NovelToon NovelToon

MERAPI TAK PERNAH INGKAR JANJI

MTIJ. 01. Hidup itu Pilihan

Kita akan menikmati hidup, jika kita pandai mensyukuri hidup....

------------------------------------------

 

"Jeng Ayu....sudah siang, bukankah ini hari pertama Jeng Ayu bekerja...?" kata Mbok Sum membangunkanku.

°Sekar Arum Ayuning Jagad

Itulah namaku, sebuah nama yang jauh dari kata milenial dan aku sendiri pun tidak tahu apa artinya.

Teman-temanku biasa memanggilku Arum. Tapi orang-orang di sekitarku selalu menyebutku 'Jeng Ayu'.

 

"Huuuuaaaaaa....."

 

Rasa kantuk masih menggelayuti tubuhku, kulemaskan otot-otot tubuhku dengan menggeliat ringan.

Perlahan mulai kubuka separuh mataku. Terlihat Mbok Sum membuka jendela yang ada di kamarku.

 

"Jam berapa ini mbok ?" tanyaku seraya menghirup udara segar di pagi hari ini.

"Sudah hampir jam 6 jeng Ayu... Mbok tinggal siapkan sarapan dulu ya ?"

"Iya Mbok.... terimakasih"

 

Tapi belum sempat Mbok Sum melangkah kan kakinya keluar, gadis yang dipanggilnya 'Jeng Ayu' itu memanggilnya kembali.

 

"Mbok Sum"

"Iya Jeng Ayu"

"Apakah Eyang sedang tidak ada di rumah ?"

 

Karena biasanya Eyang yang mengetuk pintu kamarnya ketika subuh tiba. Tapi hari ini, bukan Eyang yang selalu getol membiasakanku pentingnya beribadah.

Selama aku ikut Eyang, aku selalu belajar agama dari beliau. Sejak kecil, aku dibesarkan oleh kedua orang tuaku yang selalu sibuk dengan dunia bisnis.

Sehingga mereka lupa bagaimana mengajarkan Agama untuk putri semata wayangnya.

 

"Iya Jeng Ayu...tadi pagi\-pagi sekali Ndoro Sepuh pergi, mungkin ada keperluan yang kita tidak perlu tahu" jelas Mbok Sum.

"Oh...iya Mbok, terimakasih."

 

Arum memperhatikan kepergian Mbok Sum.

°Mbok Sumini

Sebelum Arum di ukir, Mbok Sum sudah bekerja ikut Eyangnya sebagai abdi dalem.

Usianya sudah tidak muda lagi, tapi tenaganya masih sekuat muda-mudi jaman now.

 

"Wahh.... Jeng Ayu, cantik sekali hari ini...?" Puji mbok Sum yang meletakkan segelas susu di meja makanku.

"Terimakasih Mbok...apa biasanya Arum tidak cantik ?" sungutku manja.

"Pasti cantik Jeng Ayu...tapi hari ini benar\-benar mangklingi dengan seragam kerja baru Jeng Ayu."

 

Hari ini, hari pertama Arum bekerja di sebuah BANK swasta anak perusahaan BUMN.

Arum yang biasa dengan kehidupan glamor di ibu kota dan serba kecukupan dari harta orang tuanya, memutuskan untuk meniti karirnya di Jogja bersama neneknya.

 

"Arum....kamu belum berangkat Nduk ?" Tanya Eyang yang tiba\-tiba masuk melalui pintu sebelah.

"Belum Eyang....Arum masih sarapan, Eyang dari mana ?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"Eyang tadi ada urusan sebentar." jawabnya tanpa mengatakan lebih detail.

"Tehnya Ndoro..." kata Mbok Sum sembari meletakkan secangkir teh untuk Eyang.

"Terimakasih Mbok..."

 

Usai menghabiskan sarapannya, Arum berpamitan untuk berangkat kerja.

"Biar Pak Karman yang antar ya Nduk ?" Kata Eyang memberikan tawaran.

 

"Tidak usah Eyang, Arum akan naik motor saja."

"Ya sudah...hati\-hati di jalan ya, semoga kerja mu hari ini lancar." do'a Eyang pagi itu.

"Aamiin.... terimakasih Eyang."

 

ucapnya sembari mencium punggung tangan Eyangnya.

Hari ini begitu menyenangkan, Arum mendapatkan banyak pengalaman, teman baru dan dunia baru.

