Awan hitam bergerak liar di langit. Beberapa kali kilat menyambar, nampak terang di kaki bukit. Belum ada rintik gerimis yang turun, namun dari kondisi saat ini bisa diprediksi hujan akan datang dengan lebatnya.
Sepasang mata mengerjap- ngerjap. Tangannya menggenggam kemudi mobil dengan erat. Mobil telah menepi tepat di bawah pohon akasia yang besar dan rindang.
"Mas Purbo kenapa?" suara seorang perempuan, duduk di kursi sebelah kemudi.
Laki laki bernama Purbo Kusworo itu sedikit merasakan pening di pelipisnya. Dia memijat mijat bagian kepalanya yang terasa berdenyut. Setelah pusing agak mereda, dia menoleh menatap perempuan yang duduk di sebelahnya.
Perempuan bernama Dini Styorini, berparas cantik dengan tahi lalat kecil di ujung hidungnya. Perempuan itu sedang mengandung delapan bulan. Perutnya nampak besar, menggantung dan bulat. Berdasarkan mitos, hal itu menandakan janin yang ada di dalam kandungan berjenis kelamin laki- laki.
"Aku agak pusing sayang," jawab Purbo sembari melemparkan senyuman tipis pada Dini. Detik berikutnya, Purbo mengelus elus perut istrinya itu.
"Sehat sehat yaa," ucap Purbo. Dia mendaratkan kecupan di perut sang istri.
"Mas, besok besok kalau nyetir tuh sabuk pengamannya dipakai," sahut Dini mengingatkan.
"Wahh, iya ya aku nggak masang sabuk pengaman. Gampang lupa aku sekarang, duh," ucap Purbo, menepuk dahinya sendiri.
"Aku masih agak bingung nih. Kita baru darimana sih?" Purbo menurunkan kaca jendela mobil dengan ekspresi yang terlihat bingung.
"Mas, jangan becanda deh. Nggak lucu. Emangnya Mas amnesia apa gimana sih?" Dini mengernyitkan dahi, merasa Purbo tengah bergurau.
"Beneran sayang, entah kenapa kepalaku tadi terasa pusing, dan aku jadi lupa kita baru darimana sih?" Purbo mengulang pertanyaannya.
"Kita kan baru periksa dari dokter kandungan Mas. Nih buku KIA nya," jawab Dini menyodorkan buku bersampul merah muda itu pada suaminya. Purbo tersenyum manggut manggut.
"Ayuk Mas, kita segera pulang. Kelihatannya mau hujan lebat tuh," Dini menunjuk langit yang berwarna hitam kelam.
Dini segera membuka pintu mobil. Udara dingin masuk menusuk kulitnya yang putih mulus. Dini mengusap usap lengannya, sedikit heran kulitnya terlihat lebih pucat dari biasanya.
"Duh, dingin banget ya," gumam Purbo menyusul keluar dari mobil.
Purbo melepas jaket kulit yang dia kenakan, dan memakaikannya pada Dini. Dia tak ingin istrinya yang tengah hamil tua itu kedinginan.
"Kenapa juga kita dulu bikin rumah di pedalaman gini," gerutu Purbo.
"Huuss, bersyukur Mas, bersyukur. Ingat, di luar sana banyak orang yang ingin punya rumah tapi belum kesampaian. Ada yang setelah menikah masih tinggal dengan mertuanya, tiap hari merasa nggak nyaman. Ada juga yang ngontrak dengan tagihan bulanan yang bikin melotot. Kita wajib bersyukur, meskipun akses ke rumah kita hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki, setidaknya ini rumah kita sendiri," Dini mendekati Purbo. Menggamit lengan suaminya yang kekar berotot. Purbo menghela nafas, mengusap rambut istrinya perlahan.
