NovelToon NovelToon

TOXIC

1. Gara-gara Matematika

Siang berkolaborasi bersama panas untuk membuat setiap orang merasa enggan berada di luar ruangan. Sayangnya, sekolah bubar tepat saat nol sepersekian persen hawa neraka itu menjilat-jilat bumi dengan garang.

Di antara ratusan murid SMA Pelita Bangsa, ada gadis manis berwajah murung di sana. Namanya Athena. Penyebab murung mulai mengungkung wajahnya dengan amat posesif tak lain dan tak bukan adalah karena kertas di tangannya.

Selain ada nama lengkap dan mata pelajaran matematika, ada dua angka di sudut kanan paling atas. Delapan puluh lima. Seharusnya, ia bangga karena jumlah itu menjadi nilai paling tinggi di kelas. Namun, ternyata menjadi pemenang tak selalu menjadikan seseorang senang.

Ia menyetop angkutan umum, lalu duduk di dekat pintu seraya menatap ke luar sepanjang jalan. Pikirannya begitu semrawut.

Mendung memang selalu menghiasi wajahnya, tapi kali ini berbeda. Warnanya semakin pekat dengan bibir lurus mendatar. Beberapa penumpang mencuri-curi pandang. Mereka menjadi tidak nyaman akibat aura sedih yang melingkupi gadis itu.

Saat sampai di depan rumah, Athena turun dari angkot dan membayarnya. Sandrina, Mama sekaligus orang tua satu-satunya, sudah menunggu di teras. Wanita itu langsung menarik kertas itu dan melotot penuh amarah.

"Apa ini, Athena? Kenapa nilai ulangan matematika kamu cuma delapan puluh lima? Kamu mau mempermalukan Mama?" tanya Sandrina.

"Ma, Athena baru sampai."

"Terus kenapa kalau kamu baru sampai rumah?! Kamu berharap Mama diam aja lihat nilai kamu kayak gini?!"

Gadis itu mendesah lesu. Padahal, ia baru saja menginjakkan kaki di pintu rumah, tapi Athena sudah mendapat bentakan dari sang mama. Pasalnya, nilai ulangan matematika tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh wanita itu, yaitu angka satu bergandengan bersama dua nol di belakangnya.

Padahal, Athena berharap Sandrina tidak ada di rumah. Dengan begitu, harinya akan sedikit tenang. Sayang sekali Tuhan tidak mengabulkan. Alih-alih disambut dengan senyuman, Sandrina langsung menyiapkan bombardir pedasnya di siang hari ini.

Athena sudah kebal, bahkan menganggapnya sebagai makanan sehari-hari. Dia memilih duduk di teras, lalu melepas sepatu dengan gerakan tenang.

Percuma meminta untuk diam, mamanya tidak akan berhenti sebelum rasa kesalnya terlampiaskan. Kalau sampai besok pagi masih ada ganjalan di hati, maka Athena akan mendengar makiannya hingga ke luar dari pintu rumah untuk pergi sekolah.

"Athena nggak ada niat mempermalukan Mama. Athena udah berusaha dan nilai ulangan paling tinggi di kelas cuma Athena," jawab Athena apa adanya.

"Delapan lima kamu bilang tinggi?! Apa kamu buta, Athena?! Tinggi itu seratus!" Sandrina semakin berang.

Tangannya sibuk mengacung-acungkan selembar kertas hasil ulangan di udara, seolah Athena belum melihat malapetaka macam itu. Matanya terus melotot disertai wajah memerah menahan emosi hingga Athena mengkhawatirkan bola matanya Sandrina ke luar dan menggelinding ke jalan raya.

Athena mengembuskan napas pasrah sembari meletakkan sepatunya di rak. Alasan malas pulang ke rumah adalah ini. Sambutannya sangat 'manis' sekali.

"Mama tahu sendiri tingkat kesulitan matematika anak SMA itu gimana. Kalau Mama mau nunjukin jenius matematika di luar sana sebagai contoh, oke. Mereka emang suka matematika dan didukung penuh sama orang tuanya. Gini aja, lah, Ma. Mulai sekarang aku fokus sama matematika aja, tapi nilai pelajaran lain biar biasa aja," tukas Athena.

"Oh, kamu berani menjawab Mama? Bener-bener anak nggak tahu diuntung. Udah Mama rawat sejak kecil, Mama kasih makan, Mama sekolahin, sekarang berani melawan Mama?"