Tugasnya sebagai teller membuat para nasabah berdecak kagum dengan keluwesan dan kecantikannya.

 

"Selamat siang Ibu, dengan Arum ada yang bisa kami bantu...?" ucapnya sambil menyatukan kedua tangannya di depan dada, ketika menerima nasabah.

"Siang Mbak Arum...saya mau melakukan transfer untuk anak saya..." jawabnya.

"Iya... silahkan Ibu, mohon maaf dengan Ibu siapa ?"

"Saya Bu Endang..." jawabnya sembari meletakkan blanko tranfer dan uang tunai di meja kerja Arum.

"Baik Bu Endang...boleh saya hitung uangnya ...?"

"Monggo Mbak..."

"Ini uangnya pas ya Ibu....mohon untuk menunggu sebentar..."

"Mbak baru ya...saya baru lihat Mbak di sini..." tanyanya kemudian.

"Iya Ibu...ini resi transfernya, sudah langsung masuk ya Bu..." jawabnya.

"Oh...ya, terimakasih banyak..."

"Terimakasih kembali...ada lagi yang bisa saya bantu..."

"Sementara sudah, saya permisi Mbak..."

"Iya Ibu....silahkan."

 

Arum sangat menikmati pekerjaannya. Sampai hari ini belum ada kesulitan yang berarti baginya.

Ternyata hidup sederhana itu sangat mudah dijalani, asalkan kita pandai-pandai untuk bersyukur dan menikmati apa yang Tuhan berikan kepada kita.

Tidak pernah dia bayangkan, untuk keluar dari kemewahan dan mengganti nya dengan jerih payah mencari keringatnya sendiri.

 

"Hidup itu pilihan Nduk...jangan pernah mau dipaksakan atas kehendak, ikuti kata hatimu, hanya kamu sendiri yang tahu apa yang terbaik untukmu..."

 

Itu nasehat yang dulu pernah Eyang berikan, sehingga dia bisa duduk di bangku ini. Bertemu dengan banyak orang dengan berbagai karakter.

 

"Arum...apa laporanmu belum selesai...?" tanya Mbak Dian, dia seniorku teman seprofesi yang sama\-sama pegang kendali di meja teller.

"Sudah Mbak... sudah saya tutup, barusan sudah saya laporkan sekalian uangnya." jawabku.

"Ya sudah...kita pulang bareng yuk..." ajaknya ketika diliriknya jam yang berada di dinding sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB.

"Boleh" awab ku.

 

Kubereskan meja kerjaku, karena di sinilah rumah ke duaku. Seharian aku akan duduk dan berinteraksi di tempat ini. Jadi kebersihan adalah prioritas utamaku.

Arum gadis yang supel dan mudah bergaul, jadi sangat gampang bagi dia mendapatkan kenalan.

"Mbak Dian naik apa...?" tanyaku sebelum kita keluar kantor menuju tempat parkir.

 

"Tadi mbak bareng sama Mas Ridwan suami Mbak..." jawabnya.

"Ya sudah...bareng Arum aja, kita kan searah..." Kataku menawarkan tumpangan.

"Boleh, sebentar aku kirim pesan ke mas Ridwan dulu ya..."

"Dian...." panggil seseorang yang baru saja masuk menghampiri mereka.

"Mas Ridwan...itu aku sudah dijemput Rum, lain kali saja Mbak nebengnya ya...?"

"Iya mbak....hati\-hati di jalan ya...?"

"Oke...daa...."

 

Arum berjalan perlahan sambil memainkan Handphonenya menuju area parkir khusus karyawan.

Brruuukkkk....

"Oh...maaf, saya tidak tahu" ucapnya setelah merasakan tubuhnya terantuk sesuatu.

"Tidak apa-apa" jawab pria itu sambil berlalu begitu saja.

Arum mengambil Handphonenya yang terjatuh.

"Maaf Pak....apa ini milik anda..?" panggil Arum sambil memperlihatkan sebuah kunci almari yang terjatuh.

Pria itu menoleh sembari meraba-raba kemeja dan celananya, mencari sesuatu.

"Oh....iya, terimakasih" ucapnya setelah mengambil barang itu dari tangan Arum.

'Dia memarkirkan mobilnya di area parkir karyawan, apa dia juga karyawan disini...?' Gumamnya dalam hati.