Purbo dan Dini berjalan beriringan. Menapaki terjalnya bebatuan blondos yang tersusun rapi. Jalanan menuju desa tempat tinggal Purbo dan Dini sudah cukup lebar, namun sayangnya belum terjamah semen ataupun aspal. Hampir mustahil menggunakan kendaraan bermotor kesana. Lagipula sebagian besar jalan berupa tanjakan dan turunan yang cukup curam.
Sepanjang jalan, pepohonan di kiri kanan nampak menjulang tinggi. Seolah saling berlomba untuk mencapai langit. Beberapa jenis sengon, akasia, hingga waru tumbuh hijau dan subur.
Langkah Purbo terhenti di depan sebuah gapura desa. Gapura yang tersusun atas batu bata penuh lumut hijau dan tanaman liar merambat. Di bagian pangkal gapura yang sebagian terbenam tanah ada sebuah tulisan yang samar samar masih dapat terbaca. Selamat Datang di Desa Ebuh.
"Kenapa Mas?" Dini bertanya pada suaminya yang berdiri tertegun.
"Emm, entah mengapa aku merasa asing yang," ucap Purbo lirih.
"Duh Mas, nanti kamu kalau sampek rumah biar dipijit sama Mak Nah. Kelihatannya kecapek an deh," Dini mengusap usap bahu suaminya.
"Mak Nah? Siapa Mak Nah yang?" tanya Purbo. Dahinya terlihat mengkerut.
Dini melotot menatap suaminya itu. Tingkah aneh Purbo membuat Dini bingung. Ekspresi wajah Purbo tidak terlihat ada dusta. Namun, bagaimana mungkin Purbo tidak mengenali pembantunya sendiri?
"Kalau Mas sedang becanda atau mengerjaiku sungguh itu tidak lucu. Kamu membuatku takut Mas!" bentak Dini marah.
Purbo menggaruk garuk kepalanya yang tak gatal. Semenjak dia merasakan pusing di mobil tadi, perasaannya memang menjadi aneh. Dia seakan lupa dengan kehidupannya. Entahlah, Purbo juga bingung atas apa yang dia rasakan saat ini.
"Apa sebaiknya aku ke dokter ya?" tanya Purbo pada dirinya sendiri.
"Kita pulang dulu Mas. Kamu capek, aku juga capek," sergah Dini. Tangan kirinya menggandeng lengan Purbo dengan erat, sementara tangan kanannya mengelus elus perut besarnya.
Purbo menghela nafas dan mengangguk setuju. Dia merasa kasihan pada istrinya itu. Perut besarnya membuat tak leluasa bergerak dan mudah lelah.
Suami istri itu terus bergandengan tangan, melanjutkan langkahnya. Saat kaki mereka melewati gapura desa, kabut tebal yang entah darimana datang menyambut. Udara dingin nan lembab benar benar menguliti tubuh Purbo yang hanya terbalut kaos oblong berwarna hitam.
"Aku baru sadar, wilayah sini benar benar dingin. Gila," gumam Purbo, melepas genggaman tangannya pada Dini. Dia mengusap usap lengannya sendiri.
Wuuussshhh
Angin berhembus kencang, meniupkan kabut yang benar benar tebal dan pekat. Pandangan mata Purbo terhalang sepenuhnya. Dia tak dapat melihat sekitar. Hanya ada warna putih yang seolah tak berujung. Dini tak ada lagi di sampingnya, lenyap begitu saja.
"Yang? Dini? Kamu dimana?" Purbo mulai panik, mencari istrinya.
Purbo mengedarkan pandangan, menyipitkan matanya berharap bisa melihat lebih jelas. Namun percuma saja, kabut benar benar tak tertembus oleh pupil mata Purbo.
"Dini?" Purbo semakin panik.
Purbo beberapa kali berteriak, namun suasana benar benar hening dan sepi. Bahkan hembusan nafasnya sendiri terdengar begitu keras di telinga. Degup jantungnya yang bertalu talu pun menghantam gendang telinganya, menambah rasa panik di hati.
