari ini, aku memutuskan berangkat kerja lebih pagi. Menghindari banyak tatapan iba dari teman-teman di tempat kerja yang pasti sudah mengetahui tentang pernikahan Sheila kemarin.
Disini, kami pernah menjadi pasangan yang fenomenal. Kabar bahwa bidadari memutuskan berpacaran dengan pria pas-pasan macam aku ini dengan mudah menyebar menjadi gosip yang asik di perbincangkan di sela-sela waktu kerja.
Mungkin karena itulah, hubungan kami banyak diketahui orang. Dan sayangnya, mereka masih menjadi saksi bahwa cinta kami tidak sekuat yang aku harapkan.
Biarlah, aku yakin Tuhan sedang menyiapkan skenario lain yang lebih baik lagi.
Bersambung...
#Mengejar Cinta Suamiku part 2 (Keputusan Terbaik)
Hari berlalu begitu lambat, sudah enam bulan sejak pernikahan Sheila, aku menyibukkan diri dengan bekerja.
Memang sangat tidak mudah membuang kenangan saat dulu dia menjadi milikku. Apalagi dia masih sering mengirimi pesan WhatssApp kepadaku.
Aku sudah mengganti handphone yang dibanting tempo hari, tapi untuk mengganti nomor, entah kenapa sangat berat.
Sepertinya, aku tidak ingin kehilangan kontak dengan Sheila.
Bodoh! Bodoh sekali aku ini, jelas-jelas Sheila sudah menjadi milik orang lain secara sah baik agama, maupun negara. Masih saja aku mengharapkannya.
Tapi, sekuat tenaga aku melupakan dia, kenangan itu begitu melekat di hati.
Aku selalu bilang kepadanya bahwa ‘Aku baik-baik saja’. Nyatanya, aku hidup tapi seperti mati.
Kehilangan Sheila, seperti kehilangan setengah dari nyawaku sendiri. Mengapa aku begitu mencintainya? Hingga sulit sekali untuk move on.
Meski bekerja di tempat yang sama, aku selalu menghindari bertemu dia. Tidak ingin luka di hati ini semakin menganga.
Beruntung, kami beda divisi dan shift, sehingga pertemuan kami tidak seintens dulu.
Sheila, perempuan cantik berdagu lancip itu adalah cinta pertamaku. Jadi, wajar saja rasanya kalau aku teramat mencintainya.
Aku sedang berusaha menata kembali kehidupan seperti dulu sebelum aku bertemu dengannya.
Perlahan, tapi pasti semua akan berlalu. Aku yakin, kelak saat mengingat namanya, aku tidak akan merasa sakit lagi.
****
[Rizki, kamu harus tahu, ragaku mungkin miliknya, tapi cintaku tetap untukmu]
[Rizki, dia memang kaya. Tapi hatinya tidak seperti hatimu. Cintanya tidak sedalam cintamu. Tapi, pantaskah aku menyesal]
[Bodoh ya, Ki. Aku ninggalin pria sebaik kamu demi materi. Ki, bisakah kamu memutar waktu?]
[Ki, Aku rindu. Sulit sekali melihatmu meski kita bekerja di tempat yang sama. Are you oke? Atau kamu masih belum bisa memaafkan aku?]
[Ki, kumohon jangan menghilang dari hidupku.]
Aku membaca kembali pesan-pesan WhatsApp dari Sheila.
Dia sering mengirimi pesan semacam ini. Ada rasa bahagia mengetahui bahwa dia juga masih belum melupakanku.
Tapi, hati kecilku berpikir bahwa ini tidak benar. Bagaimana jika suaminya mengetahui selama ini Sheila masih sering mengirimkan pesan padaku?
Pernikahannya masih seumur jagung. Sheila tidak boleh menodai ikatan suci yang telah mereka bina.
Jika saja keadaan dia single, mungkin aku tidak akan merasa seperti ini. Justru, aku akan berusaha kembali mendapatkannya.
Namun, semua sudah mustahil, secinta apapun aku padanya, aku tidak boleh lagi membayangi hidup Sheila dan menjadi benalu dalam rumah tangganya.
