Gubrak~
Seorang pemuda tersungkur jatuh setelah mendapatkan pukulan keras dari seorang pria bertubuh besar dan kekar. Tanpa diberi kesempatan untuk bangkit, pemuda itu dipukuli habis-habisan oleh pria bertubuh besar da kekar itu sampai memuncratkan dari dari mulut, hidung dan kepalanya.
Lalu kemudian, pria tersebut merampas semua isi dompet milik si pemuda dan mengambil semua uang yang ada di dalamnya. Si pemuda dengan lirih merangkak meraih kakinya, dan memeluknya erat-erat. Namun, si pria bertubuh besar itu malah melesatkan tendangan ke wajah si pemuda sampai pelukan di kakinya terlepas.
Si pemuda tetap tidak mau menyerah, walau ia sudah tidak berdaya. Ia ingin mempertahankan uang miliknya tersebut, yang susah payah ia kumpulkan untuk kelangsungan hidupnya dan adik-adiknya.
"Kembalikan!" lirihnya terus mengulang kata tersebut kepada si pria. Namun, si pria malah meludahinya dan tertawa puas sebelum pergi meninggalkannya.
Si pemuda dengan ketidak berdayaannya menangis sambil merangkak untuk meraih dompet yang sudah kosong. Ia menangis kesakitan, bukan karena luka disekujur tubuhnya, melainkan ia menangisi hilangnya uang yang ia hasilkan dengan susah payah itu untuk study tour adiknya.
Pemuda itu menyesali ketidak mampuannya untuk mempertahankan uang tersebut. Padahal ia sudah banting tulang bekerja dari pagi hingga malam untuk menghasilkan uang tersebut. Merelakan semua impiannya dan masa mudanya untuk menghidupi ketiga adiknya yang masih sekolah.
Malam ini, dihari yang hening dan sunyi. Dalam kebisuan yang dipenuhi oleh tangisannya, hujan turun dengan sangat deras mengguyur tubuh si pemua yang bergelimang darah. Pemuda itu mengumpulkan kekuatannya untuk bangkit dan berjalan pulang dengan langkah gontai. Meskipun terasa amat menyakitkan baginya, dan merasa sangat tak adil. Ia lebih merasakan sakitnya, ketika memikirkan betapa akan kecewa adiknya ketika ia pulang membawa kabar, kalau ia tidak bisa menepati janjinya itu.
Sementara itu, adiknya di rumah begitu cemas karena malam semakin larut disertai hujan dan guntur, tetapi kakak tertua mereka belum juga kembali pulang. Saat itu juga, adik bungsunya terbangun karena suara guntur yang keras.
"Kak Ira? Kak Jafar belum pulang, yah?" tanya Tina-adik bungsu.
Ira menghampirinya dan tersenyum. "Kenapa kamu bangun? Iyah, Kak Jafar belum pulang. Mungkin, dia saat ini sedang berteduh di suatu tempat," balas Ira menenangkannya.
"Tapi, perasaanku tidak enak, kak. Aku cemas Kak Jafar kenapa-kenapa," ungkap Tina.
"Aku akan pergi mencarinya," sela Iskan sembari memakai tudung jaketnya bersiap pergi. Namun, ditahan oleh Ira.
"Tidak boleh. Di luar hujan, kamu bisa sakit nanti. Biar Kakak saja yang cari. Kamu jaga saja Tina di rumah. Kakak akan segera kembali," ujarnya sambil mengambil jaket dan memakainya, lalu berlari pergi keluar menerobos ke dalam hujan yang sangat deras.
Tina dan Iskan hanya bisa menatap kepergian kakak mereka dengan perasaan tak enak. Berharap mereka cepat kembali dengan selamat.
Tatkala, saat ini Jafar yang terhuyung-huyung karena luka dikepalanya mulai terasa begitu sakit. Darah terus mengucur tanpa henti bercampur dengan air hujan membuat ia merasa lebih pusing. Perlahan pandangannya semakin kabur. Dan ia pun jatuh pingsan di jalanan sepi.
Untungnya Jafar pingsan tak terlalu jauh dari rumah mereka. Sehingga Ira yang kini sedang mencarinya menemukan ia dalam keadaan terluka dan pingsan. Dengan panik Ira buru-buru menghampirinya.
"Kak Jafar! Kak! Bangun, Kak!" seru Ira sangat panik ketika melihat darah terus mengalir tanpa henti di kepala kakaknya itu.
"Astaga! Kakak! Tolong! Siapa saja tolong! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kakak? Kak Jafar!"
Ira menangis kebingungan. Ia tidak tahu harus bagaimana? Melihat kakaknya terluka ia merasa panik dan sakit. Ia mencoba meminta bantuan. Tetapi, tak ada seorang yang melewat jalan tersebut pada larut malam.