Purbo berputar putar tak tentu arah. Udara dingin tak menghalangi keringat menetes dari pori pori kulitnya. Ketiak dan punggungnya terasa basah.
"Diniiii?" Purbo berteriak sekencang kencangnya. Suaranya bergema dan memantul di antara pekatnya kabut.
Sayup sayup terdengar sebuah suara. Purbo diam, mencoba menajamkan indera pendengarannya. Sayangnya bukan suara Dini yang terdengar, melainkan suara berisik, seperti beberapa orang yang tengah mengobrol bersahut sahutan.
Purbo termenung, lehernya semakin terasa dingin. Suara yang bersahut sahutan terdengar semakin kencang dan mendekat. Seolah suara itu sedang mengelilinginya. Semakin riuh dan memekakkan telinga. Purbo ketakutan sekaligus khawatir akan keselamatan istrinya.
Kaki Purbo mulai terasa lemas. Pijakannya goyah dan dia ambrug bertumpu pada lututnya ke tanah. Puncaknya, terdengar sebuah jeritan yang teramat sangat kencang. Jeritan wanita yang melengking hingga membuat telinga Purbo berdenging.
Bersambung___
Purbo berlutut di tanah yang terasa sedikit basah. Dia menutup kedua telinga menggunakan telapak tangannya. Suara bersahut sahutan yang dibarengi sebuah jeritan melengking membuat sakit gendang telinganya.
Di dalam pekatnya kabut, Purbo seperti melihat belasan bahkan puluhan pasang mata memperhatikan, dan menatapnya dengan kebencian. Purbo menunduk memejamkan mata.
"Mas? Mas?" sebuah suara dibarengi tepukan pelan mengenai bahu Purbo yang bidang.
Perlahan Purbo membuka mata. Kabut tebal sudah menghilang. Purbo menoleh, Dini di sebelahnya dengan tatapan bingung.
"Mas, kamu kenapa sih?" tanya Dini heran.
Purbo melepas telapak tangan dari telinganya. Dia mengedarkan pandangan. Tak ada yang aneh di sekelilingnya. Hanya ada beberapa pohon mahoni dan kaliandra yang berayun ayun tertiup angin. Juga sisa sisa kabut tipis seperti helaian kapas yang beterbangan.
"Mas Purbo kenapa?" Dini kembali bertanya. Wajahnya terlihat hendak menangis. Takut dan cemas melihat tingkah aneh suaminya yang tiba tiba ambrug berlutut di jalanan.
"Ah, tadi banyak kabut. Kamu hilang Din," ucap Purbo terbata bata.
"Aku selalu di sampingmu Mas. Aku takut, Mas tiba tiba ambruk, iisshh," sambung Dini, dia memegangi perutnya sambil meringis.
"Kamu nggak pa pa sayang?" Purbo segera berdiri, merangkul istrinya.
"Perutku nggak nyaman. Ini gara gara Mas, anak kita jadi takut nih," gerutu Dini sambil mendaratkan beberapa cubitan di lengan Purbo.
"Maaf ya sayang. Kita balik ke dokter lagi saja ya?" tanya Purbo gusar. Khawatir dengan keadaan istrinya.
"Sudah pulang saja. Udah biasa nih, si dedek mungkin protes karena Bapaknya bertingkah aneh hari ini," sahut Dini mengelus elus perutnya.
"Baiklah, aku nurut apa katamu saja," Purbo menghela nafas pasrah.
Purbo hendak melangkahkan kakinya kembali, saat dia teringat sesuatu. Purbo lagi lagi diam mematung di tengah jalan.
"Mas, ngelamun lagi?" Dini mengguncang guncangkan lengan Purbo.
"Yang, apa rumah kita masih jauh?" tanya Purbo dengan tatapan mata yang kosong.
"Hah? Mas ini ngomong apa sih? Rumah kita setelah tikungan itu lho. Rumah pertama dari gapura desa," Dini geleng geleng kepala, heran dengan pertanyaan Purbo.