Tapi seharian tadi Arum tidak melihat pria itu di kantor.

'Mungkin tamu atau nasabah khusus...' pikirnya.

Karena memang ada nasabah khusus yang selalu bertransaksi melalui orang-orang dalam.

'Tapi...inikan sudah jam pulang, ada keperluan apa bapak itu ke kantor sore-sore begini dan siapa yang akan beliau temui ?' Gumamnya lagi.

'Ahh....biarlah, bukan urusanku juga... lagipula didalam masih ada beberapa orang yang belum pulang, mungkin salah satu dari mereka yang dia cari.' pikirnya sembari berlalu meninggalkan area parkir.

----------------------------

----------------------------

----------------------------

 

MTIJ. 02. Indahnya Kebersamaan

Allah menciptakan segala sesuatu di Dunia ini berpasang - pasangan.

Ada hitam ada putih.

Ada Pria ada wanita.

Ada pertemuan pasti juga ada perpisahan.

----------------------------------------

 

Sudah hampir sebulan Arum bekerja, dan semuanya berjalan lancar. Dia bahkan lupa dengan teman-teman sosialitanya di ibu kota.

Disini udaranya lebih bersih, segar dan jauh dari kebisingan yang menghantui ibu kota.

Kring....kring...

 

("Hallo.... assalamu'alaikum...") jawab Mbok Sum yang mendengar dering telepon rumah berbunyi.

("Wa'alaikumsalam.... Mbok Sum ini Abi, bisa saya bicara dengan Ibu.") kata seorang yang menyebut dirinya Abi.

("Iya Den... sebentar saya haturkan.") jawab Bibi sembari meletakkan gagang telepon itu di meja.

 

Tok...tok...tok...

 

"Ada apa Mbok ?"

"Den Abi telefon Ndoro."

"Oya.... terimakasih Mbok."

 

Yang Mbok Sum maksud adalah

°Abimanyu Ayah dari Sekar Arum,

Putra tunggal Ndoro Sepuh...

°Hayati Ningsih Sastro, Eyang Putri Sekar Arum.

'Tumben papa telfon...' pikir Arum yang tidak sengaja mendengar percakapan Mbok Sum dengan Eyangnya dari dalam kamar.

 

("Hallo Le...ada apa pagi-pagi telfon ?") tanya Eyang.

("Ibu apa kabar ?")

("Alhamdulillah....sehat, kamu sendiri bagaimana ?")

("Sehat Bu...maaf Abi belum bisa mengunjungi Ibu.")

("Ndak papa... Ibu maklum, apalagi sekarang ada Sekar Arum yang menemani Ibu.")

("Iya Bu....Arum bagaimana Bu ? apa dia tidak merepotkan Ibu, atau membuat onar mungkin ?")

("Arum bukan anak kecil lagi Le....dia sudah dewasa, sudah bisa berfikir dengan jernih, mana yang baik mana yang tidak baik. Jadi jangan khawatir, dia baik-baik saja di sini.")

("Baik Bu...Abi percaya kepada Ibu.")

 

Kletak..

Tidak terdengar lagi apa yang mereka bicarakan, bahkan Arum belum mendengar salam penutup dari keduanya, yang terdengar hanya bunyi gagang telepon yang di taruh Kembali ke tempatnya.

Papa memang tidak pernah memberiku kesempatan untuk berkembang. Apapun yang aku lakukan selalu tidak benar di mata beliau.

Hingga jalan ini aku pilih, sekedar untuk membuktikan bahwa aku juga bisa menghidupi diriku sendiri.

 

"Arum berangkat dulu Eyang."

"Loo...gak sarapan dulu to Nduk ?"

"Nanti Arum sarapan di kantor Eyang...kata Mbak Dian setiap akhir bulan, tutup buku sekalian makan-makan Eyang." kataku menjelaskan.

"Baiklah kalau begitu, hati-hati di jalan."

"Oya Eyang...mungkin nanti Arum pulang agak telat, karena harus menyelesaikan laporan akhir bulan."

"Jadi kamu lembur ?"

"Iya Eyang..."

"Sampai malam ?"

"Belum tahu Eyang...nanti Arum kabari Eyang."

 

Arum melajukan motornya menuju tempat dia bekerja.