"Maaf, Ma. Kalau Mama mau ngungkit apa yang udah Mama kasih ke Athena, Mama catat aja di kertas ada berapa pengeluarannya. Mungkin Mama bakal lega kalau Athena udah bayar semuanya. Walaupun, Athena nggak bisa bayar pengorbanan Mama."

Tangan Sandrina terangkat dan mendarat di wajah Athena. Bekas tangannya tidak menyurutkan amarah Sandrina. Dia malah semakin bernafsu seolah-olah akan ******* Athena dalam sedetik.

Sekarang, dia akan mencari kesalahan-kesalahan masa lalu untuk menerkam putri semata wayangnya. Kalau sudah begitu, mau dibuat bagaimanapun Athena tak bisa melakukan apa-apa.

"Athena nggak ada niat melawan Mama, sama sekali nggak ada. Sebagai anak yang lagi dipaksa mengikuti kemauan ibunya, Athena cuma bela diri. Apa itu salah, Ma?"

"Anak gak tahu terima kasih! Kalau Mama tau kamu tumbuh jadi anak nggak berguna dan memalukan kayak gini, udah Mama lenyapkan kamu dari bayi, Athena! Kamu pikir Mama takut masuk penjara? Nggak sama sekali!"

"Terus kenapa Mama masih diam di situ?" Athena menatap lantai. "Kenapa Mama nggak pergi ambil pisau buat lenyapkan Athena? Atau mau Athena ambilkan, Ma?"

Sekali lagi tangan Sandrina hinggap di pipi satunya lagi. "Mama bilang, jangan kurang ajar, Athena!"

"Lakuin apapun yang Mama mau!" pasrah Athena.

Gadis itu tahu kelanjutannya seperti apa. Dia harus bersiap-siap memasang telinga atau pergi menghindari sang mama agar luka-lukanya tidak bertambah menganga.

Rumah ini seringkali terlihat seperti neraka. Hidup bersama orang tua kandung sama halnya seperti hidup dengan ibu tiri. Tak ada efek berarti selain Athena yang akan semakin depresi.

"Kamu itu sadar siapa diri kamu sebenarnya. Papa kamu itu pemain perempuan! Ninggalin anak di mana-mana! Kamu itu lebih rendah dari sampah, Athena! Kamu harus bersyukur udah Mama urus sampai sebesar ini!" cerca Sandrina.

Telunjuknya mendorong dahi Athena hingga gadis itu terdorong ke belakang. Jika tidak segera disudahi, sampai malam pun Sandrina akan terus menghina dirinya. Mengungkit-ungkit kesalahan Hendrawan, papa Athena, meski tidak ada hubungan dengan Athena.

Tidak berhenti sampai di situ, seluruh nenek moyang di pihak Hendrawan akan terkena sumpah serapah Sandrina. Kalau boleh jujur, Athena sendiri tak kenal keluarga papanya.

Namun, seolah tidak peduli pada apapun, Sandrina terus menikam ulu hati Athena dengan kalimat menyakitkan. Athena lelah, bahkan sampai mempertanyakan kejelasan keadaan ini pada Tuhan. Benarkah keluarga seperti neraka yang ditakdirkan untuknya?

Benarkah semua kekacauan di keluarga mereka terjadi karena dirinya?

"Athena capek, Ma. Mau istirahat dulu di kamar."

Kaki Athena sengaja melangkah lebih cepat. Ia tak peduli pada Sandrina yang terus saja berkoar-koar di belakang seperti tidak pernah puas mencerca anak kandung sendiri. Sandrina selalu menjadikan Athena sebagai pelampiasan, meski penyebab kemarahannya tak ada hubungan sama sekali dengan Athena.

"Selalu seperti itu saat dinasehati sama orang tua. Mau jadi apa kamu kalau terus membangkang?! Mau jadi apa?! Athena, Mama belum selesai bicara!"

Pintu kamar ditutup setengah dibanting. Athena duduk bersandar di pintu dan mengabaikan teriakan-teriakan bernada emosi di luar sana. Air matanya perlahan menetes, lalu semakin deras bagai hujan di bulan Desember.

Dirinya memang sudah terbiasa seperti ini. Namun, tak dapat dipungkiri Athena tetap tidak bisa membiasakan diri. Emosi Athena selalu tak terkendali.

