“Kau tahu, hari ini dia berkata mam! May be, Sheva merindukan mamanya.” tawa sumbang terdengar lirih, suara yang keluar dari bibir Emil. Jemarinya masih menahan tanda mikrofon di ujung bawah sebelah kanan salah satu room chat. “Kamu di mana? Apa boleh aku berharap kamu akan segera pulang? Kita di sini butuh kamu." Suaranya semakin melemah, rasa kehilangan atas kepergian Chika masih terasa basah dalam hatinya.
Meskipun begitu, mesin perekam di smartphone-nya berhasil bekerja dengan baik, me-record suaranya dengan sempurna. Jangankan didengar oleh pemilik nomor. Pesan yang ia kirimkan sejak pertama kali saja, sepertinya tidak pernah sampai di telinga sang empunya.
Setelah pesan VN (Voice Note) berhasil tercentang satu, Emil meletakan kembali ponselnya ke atas meja. Mata hitamnya tertuju ke wajah sang putra yang terlelap di atas ranjang. Dadanya berdesir, saat menatap wajah tak berdosa di depannya saat ini. Rasa bersalah kembali membara, seakan ingin menemukan mesin waktu dan kembali di masa sebelum istrinya pergi meninggalkan mereka berdua. Mengulang kembali dari awal.
Kehadiran Sheva memang sebuah kejutan bagi Emil. Merusak semua masa depan yang sudah direncanakan dengan baik. Termasuk merusak hubungannya dengan Eriella (mantan tunangan). Sampai akhirnya, ia terpaksa menikahi Chika, sahabat dari Eriella.
Miris, saat mengingat tingkahnya dulu. Emil bahkan mengabaikan Chika, menganggap wanita itu perusak hubungannya dengan Eriella. Dan mungkin, itulah alasan yang membuat istrinya itu pergi dari rumah atau ... benar apa yang dikatakan sang mama. Jika wanita itu tidak mau menerima kondisi Sheva.
Sheva Elyan Handoko, sejak dalam kandungan, dokter sudah memprediksi jika ada yang janggal dengan perkembangan Sheva. Anak itu akan tumbuh menjadi anak istimewa.
Terbukti. Hingga anak itu berusia 6 tahun, Sheva jauh berbeda dari anak seusianya. Tumbuh kembangnya begitu lambat meski sudah menjalani teraphy sana-sini. Dan baru hari ini, tepat di usia 6 tahun 2 bulan anak itu baru bisa mengucapkan kata mama. Sebuah kebahagian tersendiri bagi seorang Emilyan Caesar Handoko. Pria 34 tahun yang kini sedang meratapi kesalahannya.
“Emil! Emil! Buka pintu!” suara dari luar kamar memutus pandangan Emil dari wajah Sheva.
“Em—mill!” Suara itu kembali terdengar, kali ini diiringi gedoran pintu yang begitu membahana. Emil tahu itu suara Ineke.
Ia mendesah pelan sambil beranjak dari ranjang, suara gedoran pintu masih terdengar jelas bahkan semakin keras.
“Sebentar, Ma! Emil tidak tuli,” sahutnya berjalan ke arah pintu. Saat pintu kamar terbuka lebar, ia mendapati sang mama yang berdiri tegap di depan pintu. “Why?” tanya Emil acuh, menatap wajah wanita di depannya.
“Papa mau bicara sama kamu! Segera turun kalau anakmu sudah tidur,” titahnya dengan nada sengau. Seperti biasa tatapnya begitu remeh ke arah sang putra.
“Ya.” Emil menjawab singkat. “Lain kali kalau ketuk pintu tolong pelan saja. Sheva baru saja tertidur!” pesan Emil membuat Ineke mengurungkan niatnya untuk pergi.
Wanita berusia 50-an tahun itu kembali menatap tajam ke arah Emil. “Mau tidur terus pun, anak kamu tidak akan berubah jadi anak pintar!!” ketusnya, “emang dasar pabriknya bobrok ya tetap saja, hasilnya minus! Kau tahu, sendiri. Dia itu wanita penggoda, Emil! Palingan yang jadi donatur juga orang banyak! Jadilah, anaknya nggak normal!”
