NovelToon NovelToon

The Ragen Book 2 : Rise Of The Legendary Warrior

Bab 1. Welcome to The New World

Hujan deras yang turun menghapus debu, disambut dengan sorak-sorai oleh para penghuni daratan yang sudah lama mengalami kekeringan. Orang-orang yang tengah bekerja membangun dinding pembatas, menghentikan sejenak pekerjaannya dan beralih menari menyambut hujan. Kini hujan tidak lagi menjadi teror mengerikan bagi manusia di bumi setelah peperangan berakhir.

Sejak kematian Demon dalam perang besar, para Ragen menjadi lemah bahkan tidak sedikit yang mati tanpa sebab. Hal ini dimanfaatkan orang-orang untuk menyingkirkan para Ragen untuk kembali membangun peradaban baru yang sempat porak-poranda. Mereka membakar mayat-mayat Ragen untuk memastikan virus itu tidak menyebar lagi.

Kabar baik lainnya setelah perang, anti virus Ragen berhasil diciptakan. Meski pun Anti virus itu hanya bisa digunakan untuk orang-orang yang tergigit atau pun tertular virus Ragen saat gejala awal mulai muncul, setidaknya itu sangat membantu kelangsungan hidup umat manusia. Semua itu berkat Matthew yang merupakan tahanan perang, yang harus menjalani hukuman di laboratorium Venus untuk menebus kesalahannya selama ini.

Namun kemenangan dan kesuksesan menghadapi Ragen, ada rasa kehilangan besar sejak kematian Sang Guardian dalam medan pertempuran. Tidak hanya Sang Guardian yang mengorbankan diri demi keselamatan umat manusia, banyak juga Army yang gugur dalam medan pertempuran. Demi mengenang jasa mereka, Venus membangun sebuah monumen di depan markas besar yang kini penuh dengan bunga dan lilin sebagai simbol penghormatan.

Bunga-bunga di sana pun terus bertambah setiap harinya, seperti saat ini. Di bawah hujan seorang pria membawa setangkai bunga Magnolia dan meletakkan tepat di depan foto Sang Guardian. Pria itu mengusap foto itu pelan, jelas terlihat rasa pedih yang mendalam dari wajahnya. Pria itu adalah Leo, yang masih tidak bisa merelakan kepergian Selena untuk selamanya. Dadanya masih disesaki rasa penyesalan telah melimpahkan semua kesalahan pada Selena, tanpa mau mencari kebenarannya terlebih dahulu.

"Aku selalu berharap ini hanya mimpi buruk dan segera terbangun, agar aku bisa melihatmu kembali di sisiku," ucap Leo sendu.

Berkali-kali Leo mendatangi tempat di mana mereka bertempur terakhir, mencari keberadaan Selena. Namun usahanya sia-sia. Sejak awal pencarian di bekas tempat itu yang hancur rata, hanya ditemukan mayat Demon sedangkan tubuh Selena sampai sekarang tidak pernah ditemukan. Karena itulah Leo masih berharap ada keajaiban yang menyelamatkan Selena saat itu dan bertemu kembali dengannya suatu hari nanti.

Tepukan pelan di pundak, membuyarkan lamunan Leo. Teman-temannya sudah menghampiri Leo, semua tampak masih bersimpati dengan keadaan sahabatnya itu. Terutama Ignis yang tertua dari mereka, selalu setia mendampingi dan menguatkan Leo. Ia tahu apa yang dilalui Leo saat ini sangat tidak mudah. Pria itu pernah kehilangan orang tuanya secara bersamaan dan sekarang dia harus kehilangan orang yang dicintai lagi. Leo sangat membutuhkannya dan juga teman-temannya untuk terus menguatkan hati pria itu.

"Sebaiknya kita masuk. Selena pasti tidak senang melihatmu menyiksa diri seperti ini terus," ucap Ignis mengajak Leo untuk kembali ke asrama.

"Bukankah aku pantas mendapatkan ini," ujar Leo sendu.