"Pagi Rum....segar sekali hari ini." sapa Mbak Dian ketika kami bertemu di pintu masuk khusus karyawan.

 

"Alhamdulillah...berusaha untuk segar terus Mbak." jawabnya sembari berjalan ke ruang kerjanya.

"Gimana...kerasan kerja disini ?"

"Alhamdulillah kerasan Mbak....tak terasa sudah sebulan..."

 

Masih sama seperti hari-hari yang lalu, dia berkutat dengan angka dan rupiah setiap hari.

 

"Selesai laporan akhir bulan, kumpul di aula." kata Pak Rudi kepala bagian kredit.

"Baik Pak..." jawab mereka.

 

Sudah hampir jam 19.00, pekerjaannya telah usai. Tapi dia masih diminta untuk berkumpul di aula.

Banyak makanan dan minuman lengkap dengan jajan pasar.

"Tumben...siapa yang ulang tahun ?" bisik Mbak Dian.

Arum hanya mengangkat bahunya tanda tidak tahu. Hingga orang-orang yang berada di struktur atas itu hadir di aula ini.

 

"Hari ini hari terakhir Pak Bambang memimpin, mulai bulan depan kepemimpinan akan digantikan oleh Bapak Yanuar...Pak Bambang akan pindah tugas memimpin di unit barat, sehubungan dengan itu, kami atas segenap staf mengucapakan terimakasih dan selamat menjalankan tugas di tempat yang baru..." kata Pak Rudi sebagai perwakilan dari semua karyawan.

 

Semua karyawan mengucapkan salam perpisahan kepada Pak Bambang. Indahnya kebersamaan yang pernah mereka lalui akan segera berakhir hari ini.

Selama Arum bekerja, dia mengenal Pak Bambang sosok pemimpin yang baik dan bijaksana terhadap karyawan dan nasabah.

Usai acara perpisahan intern, mereka lanjutkan dengan makan-makan.

"Uuggghh....ini yang aku tunggu, lapar banget dari tadi..." bisik Mbak Dian lagi.

Berbeda dengan Arum yang tidak banyak bicara dan lebih banyak memendam hasratnya. Karena sebagai seorang yang berdarah biru, dia diajarkan etika untuk tidak banyak mengumbar suara. Kalau orang jawa bilang 'urakan'.

 

"Hhuuuuaaaa....aku gantuk banget Rum, ayo pulang." ajak Mbak Dian lagi.

"Iya, ayo Mbak...lagian sudah selesai dan banyak yang pada pulang.."

 

Seperti biasa, Mbak Dian sudah dijemput suaminya.

"Hati-hati ya Rum...makanya lekas cari pacar, biar ada yang nemenin." goda Mbak Dian.

 

"Ahahahha....belum ada yang klik di hati." jawabku sekenanya saja.

 

Mbak Dian benar, aku tidak harus pulang pergi sendiri jika ada seseorang yang menemani.

'Ahh...ngomong apa sih, ngelantur saja...' bisiknya dalam hati.

Dia yakin di dunia ini semua diciptakan berpasangan, begitupun dengannya.

Malam ini udara terasa dingin dan suasana jalan desa begitu hening.

Bulu kuduk Arum merinding, bukan hantu yang dia takutkan, tapi lebih takut kalau ada orang jail yang mengikuti.

 

"Hhuuuuffff..... alhamdulillah, akhirnya sampai juga...." gumamnya sendiri.

"Jeng Ayu...baru pulang...?" tanya Mbok Sum mengagetkan.

"Astagfirullah....maaf Mbok, Arum kaget... Mbok Sum belum pulang ?" tanyanya, karena biasanya jam segini mbok Sum sudah kembali ke rumahnya.

"Sudah Jeng Ayu...tadi kebetulan Mbok Sum ngukus ubi jalar, itu kan kesukaan Ndoro, jadi Mbok Sum kirim kagem Ndoro Sepuh...habis itu nemenin Ndoro Sepuh lihat ketoprak di televisi.." jelasnya.

"Ooo...iya Mbok, Arum kira Mbok mau nginap sini ?"

"Tidak Jeng Ayu, tapi kalau Jeng Ayu membutuhkan Mbok Sum, biar Mbok Sum siapkan, jeng Ayu mau apa ?"

"Terimakasih Mbok, tidak usah... cuma mau mandi terus tidur."