“Ma!” sentak Emil tak terima. “Emil tekankan lagi, kalau Sheva itu cucu kandung mama! Tolong jaga hatinya! Meski dia belum bisa berbicara normal. Tapi telinga dan hatinya berfungsi dengan baik!” sekuat tenaga Emil menahan rasa kesalnya pada sang mama. Bagaimana pun wanita itu sudah melahirkannya. Wajib baginya untuk menghormati.
Ineke berdecak kasar, “Coba wanita murahan itu tidak merayumu! Hidupmu pasti akan baik-baik saja! Punya anak lucu-lucu. Dan pasti mama akan menerima anak mu dengan baik,” sungutnya tak henti menyalahkan Chika, istri dari Emil yang telah pergi, sehari usai cucunya lahir.
Ineke selalu membahas masa lalu Emil. Dia seperti tertimpa beban berat saat Emil batal menikah dengan anak salah satu konglomerat di kotanya.
“Mama turun dulu! Aku akan segera menemui papa,” putus Emil tak mau memperlama lagi perdebatannya dengan sang mama.
Beruntung saat Emil kembali memasuki kamar, Sheva masih terlelap. Ia hanya meninggalkan kecupan hangat di kening Sheva, sambil menarik selimut untuk menutupi setengah badan putranya. Setelah memastikan putranya tidak akan terjatuh dari ranjang, Emil segera turun ke bawah untuk menemui sang papa.
“Ada apa, Pa?” Ia langsung bertanya, setelah duduk di depan sang papa.
“Ada banyak hal yang ingin papa katakan padamu!” mata Yoga memicing tajam, tangannya menghempas kasar sebuah amplop putih di depan Emil. “Untuk kamu!” ucapnya.
“Apa ini, Pa?”
“Bukalah!” titah Yoga.
Emil menatap nanar stempel biru di amplop. Ia lekas mengeluarkan isi amplop tersebut. “Surat panggilan untuk wali Sheva?” Mata Emil menatap Yoga penuh tanya.
“Ya.” Singkatnya, membenarkan ucapan Emil.
Hari ini Emil memang tidak bisa menjemput Sheva karena ada rapat penting, baby sitter Sheva juga sedang pulang dan akan kembali besok pagi. Keputusannya meminta bantuan sang mama sepertinya ide buruk. Terbukti, Ineke tak menyampaikan langsung tersebut padanya. Apa karena ini mama membahas masa lalunya, lagi? Batin Emil.
“Jam 8 pagi harus tepat waktu. Papa nggak mau kamu terlambat datang ke sekolah. Papa malu, kamu kan, tahu yang punya yayasan itu rekan bisnis papa!” Ucap Yoga penuh penekanan.
“Tunggu, Pa! Apa mama tidak bisa mewakilinya? Besok Emil ada rap—
“O iya! Ada satu hal lagi yang ingin papa sampaikan ke kamu! Ini penting!” potong Yoga membuat Emil kembali bungkam. Pria itu tidak peduli sepenting apa urusan Emil, yang utama adalah keputusannya sudah bulat, memindahkan Emil supaya aib keluarganya bersih di mata rekannya.
“Kamu tahu toko furniture kita yang ada di Solo, kan? Kamu bisa mengelolanya mulai besok! Perusahaan di sini biarkan adik-adikmu yang mengelolanya!”
“Pa, Sheva butuh sekolah. Dia baru sekolah 6 bulan di sini. Setidaknya biarkan dia menyesuaikan diri dulu dengan teman-temannya!” Emil berusaha menolak keputusan Yoga.
“Ini bukan tawaran, Emil! Tapi ini sebuah keputusan yang harus papa ambil! Ini juga yang terbaik untuk kemajuan perusahaan kita! Ingat, Mil! Di sini sudah tidak ada lagi tempat untuk kamu! Karena posisi pemimpin, mulai besok dan seterusnya akan diambil alih oleh adik iparmu!” Yoga menjelaskan dengan tegas.
