NovelToon NovelToon

Love You, Encik Shin!!

1. Encik Shin Adnan

Dhiarra telah sampai di negara tujuan yang tidak terlalu jauh dari negara tercinta. Kini dirinya telah dibawa masuk ke garasi di sebuah rumah besar dan megah. Gadis itu menyeret koper jumbo besar meninggalkan mobil beserta sang sopir di belakang.

Sopir itu seperti malas berbicara. Hanya menyuruh Dhiarra agar segera masuk saja ke dalam rumah besar. Dhiarra menuruti, meski merasa ragu dan hati penuh tanya, tetap saja melangkah kaki ke depan menuju setapak jalan di halaman.

Di persimpangan jalan halaman, Dhiarra berpapasan dengan seorang pria super tampan menawan yang datang dari arah garasi berlawanan. Berfikir bahwa pria menakjubkan dengan umur yang jauh diatasnya itu tahu sesuatu, Dhiarra berhenti dan menunggu.

"Sorry encik, saya dari Indonesia. Ingin berjumpa dengan om saya, Syafiq. Apakah anda mengenalnya?" Dhiarra berusaha bertanya sesopan mungkin saat pria itu sudah berada tepat di depan. Panggilan encik, dia sebutkan untuk pria asing sebagaimana yang berlaku di negara itu. Dhiarra kini tengah berada di Melaka, salah satu wilayah di negara Malaysia.

Tanpa canggung, pria itu mengamati, menatap dari ujung rambut hingga ujung sepatu cantik yang dipakai oleh Dhiarra. Kedua alisnya terangkat sedikit memandang wajah Dhiarra yang cerah.

"Perkenalkan dirimu..," lelaki itu berkata tegas tanpa ekspresi apapun di wajahnya.

"Nama saya Dhiarra. Usia saya dua puluh empat tahun. Dari Yogyakarta, Indonesia. Saya diminta ayah tiri saya, Hazrul, untuk datang ke sini menemui om saya, Syafiq." Gadis itu menjelaskan siapa dirinya dengan lancar dan tegas, sesuai permintaan pria tampan itu.

"Apakah sependek itu namamu?" sepertinya pria itu sangat teliti, Dhiarra mulai sedikit merasa kurang nyaman.

"Dhiarra Azzahra Lara, encik... ."

Dhiarra menyebut lengkap nama panjang pemberian almarhum sang ayah kandung di hari kelahirannya.

"Bagus. Jadi nama panggilanmu adalah Dhiarra?" pria itu kembali menaikkan alis hitam tebalnya sedikit ke atas. Bertanya dengan suara dan nada yang terdengar lebih hangat di telinga.

" Yess, encik..." Dhiarra menjawab bersemangat dengan rasa harap agar pria asing itu segera memberinya pencerahan. Saat ini, harapan bertemu dan berbicara dengan om tirinya, Syafiq, adalah cara untuk mendapat pengakuan cepat akan kedatangannya di negara ini.

"Kenalkan, aku Shin, Shin Adnan," pria itu mengamati bagaimana ekspresi Dhiarra. Karena gadis itu hanya mengangguk samar tanpa tanggapan, pria tampan itu menyambung bicaranya.

"Baiklah, Dhiarra. Aku antar engkau menemui orang yang sedang ingin kau jumpai. Ikutlah di belakangku!" pria itu kemudian berjalan melewati Dhiarra menuju rumah besar.

Dhiarra bergegas membuntuti dan tak ingin membuang sia-sia waktu yang ada. Rumah yang berposisi lebih tinggi dari tanah sekitar itu, disertai tangga-tangga rapi di sepanjang menuju teras. Dhiarra tidak lagi menyeret, namun mengangkat koper jumbo beratnya dengan wajah yang sedikit meringis. Gadis itu mungkin sedang merasa keberatan sendiri pada koper yang diangkatnya.

Encik Shin mendadak berhenti sambil melambai tangan pada seorang lelaki yang mungkin pelayan di rumah besar itu, untuk datang mendekati. Encik Shin berbicara lirih pada pelayan sambil menunjuk Dhiarra beberapa kali dengan jari telunjuk, setelah pelayan berdiri benar-benar di depannya. Pelayan lelaki itu mengangguk, berjalan cepat menghampiri Dhiarra dan mengambil alih koper besarnya yang berat.