"Ya sudah kalau begitu, Mbok Sum pulang dulu ya ? Jeng Ayu hati-hati kalau pulang malem, cari jalan yang ramai ya ?"

"Iya Mbok... terimakasih sudah mengingatkan, Mbok Sum juga hati\-hati di jalan."

 

Rumah Mbok Sum tidak jauh dari rumah Eyang, cuma sekitar 350 meter saja. Arum kembali ke dalam dan mengunci pintu utama.

'Sudah hampir jam 11, mungkin Eyang sudah tidur, lampu di kamarnya sudah redup.' dialog hatinya yang kebetulan dia lewati kamar Eyang sebelum menuju kamarnya.

***

Klunting....

Arum mengambil handphonenya di nakas. Hari ini hari sabtu, dia libur dan belum tahu mau kemana.

 

"Alhamdulillah....gaji pertamaku masuk." gumamnya sendiri.

 

Arum memang berjanji untuk membelikan sesuatu sebagai kenang-kenangan untuk Eyang dan Mbok Sum dengan gaji pertamanya.

Arum bergegas ke kamar mandi dan bersiap untuk pergi jalan-jalan hari ini.

"Pagi-pagi begini sudah cantik, bukannya hari ini hari libur ?" sapa Eyang yang sudah siap di meja makan.

 

"Arum mau jalan-jalan ke pasar Beringharjo Eyang..." jawabnya.

"Baguslah...jangan sia-siakan waktu mudamu."

 

Meskipun Eyang termasuk orang dulu, tapi nasehat beliau mengikuti berkembangan jaman dan yang utama, Eyang selalu memberikan kebebasan yang bermanfaat.

 

"Apa Eyang mau Arum belikan sesuatu...?" tawarnya.

"Gak usah Nduk....Eyang sudah kenyang menikmati semua jajanan dan keunikan kota ini." ucap Beliau.

"Atau Mbok Sum ingin sesuatu mungkin ?" tanyaku menoleh ke arah Mbok Sum.

"Tidak Jeng Ayu....Simbok juga sudah bosen dengan makanan yang ada di sini." jawabnya yang membuatku tertawa kecil mendengarnya.

"Pasar mulai buka jam 9 Nduk... pelan-pelan saja jalannya, biasanya hari libur gini pasti ramai pengunjung." kata Eyang.

"Iya Eyang....Arum cuma kepingin jalan sebentar, terus pulang."

 

Dia berangkat menggunakan motor matic yang biasa dia pakai untuk bekerja.

Pelan-pelan dia telusuri jalan kota pelajar ini, sambil menikmati ornamen taman kota yang membuat semua mata berdecak kagum.

-------------------------------

-------------------------------

-------------------------------

 

MTIJ. 03. Gaji Pertama untuk Eyang

"Terkadang aku merasa malu pada sosok orang tua yang tidak pernah mengeluh disaat susah, tak pernah lelah untuk mencari nafkah dan tetap tenang ketika menghadapi masalah...."

------------------------------------------

 

Benar apa yang Eyang katakan tadi, pasar ini buka jam 9, tapi sebelum jam 9 sudah ramai dipadati pengunjung.

 

Tidak cuma penduduk lokal tapi juga wisatawan luar kota bahkan manca negara. Kalau pagi-pagi begini, wisata kuliner di sekitar pasar Beringharjo masih komplit.

 

'Uuuffff.... sayangnya aku sudah kenyang, coba kalau belum, pasti sudah ludes semua aku bantai.' gumamku dalam hati.

 

Hidup mandiri tidak seberat yang dia bayangkan. Terbukti sampai saat ini dia nyaman menikmati kesendiriannya.

Arum berjalan menyusuri lorong pasar, kanan kiri terlihat penjual batik yang sudah berjajar rapi menawarkan barang dagangannya.

 

"Mau cari apa Mbak...silahkan dilihat-lihat dulu ?" tawar mereka ketika melihatku memegang model kimono batik yang kelihatan nyaman kalau dipakai.

"Kalau yang model ini berapa Bu ?" tanyaku.

"Ini untuk penglaris saja 200 Mbak."

 

Aku tersenyum mendengar harga yang ditawarkan.

'Meskipun ini merupakan pasar wisata, tapi kalau kita tidak pandai menawar pasti jatuhnya akan mahal.' begitu pesan Eyang sebelum dia berangkat ke sini.