Emil hanya mampu menatap sayu wajah Yoga. Ia menarik napas dalam lantas membuangnya perlahan. “Emil terima jika itu keputusan papa. Tapi, izinkan Sheva tinggal di sini dulu. Emil janji akan menyempatkan waktu untuk pulang setiap minggu,” mintanya. “Papa jangan khawatir. Emil janji, kalau Sheva tidak akan merepotkan Papa. Emil minta jaga dia dengan baik. Dia tidak seperti yang kalian pikirkan! Sayangi dia seperti kalian menyayangi Emil. Bagaimana pun ada darah Emil yang terus mengalir dalam diri Sheva. Kalau Sheva sakit, sama halnya denganku.”
Yoga hanya mencebikkan bibir, seolah tidak benar-benar ingin menjaga Sheva. Usai berbicara dengan sang papa, Emil bergegas kembali ke kamar untuk menemani tidur putranya.
Pagi ini, setelah mengantar Sheva ke dalam kelas. Emil berjalan menuju ruang wali kelas putranya, memenuhi surat panggilan yang sudah mereka kirimkan kemarin. Rupanya kedatangan Emil sudah ditunggu oleh sepasang guru yang duduk berjajar di balik meja.
“Selamat pagi, Pak Emil.” Seorang pria berdiri dan segera menjabat tangan Emil. “Mari silahkan duduk, Pak!” titahnya begitu ramah. “Terima kasih sudah memenuhi undangan dari pihak sekolah.”
Emil duduk diam, menatap wanita yang mengampu kelas Sheva. “Ada apa ya? Apa Sheva melakukan kesalahan?” Emil tidak ingin basa-basi. Dia harus bersiap untuk pergi ke Solo, mengelola toko furniture milik papanya.
Sepasang guru itu saling melempar pandang.
“Kalau tidak ada yang penting saya izin dulu. Saya harus ke Solo hari ini dan waktu saya tidak banyak jadi mohon profesional.” Emil memperingati.
“Tunggu, Pak! Sabar, dulu! Ini nggak bakal lama kok!” Wanita di depan Emil menarik napas dalam-dalam. Bersiap menyampaikan maksud dan tujuannya mengundang Emil. “Jadi begini ... Jadi, jadi ... Saya mohon maaf sebesar-besarnya, Pak Emil. Sepertinya pihak sekolah tidak bisa menerima murid berkebutuhan khusus seperti Sheva.” Mulut wanita itu terkatup rapat saat menyadari api kemarahan dari wajah Emil.
“Pak, saran dari sekolah, Lebih baik bapak memindahkan Sheva ke sekolah luar biasa! Biar dia berkumpul dengan anak-anak yang sama seperti Sheva!” timpal guru pria bername tag Nasrudin.
Emil yang mendengar penuturan pria tersebut langsung menggebrak meja, meluapkan emosi yang tiba-tiba timbul begitu saja. Matanya melotot sempurna ke guru pria tersebut. Ia menegaskan dengan lantang, “Sheva tidak cacat! Dia hanya lambat bicara! Bukannya kalian sudah tahu, bagaimana prestasinya selama 6 bulan dia bersekolah?” Napas Emil naik turun, tidak terima atas olokan guru tersebut.
“Tapi, Pak! Sheva tidak bisa menjalin komunikasi secara normal dengan teman seusianya. Apa kata wali murid lain. Kalau tahu, sekolah bertaraf internasional memiliki siswa yang tidak bisa berbicara? Mereka akan pasti akan memindahkan putra-putrinya jika tahu. Mohon pengertiannya, Pak!” jelas Nasrudin. “apa Bapak tahu, kalau Sheva melempar temannya dengan penghapus papan tulis? Jujur saja, Pak ... kami pihak sekolah tidak ingin kejadian di kelas Sheva semakin memperburuk citra sekolah kami!” sambungnya menjelaskan apa yang dilakukan Sheva saat berada di sekolah. “kemarin saya sudah mengatakan pada ibu Ineke. Tapi beliau acuh!”