Namun, ia akan berusaha sekuat tenaga menahannya dengan cara mengepalkan tangan dan berteriak tanpa suara sampai urat-urat menyembul di lehernya. Athena tidak ingin merusak barang, padahal terkadang sangat ingin membanting sesuatu.

"Tuhan, aku bisa kuat di luar sana, tapi nggak di sini. Aku nggak suka kondisinya. Aku nggak kuat terus-terusan kayak gini! Sampai kapan? Sampai kapan?" pekik Athena tertahan sambil memukul-mukul paha dengan kedua tangan.

Kakinya ditekuk lalu digunakan untuk menenggelamkan wajah di sana. Athena menangis habis-habisan tanpa peduli seragam sekolah akan lepek karena tak segera diganti. Tubuhnya terguncang hebat. Dua tangan merambat naik ke kepala dan menarik-narik rambut sekuat tenaga.

Untuk apa Tuhan membiarkan dirinya terus menerus hidup di dunia, sedangkan yang dirasakan adalah neraka?

"Aku nggak bisa kayak gini terus. Nggak bisa, nggak sanggup, nggak kuat!" lirihnya.

Athena melihat pisau lipat di atas meja. Tangannya menyambar dengan cepat dan mengeluarkan mata pisaunya. Mata Athena berkilat, seolah siap menyelesaikan hidup di detik ini saja. Saat hendak menekan mata pisau yang tajam di urat nadi, Athena terisak.

Isak yang memilukan, hingga bernapas pun sulit dilakukan. Athena melempar pisau dan merebahkan tubuhnya di lantai. Ia menangis lagi. Terus menangis hingga kelelahan.

Ponselnya berdenting pelan pertanda ada pesan masuk. Athena menyusut air mata di pipi dengan ujung seragam lalu merogoh ponsel. Gloria, sahabatnya mengingatkan dirinya harus segera hadir ke sekolah.

"Ya Allah, hari ini panitia pengurus acara perpisahan harus berkumpul untuk mendekor panggung dan sebagainya. Kenapa harus lupa segala, sih?" rutuk Athena pelan.

Matanya melihat jam. Pukul empat sore, waktu di mana jam berkumpul ditetapkan. Artinya, semua panitia sudah berhadir semua di sekolah, kecuali dirinya. Pasti akan telat setengah jam mengingat Athena menaiki angkutan umum.

Tanpa membalas pesan Gloria, gadis itu bangkit untuk menukar baju. Athena harus memenuhi tanggung jawab dan mengesampingkan lukanya terlebih dahulu. Mungkin dengan sibuk di sekolah, ia bisa lupa pada rasa sakit yang diterima hari ini.

Tidak ada waktu untuk terus menangisi takdir yang kemungkinan akan terus seperti ini. Sekolah sedang membutuhkan Athena saat ini. Gadis itu bahkan tidak ingat dirinya hampir bunuh diri.

"Pakai apa, ya?" gumamnya--masih setengah terisak, di depan lemari yang terbuka.

Pilihannya jatuh pada kaos lengan panjang biru laut dan celana training hitam. Cukup sederhana. Athena pasti akan banyak bergerak, jadi dia tidak mau memakai baju-baju aneh.

Usai mengambil tas punggung lalu mengisinya dengan dompet, ponsel, pulpen, serta binder berisi kertas polos, Athena segera keluar. Dia melihat Sandrina sedang sibuk bertelepon ria dengan sahabatnya. Padahal, wanita itu baru saja selesai memaki putri kandungnya sendiri, tapi ternyata amarahnya tidak berlaku bagi orang lain.

Athena tersenyum getir sambil mendekat. "Ma, Athena pergi ke sekolah buat ngurusin penyiapan segala keperluan acara perpisahan anak kelas tiga," pamitnya.

"Jangan bohong kamu! Pasti mau pergi nggak jelas sama teman-teman nggak bener kamu itu. Buat hura-hura sama cowok. Iya, kan?" tuduh Sandrina.

Mamanya mengatakan itu semua tanpa memindahkan ponsel dari telinga seolah sengaja membuat orang di seberang sana ikut mendengarnya. Ah, mungkin menjelekkan putrinya menjadi kebanggaan tersendiri bagi Sandrina.