 

"Biasanya 100 Bu ? Saya sudah biasa belanja di sini lo." jawabku tanpa menoleh ke arah Ibu penjual itu.

"Mbak mau ambil berapa ?"

"Sebentar...saya mau lihat daster ini dulu."

"Kalau mau beli banyak, dasternya yang ini 100rb dapat 3 Mbak...kalau yang Mbak pegang itu agak mahal 120 per potongnya."

 

Iya...Arum paham, kalau daster yang dia pegang harganya agak mahal. Karena Arum pernah diajak Eyang membeli daster yang persis semacam itu bahan dan modelnya.

Kalau Eyang sangat jeli membeli barang, beliau tahu mana yang kwalitas bagus mana yang sekedar tiruan.

 

"Yang ini dikurangi ya Bu ?" tawarku menunjuk daster yang dia kasih harga 120 ribu tadi.

"Yang mana saja belanjaannya...biar nanti saya diskon..." jawabnya sambil menghitung-hitung, mungkin estimasi untung dan rugi yang dia hitung.

"Blazer ini 1, kimono 1, daster yang ini 1, terus daster yang paket tadi Bu...1 paket saja."

"Oya....berati, 95, 100, 120, 100... berati semua 415 ribu, 400 saja buat langganan." rayunya.

"Apa ada sarung Bu ?" tanyanya kembali.

"Ada Mbak....banyak motifnya." pedagang itu menunjukkan berbagai macam sarung dengan motif batik yang bermaca-macam.

"Kalau untuk piyayi sepuh cocoknya yang mana ya Bu...?"

"Ooo...yang ini saja, warnanya tidak begitu mencolok, kainnya halus dan tidak luntur."

 

Menurutku memang benar, corak sarung batik yang dia pilihkan sesuai dengan keterangannya.

 

"Berapa Bu harganya ?"

"75 ribu, kalau untuk mbak cantik 50 ribu saja."

"Jadi semua 450 ribu ya Bu." katanya sambil menyerahkan beberapa lembar uang 50 ribuan.

"Iya Mbak cantik... terimakasih, mampir kembali nanti ya."

 

Aku membalasnya dengan senyuman dan kembali kutelusuri isi perut Beringharjo ini.

Kruyuk...kruyuk...

Cacing dalam perutku sudah mulai berdemo. Kulirik jam tanganku hampir pukul 12 siang, pantesan sudah terasa lapar.

"Bu...nasi gudeg komplit 1, jeruk hangat 1,nasinya sedikit saja ya Bu ?"

 

"Iya Mbak cantik...tunggu sebentar ya ?"

 

Aku ikut nongkrong dan memesan masakan khas Jogja ini. Di warung makan yang terletak di sudut perbatasan antara pasar sayur dan pasar kain.

 

Alhamdulillah...lumayan untuk mengganjal perutku yang mulai keroncongan karena perjalanan kakiku dari tempat parkir hingga ke sini cukup menguras tenaga.

"Maaf Jeng Ayu...ada yang bisa nenek bantu bawakan...?" tanya seorang nenek yang biasa menawarkan jasanya untuk membantu membawakan barang belanjaan pengunjung pasar ini.

 

Ternyata masih banyak yang hidup jauh dari kata layak di kota ini. Seusia nenek ini, seharusnya dia tinggal menikmati hidup menunggu hari tua bersama anak cucunya.

Tangan keriputnya menandakan betapa besar pengorbanannya di masa muda dulu.

"Maaf nek.... belanjaan saya cuma sedikit."

"Baiklah kalau begitu." jawabnya sambil berbalik untuk pergi.

 

"Tunggu sebentar Nek...."

"Iya Jeng Ayu...ada yang bisa nenek bantu ?" ucapnya antusias, berharap ada penghasilan yang bisa dia bawa pulang untuk menyambung nyawanya.

"Maaf Nek....ini Via ada sedikit rezeki, mohon diterima ya Nek..."

 

Dia berikan tiga lembar uang lima puluh ribuan dan dia letakkan di tangan yang sudah mulai kusut dimakan usia itu.

 

"Tapi Jeng...." ada rasa takut yang tersirat dari wajahnya.

"Gakpapa Nek... kebetulan Via dapat rezeki hari ini."

"Terimakasih banyak Jeng Ayu, semoga kesehatan dan kebahagiaan selalu menyertai Jeng Ayu..."