Dalam hati Emil terus bergejolak, bertanya dalam hati. Mungkinkah ini ulah orang tuanya yang ingin menyingkirkan dirinya dan Sheva. Jika benar, kenapa Sheva harus terlibat? Anak itu tidak bersalah, dia hanyalah anak kecil yang tidak tahu apapun. Dia layak dapat masa depan baik.
Cukup lama Emil diam berpikir. Hingga akhirnya ia menyetujui keinginan pihak sekolah yang menginginkan putranya dipindahkan sekolah. “Siapkan berkas pemindahan putraku! Aku akan memindahkannya. Pegang ucapanku! Suatu hari nanti kalian akan melihat bagaimana hebatnya dia!”
“Sebagai saran, sebaiknya Sheva dimasukan ke SLB pelita harapan, Pak! Di san—
“Aku tidak butuh saranmu! Anakku tidak cacat, dia hanya lambat dalam berbicara!” Potong Emil, memaki sang guru. “aku akan kembali mengambil berkasnya, setelah menjemput Sheva.” Emil berlalu begitu saja dari ruangan. Ia berjalan menyelusuri lorong menuju kelas Sheva.
Saat tiba di depan kelas Sheva, ia melihat putranya duduk sendirian di kursi belakang. Tidak ada orang yang duduk dengannya. Apa mereka tidak mau duduk dengan putraku? Mata Emil mendadak berair, ia terus memperhatikan Sheva yang masih fokus ke arah sang guru yang tengah menjelaskan materi.
Situasi itu membuat Emil sadar, kalau selama ini Sheva tidak diterima dengan baik di kelasnya. Sekarang, dia merasa tepat untuk mengambil keputusan tersebut. Terlebih lagi sang papa menginginkan dia untuk tinggal di Solo. Sepertinya tinggal di Solo bersama Sheva tidak buruk.
Emil mengetuk pintu kelas. Kemudian meminta izin untuk membawa Sheva pulang ke rumah. Putranya itu tidak menolak, dia langsung membereskan alat tulisnya, berjalan gontai menghampiri Emil. “Sheva, kasih salam sama teman-temanmu kalau kamu akan pergi?”
Anak itu mendongak. Menatap Emil yang lebih tinggi darinya, mata bulat nan jernih mengisyaratkan Emil untuk menjelaskan.
“Sheva, hari kita akan pindah. Kita tidak tahu kapan bisa kembali ke Jakarta. Jadi ... berikan salam perpisahan untuk teman-temanmu!” jelasnya yang sudah mensejajarkan tubuhnya dengan Sheva.
Pandangan Sheva tertuju ke arah gadis kecil yang duduk di kursi depan. Tangan mungilnya melambaikan tangan ke arah gadis kecil tersebut. Hal ini tentu berat untuk Sheva, di saat ia memiliki satu teman yang mau bergaul dengannya, dia justru harus pergi.
Usai berpamitan dengan teman-temannya. Emil segera membawa Sheva meninggalkan kelas. Ia kembali ke ruang guru untuk mengambil surat perpindahan Sheva.
Setelah semua berkas selesai, Emil segera membawa Sheva pulang ke rumah. “Sheva, sedih?” tanya Emil, saat berjalan ke arah parkir mobil.
Pria kecil itu mendongak, menampilkan senyum tanpa memperlihatkan giginya yang rapi disusul kepalanya menggeleng pelan. Dalam hatinya, ingin mengatakan apa yang ia rasakan saat ini, tentang kesedihannya. Tapi, keterbatasan yang dimiliki membuat dirinya tak sanggup untuk mengungkapkan semua pada sang papa.
Emil yang tahu Sheva berbohong segera membujuknya.
“Bagaimana kalau kita ke restoran cepat saji?” rayuan pertama keluar. Namun, langsung jawab penolakan oleh Sheva.
“Hmmm, kalau main game ke playground?” rayu Emil, lagi.