"Ayo kawan."

Ignis merangkul Leo dan membawanya pergi dari tempat itu. Sedangkan teman-temannya yang lain mengikuti di belakang. Tak ada lagi percakapan di antara mereka, semua tampak tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya air hujan yang menjadi pengiring setiap langkah yang membawa duka di hati.

***

Berhari-haripun berlalu tanpa ada banyak perubahan. Semua orang masih menjalankan aktifitas masing-masing. Para Army berpatroli untuk memastikan semuanya aman, sisanya dikirim ke tempat-tempat yang menjadi sarang Ragen untuk pembasmian. Saat ini mereka lebih memprioritaskan daerah pedesaan dan menghindari pusat kota serta hutan yang masih banyak dihuni Ragen.

Kelompok Leo termasuk pasukan yang dikirim untuk membasmi para Ragen. Leo memang sengaja memilih bagian itu untuk mengalihkan rasa sakitnya ditinggal Selena. Kesibukan membuatnya bisa melupakan sejenak, meski saat sendiri ia kembali terpuruk. Sayangnya hari ini tidak begitu banyak Ragen yang bisa dijadikan sasaran pelampiasan, sehingga hanya membutuhkan waktu sampai tengah hari mereka sudah membersihkan semua.

"Tempat ini sepertinya cocok kalau dijadikan daerah sumber pangan."

Sayup-sayup terdengar suara Ignis yang berjalan di depan bersama Bryan mengawasi sekitar. Walaupun tempat itu tidak begitu banyak ladang, tetapi tanah terbengkalai tak sedikit jumlahnya.

"Tapi di sini terlalu jauh dari Venus dan butuh banyak sumber daya untuk membangun dinding perlindungan," sahut Bryan ragu.

"Tidak perlu dinding pembatas. Tempat ini jauh dari kota dan juga hutan, aku rasa pagar perimeter sudah bisa mengatasi keamanan di sini," terang Ignis.

"Apa kau yakin soal itu?" Bryan mengedarkan padangan ke sekitar sembari menimbang apa yang diusulkan Ignis.

"Coba saja kau bicarakan pada para petinggi Venus," usul Ignis yang langsung diangguki Bryan.

Memang saat ini mereka membutuhkan tempat baru untuk keperluan pendukung, dan juga memindahkan para pengungsi yang semakin hari semakin banyak. Tempat-tempat yang mereka gunakan sejauh ini baru di dekat Venus, itu pun masih kurang mampu menampung pengungsi. Tempat ini seperti yang dikatakan Ignis, memiliki potensi bagus untuk menjadi sumber pangan. Bryan bisa membicarakan itu nanti dengan ayahnya dan juga pemimpin lainnya.

Belum jauh mereka menyusuri tempat itu, dari kejauhan terlihat beberapa mobil militer mendekat. Bryan yang merupakan pemimpin pasukan tampak menatap heran mobil-mobil itu, pasalnya pasukan yang ia bawa baru sampai tadi pagi dan bertugas di sana selama dua hari. Namun baru tengah hari sudah ada pasukan lain yang datang. Mobil-mobil itu berhenti tepat di depan pasukan Bryan.

"Apa ada masalah?" tanya Bryan begitu salah satu anggota pasukan yang berada di dalam mobil itu mendekat.

"Ada tamu untuk Pangeran, kalian harus pulang sekarang," kata Army itu memberitahu.

"Siapa?" tanya Leo bingung sekaligus penasaran.

"Dari UK."

Mendengar itu Leo tampak terkejut. Setelah sekian lama pergi dari negaranya, baru kali ini ada yang mencarinya. Apalagi sejak wabah Ragen muncul, negara UK langsung menutup semua akses keluar masuk dari negara itu sehingga negara itu menjadi satu-satunya yang selamat dari wabah Ragen sampai sekarang.

"Sebaiknya kita pulang dan menemuinya," kata Ignis melihat Leo tampak bingung.