Ira pun hanya bisa mengandalkan kekuatannya dan membopong Jafar sampai ke rumah.
Jafar terbangun dengan rasa pening di kepalanya yang belum hilang. Kedua matanya menyelidiki seluruh ruangan yang sangat ia kenal. Jafar menatap punggung adiknya Ira, yang sedang membereskan kotak obat, bekas mengobati luka kakaknya.
"Kamu sedang apa?" tanya Jafar pada Ira.
Sontak Ira membalikkan badannya. Lalu, ia menatap sedih kedua mata kakaknya dalam-dalam. Ira merasa sangat bersalah karena membiarkan kakaknya bekerja terlalu keras sampai terluka seperti ini.
Seketika Ira menangis di depan kakaknya. Ia tidak bisa menahan air matanya itu untuk tidak keluar. Ia merasa sangat bersalah untuk Jafar.
Jafar sangat mengerti mengapa Ira menangis. Ia hanya bisa menghela nafas dan bangkit untuk memeluk adiknya dan menenangkan.
"Jangan menangis! Aku baik-baik saja. Berhenti menangis! Kamu sangat jelek kalau menangis," ujar Jafar.
"Maafkan aku... maafkan aku..." lirih Ira hanya itu yang mampu ia ucapkan saat ini.
"Kenapa kamu meminta maaf. Sudah sudah. Tidak papah."
Namun, Ira terus saja menangis dan tidak bisa berhenti. Hatinya terasa begitu sakit melihat kakaknya harus menderita sejauh ini.
Sementara Iskan hanya bisa menguping mereka dengan berpura-pura tidur. Walau terkadang Iskan egois, namun ia sangat mengerti dengan keadaan ini. Tanpa Iskan sadari, air mata keluar dari kedua sudut matanya.
Iskan hanya berpikir, kenapa hidup begitu tak adil kepadanya dan saudar-saudaranya. Ia hanya lelah dengan semua ini. Iskan selalu menyalahkan kedua orang tuanya untuk kehidupannya yang sekarang. Sehingga ia tidak bisa lagi mempercayai orang dewasa karena kedua orang tuanya yang tega meninggalkan mereka seperti ini dan pergi dengan ego mereka masing-masing, tanp peduli lagi padanya dan saudara-saudaranya.
Esoknya, Ira menyiapkan sarapan. Iskan dan Tina bersiap ke sekolah seperti biasa. Sebelum itu, Jafar dengan berat hati menghadapi Iskan ingin mengabarkan bahwa ia tidak bisa ikut study tour lusa nanti. Karena hari ini adalah hari terakhir untuk pendaftaran.
"Iskan? Kakak mau ngomong sesuatu..." ujar Jafar dengan gelagap.
"Aku tidak akan pergi. Karena itu, berhentilah bekerja terlalu keras dan jangan sampai terluka. Aku tidak papah," sela Iskan dengan wajah datarnya sambil melahap sarapannya.
Jafar merasa sangat bersalah karenanya. "Maafkan Kakak..."
Seketika Iskan menjadi marah mendengar permintaan maaf dan penyesalan dari Jafar. Ia melempar sendoknya di atas meja dan menatap sinis pada Jafar.
"Jangan meminta maaf! Aku sudah sangat muak dengan hidupanku. Jangan membuatku merasa lebih muak dengan bersikap seolah-olah kau menggantikan ayah! Ini sungguh menyebalkan. Aku hanya tidak ingin hidup seperti ini, tapi bukan berarti... kamu hatus terluka seperti ini!" bentak Iskan mengungkap perasaanya sambil menangis untuk kali pertamanya di depan Jafar.
Jafar tertegun mendengar ungkapan adiknya itu. Ia tidak bisa berkata apapun untuk menenangkannya. Sementara Iskan, langsung bergegas pergi ke sekolah setelah marah-marah pada Jafar.
"Iskan!" panggil Ira, namun Iskan tak mempedulikannya.
Tatkala Tina hanya diam mendengarkan dengan hati sedih. Tina berharap, kalau semua ini tidak pernah terjadi. Dan andaikan saja orang tua mereka tidak bercerai dan meninggalkan mereka. Mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi.
"Sudahlah, nanti juga dia akan baik lagi seperti semula. Kakak istirahat saja untuk beberapa hari kedepan dan jangan bekerja. Setidaknya sampai kakak sembuh, apa kakak mengerti?" tukas Ira memperingati Jafar.
"Baiklah. Aku mengerti," balas Jafar mengiyahkan supaya Ira tak perlu mencemaskannya.
"Kakak jangan terluka lagi. Kakak harus berjanji kalau kakak tidak akan pulang seperti semalam," sambar Tina mengacungkan jari kelingkingnya.