"Aamiin..."

 

Alhamdulillah....satu manfaat lagi bisa dia berikan untuk orang lain. Masih kutatap kepergiannya dari balik punggung yang mulai membungkuk karena memikul beratnya beban hidup.

Arum kembali berjalan menyusuri pinggiran kota gudeg ini. Hingga dia singgah di suatu tempat.

 

"Silahkan Mbak ... ada yang bisa saya bantu, apa kira\-kira yang dicari ?" tanya penjaga toko mas terbesar di sini.

"Eehhmmm.....apa ada koleksi bros peniti untuk orang tua ?"

"Ada... sebentar saya ambilkan."

 

Tak berapa lama, pegawai tadi menunjukkan koleksinya yang beragam model dan ukuran.

"Berapa per gramnya Mbak ?" tanyaku.

"Ini 22 karat per gramnya 450 ribu, kalau yang ini 24 karat per gramnya 600 ribu." jelasnya.

Arum mengambil 1 kotak yang 22 karat seberat 3 gram dan 1 kota lagi 24 karat dengan berat 5 gram.

 

"Yang ini ya Mbak."

"Mau dibikinkan surat sendiri-sendiri apa dijadikan dua ?"

"Eehmmm.... sendiri-sendiri saja Mbak."

"Kalau menginginkan pembungkus untuk kado, kami juga sediakan." kata pegawai itu memberikan tawaran.

"Oya ...boleh kalau begitu, dua-duanya ya Mbak..."

"Baik.... silahkan ditunggu sebentar."

 

Tak berapa lama aku menunggu, pesananku sudah siap. Alhamdulillah....misi hari ini sudah selesai.

Jalanan sedikit macet, maklum weekend. Hampir 1 jam perjalanan, aku sampai kembali di rumah Eyang.

 

"Assalamu'alaikum...."

"Wa'alaikumsalam...." Kutemukan Eyang sedang duduk di taman belakang rumah.

"Kok sudah pulang, apa tidak macet jalannya ?"

"Macet Eyang...Arum bawa sesuatu untuk Eyang."

 

Arum mengeluarkan kotak kado yang khusus dibelikannya untuk Eyangnya tersayang.

"Apa ini Nduk ?"

"Eyang buka saja, semoga Eyang suka."

Meskipun sudah berumur, tapi Ibu dari ayahnya ini masih kelihatan cantik. Eyang pintar merawat diri dengan jamu-jamu tradisional.

 

"Subhanallah....bagus sekali Arum, kamu beli ini untuk Eyang ?"

"Iya Eyang....Arum sudah janji, Arum akan belikan sesuatu untuk Eyang dengan tabungan dan gaji pertama Arum."

 

Eyang meraih tubuh cucunya itu dengan penuh kasih sayang. Beliau mencium dan memeluk Arum yang semakin lama semakin terlihat paras cantiknya.

 

"Ndoro.... Jeng Ayu, simbok mau pamit pulang dulu." kata Mbok Sum yang dari tadi menunggu di sela-sela pembicaraan kami.

"Oh...iya Mbok, ini juga ada sedikit tanda kasih sayang Arum untuk Mbok Sum."

 

Mbok Sum menerima paper bag yang berisi 3 buah daster dan 1 kotak yang berisi perhiasan emas.

 

"Walah....kok simbok juga dibelikan oleh-oleh to Jeng Ayu, apa tidak sebaiknya disimpan untuk masa depan Jeng Ayu ?"

"Gakpapa Mbok, ini merupakan wujud rasa syukur Arum, untuk selalu berbagi sebagai mana pernah Eyang ajarkan."

"Diterima saja Mbok, biar Arum juga senang." sambung Eyang yang tersenyum bangga melihat kepedulian cucunya.

"Alhamdulillah.... terimakasih banyak Jeng Ayu, semoga Gusti Allah yang bales kebaikan Jeng Ayu."

"Aamiin....."

 

Arum merasa senang, karena apa yang dia lakukan membuat senang orang lain. Semoga akan menjadikan keberkahan untuk keduanya.

Dia kembali ke kamarnya. Dan setelah mandi dia mencoba kimono yang tadi dibeli.

Benar dugaannya, kimono ini sangat nyaman dan pantes untuk kulitnya yang putih.

------------------------------------

------------------------------------

------------------------------------

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!