Athena tersenyum miris. "Teman-teman yang mana? Mama tau sendiri aku nggak punya teman selain Glo."

Ada rasa jengah melihat Sandrina bersikap seenaknya. Rasanya lebih baik dia langsung pergi saja tadi. Tak perlu pamit kalau jawabannya seperti ini.

Hanya karena Hardian memiliki kebiasaan buruk, hanya karena wajah Athena mirip Hardian, Sandrina selalu menyama-nyamakan mereka berdua. Memangnya semua sifat buruk akan menurun pada anak meskipun sedarah? Athena tahu bagaimana sakitnya menjadi korban. Dia tak akan menjadi papanya.

"Athena pamit. Mama nanti bisa telepon kepala sekolah. Mama tanya ada kegiatan apa. Beliau nggak mungkin bersekongkol sama murid gak berguna ini."

Athena adalah gadis sekokoh karang di lautan. Bila remaja seusia dirinya sedang sibuk bermanja dengan orang tua, Athena tidak pernah berkesempatan untuk melakukannya. Ia bisa tertawa tanpa beban. Tersenyum seperti orang paling bahagia sedunia. Meski nyatanya selalu terluka.

Athena selalu bisa sekuat baja, karena ia ditakdirkan terlahir dari neraka dunia, berdiri sendiri tanpa pernah mencoba mengakhiri cerita. Namun, akhir-akhir ini Athena takut pada dirinya sendiri. Ia merasa asing dan seolah tidak kenal siapa yang sedang bersarang di tubuhnya.

"Athena!"

Baru sampai di pintu pagar, Sandrina memanggil. Meskipun malas, Athena kembali masuk ke dalam rumah dan menemui mamanya.

"Kenapa, Ma?"

"Dipanggil orang tua begitu jawabannya? Nggak salah Hardian kamu ninggalin kamu, ternyata besarnya jadi anak nggak berguna dan nggak punya sopan santun sama orang tua!" maki Sandrina.

"Mama, tolonglah!"

Semakin Athena meladeni, dirinya akan semakin telat dan dicap panitia tidak bertanggung jawab. Dia sudah kelas dua SMA, tentu sudah harus membiasakan diri menjadi orang disiplin.

Athena langsung keluar dan menyetop angkutan umum. Ia berharap supir mengganti ban dengan sayap agar lebih cepat sampai. Untuk sementara waktu, ia akan melupakan lukanya.

Di angkot, Athena mendapat satu pesan, dari Sandrina. Isinya masih sama. Makian, bahasa binatang, penghakiman, dan terakhir mengatai dirinya ******. Kepala Athena panas. Matanya perih. Sekujur tubuhnya terasa pedih. Ia menyimpan ponsel dan memilih memejamkan mata sejenak.

"Mama pernah liat Athena mangkal di mana?" bisiknya tanpa menghiraukan tatapan orang-orang.

2. Depresi

Angkot berhenti tepat di depan sekolah SMA Pelita Bangsa, tempat Athena menuntut ilmu selama dua tahun ini. Sopir angkotnya sudah mengenal Athena dengan baik. Gadis itu selalu menggunakan jasanya untuk pulang pergi ke sekolah.

Jadi, tanpa bertanya pun sopirnya sudah tahu Athena hendak ke mana. Selain itu, setiap bertemu Athena, dia jarang beramah-tamah. Senyumnya jarang terlihat. Ketika sudah tiba di tempat tujuan, Athena hanya mengucapkan terima kasih saja.

Seperti sekarang, Athena membayar ongkos lalu berjalan agak tergesa-gesa. Dari depan gerbang, ia bisa melihat beberapa panitia inti hilir mudik membawa keperluan yang dibutuhkan untuk menyiapkan acara.

Sopir angkot tadi masih di tempat. Ada rasa penasaran menyelusup ke hatinya saat melihat mata Athena sembab. Ingin hati bertanya ada masalah apa, tapi tak sempat sebab usai membayar gadis itu turun dan berjalan dengan cepat.

Athena sendiri tahu wajahnya jadi perhatian banyak orang. Makanya dia langsung kabur. Selain itu, pekerjaan sudah menanti dan harus pergi ke ruang OSIS terlebih dahulu.

Napasnya tinggal satu-satu saat berhasil sampai di ruang maha penting di setiap sekolah itu. Ternyata, masih ada beberapa orang di sana. Sembari mengetuk pintu, ia melempar senyum tipis khas Athena.