Jafar tersenyum lebar untuk adik bungsunya itu dan menerima janji kelingkingnya.
"Iyah, kakak janji."
Iskan sampai di sekolah dengan wajah muram. Kedua teman dekatnya Panji dan Ridwan menghampiri ia saat melihatnya tengah berjalan di koridor sekolah menuju kelas. Panji merangkul Iskan dari belakang.
"Hei, bro! Loh kenapa? Kagak semangat gitu keliatannya?" tanya Ridwan.
"Wah, gue curiga loh kehabisan rokok, yah?" bisik Panji menimpali.
Iskan hanya menoleh singkat padanya dengan tatapan tak bersemangat.
"Udah yok! Ke belakang sekolah!" ajak Ridwan.
Namun, seketika Iskan melepaskan dirinya dari rangkulan Ridwan dan berhenti melangkah. Saat ini ia kepikiran dengan kakaknya yang sudah berjuang mati-matian demi dirinya. Dan ia tersadar kalau ia tidak mau sampai mengecewakan kakaknya.
"Sorry Wan, Ji. Gue berhenti mulai sekarang. Gue harus lulus tanpa ada masalah apapun. Dan gue akan belajar dengan baik mulai dari sekarang," balas Iskan dengan tegas dan menatap yakin kepada dua temannya.
Ridwan serta Panji tertegun tak percaya mendengar perkataan Iskan tersebut. Mereka saling menatap tak percaya satu sama lain. Tatkala Iskan melanjutkan langkahnya menuju kelas disusul oleh kedua temannya itu.
"Serius loh, Kan?" tanya Ridwan lagi masih tak mempercayainya.
"Gue serius! Jadi, sebaiknya loh berdua juga berhenti mulai sekarang," titahnya memperingati kedua temannya supaya berhenti untuk merokok juga.
"Waahhh! Iskan yang terkenal sebagai preman sekolah yang sangat disegani, sekarang udah tobat?" ejek Panji.
"Serah loh, deh! Pokoknya mulai sekarang gue hanya akan fokus pada pelajaran gue," Iskan terkekeh pada perubahannya dan pendiriannya yang baru.
Kata-katanya itu tak sengaja didengar oleh Maya teman satu kelas Iskan yang ia sukai. Maya adalah ketua kelas, siswa teladan nomor satu. Selain pintar, ia juga cantik dan selau bersikap ramah pada siapapun. Bahkan ia menjadi idola bagi para kaum adam.
Walau sebenarnya, Maya sudah lama tertarik pada Iskan. Ia selalu penasaran dengan kehidupan yang Iskan jalani. Mendengar Iskan ingin merubah dirinya, membuat Maya lebih tertarik untuk lebih mengenal jauh kehidupan Iskan.
Maya memberanikan diri datang pada Iskan setibanya di kelas.
"Kamu, jadi ikut study tour?" tanya Maya seketika hanya mencoba basa-basi saja dengannya.
Iskan menoleh pada Maya yang tersenyum cerah sepagi ini kepadanya.
"Nggak. Gue ada urusan lain nanti," balas Iskan sok cuek dan kalem.
"Serius? Emangnya urusan apa yang membuat loh gak bisa ikut study tour? Padahal dengan ikut kamu bisa menambah pengalaman dan juga poin kamu, lho!"
Iskan tersenyum tipis dan menatap Maya. "Gue harus kerja. Gue gak ikut, karena gue gak mampu bayar. Karena itu, gue harus mulai mencari pekerjaan," balas Iskan kali ini berterus terang dengan kehidupannya yang memalukan.
"Kerja? Kenapa kamu harus bekerja?" tanya Maya lagi semakin penasaran.
Yah, memang benar. Tak ada yang tahu tentang hidup Iskan. Semua mengira Iskan hidup dalam keluarga yang baik dan bisa dibilang cukup.Tapi, nyatanya itu dulu dan sekarang ia hanya bisa menutupi hidupnya yang malang setelah ditinggalkan kedua orang taunya satu tahun yang lalu.
Iskan pun menatap mata Maya dalam-dalam.
"Kenapa loh terus bertanya? Jangan bilang log tertarik sama kehidupan gue?"
Seketika Maya terdiam kaku dan gelagapan. Ia menjadi salah tingkah mendapat pertanyaan tersebut dari Iskan. Apalagi, tatapan Iskan membuat jantungnya berdebar entah untuk keberapa kalinya.
Yah, Iskan memang terhitung cowok paling tampan dan keren di sekolah. Sebandel apapun dia, ia banyak dikagumi oleh para siswi di sekolah. Begitu pun Maya. Maya secara tidak sengaja telah menaruh hati untuk Iskan untuk waktu yang lama. Meskipun, ia jarang berkomunikasi dengan Iskan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!