"Permisi, cik... Marilah ikutkan saya!" begitulah kira-kira, makna sapaan pelayan yang berbicara dalam bahasa Melayu Malaysia itu kepada Dhiarra.

Dhiarra hanya diam mengikuti. Berjalan di belakang pelayan lelaki yang masih nampak sangat muda dan kuat itu. Pelayan menunjuk sebuah wastafel ukir unik yang indah di pojok teras, agar Dhiarra mencuci bersih tangan dan wajahnya di sana.

Dengan senang hati, Dhiarra melakukan hal yang juga sudah menjadi kebiasaannya semasa tinggal di Indonesia selama ini. Rupanya kebiasaannya berlaku juga di rumah besar bak istana milik om tirinya, Syafiq, yang pasti akan dijumpainya sebentar lagi.

Dhiarra dibawa ke sebuah ruang makan cukup luas. Telah ada beberapa orang yang telah duduk makan di sana. Ini adalah tengah hari, waktu yang tepat untuk makan siang bersama di hari minggu cerah.

"Silahkan duduk dan ambil saja makan siang anda, cik Dhiarra," pelayan itu berkata sambil menarikkan sebuah kursi paling tepi dan meminta Dhiarra agar duduk. Dhiarra telah duduk dan melihat pelayan itu beranjak meninggalkannya. Membawa koper jumbo menuju ke atas dengan menaiki anak tangga.

Dhiarra tidak melakukan gerakan apapun. Tak ada seorang pun dari orang-orang di meja yang bermurah hati menyambutnya. Bahkan senyum yang diberikan pada tiap-tiap orang yang memandangnya pun, dibalas hanya dengan muka masam sangat sinis dan pandangan meremehkan. Dhiarra tak ada minat mengambil makanan apapun dengan suasana memuakkan seperti itu.

Semangat di dada Dhiarra kembali berkobar. Saat dilihatnya encik Shin Adnan, pria asing yang telah dikenalnya dan menyanggupi untuk mempertemukan Dhiarra dengan om Syafiq, juga ikut datang di meja makan.

Pandangan Dhiarra yang cerah berbinar dan membawa rasa tuntutan, ditanggapi oleh encik Shin Adnan dengan senyuman ramah dan cukup hangat untuknya. Dhiara terus memandang encik Shin Adnan yang ternyata duduk tepat di depannya. Pria tampan bermata hitam pekat dengan irish semburat kebiruan itu sejenak menatap Dhiarra.

"Makanlah Dhiarra, sembari menunggu saat om Syafiqmu itu menyapamu!" encik Shin Adnan segera membalik piring di meja dan mengisi dengan menu kehendak seleranya. Pria di depan Dhiarra itu nampak biasa dan mengabaikan orang-orang di kursi sebelah.

Melihat ketenangan encik Shin Adnan saat makan, Dhiarra bergegas menemani. Pandangan orang-orang di meja makan masih terus masam dan sinis padanya. Tapi Dhiarra mengabaikan dan tidak ingin peduli. Fokus dengan makanan di piringnya.

Dhiarra makan sangat cepat, piringnya kembali kosong bersamaan dengan encik Shin Adnan yang juga selesai makan hanya dalam sekejap saja. Keduanya juga hampir berbarengan mengambil gelas dan meneguk, menghabiskan setengah air di dalamnya.

"Ehhemm..!!" encik Shin Adnan tiba-tiba berdehem begitu keras, Dhiarra cukup terkejut karenanya.

"Semua yang di sini, ku harap mendengar kata-kataku ini dengan baik. Maka itu, semua harap memperhatikan!" kali ini encik Shin Adnan berbicara dengan suaranya yang tajam dan berwibawa.

Orang-orang sinis dan angkuh di meja makan pun terlihat segera bereaksi. Menghentikan obrolan atau pun menyudahi sejenak makan yang belum selesai. Begitu pun Dhiarra, menumpuk dua tangan di atas pangkuan dan duduk tegak memandang pada encik Shin Adnan.