Semua menggeleng maklum. Rumah gadis itu memang agak jauh. Bermodalkan transportasi angkutan umum tentu tidak bisa selalu tepat waktu. Namanya juga angkutan umum, kalau lewat syukur, bila tidak terpaksa jalan kaki.

Belum lagi saat berhenti sembarangan dalam waktu tak bisa ditentukan untuk menunggu calon penumpang. Athena tidak bisa seenaknya.

"Maaf gue telat lagi. Udah beres semuanya?" ucapnya.

"Lo selalu telat, Athena!" sindir Gabriel.

Athena mendengkus sebal. Kalau sedang tak ada masalah, dia pasti sudah sampai dari tadi. Menangis saat sedang tertekan itu nikmat sekali sampai-sampai membuat seseorang lupa waktu.

Namun, mana mungkin ia memberikan alasan seperti itu pada mereka. Hidupnya bukanlah urusan orang luar.

"Abis dari mana aja? Kalau tahu telat, harusnya lo bawa baju sama makanan, terus bisa mandi di sekolah. Gak usah pulang. Ongkosnya juga gak ke luar banyak. Lo hemat uang sama waktu di saat yang bersamaan," ucap Gabriel sembari menata lembaran kertas.

Sebagai jawaban, Athena hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan Gabriel. Sebenarnya, mereka tidak terlalu akrab seperti bayangan tim sebenarnya.

Athena tidak pernah bisa bekerja secara berkelompok. Tidak masalah dirinya tergabung dalam tim manapun, selama tidak saling mencampuri apalagi sampai merecoki.

Menurut dia, pekerjaan akan bagus apabila dilakukan oleh satu tangan. Kalau lebih pasti akan berantakan. Athena hanya mencoba menyambut kehangatan mereka saja. Tidak lebih.

"Udah. Kalau kelamaan ngobrolnya nanti malah tambah lama kerjanya. Na, ikut gue ke ruang Pak Arya. Ada banyak kerjaan dan cuma lo yang bisa ngerjain itu!" tukas Gloria sambil menyeret sahabatnya.

"Iya, sabar. Jangan narik-narik! Entar gue nyungsep ke lantai!" gerutu Athena.

"Jangan lelet makanya!"

"Sabar dikit bisa kali, Glo."

Adegan saling tarik menarik seperti magnet berbeda kutub rupanya menyita perhatian El Hafiz, ketua panitia tahun ini. Setiap ada orang yang berinteraksi dengan Athena, selalu ada lingkup ruang aneh yang mengitari gadis itu. Semacam sinyal tak kasat mata bagi orang-orang untuk menjaga jarak mereka darinya.

Aura Athena seperti abu-abu seolah-olah ada banyak perasaan yang disesali olehnya. El bukan indigo. Pemuda itu hanya menebak dari raut sedih yang tersembunyi di balik tawa ceria Athena, entah itu benar atau hanya perasaannya saja.

El mengendikkan bahu tak peduli. Sejak kapan dirinya mengamati tindak tanduk perilaku gadis aneh itu?

"Athena cantik, tapi agak misterius. Bukan, dia bukan misterius. Lebih ke menutup diri dan gak terjamah," kata Gabriel.

"Perasaan lo aja kali," balas El.

"Perasaan itu insting, dan insting gak pernah salah."

"Ya, mana gue paham yang begituan."

"Lo bertiga!" Gabriel memanggil tiga siswa kelas satu yang sedang menggunting kartun. "Pada kenal Athena gak?"

Mereka saling berpandangan dan kompak menggelengkan kepala, seperti sudah sepakat tak ingin berkomentar apa-apa. Athena terlalu kelabu untuk dijadikan bahan obrolan.

Salah-salah bukannya mengasyikkan, yang ada malah membuat mereka merasa bersalah tanpa sebab dan semakin tidak nyaman berada di dekat gadis itu.

El melirik Gabriel lalu bernapas jengah. Dia hanya mau fokus pada laptop di depan mata. Sayang, pikiran dan hatinya berkhianat pada tubuhnya. Bayang-bayang wajah Athena terus menggeser ruang fokus hingga pekerjaannya mulai terbengkalai.