“Mam?” lirihnya, menatap dengan mata sendu ke arah Emil.
Emil tentu bisa mengerti maksud Sheva. Ia menghentikan langkahnya, tersenyum lembut menatap Sheva. “Mama akan pulang. Tapi, tunggu Sheva pintar dulu.”
Sheva melepas tas yang menggantung di pundak. Lalu mengambil kertas kecil yang selalu ia gunakan untuk berkomunikasi dengan Emil. “Apa mama benci Sheva?” tulisnya yang mampu dibaca Emil.
“Mana mungkin? Sheva anak baik. Jangan berpikir seperti itu. Mama selalu sayang sama Sheva. Hanya saja ....
Sheva menarik kaus Emil, meminta pria itu untuk tidak melanjutkan penjelasannya. Tanganya lekas menarik tangan Emil dan membawanya masuk ke mobil.
“Ok. Suatu hari nanti Sheva akan bertemu dengan mama.” Emil membantu Sheva naik mobil. Kemudian melajukan mobil tersebut ke rumah kedua orang tuanya.
Tiba di rumah, mata Emil menatap Kania, baby sitter Sheva yang sudah tiba di sana. Emil mengingat Kania untuk tidak cuti terlalu lama. Mengingat jadwal di kantor sang papa sedang padat. Dia bersyukur Kania cuti tidak lebih dari tiga hari. Jadi, ia bisa meminta Kania sekalian ikut ke Solo.
“Segera kemasi barang-barang Sheva, dan juga milikmu, kita akan berangkat ke Solo jam tiga nanti!” titah Emil saat melewati tubuh Kania.
Ineke yang mendengar ucapan Emil, lekas membuntutinya. “Kau mau berangkat sore ini?”
“Iya.” Emil menjawab singkat, tangannya mengambil koper, memasukan barang -barangnya.
“Berapa hari sekali kamu akan menengok mamamu yang sudah tua ini?” tanya Ineke.
Emil terkekeh, matanya menatap ke arah Ineke remeh. “Mama lucu! Bukannya mama senang kalau aku dan Sheva pergi? Tidak ada lagi yang membuat mama malu karena memiliki cucu seperti Sheva. Mama juga nggak perlu menyembunyikan keberadaan Sheva saat teman-teman mama datang!”
“Emil!” pekik Ineke, marah.
“Cukup, Ma! Emil diam bukan berarti Emil tidak tahu kelakuan mama di belakang Emil.” Emil meredam emosinya. “sebaiknya jangan terlalu berharap Emil akan sering ke Jakarta. Karena setelah tiba di Solo, Emil akan berusaha menyusun semuanya dari awal bersama Sheva!” sambungnya.
“Emil! Kamu tidak akan bisa hidup tanpa kami! Jadi jangan pernah bertingkah macam-macam! Hasil penjualan toko tidak akan cukup untuk membiayai hidup kalian!” peringat Ineke.
“Ancaman apa lagi yang akan mama berikan pada Emil?! Jujur aku curiga, jangan-jangan Chika pergi dari rumah gara-gara tingkah mama?!” tuduh Emil, dengan kekehan kecil, seakan hanya candaan belaka.
Tubuh Ineke membeku, wajahnya sesaat berubah pucat pasi. Tapi sayangnya tak mampu dilihat oleh Emil. Pria itu terlalu fokus memasukan barang-barangnya ke koper.
“Jangan bicara sembarangan, Emil! Mama tidak tahu tentang istrimu itu!” Inneke seakan tidak terima dengan tuduhan Emil, wajahnya merah padam menunjukan kemarahannya. Tanpa mengucapkan kalimat lagi, Inneke berjalan meninggalkan kamar Emil.
Usai melihat pintu kamarnya tertutup rapat, tangan Emil melempar kasar baju di tangannya. Padahal ia berharap bisa menemukan hal baru setelah mencetuskan tuduhan itu. Tapi, mamanya justru menghindar.
Seolah menyadarkan dirinya, jika kepergian Chika itu murni akibat kesalahannya. Bukan karena siapapun! Baik mama maupun Sheva.