"Bagaimana dengan tugas pembersihan di sini?" tanya Leo.

"Kami di sini dikirim untuk menggantikan tugas kalian."

Leo mengangguk mengerti. Akhirnya, mereka kembali ke Venus untuk menemui orang yang mencari Leo, meninggalkan tugas pembersihan di desa terpencil itu. Perjalanan mereka dipenuhi dengan kebisuan dan masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikirannya sendiri. Leo bertanya-tanya siapa sebenarnya orang yang mencarinya dan apa yang diinginkan darinya. Sementara itu, bayangan desa yang porak-poranda masih terpatri dalam benaknya, mengingatkan mereka akan tugas yang belum sepenuhnya selesai. Namun, mereka tahu bahwa ada hal yang lebih mendesak menanti di Venus.

Bab 2. Utusan dari UK

Hari sudah menjelang malam saat pasukan Bryan mencapai markas pusat. Mereka semua sudah ditunggu seorang komandan yang memerintahkan mereka langsung ke kantor Jenderal Hein, untuk menemui utusan dari UK. Mau tidak mau mereka menyeretkan langkah kaki mereka menuju gedung pusat, dengan hati diselimuti banyak pertanyaan.

Di dalam ruangan yang begitu luas itu, hanya terlihat Jenderal Hein dan dua orang lainnya yang duduk saling berhadapan ketika Leo dan kawan-kawannya masuk. Leo langsung mengenali kedua pria paruh baya yang kini menatapnya lega sekaligus bahagia. Pria itu adalah Benjamin Lane, ayah dari Tony dan Sania, sedangkan pria yang di sampingnya adalah Henry Lane, orang kepercayaan Benjamin Lane.

Mengetahui siapa yang menemui mereka, Sania yang berada di belakang Leo langsung menghambur maju. Ia langsung memeluk ayahnya untuk melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu, Tony pun mengikuti adiknya begitu tau ayahnya di sana. Mereka bertiga saling melepas rindu satu sama lain.

“Papa senang kalian semua baik-baik saja,” ungkap Henry sembari menatap satu persatu anak-anak muda di depannya itu.

“Kami pun sangat senang bisa bertemu Papa lagi,” sahut Sania dengan mata berkaca-kaca.

“Sebenarnya aku sudah tau sejak lama kalian berada di sini, hanya saja keadaan tidak memungkinkan untuk menjemput kalian semua,” terang Henry.

“It’s okay, Paman. Kami semua baik-baik saja,” ucap Leo.

“Pasti sangat berat bagi kalian menghadapi keadaan dunia selama ini, karena itulah aku ingin kalian kembali ke UK. Ke tempat yang paling aman untuk kalian sekarang.”

Mendengar permintaan Henry, sejenak Leo tampak tertegun. Tak pernah terpikirkan sebelumnya ia akan meninggalkan tempat ini. Ia hanya tidak ingin berpisah dengan semua kenangan bersama Selena, meski itu sangat menyakitkan baginya.

“Aku...” Leo ragu untuk mengatakan penolakannya, ia tak ingin seorangpun tau yang dirasakannya saat ini.

“Paman tau kau sangat mempercayai Perdana menteri Abraham, tetapi rakyat akan lebih tenang jika kau berada di UK,” kata Henry melihat keraguan di mata Leo.

Tidak hanya Tony dan Sania saja yang memandangi Leo dengan perasaan gundah, teman-temannya yang lain pun ikut cemas. Mereka tahu apa yang dirasakan pria itu meski diam, Leo masih belum merelakan kepergian Selena. Karena itulah mereka tahu mengapa Leo ragu mengambil keputusan.

“Baiklah, Paman. Kami akan pulang, beri kami beberapa waktu untuk mempersiapkan perjalanan,” putus Leo dengan berat hati.

“Tentu saja, Paman akan menunggumu sampai siap.”