Aku memang mencintainya, tapi aku masih sangat waras untuk tidak menodai sebuah janji pernikahan.
[La, Aku baik-baik saja. Kamu harus bahagia dengan pernikahanmu. Bulan depan aku akan menikah. Lala, bagiku, kamu hanya masa lalu. Aku sangat mencintai calon istriku, karena dia, aku bisa melupakanmu. Jadi please, stop mengeluhkan pernikahanmu. Hargai suamimu, hargai pernikahan kalian. Aku tidak lebih dari sekedar kenangan kecil yang pernah hinggap di hidupmu. Sedangkan dia suamimu. Orang yang harus lebih kamu utamakan dari orangtuamu sendiri.] ku kirimkan chat itu padanya tanpa ragu.
Tiga tahun dia bersamaku, tapi kesetiaannya lenyap begitu saja saat lelaki kaya itu masuk ke dalam hidupnya.
Sesakit apa pun, aku tidak bisa menjadi lelaki jahat yang sampai hati selingkuh dengan istri orang lain.
Aku harus mencari cara agar Sheila tidak lagi ‘menggodaku’ dengan pesan-pesannya.
Dan tiba-tiba saja jari jemariku refleks menekan kata-kata itu. Lalu aku mengirimkan padanya, tidak apa bukan berbohong untuk kebaikan?
Tak lama benda pipih itu bergetar lagi menandakan pesan masuk.
[Kamu pasti bohong, Ki. Aku mengenal kamu, melebihi diri kamu sendiri. Ini hanya alasan kamu untuk menghilang dari aku kan?]
Aku meletakan kembali handphone di atas nakas samping tempat tidur. Aku tidak punya niat membalas pesannya.
Jika aku membalas lagi chat dari dia, kurasa tidak akan ada habisnya.
Watak Sheila yang selalu kuat dengan pendiriannya. Membuatku bingung memberi alasan apalagi untuk membuatnya berhenti melakukan semua ini.
Drrrrttt... Drrtttt.. drrtttt.. drrtttt..
Gawai itu bergetar menandakan telefon masuk.
Layar di ponsel menunjukkan nama si penelepon, ‘Sheila’.
Gawai itu bergetar beberapa kali. Hening sebentar, bergetar lagi.
Sheila tidak menyerah. Dia terus menelepon sampai 20 kali.
Aku tetap tidak mengangkatnya. Kemudian ada pesan masuk lagi.
[Oke Ki, kalau memang itu benar, aku tunggu undangannya. Kalau memang BENAR kamu akan menikah. Aku janji Akan menyerah. Kamu boleh menghilang sejauh yang kamu mau dari hidupku, lalu kamu hidup bahagia dengan istrimu, aku janji tidak akan mengganggu. Tapi kalau kamu BOHONG, kamu harus tanggung jawab jika aku pergi dari suamiku dan berlari padamu. Aku sudah pikirkan ini matang-matang. Rasanya, mendengar kebohongan kamu akan menikah saja begitu sakit. Aku tidak ingin terlambat Ki, Aku tidak ingin menyia-nyiakan kamu lagi.]
Deg!
Sheila, dia memang selalu arogan dalam mengambil keputusan.
Sedikit banyak aku mengetahui karakter suaminya dari teman-teman kerja. Kenapa dia punya pikiran menyakiti hati suami sebaik itu?
Meski aku tidak tahu pasti apa yang terjadi diantara mereka, namun tetap saja, apa yang dilakukan Sheila itu salah.
Benarkah ini Sheila yang kukenal dulu? Bagaimana pun aku tidak bisa menjadi penyebab rumah tangga Sheila hancur.
Tapi aku harus bagaimana? Mengatakan kepada Sheila bahwa aku akan segera menikah, sedangkan pacar saja tidak punya.
Oh Tuhan!
Aku menyesal tidak memblokir nomornya sejak awal.
Ah, tapi percuma. Dia bisa saja dengan mudah menghubungi aku kembali dengan caranya.
Satu-satunya cara agar Sheila menyerah adalah aku harus segera menikah! Ya, MENIKAH.
Dengan begitu, dia akan berhenti berharap kepadaku. Dan kembali kepada suaminya.