"Aku lupa yang. Beneran aku tuh gimana ya. Aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Aku kenapa ya yang?" Purbo menatap Dini. Dua bola matanya yang bulat cokelat itu nampak bergetar.
"Kita pulang pokoknya. Nanti biar kutanyakan sama Mak Nah, biar dipijit, dibikinin jamu atau disuwuk kamu nanti," tukas Dini sembari menarik lengan suaminya itu.
"Suwuk?" Purbo mengernyitkan dahi. Dia menurut saja digelandang oleh Dini.
"Iya, kamu bisa jadi sawanen Mas. Masak bisa lupa semuanya gitu. Jangan jangan kamu juga lupa sama aku, istrimu sendiri," Dini terus nyerocos sambil tetap berjalan.
Purbo yang tak mengerti apa yang Dini bicarakan hanya bisa diam menurut. Jalanan berbatu kini berganti dengan tanah liat yang lengket di alas kaki. Purbo menunduk memperhatikan sepatunya. Kemudian Purbo beralih menatap Dini. Istrinya itu masih mengenakan jaket kulit yang Purbo pakaikan tadi.
"Yang?" panggil Purbo lirih.
"Hmm, apa?" tanya Dini tanpa menoleh.
"Aku tadi kan nyetir yak. Kok pake sepatu boot gini sih? Sama ngapain juga pake jaket kulit?"
Pertanyaan Purbo membuat Dini menghentikan langkahnya. Masih menggenggam lengan Purbo, Dini nampak menghela nafas. Udara dingin kembali bertiup, menghembuskan aroma pepohonan yang lebih mirip bau lumut, sedikit langu namun menyegarkan.
"Mas itu benar benar ya. Bukannya tadi pagi Mas sendiri yang pengen berpakaian kayak gitu. Biar keren katanya!" bentak Dini, melotot. Purbo hanya bisa nyengir dan garuk garuk kepala. Dia lupa, benar benar lupa.
Dini kembali menarik lengan Purbo. Mereka berjalan menapaki jalanan tanah yang entah kapan bisa mendapat perhatian dari pemerintah setempat agar dibangun lebih baik dan lebih layak.
Sampai di tikungan, terdapat sebuah pohon mahoni besar di tepian jalan. Pohon itu nampak tua, dengan beberapa bagian batangnya yang terkelupas. Mereka terus berjalan melewati tikungan tersebut, hingga sampai di sebuah rumah dengan halamannya yang sangat luas.
Rumah joglo, terbentuk atas susunan blabak atau kayu jati berwarna cokelat tua. Halamannya yang luas di tanami beberapa jenis buah buahan. Ada jambu biji, juga mangga. Yang tumbuh paling tinggi dibandingkan lainnya adalah pohon nangka dengan beberapa buahnya terlihat besar tergantung di batangnya yang kokoh.
Sekilas pandang rumah itu terlihat asri, sejuk dan agak menyeramkan. Di sekitar pekarangan rumah merupakan kebun tebu yang luas dengan batangnya yang sudah sangat tinggi. Tak nampak rumah lainnya. Purbo berdiri terpaku di halaman rumah. Tak percaya dan tak yakin, dia tinggal disana.
"Ayuk Mas masuk," Dini menggandeng lengan suaminya, mengajaknya masuk.
Sedikit ragu ragu, Purbo melangkahkan kakinya. Melewati halaman rumah dan sampai di teras depan. Beberapa bunga mawar dan keladi yang terlihat indah dan cantik tertata rapi di pot pot kecil. Pot yang terbuat dari tanah liat yang sudah dibakar.
Mulut Purbo hampir terbuka untuk mengucap salam, saat pintu terbuka dari dalam dengan tiba tiba. Seorang perempuan berjalan tergopoh gopoh dari dalam rumah. Perempuan berusia sekitar 50 an tahun, mengenakan baju lurik dan kain jarit. Wajahnya terlihat meneduhkan, dengan senyuman yang ramah.