Setelah semua selesai dibicarakan, Leo dan kawan-kawannya kembali ke camp untuk istirahat. Tak banyak yang mereka bicarakan sepanjang perjalanan, mereka hanya tidak mengira akan ada orang dari UK yang datang menjemput setelah sekian lamanya tak pernah ada kabar dari sana. Sekalipun mereka tampak senang, tetapi dalam hati masih ragu dengan keputusan yang diambil Leo. Meski begitu mereka memilih untuk diam, masih ada waktu satu minggu untuk mereka menghabiskan waktu di Venus sebelum kembali ke UK.

***

Dengan tatapan kosong, Leo menatap langit malam yang bertabur bintang. Semakin mendekati hari di mana ia harus pulang ke negaranya, semakin ia merasa hampa. Ia masih ingin berada di sini, di mana ia bisa merasakan begitu dekat dengan Selena. Namun ia tidak bisa bersikap egois dengan meninggalkan rakyatnya lebih lama lagi, setelah sekian lama ia pergi dari sana.

Hembusan napas panjang lolos dari rongga hidung Leo. Ia beranjak dari tempatnya berada kini, melangkahkan kakinya yang terasa berat menuju suatu tempat. Tempat di mana tak ingin didatanginya semenjak perang berakhir. Tempat itu adalah tempat di mana Matthew diisolasi setiap malam.

Lorong panjang yang sunyi itu ia susuri setapak demi setapak. Semakin dekat dengan ruangan Matthew, semakin terasa berat kakinya untuk melangkah. Ada yang membuatnya tidak siap untuk mendengar jawaban dari yang ingin ia tanyakan pada Matthew. Namun ada harapan yang mencoba ia kais sepanjang waktu ini. Saat sampai di tempat yang dituju, Leo langsung meminta ijin pada Army yang berjaga di sana. Pria yang tengah terkantuk-kantuk itu tampak terkejut, sekaligus bingung karena belum pernah ada yang menjenguk Matthew di tengah malam seperti ini. Biasanya orang-orang yang menjenguk atau ingin berbicara dengan Matthew lebih memilih bertemu di siang hari saat berada di lab.

“Untuk apa kau ke sini?” tanya Matthew sinis, begitu Leo masuk ke dalam ruangan.

“Aku ingin tahu tentang Selena,” jawab Leo pelan.

“Yang benar saja?! Setelah sekian lama kematian Selena, kau baru menanyakannya sekarang!” ucap Matthew berang.

Susah payah Leo menelan ludahnya, “aku hanya ingin memastikannya.”

Semenjak kejadian itu, Leo baru tahu kalau Matthew dan Selesa bisa saling berkomunikasi melalui telepati. Sebelumnya ia hanya merasa Selena sedikit berubah setelah jatuh di hutan Forgotten City. Ia sering mendapati Selena berbicara sendiri atau menulis sesuatu yang tidak dimengertinya. Ternyata seperti itulah cara Selena dan Matthew berkomunikasi satu sama lain.

“Itu tidak penting bagimu,” tolak Matthew.

“Itu penting untukku, setidaknya sebelum aku kembali ke UK. Aku ingin tahu, Matt. Please?” kata Leo mengiba.

“Dia sudah mati, bahkan sekalipun dia masih hidup. Aku tidak akan pernah memberitahumu. Sebaiknya kau pergi dari tempat ini,” usir Matthew sembari mendorong Leo keluar.

Leo tampak terhuyung akibat dorongan Matthew yang lumayan kencang. Army yang berjaga di luar pun langsung menghampiri untuk membantu Leo berdiri tegak lagi. Baru kali ini penjaga itu melihat Matthew tampak marah pada orang yang menjenguknya. Walaupun Matthew terkenal dingin, tetapi tidak pernah seperti itu.

“Anda tidak apa-apa?” tanya Army itu.

“Ya, terima kasih.”