“Pak Emil, barang-barang Sheva sudah siap!” seru seorang wanita dari balik pintu kamar, memberitahu.
“Tunggu di bawah aku akan segera turun,” sahutnya pada baby sitter Sheva.
Sejak istrinya pergi dari rumah, wanita itu dipekerjakan olehnya. Kania masih muda tapi sangat sabar dalam mengasuh Sheva. Dia begitu tulus mengasuh putranya hingga detik ini.
"Baik, Pak."
Emil cepat-cepat membereskan barangnya. Setelah semua selesai, ia lekas turun ke lantai satu, bersiap membawa putranya pergi dari Jakarta.
“Sheva, kasih salam sama Kakek dan nenek!” titahnya yang langsung dijawab anggukan kepala.
Anak kecil itu mendongak menatap wajah Ineke. Kemudian mencoba meraih telapak tangan sang nenek, bibir mungilnya mengecup punggung tangan wanita tua tersebut. Sampai Ineke merasa risih dan langsung menjauhkan tangannya. Wanita itu tampak kesal saat kecupan Sheva terasa basah di punggung tangannya.
“Sheva jangan nyusahin papa. Di sana papamu bekerja dan bakalan sibuk di toko!” pesan Yoga, sebelum anak kecil itu mencium tangannya. Sedangkan anak itu hanya bisa mengangguk. Terlalu lama jika dia harus menulis sesuatu di kertas.
Emil yang melihat tingkah mereka, tidak ingin berpamitan dengan kedua orang tuanya. Hatinya terkulai oleh sikap kedua orang tuanya. Ia pun langsung berjalan keluar rumah, membantu satpam memasukan koper- kopernya ke mobil.
Setelah semua siap Emil lekas meminta sang sopir untuk mengantarnya ke bandara. Kehidupan barunya bersama Sheva dimulai.
***
Cahaya matahari nyaris menghilang saat mobil Emil berhenti di depan bangunan rumah putih. Rumah sederhana dengan halaman luas dan rumput hijau yang tumbuh subur di sana. Dia sudah tidak sabar bermain bola bersama Sheva. Berteriak sekerasnya tanpa takut akan dimarahi tetangga.
Sudah lama Emil tidak datang ke tempat ini. Rumah yang dia beli 10 tahun silam. Tentu dari keringatnya sendiri. Bahkan, ia tak yakin kedua orang tuanya tahu tentang rumah tersebut.
“Alhamdulillah, mas Emil sudah datang ...” ucap seorang wanita yang berdiri menyambut kedatangan Emil.
“Putranya mana, Mas. Nggak dibawa?” selidiknya menatap ke arah mobil yang tadi mengantar Emil.
“Tidur, Bu.”
Wanita itu mengangguk, membantu Emil membawa barang-barangnya.
“Kamu bisa gendong Sheva, Nia. Biar aku yang bantu Bu Suti!” titahnya saat melihat Kania hendak menarik koper.
“Saya sudah masak makan malam buat Mas Emil dan Den kecil. Setelah ini, ibu mau pulang ya.”
“Hm, terima kasih, Bu,” ucapnya sopan.
“Bu, kalau ibu berkenan, berhubung saya sudah tinggal di sini bisakah ibu dan bapak ikut tinggal di sini juga? Masalah bayaran berapapun akan saya beri asal ibu dan bapak ikut tinggal di rumah ini.”
Bu Suti melangkah sambil menarik koper kecil milik Sheva. “Saya akan bicarakan dulu dengan bapak, Mas.”
“Makasih ya, Bu! Setidaknya Sheva punya keluarga baru di tempat ini! Dia pasti akan senang.”
Bu Suti mengangguk. “saya juga senang kalau punya keluarga baru, Mas. Semoga Mas Emil dan si kecil kerasan ya!”
Obrolan singkat itu berakhir. Emil memasuki kamar yang sudah dirapikan oleh bu Suti. Ia membuka ponselnya menatap nama Chika yang menjadi nama teratas di phonebooknya.