"Tuan dan Nyonya sudah pulang," ucap perempuan itu ramah.
"Si siapa?" tanya Purbo setengah berbisik di telinga Dini.
"Itu Mak Nah Mas. Sudahlah ayuk masuk, kamu butuh istirahat," Dini kembali menarik lengan Purbo.
Dini melepas alas kakinya, diikuti oleh Purbo. Lantai rumah yang terbuat dari semen berwarna abu abu, nampak bersih dan halus, seakan setiap saat disapu dan bersihkan terus menerus.
Purbo masih terus mengamati. Daun pintu yang terbuat dari kayu jati dengan ukirannya yang meliuk liuk indah. Begitu masuk ke dalam rumah, sensasi hangat dan nyaman langsung terasa.
Ruang tamu cukup luas, dengan 4 tiang penyangga rumah yang besar di bagian tengahnya. Di langit langit tergantung lampu kurung unik dengan sinarnya yang temaram. Di sudut sudut ruangan juga tergantung ublik atau lampu minyak. Mungkin pembakaran minyak itulah yang menyebabkan sensasi ruangan terasa hangat.
Kursi kayu di tata melingkar dengan sebuah meja bundar di pusatnya. Sebuah sepeda tua tergeletak di sudut ruangan. Tak ada TV, hanya sebuah radio berantena panjang bertenaga baterai diletakkan di atas lemari.
Dini berjalan terburu buru, melewati ruang tamu sembari memegangi perutnya. Dia meninggalkan Purbo yang melongo memperhatikan rumahnya sendiri. Masih saja Purbo merasa asing.
"Tuan, besok besok kalau pulang darimana saja nggak perlu ketuk pintu apalagi ngucap salam ya. Saya selalu berada di rumah, siap kapan saja, dan tahu kapan njenengan datang," ucap Mak Nah, kemudian berjalan menyusul Dini ke belakang.
Purbo menelan ludah, entah kenapa dia merasa Mak Nah sedang marah padanya. Purbo kembali berjalan, melewati ruang tamu, dan sampai di bagian ruang tengah. Ada 4 bilik kamar, 2 kamar di sebelah kiri Purbo dan 2 kamar di sebelah kanan, saling berhadapan.
Duk duk duk duk
Tiba tiba terdengar suara pintu diketuk. Purbo terkesiap, sedikit kaget. Purbo mendengarkan dan memperhatikan, darimana asal suara tersebut?
Bersambung___
Duk duk duk duk
Suara pintu diketuk bertubi tubi. Pintu kamar di sebelah kiri tempat Purbo berdiri. Semakin jelas, suara itu berasal dari daun pintu yang tidak memiliki gagang kunci.
Purbo mendekat perlahan. Disentuhnya daun pintu berbahan kayu jati itu. Ukiran meliuk dengan gambar segi enam di bagian tengahnya. Tak ada lagi suara ketukan pintu yang sedari tadi mengganggu. Purbo menempelkan telinganya pada pintu. Hening, tak terdengar bunyi apapun.
"Tuan? Njenengan sedang apa?" tanya Mak Nah tiba tiba. Purbo terkejut, sedikit terlonjak dan mundur menjauhi pintu.
Mak Nah berdiri menggandeng tangan Dini. Purbo memperhatikan wajah istrinya, terasa sedikit berbeda. Perempuan cantik itu nampak lebih sumringah dibanding saat dia mengeluh perutnya bermasalah tadi.
"Emm, Dini kenapa Mak Nah?" tanya Purbo setelah diam beberapa saat.
"Tidak apa apa kok. Monggo segera istirahat saja," jawab Mak Nah, kemudian beringsut mundur.
"Kalau aku kenapa kenapa, itu artinya satu Mas," ucap Dini sambil tersenyum.
"Hah? Apa itu?" tanya Purbo tak mengerti.