Dengan sopan Leo mengangguk sebelum meninggalkan tempat itu. Pupus sudah harapannya untuk mendapatkan kepastian tentang Selena. Ia tidak punya pilihan lain lagi selain mengubur dalam-dalam keyakinan tentang Selena yang masih hidup dan merelakan kepergian gadis itu mulai sekarang.

***

Cuaca cerah sudah menyambut hari ini, semilir angin lembut membawa kesejukan. Sebuah helikopter sudah siap berada di salah satu helipad untuk membawa tamu kembali ke UK, termasuk Leo dan kawan-kawannya. Jimmy, Tony, dan Sania terlihat antusias berjalan mendekati helikopter karena tidak sabar bertemu lagi dengan keluarga mereka di UK. Sedangkan Ignis tampak biasa saja, pria itu sama seperti Leo, sudah tidak memiliki keluarga di UK. Mereka berlima pagi itu resmi meninggalkan Venus, hanya Austin yang tetap bertahan di sana menemani Matthew.

“Apa kau yakin akan meninggalkan tempat ini?” tanya Ignis yang sengaja berjalan berdua saja dengan Leo.

Leo mengangguk pelan, “sudah tidak ada lagi yang kuharapkan di sini,” ucapnya dengan tatapan menerawang jauh.

“Percayalah, apa pun yang terjadi. Kami akan selalu berada di sisimu,” kata Ignis menguatkan.

“Aku percaya itu.”

Helikopter milik kerajaan UK itu pun perlahan lepas landas begitu semua sudah masuk. Dari dalam helikopter, Leo memandangi daratan Camp militer Venus untuk terakhir kalinya. Ia tahu. Meski ia meninggalkan tempat itu sejauh mungkin, pada akhirnya hatinya akan tetap tertinggal di sana bersama orang yang dicintainya.

Bersambung...

Bab 3. Penyambutan

Berita kepulangan Leo ke UK langsung menyebar luas ke segala penjuru kota. Banyak yang merasa senang mengetahui pangeran mereka baik-baik saja, setelah dinyatakan menghilang saat bencana terjadi. Sepanjang jalan bendera kerajaan berkibar penuh untuk menyambut Sang Pangeran yang akan ke Capitol. Semua rakyat sudah tidak sabar untuk melihat pangeran mereka lagi.

Tepat pukul sembilan pagi, mobil yang ditumpangi Leo dan Ignis meninggalkan Lakewell Palace yang merupakan tempat tinggal raja secara turun temurun. Dan tempat itu kini ditinggali Leo bersama Ignis setelah raja dan ratu tiada, sesekali teman-teman mereka yang lain menginap di sana untuk menemani.

Melalui jalan di pinggiran danau, tempat Lakewell Palace berada, mereka berangkat menuju Capitol di pusat kota. Berbeda jauh dengan keadaan di luar sana, di UK semuanya tampak baik-baik saja. Tak ada tempat yang disentuh oleh ganasnya virus Ragen yang memporak-porandakan dunia, semua itu berkat kubah yang melindungi negara kecil itu.

Tidak hanya kubah tak kasat mata yang melindungi bagian langit UK, tetapi juga tembok besar yang mengelilingi pinggiran yang membuat UK terpisah dengan dunia luar sekaligus melindunginya dari ancaman bahaya. Keamanan tingkat tinggi itu memang diciptakan untuk melindungi kota kecil itu, sebab di negara itu terdapat harta yang paling berharga yang hanya diketahui oleh beberapa petinggi negara di dunia.

Sebab itulah Leo yang sudah lama berkelana di luar sana, merasa sangat aneh melihat pemandangan di negaranya yang begitu kontras dengan dunia luar. Bukan ia mengharapkan negaranya hancur seperti yang lain, hanya saja ia sedikit bersedih seandainya saja bisa membawa orang-orang di luar sana ke dalam negaranya. Mungkin banyak yang akan terselamatkan dari wabah Ragen.

“Setelah sekian lama bertarung dengan Ragen, melihat keadaan damai seperti ini. Membuatku sedikit aneh. Apa kau juga sependapat denganku, Leo?” tanya Ignis memecah keheningan di dalam mobil.