"Hari ini aku kedatangan tamu dari Indonesia ke dalam rumah ini. Dan mulai saat ini, dia akan bergabung bersama kalian untuk tinggal bersama di sini. Kalian, harap bersikap baik pada tamuku, karena aku telah menyanggupi untuk menerimanya dan bertanggung jawab sementara. Dia adalah anak yang dibawa oleh istri baru abang tiriku, Hazrul. Dan dia adalah Dhiarra, gadis yang duduk di depanku ini!" mendengar perkataan encik Shin Adnan, Dhiarra semakin merasa resah di hati.

Shiapa pria asing yang duduk tepat di depannya? Dan di mana om tirinya, Syafiq, kenapa tidak kunjung dipertemukan? Atau justru Shin Adnan ini adalah om Syafiq yang tengah ditunggunya?

"Terimakasih sambutan anda, encik... Tapi di mana om saya? Siapa anda?" Dhiarra sudah tidak sabar lagi menunggu pencerahan dari Shin Adnan. Tidak dipedulikannya pandangan sinis dan remeh dari orang-orang asing di meja makan itu kepadanya.

"Perkenalkan nama panjangku, Dhiara. Namaku adalah Syafiq Shin Adnan. Jadi, akulah om Syafiq yang sedang kau ingin temui itu. Bagaimana, kau sudah jelas?"

Encik Shin Adnan memandang Dhiarra tanpa ekspresi ataupun tersenyum. Pria 33 tahun itu seolah sedang menahan kejengkelan yang tersimpan pada Dhiara. Rasa jengkel yang telah sengaja ditahan semenjak kedatangan gadis itu ke zona rumah besar miliknya.

2. Berbincang

Dhiarra menangkap sinyal ketidaknyamanan dari sikap encik Shin Adnan yang tiba-tiba berubah seketika. Encik Shin menjadi datar dan terkesan dingin setelah mengakui bahwa dirinyalah om Syafiq, om tiri yang ingin dijumpai di negara ini. Dhiarra tak habis pikir, kenapa pria yang tadinya cukup ramah dan hangat itu mendadak berubah sikap menjadi acuh padanya?

Tapi Dhiarra bukan lagi gadis kecil yang haus perhatian. Dirinya sudah cukup sangat dewasa untuk mengabaikan hal-hal remeh seperti itu. Dhiarra selalu bisa membawa diri dan mandiri di segala moment tanpa melihat siapa dan di mana dirinya. Gadis cantik itu telah terbiasa hidup kuat dan berdikari sedari dini.

"Encik Shin, saya ingin berbincang denganmu. Boleh tak, anda luangkan sedikit waktu?" Dhiarra merasa harus segera mengatakan tujuan kedatangannya ke negara ini. Tidak peduli dengan wajah-wajah masam di sampingnya. Dhiarra mendengar bisikan di hati, bahwa berjumpa dengan om Syafiq di kemudian hari, bisa jadi akan sangat sulit baginya.

"Katakan saja, Dhiarra. Kau ingin berbincang di sini atau di ruang kerjaku?" Encik Shin yang bersiap berdiri, kembali duduk dan bersiap menyimak apa yang akan dibincangkan gadis itu.

"Tidak perlu pribadi, saya rasa di sini sajalah, encik Shin. Saya juga ingin, tidak kita saja yang akan mendengar perbincangan ini . Tapi seluruh orang yang sedang duduk di meja. Tidak peduli siapa mereka bagi anda.., juga bagiku."

Gadis sangat cantik itu mulai berbicara dengan suara dan tatapan yang dingin. Di sapukan sekilas mata tajamnya ke sekeliling orang-orang di samping juga pada Shin Adnan.

"Begini, Encik Shin, anda tentunya sudah paham apa yang telah dilakukan abang anda, Hazrul bukan? Perbuatan yang dilakukannya telah terbukti menggelapkan uang di negara saya. Uang pengganti kerugian yang dituntutkan negara padanya cukup tinggi. Dan ku rasa anda pun telah paham, hanya seberapalah harta yang dimiliki abang anda."

Dhiara menutup bicaranya sejenak, kembali memandang tajam Shin Adnan. Mengambil nafas panjang dan meneruskan lagi bicaranya.