“Sebelum, maghrib aku tiba di Solo. Masih ingat nggak kamu dengan rumah ini? Kamu pulang ke sini ya? Sheva tertidur. Aku enggak tahu anak kita bakalan betah atau tidak!” Pesan itu kembali terkirim. Tapi masih sama seperti kemarin, hanya centang satu yang terlihat.
Selesai membersihkan diri, Emil keluar dari kamar untuk makan malam. Saat ia berjalan ke arah dapur, ia melihat Sheva duduk di depan tv bersama Kania.
“Sheva sudah makan, Nia?”
“Sudah, Pak! Dia baru belajar. Lahap sekali makannya,” jawab Kania, menatap Emil.
“Sheva, besok kita cari sekolah baru ya ....” Sheva hanya mengangguk lemah tanpa menatap Emil. Dia masih sibuk dengan soal yang diberikan Kania. Anak itu masih rajin belajar meski tahu saat besok pagi membuka mata, sang papa tidak akan memaksanya untuk pergi sekolah.
Malam semakin larut, setelah Kania menidurkan Sheva. Ia berniat untuk pergi ke kamarnya. Namun, saat melewati ruang keluarga ia melihat pintu depan terbuka lebar. Dengan santai ia berjalan ke arah pintu tersebut.
Tubuhnya terkesiap saat melihat bayangan Emil duduk di kursi teras. “Ya ampuun, Bapak! Bikin Nia kaget.” Bibirnya menggerutu.
Emil yang tengah duduk menoleh ke arah Kania. “Sheva sudah tidur?”
“Sudah, Pak. Kelelahan.”
“Nia.”
“Ya. Kenapa, Pak?”
Emil mematikan puntung rokok di tangannya, lalu menatap Kania lembut. “Menurutmu ... Apa Sheva ... tidak akan bisa bicara selamanya? Guru Sheva yang di Jakarta menyarankan untuk menyekolahkan di SLB. Bagaimana menurutmu?”
Kania termangu menatap Emil. “Sheva punya otak cerdas. Dia bisa mengerti apa yang disampaikan oleh gurunya. Kenapa mereka mengatakan itu?” Ada nada kesal saat Kania mengatakan itu. “Bapak percaya saja, jika Sheva diasuh dengan tepat. Dia akan secepatnya bisa berbicara.”
“Tapi dia hampir 6 tahun.”
“Sheva tidak akan mati besok, Pak! Waktu Sheva masih banyak. Jangan memvonis Sheva seumur hidupnya tidak akan bisa berbicara!” Kania menarik napas dalam. “Maaf kalau saya bicara kasar. Tapi, Bapak juga harus percaya, kalau Sheva anak pintar. Jangan justru membuat Sheva terlihat tidak berarti apa-apa!”
Emil diam, jemarinya dengan pelan menyugar rambutnya kebelakang. “Terima kasih sudah mengingatkan aku. Jujur aku kesal saat mendengar ucapan mereka. Aku bisa saja kuat. Tapi Sheva? Bagaimana dia melewatinya nanti.”
Suasana kembali hening, sampai suara dedaunan yang bergoyang diterpa kencangnya angin terdengar di pendengaran mereka berdua.
“Pak Emil sudah makan?” Kania bertanya pelan. Emil hanya mengulum senyuman tipis. “Bapak harus makan! Bu Suti sudah masak banyak hari ini.”
“Apa kamu mau menemaniku makan malam?” tawar Emil.
“Emmm ... boleh, Pak?”
“Tentu.” Emil beranjak. “Jangan samakan di sini dengan Jakarta. Anggap saja ini rumahmu sendiri!” Emil berjalan memasuki rumah. Sedangkan Kania masih menatap punggung Emil yang semakin menjauh dari pandangannya.
“Wanita mana yang sudah tega membuang pria seperti ini?!” Ia mengikuti jejak langkah Emil, yang memasuki rumah. “Bodoh!” gumamnya, dengan sudut bibir tertarik ke atas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!