“Ya, aku pun merasakannya,” sahut Leo menyetujui.

“Negara kita benar-benar beruntung memiliki pengamanan cukup tinggi, tidak seperti yang lainnya.”

“Seandainya saja banyak negara yang membangun daerah keamanan, mungkin dunia ini tidak hancur,” gumam Leo.

“Ya... mungkin setelah ini akan banyak negara yang membangun tempat perlindungan untuk memulai peradaban baru nantinya,” terka Ignis.

“Seharusnya itu yang mereka lakukan.”

Leo mengedarkan pandangan ke luar jendela mobil. Mereka kini sudah memasuki pusat kota dan sudah banyak orang-orang berjajar di pinggir jalan menyambut kedatangannya. Mereka melambaikan tangan saat mobil Leo melintas, wajah mereka tampak bersuka cita melihat pangeran negeri itu telah kembali.

Sesampainya di Capitol, Leo langsung dibawa masuk menuju ruang dewan, di mana para petinggi negara sudah menunggu kedatangannya. Semua masih sama seperti terakhir Leo datang ke tempat itu, para petinggi dewan tak banyak yang ganti. Mereka semua langsung membahas tentang pengalaman Leo hidup di luar negeri, melawan para Ragen karena memang negara UK termasuk negara yang terbatas mendapatkan informasi soal wabah itu.

Butuh waktu yang cukup lama bagi Leo untuk menceritakan semua pengalamannya di luar sana, dan juga menjawab semua pertanyaan para dewan. Walau keadaan dalam negara sekarang aman, mereka tidak mau mengambil resiko tetap bersantai seperti sebelumnya. Meski wabah Ragen mulai mereda, musibah itu tetap tidak ada yang tau kapan datangnya. Bisa saja wabah itu kembali muncul dengan mutasi baru untuk beradaptasi dengan anti virus yang sudah berhasil diciptakan.

Setelah membahas cukup mendalam soal virus Ragen sekaligus perencanaan persiapan penanggulangan wabah tersebut, akhirnya pertemuan itu berakhir. Masing-masing pulang dengan membawa tugas baru di pundak mereka, tak terkecuali Leo yang harus mulai membiasakan diri memimpin kembali negara itu. Walau pun negara UK memiliki perdana menteri, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan raja. Dan saat ini setelah Regis Callum meninggal dunia, Leo lah yang menjadi akan menggantikannya minggu depan selepas upacara pengangkatan raja baru.

Belum sempat Leo keluar dari ruang dewan, Abraham Shaw, perdana menteri UK menahannya untuk membicarakan hal penting lain secara pribadi. Hanya Ignis yang merupakan orang terdekat Leo yang bisa mengikuti pembicaraan mereka berdua. Mereka pun segera menuju ruang perdana menteri agar pembicaraan itu tidak tersebar luas.

“Ada hal yang harus kau ketahui selain pembicaraan di sidang tadi,” kata Mr. Abraham memulai percakapan. “Sejak wabah menyebar dan kau menghilang bagai ditelan bumi. Tidak sedikit anggota dewan yang khawatir akan nasib negeri ini.”

Leo dan Ignis yang mendengarkan pria paruh baya di depannya itu, sontak mengerutkan kening bingung. Mereka melihat sejauh ini semua tampak baik-baik saja meski Leo berada jauh dari UK, terutama karena negeri ini masih memiliki perdana menteri yang bisa menggantikan posisi kepemimpinan selama raja tidak ada. Lagi pula sejak ayah Leo meninggal, mereka belum mengangkat raja baru. Leo masih berstatus putra mahkota dan belum naik tahta.

“Bukankah semua tampak baik-baik saja?” ucap Ignis.

“Semua tampak baik, hanya di luarnya saja. Tetapi mereka mengkhawatirkan kekosongan kursi raja yang kosong sangat lama. Rakyat juga sudah mulai gelisah tentang hal itu,” terang Mr. Abraham.