***
“Hah, cariin jodoh? Gak salah lu Ki, minta dicariin ke gua? Lu minta tolong atau ngeledek sih sebenarnya? Lu kan tahu, gua juga jomblo” Ajis yang sedang asik memainkan gawainya seketika menolah kepadaku, saat aku memintanya untuk mencarikan jodoh.
Dengan masih keheranan, dia bertanya mengapa aku terburu-buru, padahal dia tahu bahwa aku belum bisa melupakan Sheila.
Ajis mendengarkan dengan seksama saat aku menceritakan semua kelakuan Sheila akhir-akhir ini.
Dari seringnya dia mengirim pesan, menelepon, dan curhat padanya tentang apa yang terjadi antara Sheila dengan suaminya.
Meskipun aku tidak pernah membalas, Sheila terus saja melakukan hal itu.
Dan lama-lama aku menjadi khawatir jika Sheila nekat meninggalkan suaminya hanya karena masih berharap kepadaku.
Ajis mengerti, kini dia paham mengapa aku buru-buru mencari wanita lain.
“Kalau lu serius mau menikah, gua saranin lu cari wanita baik-baik. Jangan sampai nanti nasib pernikahan lu sama seperti Sheila. Menikah bukan karena cinta, dan masih di bayang-bayangi dengan perasaan kepada mantan. Akhirnya, justru itu menjadi benalu. Dan orang yang dinikahi jadi korban gagal move on. Ingat Ki, pernikahan itu bukan main-main. Janji sakral saat ijab qobul itu langsung kepada Allah.”
Apa yang dikatakan Ajis memang benar. Pernikahan bukan untuk dipermainkan.
Pikiranku bertambah gusar. Akankah dengan menikahi wanita lain bisa membuatku melupakan Sheila?
Akankah dengan aku menikah, Sheila akan berhenti?
Haruskah aku jujur kepada Sheila bahwa perkataanku kemarin hanya sebuah kebohongan belaka?
Tapi bagaimana jika nanti dia benar-benar meninggalkan suaminya?
Aku takut itu akan terjadi. Aku benar-benar tidak ingin menjadi penyebab keretakan rumah tangganya.
Aku yakin Sheila hanya sedang bingung dengan perasaannya.
Dia hanya belum beradaptasi dengan karakter suaminya, sehingga setiap dia memiliki masalah, akulah orang pertama yang diingatnya dan itulah kenapa dia selalu mengirim pesan-pesan itu padaku.
“Terus menurut lu, gua harus gimana, Jis? Gua benar-benar bingung sekarang.”
Ajis yang sedari tadi mendengarkan penjelasanku nampak ikut bingung dengan situasi ini.
“Menurut gua, lu emang harus beneran nikah, Ki. Kita tahu, bahwa Sheila bukan tipe orang yang main-main dengan ucapannya.”
Ajis benar. Sheila bukan tipe orang yang main-main dengan keputusannya. Apa yang dia katakan, itu yang akan dia lakukan.
“Gimana caranya gua nikah dalam waktu dekat. Sedangkan lu tau sendiri, semenjak dengan Sheila, gua gak pernah dekat dengan wanita manapun.” Keluhku pada Ajis yang sedari tadi dengan setia menyimak keluh kesahku.
“Yaelah, Rizki. Lu ngaca sono! Lu ganteng, gua yakin gak bakal susah buat lu cari penggantinya Sheila. Tapi saran gua, cari wanita baik-baik. Kalau bisa, wanita pesantrenan. Biar lu beruntung. Lu bisa minta di carikan sama kedua orangtua lu. Karena orangtua gak mungkin pilih orang sembarangan untuk anaknya.” Sahut Ajis memberi wejangan dengan seriusnya.
“Lu sendiri kenapa enggak begitu, Jis?” tanyaku menggodanya.
“Udah. Tapi kata Emak, belum ada yang mau sama gua.” Sontak kita berdua tertawa mendengar celotehan Ajis yang menceritakan nasibnya dengan mimik muka sedih.
Baiklah, sepertinya saran Ajis adalah pilihan yang tepat. Aku harus segera menikah agar Sheila berhenti berulah.