"Mengingat ibu dan abang anda begitu saling cinta, saya hanya mendukung saat ibu saya menjual seluruh aset yang dimiliki demi suaminya. Semua hasil penjualan harta benda ibuku telah diserahkan abang anda pada negara, sebagai jaminan tambahan kebebasan abang anda. Anda tahu bukan, harusnya aset yang ibuku jual itu milik siapa?"

Dhiarra kembali berhenti sejenak, menatap tajam Shin Adnan di depannya. Lelaki itu terus menyimak bicaranya dengan ekspresi tetap tenang dan diam.

"Lanjutkan, Dhiarra. ." Shin Adnan pun berbicara menatap Dhiarra tanpa gerak sedikitpun.

"Apakah anda tahu? Apakah abangmu tidak mengatakan bahwa uang jaminan yang sudah diserahkan masih jauh dari impas? Apakah anda tahu, bagaiman abang anda sekarang bisa bebas melenggang ke pulau Pinang?" Dhiarra menatap tajam pada Shin Adnan dengan sorot mata berkilatnya.

"Oke Dhiarra..Teruskan saja bicaramu." Shin Adnan sedikit menggerakkan dagu kepalanya pada Dhiarra.

"Abang anda berhasil membawa ibuku ke Penang, karena sokonganku. Ku tutup kekurangan uang penjamin itu, abang anda berjanji akan mengembalikan pinjamannya dalam sebulan. Tapi ini sudah enam bulan. Dan sayalah yang seperti sedang menanggung hukuman itu di negara saya sendiri. Usaha utama saya kena boikot pelanggan. Belum jika saya berada di luaran, orang-orang yang mengenaliku tak segan mengejar dan menyerangku. Jadi saat ini, keuangan serta keselamatanku sedang terancam di sana. Saya telah lelah bersembunyi."

Dhiarra mengambil nafasnya yang agak memburu, berusaha kembali mengaturnya hingga tenang. Shin sedang menunggu lanjutan bicaranya.

"Saya tak bisa lagi menghubungi ibuku saat ini. Terakhir kami berbicara, abang anda ingin aku menemuimu di sini. Dia kata aku bisa minta sesuatu darimu. Aku tak ingin meminta tanggung jawab ayah Hazrul padamu. Aku hanya ingin sedikit bantuanmu. Uruskan dokumenku, aku ingin menetap di sini sementara." Dhiarra menyudahi kembali bicaranya. Matanya tak lepas dari pria tampan di depannya.

"Maksudmu, kau ingin tinggal lama di sini dan diakui oleh negara ini? Kau ingin aku mengurus semua dokumennya?" Shin Adnan memajukan kepala dan punggungnya, lekat menatap mata indah itu lebih dekat.

"Ku rasa itu sangat mudah anda lakukan. Apa anda keberatan lalu mengusirku?" Dhiarra juga sedikit memajukan wajah lebih dekat dengan encik Shin.

"Untuk apa mengajukan usulan tukar kewarganegaraanmu?" Shin mengabaikan pertanyaan Dhiarra.

"Saya ingin menggali ringgit di negaramu dan sambil mencari ibuku. Saya merindukannya. Dan hal paling penting, saya hendak menagih pinjaman abangmu padaku. Bukankah jika sudah ada bukti pengakuan dari negara ini, segalanya akan mudah?" Dhiarra ingin Shin segera menyanggupi saja permintaannya.

"Apa hanya itu tujuanmu datang ke sini mencariku?" Shin Adnan memicing mata menyelidik di mata jernih Dhiarra.

"Sementara hanya itu, encik Shin. Ku harap anda tidak membuatku merasa kecewa dan sia-sia menjumpaimu. Kecuali jika ternyata anda bermurah hati mengeluarkan harta anda untuk mengganti kerugianku akibat ulah abangmu. Anda tentu tidak repot, saya akan cepat kembali ke negaraku." Dhiarra memberi tatapan mata penuh harap pada Shin.

"Bukan aku tak mau menanggung kesalahan keluargaku. Tapi tak semudah itu, Dhiarra." Shin memundurkan punggung, menyandar di kursi. Diperhatikan seksama gadis di seberang depannya.