Suara ribut-ribut di depan ruang OSIS kembali menyita perhatian El dan Gabriel. Keduanya saling berpandangan sebelum serempak melangkah ke luar. Sepertinya, ada yang bertengkar. Terbukti saat mereka mendapati Gloria sedang adu mulut dengan seseorang.

Gadis itu memang singa betinanya Pelita Bangsa. Akan tetapi, dia tidak akan mengaum kalau tidak ada yang mencari masalah lebih dulu dengannya.

"Pakai mata makanya. Jangan suka bercanda sambil jalan!" bentak siswi bernama Claire itu.

Agaknya, dia sedang mencari masalah dengan Athena, karena meskipun sejak tadi Athena hanya diam, jelas sekali pandangan Claire mengarah ke sana. Sorot kebencian tergambar jelas di kedua netra biru terangnya.

"Terus, lo pikir, kalo gue sama Athena gak pakai mata bisa jalan dari rumah sampai sini dengan selamat? Heh, lihat ke sini, ada mata gak di wajah gue? Kalau ada, berarti gak usah sok iya nyuruh-nyuruh gue, seolah-olah lo punya seribu mata buat jalan. Nyatanya lo jalan nabrak orang juga!" serang Gloria tak terima.

"Terus kenapa bisa nabrak gue? Itu namanya pakai mata?"

"Lo aja yang jalan gak sadar situasi. Sibuk sama hape, padahal tahu kondisinya lagi rame. Bercanda yang lucu dikit, dong!"

"Sopan sedikit, bisa? Nyolot mulu dari tadi. Orang tua lo gak ngajarin sopan santun?"

Gloria tertawa meremehkan. "Diajarin, kok. Tapi, kata orang tua gue, pilih-pilih orang dulu sebelum menunjukkan attitude yang baik. Yang beginian, mah, ditendang juga gak apa-apa."

"Si Athena juga diam aja. Udah tahu salah, malah biarin temennya marah-marah," sindir Claire disambut tawa teman-temannya.

Athena mengernyitkan dahinya. "Emang kenapa kalau gue diam? Kuping lo bakal bermasalah sebelum dengar suara gue? Gak, kan? Yang di belakang kenapa ketawa? Selera humor kalian rendah juga ternyata."

"Lo juga gak tahu diri, ternyata!" Claire melotot.

Athena memejamkan mata kuat-kuat. Ia tahu masalah sekecil ini tak akan membesar, kalau bukan karena rasa benci Claire pada dirinya. Sekarang ia semakin yakin dengan kata-kata sang mama. Dirinya adalah pembawa sial.

Saat Gloria hendak membalas, Athena menyentuh tangan gadis itu agar berhenti. Keributan ini agar mengacaukan segalanya. Tugas-tugas sudah menunggu untuk diselesaikan.

"Kita pergi," ajak Athena.

"Tapi ... "

"Kita pergi," ulang Athena. "Maaf, Claire. Kalau menurut lo, gue yang salah, gue minta maaf. Lain kali, gue bakal lebih hati-hati lagi di jalan."

"Lo ngapain minta maaf?" Gloria menatap tak mengerti.

"siapa tahu emang gue yang salah. Ayo, buruan!"

"Ya udah. Kita pergi."

Saat Athena sudah memaksa seperti ini, Gloria tak mampu berbuat apa-apa. Dia segera mengikuti kemauannya dan meninggalkan pesan tersirat melalui sorot matanya untuk Claire, kalau urusan mereka belum selesai.

Kebencian Claire pada Athena sungguh tak beralasan. Terlalu mengada-ada dan tampak seperti pelampiasan atas sesuatu yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Athena.

Claire menggeram kesal melihat target pergi begitu saja. Emosinya yang terlanjur menggebu-gebu tak sempat terlampiaskan. Tujuan awal dia mengajak ribut itu, hanya untuk merecoki Athena agar gadis itu memakinya, bahkan kalau bisa berteriak marah.

Dengan begitu, Claire bisa semakin menunjukkan sisi asli Athena. Dia selalu penasaran pada gadis itu. Selama ini, ekspresi Athena lempeng-lempeng saja, membuat semua orang penasaran pada sisi lainnya.

Akan tetapi, sebelum mendapat apa yang diinginkan justru Claire berhadapan dengan sahabatnya yang terkenal galak dan dicap sebagai singa betina SMA Pelita Bangsa. Kalau saja nyalinya kecil, mungkin Claire sudah kabur ke mana saja asal tidak melihat wajah Gloria.