Aku akan mencoba meminta bantuan Ibu dan Bapak untuk mencarikan calon istri.
Semoga dengan ikhtiar ini, aku menemukan jalan terbaik.
Bersambung...
#Mengejar Cinta Suamiku part 3 (Kau, Aku dan Annisa)
“Assalamualaikum, Ki. Sehat-sehat kamu nak?”
Suara Ibu terdengar begitu hangat di seberang telepon sana.
“Waalaikumsalam. Alhamdulillah Iki sehat Bu. Ibu sama Bapak bagaimana keadaanya?”
“Alhamdulillah nak, kami sehat juga.”
“Syukurlah. Bu, Iki mau minta tolong ke Ibu boleh?” kataku dengan sedikit ragu.
“Loh, yo boleh toh nak. Minta tolong sama Ibu sendiri kok pakai izin segala. Ono opo memang? (ada Apa memang?)”
Logat Jawa ibu sangat medok meski dia berbicara dalam bahasa Indonesia. Maklum, ibu adalah orang Jawa tulen. Cirebon tepatnya.
“Iki kepingin menikah Bu. Secepatnya, kalau bisa bulan depan. Iki minta tolong Ibu atau Bapak yang carikan calonnya.”
“MasyaAllah, Ibu tidak salah dengar toh nak? Alhamdulillah kalau begitu . Tapi ngopo minta di carikan Ibu dan Bapak? Lalu, sepertinya buru-buru begitu?”
Aku diam sebentar mendengar pertanyaan Ibu. Mereka memang belum sempat aku kenalkan kepada Sheila.
Aku juga tidak pernah bercerita apa pun tentangnya. Rencananya, setelah aku melamar Sheila, baru akan kuberi tahu Ibu dan Bapak, tapi takdir berkata lain.
Sheila ternyata bukan jodohku. Tiga tahun berpacaran tidak menjamin bahwa dia akan menjadi istriku.
Wajar saja, Ibu keheranan dengan keinginan aku untuk menikah bulan depan.
Ibu dan Bapak memang tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi padaku dan Sheila.
“Ki, kamu masih di sana kan?” suara ibu memecah lamunanku.
“Eh. Iya, Bu. Iki rasanya udah capek saja hidup sendirian Bu, kepingin ada yang menemani, jadi penghilang penat saat Iki lelah bekerja. Alasan Iki minta tolong di carikan sama Ibu dan Bapak, karena Iki percaya pilihan Ibu dan Bapak tidak akan salah. Ibu dan Bapak pasti akan mencarikan yang terbaik buat Iki.”
“Mmmm... Ibu kira ndak ada yang mau sama kamu. Hahaha” sahut Ibu menggodaku di tengah seriusnya perbincangan via telepon ini.
“Loh, ya moso wajah tampan begini ndak ada yang mau, Bu. Iki kan mirip Bapak waktu muda. Banyak yang ngantri” aku mendengar Bapak menimpali perkataan Ibu.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Bapak, mereka tertawa bersama, dan mendengar tawa mereka, membuat hatiku sejuk.
“Bagaimana, Bu? Apa kira-kira Ibu dan Bapak bisa mencarikan Iki jodoh?” tanyaku meyakinkan kembali bahwa keinginanku untuk menikah ini serius.
“InsyaAllah bisa nak. Tapi bagaimana kalau lebih dari satu bulan? Apa ndak masalah? Karena kami juga perlu mencarikan wanita yang betul-betul tepat untukmu.” Kini kudengar Bapak yang mengambil alih telepon di seberang sana.
“Tidak masalah Pak, tapi Iki berdoa, semoga bisa secepatnya ya” ucapku dengan sedikit memohon.
“Baik nak. Kami akan usahakan. Kamu dari sana bantu doa ya. Kalau sudah waktunya, pasti Allah permudah.” Ucap Bapak menenangkan.
“Baik, Pak. Terimakasih ya, Pak. Iki izin pamit berangkat kerja dulu ya, kebetulan hari ini kebagian shift malam. Assalamualaikum, Pak.”
“Waalaikumsalam, nak. Hati-hati, ya. Jangan lupa, dalam keadaan apapun jangan pernah tinggalkan shalat.” ucap Bapak.