"Baiklah, akan ku urus kewarganegaraanmu. Kau bisa melakukan apapun setelah itu. Tapi ingat Dhiarra, kau harus bisa jaga diri. Jangan pernah mempermalukanku." Shin menatap Dhiarra, lalu kepada orang-orang yang duduk di sampingnya.

"Kalian sudah paham siapa gadis ini? Sekarang giliran kalian memperkenalkan diri padanya." Shin memberi perintah serta memandangi mereka, namun tak satu pun yang bersuara seperti yang di inginkannya.

"Fara..,mulai darimu!" Shin menunjuk pada gadis cantik berkulit putih yang duduk tepat di samping Dhiarra agak jauh. Fara nampak ragu, tapi demi mendapat tatapan tajam Shin, gadis itu menurut. Mengulur tangan halusnya pada Dhiarra.

"Hai..Fara..Farahida Adnan." Dhiarra menyambut erat jabat tangan Fara padanya. Nama Fara berakhiran sama dengan Shin, mungkin Fara adik perempuannya.

"Dia adik perempuanku satu-satunya." Keterangan Shin sangat berguna bagi Dhiarra. Suasana kembali hening. Dan seorang perempuan muda berwajah masam di samping Fara, mengulur tangan sangat kaku pada Dhiarra.

"Sahila ." Perempuan itu sangat aingkat menyebutkan namanya.

"Dia Sahila Rahman. Saudarimu, anak perempuan bang Hazrul yang ke dua." Dhiarra mengangguk pada perempuan sinis yang ternyata saudara tirinya. Namun, kehangatan Dhiarra tetap disambut dingin oleh Sahila.

"Dan yang di sebelahnya itu adalah kakak Sahila, Nimra Rahman. Anak pertama." Melihat tatapan Nimra yang tak kalah sinis dari Sahila, Dhiarra hanya memasang wajah datarnya, tak ingin sambutan dingin dari Sahila itu terulang.

"Dan itu adalah suami Nimra, Rafiq." Shin menunjuk ke arah lelaki di samping Nimra. Lelaki dengan tatapan remeh pada Dhiarra sejak awal kedatangannya.

"Dan ada dua orang lagi saudara tirimu, Dhiarra. Bekas istri Hazrul, Zubaidah. Ibu mereka. Dan Hisyam, anak bungsu Hazrul. Mereka berdua sedang tidak di rumah.." Shin selesai memperkenalkan seluruh penghuni rumah besarnya.Lelaki itu mengambil minum segelas, dan menghabiskan sekaligus.

"Apa ada yang ingin kau katakan lagi, Dhiarra?" Shin telah siap berdiri.

"Sementara cukup, encik Shin. Terimakasih atas kesanggupanmu memenuhi keinginanku." Diana memandang redup wajah Shin yang berdiri menjulang di depannya.

Shin hanya mengangguk samar pada ucapan gadis itu. Sebelum pergi, dipanggilnya pelayan tadi dan berbicara sambil menunjuk tangan ke arah Dhiarra. Pelayan pergi mendapati Dhiarra.

"Mari, cik..Sila anda ikutkan saya.." Dhiara mengangguk dan berdiri. Sempat mengangguk sopan pada orang-orang di meja, sebelum pergi mengikuti pelayan itu. Pelayan akan mengantar Dhiarra menuju sebuah kamar tamu yang akan ditempatinya.

3. Flashback

Beberapa pakaian telah dikeluarkan dari koper besar untuk disimpan dalam almari. Bukan baju melimpah yang dibawa gadis cantik itu, namun hanya lembaran kain cukup banyak dengan berbagai motif, warna dan jenis bahan. Lembaran-lembaran kain itulah yang ternyata sesak penuh dalam koper besar yang dibawanya.

Kain-kain itu tidak dibeli mendadak untuk dibawa terbang bersama menuju negara jiran. Tapi itu adalah sisa stok pilihan dari banyak stok yang masih tersimpan di gudang. Stok bahan yang tiba-tiba menjadi daftar inventory tak bergerak.