"Artinya aku kurang kasih sayang," Dini tergelak. Tawanya yang nyaring pecah. Purbo cemberut merasa dikerjai.
"Sudah ah, yuk ke kamar. Kita tidur siang. Aku capek, Mas juga capek," ajak Dini.
"Ini jam berapa sih?" tanya Purbo, celingak celinguk tak menemukan penunjuk waktu.
"Jam 2 siang Mas," jawab Dini cepat.
"Kok kamu tahu?" tanya Purbo lagi.
"Kan ada HP Mas. Lihat sendiri di HP mu Mas," Dini melengos, membuka salah satu bilik kamar yang berhadapan dengan kamar aneh tadi.
Purbo mengekor di belakang Dini. Dia merogoh saku celananya, dan menemukan sebuah HP berwarna hitam disana. Purbo memencet tombol di bagian kanan, HP menyala menunjukkan layar yang terkunci. Tertulis di layar pukul 14.11.
Memasuki kamar tidur, Purbo cukup takjub dengan desainnya yang klasik. Warna cokelat muda mendominasi. Dengan ranjang yang terbuat dari besi berkelambu putih. Ranjang yang terkesan jadul nan antik.
Dini duduk di depan meja rias yang sederhana. Dia melepas ikatan rambutnya. Membiarkan rambut hitam legam itu terurai panjang. Dini mengambil sisir besar berwarna hijau tua di atas meja rias. Membelai rambutnya sebentar, kemudian menyisirnya perlahan sambil mendendangkan sebuah lagu berjudul 'Putih'.
"Saat kematian datang
Aku berbaring dalam mobil ambulan
Dengar, pembicaraan tentang pemakaman
Dan takdirku menjelang
Sirene berlarian bersahut-sahutan
Tegang, membuka jalan menuju Tuhan
Akhirnya aku usai juga
Saat berkunjung ke rumah
Menengok ke kamar ke ruang tengah
Hangat, menghirup bau masakan kesukaan
Dan tahlilan dimulai
Doa bertaburan terkadang tangis terdengar
Akupun ikut tersedu sedan
Akhirnya aku usai juga
Oh, kini aku lengkap sudah,"
Dini berdendang lirih. Suaranya pelan, terdengar merdu dan menggema dalam kamar. Lagu yang indah, namun membuat bulu kuduk Purbo meremang hebat.
"Yangg?" Purbo memanggil Dini perlahan.
Secara tiba tiba Dini menghentikan aktivitasnya menyisir rambut. Bibirnya masih terlihat bergerak, seakan tetap meneruskan berdendang namun tak ada suara yang terdengar. Keheningan yang tak nyaman langsung terasa di dalam kamar.
"Ya yaanngg?" Purbo mengulangi panggilannya.
"Ada apa Mas?" kali ini Dini menyahut, tak menoleh. Dia terus menatap pantulan wajahnya di cermin.
"Ah nggak. Aku hanya mau bilang suaramu bagus. Tapi, pemilihan lagumu membuatku takut yang," ucap Purbo mengusap usap tengkuknya. Dini terkekeh lirih.
"Hmmm, memangnya Mas mau dinyanyi in lagu apa?" tanya Dini masih terkikik.
"Lagu dangdut mungkin. Bisa nggak?" Purbo tersenyum kemudian duduk di sudut ranjang.
"Mas Purbo mau tidur apa mau nyawer? Hah?" Dini pura pura cemberut.
"Ha ha ha," Purbo tertawa. Badannya yang kekar nampak berguncang guncang.
Purbo kembali meraih HP nya. Dia hendak membuka layar yang terkunci, namun lupa kombinasi angka yang digunakan sebagai password.
"Duh, kamu tahu berapa password ku yang?" tanya Purbo sambil memandangi layar HP nya.
"Aku nggak tahu Mas," jawab Dini. Wajah cantiknya tiba tiba terlihat sendu.