Setiap kali menelepon, Bapak tidak pernah lupa memberikan pesan tersebut.
Aku sedari kecil ditanamkan untuk tidak pernah meninggalkan shalat, apapun keadaannya.
Dan hal ini sudah melekat hingga sekarang. Bapak dan Ibu memang orang yang religius.
Dahulu, mereka sama-sama pernah menempuh pendidikan di pesantren. Hingga akhirnya bertemu dalam sebuah organisasi dan memutuskan untuk taaruf saat mereka selesai menempuh pendidikan di pesantren.
Meskipun Ibu dan Bapak seorang petani, namun pendidikan mereka cukup tinggi. Bapak, merupakan lulusan sebuah Universitas ternama di Cirebon, dari fakultas Ilmu Agama Islam.
Tidak heran, di kampung, Bapak menjadi ketua DKM masjid dan sering mengisi kajian rutin.
Bapak juga merupakan imam rutin dalam shalat jamaah di masjid kampung. Tidak jarang, Bapak di undang ke masjid di kampung lain untuk mengisi kajian.
Begitupun jika ada pengajian di acara hajatan. Bapak sering diminta untuk menjadi pendakwahnya.
Sedangkan Ibu, pernah menempuh pendidikan tafsir dan ilmu hadits di sebuah Universitas di Kota Bandung.
Ibu juga aktif dalam berbagai organisasi di kampung, terutama pada majelis taklim.
Dahulu, Bapak pernah bekerja pada sebuah lembaga keagamaan di pemerintahan.
Ibu, sempat mengajar menjadi guru les privat bagi yang mau belajar mendalam ilmu Alquran dan hadits.
Dari sanalah, mereka berjuang mengumpulkan uang, lalu membeli beberapa hektar lahan untuk dijadikan perkebunan dan sawah.
Hingga sekarang, Ibu dan Bapak menikmati hari tuanya dengan berkebun dan beribadah kepada Allah.
Aku sendiri berbeda dari mereka. Bapak sempat memasukkan aku ke pesantren saat aku menempuh pendidikan MTS.
Namun saat SMA, aku memutuskan untuk menempuh pendidikan di sekolah formal. Aku protes pada Bapak, bahwa aku tidak ingin lagi berada di lingkungan pesantren.
Mungkin karena saat itu, jiwa mudaku masih menggebu-gebu, itulah mengapa aku meminta Bapak untuk menuruti apa keinginanku.
Saat itu aku mengancam, jika mereka tidak menuruti mauku, aku tidak akan melanjutkan sekolah ke SMA.
Menyerah dengan keinginanku yang kuat, mereka akhirnya setuju dengan keputusanku. Namun, mereka memberikan syarat agar aku bisa menjaga diri dan menjauhi pergaulan yang dilarang oleh syariat agama.
Dari situlah, awal mula aku keluar dari lingkungan pesantren dan menempuh pendidikan formal hingga lulus dari bangku kuliah.
Saat di kampus, aku mengambil jurusan teknik mesin. Hingga akhirnya aku berada di sini dan bekerja sebagai teknisi pemeliharaan mesin pada sebuah perusaan cukup ternama di Ibu Kota ini.
******
Dua minggu setelah percakapan via telepon waktu itu, aku di suruh pulang kampung. Ibu dan Bapak sudah menemukan calon.
Katanya, dia anak teman pengajian Ibu. Entah seperti apa wajah dari wanita itu, Ibu tidak menceritakan detailnya padaku.
Tapi, akan ku pastikan tidak akan mengingkari janji, aku tidak akan menolak apapun alasannya dari wanita pilihan Ibu dan Bapak.
Ada sedikit rasa keraguan di hati. Aku takut, jika setelah menikah nanti, aku tetap tidak bisa melupakan Sheila.
Aku takut akan menyakiti wanita pilihan Ibu, dan Bapak. Namun, aku mengembalikan segala urusan ini kepada-NYA.
Aku pun sedikit heran karena akhir-akhir ini Sheila tidak begitu sering menghubungiku.
Mungkin karena pesanku tempo hari yang dikirimkan kepadanya.