Kesuksesan Dhiarra mendadak runtuh saat Hazrul, ayah tiri dan menjadi suami sang ibu setahun belakangan ini tersandung kasus mega korupsi yang cukup merugikan bagi negara. Hazrul yang memegang kendali pertambangan batu bara swasta milik negara di daerah Kalimantan itu, akhirnya dinyatakan terbukti ikut bersalah. Terancam dipenjara bersama beberapa anggota timnya, yang juga ikut terseret dalam kasus penggelapan besar itu.

Hazrul tidak ingin mendekam di penjara Indonesia, begitupun ibunya. Sang ibu begitu cintanya pada sang ayah tiri. Sampai menjual seluruh aset dan harta benda yang dimiliki demi memberi uang penjamin kebebasan pada sang suami yang terlalu dicintai.

Dhiarra juga tidak munafik untuk menampik pesona ayah Hazrul bagi ibunya. Sang Ibu, Ira Larasati, 45 tahun, kembali mendapat rasa cinta yang membara begitu berjumpa dengan Hazrul secara tak sengaja, dalam pesawat dari Jakarta menuju Yogyakarta. Saat itu adalah perjalanan pulang setelah menemani Dhiarra dalam undangan seminar fashion designer muda Indonesia.

Tiket pesawat yang dibeli tidak berurutan, jadi berlainan kode kursi dalam pesawat. Dhiarra terpaksa merelakan sang ibu duduk dekat dengan seorang lelaki paruh baya tampan berkebangsaan Malaysia, dialah Hazrul. Dan mungkin sejak itulah cinta keduanya bersemi cepat sekali. Dan akhirnya bersepakat dan berhasil menikah dengan sah, baik di mata negara maupun di hadapan agama.

Dengan pertimbangan rasa sayang pada sang ibu itulah, Dhiarra mengikhlaskan seluruh harta yang dijual sang ibu. Meski secara hukum, Dhiarra sebagai putri tunggal pun juga berhak atas kepemilikan harta itu. Tapi Dhiarra rela mengingat sang ibu yang menjanda selama lebih dari empat belas tahun, telah bertahan untuk tidak menikah sebelumnya. Dan akhir cerita luluh pada pesona ayah Hazrul, lelaki setengah baya tampan dari seberang, negara Malaysia.

Bahkan, Dhiarra ikut rela menyerahkan banyak tabungan pribadi yang dimiliki demi tetap bersatunya cinta gila sang ibu dengan suami barunya, Hazrul. Gadis itu percaya akan janji sang ayah tiri untuk mengembalikan uang milyar milik pribadinya dalam waktu yang sebulan saja.

Setelah syarat jumlah uang penjamin kebebasan lunas, Hazrul membawa sang ibu pulang ke negara Malaysia. Namun tidak disangka-sangka, Dhiarralah yang kemudian menerima hukuman dari masyarakat atas perbuatan ayah tirinya.

Berita yang berhembus di mana-mana dengan imbuhan penyedap beraneka rasa, sangat membawa efek buruk yang berat bagi kehidupan Dhiarra. Bisnis sukses yang ditekuni semenjak enam tahun belakangan, mulai tenggelam dan sebentar lagi akan karam tak tersisa.

Semua perusahaan fashion yang telah mengontrak setiap karya-karya Dhiarra sebagai fashion designer pun memutuskan hubungan kerja sepihak secara serentak. Dengan alasan, tidak ingin mencemari nama perusahaan mereka dengan anggota keluarga penggelap dana negara.

Bahkan, Dhiarra juga tidak mendapat kebebasan untuk berjalan dan beraktifitas di luaran. Dhiarra seperti orang buruan yang sedang dalam pengawasan dan intaian musuhnya.

Sudah terbukti beberapa kali Dhiarra mendapat ancaman saat sedang jalan di luar. Contohnya, kala menuju sebuah kantor di bidang usaha konveksi. Dhiarra ingin melamar sekaligus menawarkan sketsa design serta contoh baju jadi buatan sendiri, pada perusahaan yang belum pernah mengontraknya.

Tapi Dhiarra mendapat serangan beberapa orang berpakaian preman dengan mencaci serta mengumpat Dhiarra dan ayah tiri juga nama sang ibu. Beruntung gadis itu sempat mempelajari dan menguasai beberapa tekhnik dasar bela diri taekwondo. Dhiarra berhasil melindungi diri dan selamat dari serangan para preman.