"Mas juga lupa password HP?" Dini balik bertanya. Purbo mengangguk cepat.
"Hmmm, mungkin Mas sebaiknya tidur deh. Kupikir Mas kelelahan. Pikiran Mas perlu diistirahatkan," Dini memberi saran.
Perlahan ibu hamil itu beranjak dari meja riasnya. Dini merangkul Purbo. Mengusap pundak suaminya itu sepenuh hati.
"Mas, aku beruntung sekali memilikimu," ucap Dini pelan.
"Kita sama sama beruntung sayang. Bisa saling memiliki, baik dalam suka maupun duka," sahut Purbo.
"Tapi Yang, aku merasa tubuhku berbeda hari ini. Entah mengapa aku merasa asing berada disini. Yang kuingat dari semua ini hanyalah kamu. Bukankah ini aneh?" Purbo memijat mijat keningnya.
"Sudahlah Mas. Itu tandanya Mas Purbo butuh istirahat," Dini merangkul Purbo, mengajaknya untuk merebahkan badan di kasur.
Tak ada pilihan lain, Purbo menurut saja. Dia merebahkan badannya di kasur berbahan kapuk yang cukup nyaman. Aroma wangi semerbak tercium dari spreinya. Wangi yang tak asing, wangi yang memabukkan.
Pikiran Purbo teralihkan. Rasa nyaman, nyatanya membuat kantuk datang. Ditambah usapan lembut tangan Dini yang berulang di kepalanya. Dalam sekejap Purbo sudah terlelap.
Dengkuran dengkuran kecil terdengar dari bibir Purbo yang berwarna merah kehitaman. Dini mencoba mengguncang guncangkan bahu Purbo. Memastikan apakah suaminya itu sudah terlelap.
Setelah merasa yakin Purbo sudah tidur, Dini beranjak dari ranjangnya. Dengan memegangi pinggulnya, dia berjalan perlahan keluar kamar. Sedikit berjingkat dia menuju ke teras depan.
Mak Nah berdiri bersedekap, bersandar pada tiang kayu jati menghadap halaman depan. Dini terlihat ragu ragu mendekatinya.
"Mak? Aku kurang yakin dengan semua ini," ucap Dini, masih memegangi pinggulnya.
"Pilihannya ada di njenengan," sahut Mak Nah dingin.
"Bagaimana jika Mas Purbo sadar? Dia pasti akan menyalahkanku atas semua yang terjadi," Dini menghela nafas. Tangannya mencengkeram erat pada tiang rumah. Dia gusar dan khawatir.
"Dia tidak akan sadar. Sekarang saya tanya pada njenengan. Njenengan ingin seperti ini atau tidak? Njenengan bahagia atau tidak?" Mak Nah bertanya, sedikit meninggikan nada bicaranya.
"Ya, kehidupan seperti ini yang selalu kuimpikan Mak. Dulu aku pernah gagal, aku tak ingin gagal lagi disini. Tidak kali ini," bola mata Dini bergetar menahan tangis.
"Njenengan harus jaga suami njenengan. Biarkan kamar itu tetap tertutup. Biar saya yang urus sisanya. Saya itu disini hanya membantu. Keputusan ada di tangan njenengan. Kalau njenengan mau nya begini, ya lakukan dengan tekad bulat. Rawe rawe rantas malang malang putung!" Mak Nah yang berwajah kalem itu terlihat melotot hingga bola matanya menonjol keluar.
"Saya permisi ke belakang. Mau nyiapin makan malam. Nanti kalau Mas njenengan itu sudah bangun, panggil saya. Tak siapin wedang parem," Mak Nah menggenggam tangan Dini sesaat, kemudian berjalan pergi menuju ke dapur.
Dini menghela nafas, memandang jalanan yang berkabut. Sepanjang hari, sepanjang waktu tak pernah hilang kabut dari desa Ebuh.
Bersambung ____
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!