Tapi aku yakin perkataannya hari itu tidak main-main, aku sangat mengetahui karakter Sheila.
Bus melaju menyusuri terik matahari. Semilir angin dari balik pintu bus cukup menyejukkan panas di siang ini.
Sepertinya, hari ini jalanan tidak begitu padat, aku bisa sampai ke Cirebon lebih cepat.
***
Tok..tok..tok
“Assalamualaikum.”
Pintu kayu jati berukir itu di ketuk Bapak. Rumah ini cukup luas, tapi tetap sederhana sama seperti rumahku.
Ada banyak aksen khas Jawa di setiap sudutnya. Pekarangan yang asri dengan macam-macam bunga dan pohon mangga.
Di depan, ada pagar hitam menjulang cukup tinggi membatasi pandangan dari luar.
Ibu menggenggam tanganku. Katanya, agar aku tidak gugup. Padahal aku tidak merasa gugup sedikit pun.
Aku juga tidak begitu penasaran dengan calon yang Ibu pilihkan. Asal bulan depan menikah, cocok atau tidak, bisa di selesaikan belakangan.
“Waalaikumsalam Warahmatullah. Wah, sudah datang, ayo silakan masuk.”
Seorang wanita setengah baya dengan tubuh sedikit gemuk dan kain hijab panjang menjuntai menutupi setengah tubuhnya, Ibu itu kemudian membukakan pintu dan mempersilakan kami masuk.
Aku menebak, ini adalah calon mertuaku. Kata Ibu, suaminya meninggal satu tahun yang lalu. Di rumahnya hanya ada dia dan anak mereka satu-satunya.
Kata Ibu, calon istriku adalah anak tunggal. Dan aku, anak pertama dari dua bersaudara.
Adikku perempuan, dia sedang menempuh pendidikan SMA sambil mondok untuk menggapai cita-citanya menjadi hafidzah.
Berbeda denganku, adik perempuanku sangat sholehah dan taat pada agama juga orangtua. Namanya Hajar Syauqina.
Bapak memberi nama tersebut sebagai doa agar anak perempuannya bisa tumbuh sekuat Siti Hajar, yakni istri kedua nabi Ibrahim.
Yang dengan suka rela ditinggalkan oleh suaminya di sebuah padang tandus yang jauh sekali dari sumber air dan pemukiman penduduk lain, karena Siti Hajar tahu bahwa yang suaminya lakukan adalah perintah dari Allah.
Siti Hajar kemudian berlari antara bukit Safa dan Marwah hingga tujuh kali, untuk mencari air karena anaknya kehausan.
Dari sanalah keajaiban terjadi. Anaknya, yakni nabi Ismail mampu memancarkan air dari tanah yang dipijak oleh kakinya.
Air itu, air abadi yang masih ada hingga sekarang. Yakni, air zam-zam. Hal ini pula, tidak luput dari doa Siti Hajar.
Dengan doa yang kuat, dan ikhtiar yang bersungguh-sungguh, akhirnya mampu menciptakan sebuah keajaiban.
Dari sanalah Bapak berharap, bahwa kelak anak perempuannya akan belajar dari ketangguhan Siti Hajar dalam menghadapi cobaan.
Ibu itu sangat ramah, ngobrol ngalor-ngidul dengan Bapak. Melirik sesekali ke arahku saat Ibuku mendeskripsikan tentang diriku yang masih banyak kekurangannya.
Aku hanya tersenyum dan sesekali menimpali pembicaraan mereka.
“Keasikan mengobrol, sampai lupa belum disuguhi minum. Annisa, tolong bikinkan minum ya, nak! ada tamu ini loh”
Ibu itu sedikit berteriak memanggil anaknya.
“Nggih, Ummi. Sebentar, Annisa buatkan” Suara Lembut menjawab dari arah dapur.
Kini, sebentar lagi. Aku akan melihat seperti apa wanita yang akan aku nikahi.
Aku berharap, dia sesuai dengan kriteriaku, agar aku lebih mudah dalam mencintainya. Jika tidak pun, aku akan berusaha sebisaku untuk mencoba mencintainya, meski hatiku masih di singgahi nama yang sama, yaitu Sheila.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!