Dhiarra juga pernah disabotase ketika mengantri di mesin ATM sebelah rumah. Tidak pernah sekalipun mendapat kesempatan untuk memasuki ruang kaca penuh uang itu, selalu ada yang tiba-tiba datang menyerobot masuk mendorongnya. Dhiarra sudah tidak ingin bergaduh, karena kelakuan ayah tiri, gadis itu seperti sedang mendapat serangan yang mengancam jiwa dan raganya.

Sudah masuk enam bulan, tak ada tanda-tanda dari Hazrul untuk segera mengembalikan uang yang dipakai. Bahkan sang ibu pun ikut meminta kesabaran Dhiarra untuk terus menunggu. Justru Hazrul terus meminta Dhiarra agar pergi ke negaranya dan menuju rumah adik tirinya, Syafiq. Nama itulah yang dijaminkan Hazrul sebagai penanggung kedatangan Dhiarra di negara itu.

Mulanya Dhiarra tak berminat sedikitpun, tapi teror demi teror tanpa henti dikirimkan ke rumah dan terus merongrong jiwanya. Juga.., keuangan Dhiarra yang terancam pasti akan habis dalam waktu dekat, jika Dhiarra tetap tidak ada pemasukan sama sekali. Meski selalu diam di rumah, pengeluaran Dhiarra cukup tinggi. Gadis itu menanggung segala beban pengeluaran bulanan bahkan mingguan baik dirinya, ibu dan ayah tirinya, meski keduanya sudah tidak tinggal bersama di rumah.

Dhiarra menyukai rancang busana sejak umur tujuh belas tahun dan duduk di bangku SMK, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Yogyakarta. Karya dan rancangan yang di hasilkannya selalu luar biasa. Dhiarra adalah bibit unggul di bidang rancang busana yang hebat. Gadis itu berlangganan dengan nilai terbaik di kotanya pada setiap kompetisi yang diikuti.

Dhiarra mendapat kontrak pertamanya di usia delapan belas tahun. Seorang Pengusaha tekstil dan konveksi berminat menampung hasil karya rancangan Dhiarra di sebuah perlombaan nasional. Dari situlah Dhiarra belajar mendapat peluang, mencoba menawarkan karya-karya barunya pada perusahaan-perusahaan lainnya. Dan akhirnya Dhiarra sukses besar. Berhasil mengumpul pundi-pundi rupiah melalui kontrak karyanya.

Satu kesalahan Dhiarra, dan terus disesalinya, Semua hasil rancangan miliknya, tak satu pun yang menggunakan brand namanya. Dhiarra terkontrak dan menjual lepas begitu saja karyanya. Dhiarra tidak punya nama brand sendiri di semua baju rancangannya yang hampir semua laku keras dan jadi trend fashion di pelosok negeri baik lelaki atau pun wanita. Semua atas nama brand perusahaan.

Kini di saat terpuruk, baru disadari betapa penting nama sebuah brand kepemilikan. Dhiarra terlalu terbuai dengan rupiah yang mengalir bagai air terjun niagara waktu itu, deras dan seperti tidak akan terputus. Kini kenyataan telah berbalik setengah lingkaran busur derajat. Dhiarra seperti tidak bermakna apa pun. Para pengusaha yang telah bekerja sama itu terlalu semena-mena, memutuskan sepihak tanpa membayar royalti sepeser pun padanya.

*****

Kini di negeri jiran, Dhiarra bertekad akan merintia usaha rancang busananya sendiri. Mempunyai sebuah brand rancangan miliknya, sedang menjadi impian, semangat, dan tekad seorang Dhiarra. Gadis itu hanya perlu kesabaran untuk menunggu waktu bila saatnya tiba.

Dhiarra telah bersiap memejam mata malam ini. Merebah di pembaringan sambil memegang foto almarhum ayahnya. Sang ayah yang telah berpulang ketika Dhiarra masih seorang gadis kecil. Gadis kecil jelita berumur sepuluh tahun yang telah berstatus anak yatim. Keadaan itulah yang membuat Dhiarra berpacu dan tumbuh sebagai gadis tangguh dan mandiri. Kini di negeri orang, Dhiarra begitu rindu pada sosok sang ayah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!