“Kalau memang Leo harus naik tahta, bukankah tinggal melakukannya saja sekarang?” ungkap Ignis.

“Tidak semudah itu. Negara kita memiliki aturan tidak tertulis soal pengangkatan raja baru. Putra mahkota harus memiliki setidaknya calon ratu untuk menyempurnakan kedudukannya.”

“Tapi Leo tidak memiliki calon saat ini.”

Mr. Abraham terdiam, dialihkan perhatiannya pada Leo yang sejak tadi hanya diam menyimak. Ia yakin Leo mengetahui peraturan ini sejak dulu, karena Leo satu-satunya penerus tahta kerajaan UK.

“Leo sudah memilikinya sejak masih kecil,” ucap Mr. Abraham. “Luna disiapkan oleh raja untuk menjadi pendamping Leo sejak kecil, kini dia sudah siap untuk itu.”

Nyaris saja Ignis mengumpati Mr. Abraham kalau tidak ingat untuk menjaga kehormatan mereka. Jelas usulan Mr. Abraham bukan sekedar soal peraturan tak tertulis, tetapi ada maksud lain di baliknya. Luna merupakan putri Mr. Abraham, menjodohkan Luna dengan Leo jelas akan mengamankan kedudukan Mr. Abraham sebagai perdana menteri. Memangnya siapa yang akan berani mengusik keluarga kerajaan nantinya?

Dengan tidak sabar Ignis melirik Leo yang masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia mengerti Leo masih tidak ingin berurusan dengan hal percintaan, terutama karena sahabatnya itu masih belum bisa melupakan Selena. Pemaksaan ini mungkin akan berdampak buruk untuk ke depannya.

“Mr. Abraham dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya rasa Leo belum siap untuk urusan pernikahan. Leo masih dalam masa berkabung atas kepergian kekasihnya dalam perang besar di Venus. Saya tidak yakin, perjodohan itu akan menjadi pilihan terbaik saat ini. Saya rasa masih ada solusi lainnya,” kata Ignis.

“Sampai kapan Leo akan tenggelam dalam kesedihan? Lagi pula orang mati tidak mungkin hidup lagi,” sergah Mr. Abraham gusar.

“Sir...”

“Kepergian Leo sudah cukup membuat banyak masalah di negeri ini. Raja pasti akan kecewa melihatnya seperti ini, pergi lama meninggalkan tanggung jawab. Apa yang kupinta tadi adalah solusi paling tepat, untuk membuktikan Leo masih memiliki rasa tanggung jawab pada negeri ini. Kalau itu pun tak sanggup dilakukannya, aku tidak akan bertanggung jawab dengan apa yang terjadi kedepannya,” ancam Mr. Abraham.

Leo yang sejak tadi bergeming di tempat duduk, mendadak berdiri tegap. “Aku akan menikahi Luna. segala persiapan untuk pernikahan dan upacara penyerahan tahta, aku serahkan semua padamu,” katanya pada Mr. Abraham.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Leo pergi meninggalkan tempat itu disusul Ignis yang masih tampak tidak puas. Keduanya menyusuri hall Capitol yang sunyi dalam kebisuan. Meski pun Ignis masih belum menerima keputusan Leo, ia menahan diri untuk tidak membahasnya saat ini. Hari sudah terlalu malam dan mereka berdua sudah sangat lelah, lebih baik pulang dan beristirahat lebih dulu.

Saat sampai di halaman Capitol, langkah Leo mendadak berhenti. Tak jauh di hadapannya terlihat seorang gadis yang berdiri menunggunya dengan wajah berseri. Gadis itu langsung berlari ke arah Leo dan memeluknya erat untuk melepas rindu.

“Leo... aku senang bisa melihatmu. Aku pikir kau tidak akan pernah pulang lagi,” ucap gadis itu disela linangan air mata bahagia.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!