"Kita pergi, Girls!" ajak Claire pada dua temannya.

...🍁...

Sepanjang perjalanan menuju ruangan Arya, Athena terus melamun. Ocehan Gloria ditanggapi dengan gumaman saja. Dia merasa, kehadirannya ke sekolah sepertinya adalah kesalahan besar. Dia hanya membawa bibit rusuh kepada setiap orang. Mana suasana hatinya sedang tak baik pula.

Athena mengurut kening, berusaha mengurangi rasa sakit yang menyerang kepalanya. Seperti biasa, setiap sedang merasa tertekan, kepala Athena akan berdenyut sakit. Efek dari asam lambung yang naik karena terlalu stress, apalagi Athena mempunyai gerd anxiety.

Rasanya, Athena ingin menangis saat itu juga. Perlahan-lahan, ada kegelapan yang menyelimuti dirinya. Pandangan mata Athena buram. Ia berhenti sejenak.

Di saat muncul anxiety, otomatis depresi Athena akan ikut kambuh. Dia berjongkok sesaat sembari menutup telinganya dan mencoba menetralkan pikiran. Namun, malah gagal.

Sejauh ini, Athena belum bisa mengendalikan diri saat kambuh seperti ini. Seharusnya, ia sudah wajib melakukan konsultasi dengan ahli kejiwaan. Namun, biaya dari mana?

Di sebelahnya, Gloria ikut diserang panik meski berusaha tenang. Setiap Athena seperti ini, dirinya selalu ikut-ikutan gamang.

"Athena? Hei, lo gak apa-apa?" Gloria ikut jongkok dan mengelus punggung sahabatnya.

"Gue ... gue ... "

Tanpa dijawab pun, akhirnya Gloria tahu kondisi Athena sedang tidak baik-baik saja. Gadis itu mulai mencengkeram rambutnya dengan tubuh semakin meringkuk ke bawah. Berbagai pikiran buruk mulai melanda diri Athena. Dia mulai menangis dengan napas tersengal.

"Na, jangan kayak gini. Gue gak tau harus ngapain. Di sini gak ada orang," cicit Gloria takut.

"Gak, gue gak salah. Gue gak tau apa-apa. Gue gak salah. Gue gak ngerti sama apa yang udah terjadi!" racau Athena.

Tak tahu harus apa, Gloria memilih memeluk Athena guna menenangkan gadis itu. Ia khawatir, sebab tiba-tiba saja Athena menjadi seperti ini. Namun, baru saja tangannya melingkar di pundak, gadis itu memberontak kuat.

"Jangan, jangan sentuh gue Jangan peluk gue Pergi, pergi! Gue gak salah!"

Rasanya Gloria ingin menangis kencang saat itu juga. Bukan sekali dua kali Athena menunjukkan tingkah laku seperti ini.

"Gue gak salah!" suara Athena semakin meninggi.

"Iya, gue tahu lo gak salah. Lo gak salah, Na."

"Gue gak salah."

Pandangan Athena semakin gelap, seperti ada awan hitam menyedot seluruh ruang tatap dan pikiran Athena hingga terfokus pada depresinya saja. Gadis itu semakin meringkuk bagai orang kedinginan.

Tubuhnya gemetar dan menolak disentuh orang. Athena kembali tenggelam dalam bayang-bayang kelam. Gloria semakin takut. Dia tak bisa melakukan apa-apa.

"Allah, gimana ini?" gumamnya sambil menggigiti kuku jarinya.

3. Ribut

Athena terus menangis dalam posisi berjongkok dalam waktu lama. Menginjak menit ke lima belas, isakan itu mereda. Dia mengangkat wajahnya, hingga membuat Gloria nyaris meringis melihat mata bengkak Athena.

Sahabatnya itu langsung berdiri. Rambutnya yang kusut kembali dibenahi. Setelah itu, dia berangsur-angsur tenang dan menarik napas dalam-dalam. Tanpa sadar, Gloria ikut mengambil napas panjang.

Pergelangan tangan Gloria memerah sebab tak sengaja dicengkeramnya karena bimbang. Sekarang dia merasa gamang.

Mereka terjebak dalam kebisuan, hingga membuat seseorang yang bersembunyi di balik tembok merasa tak nyaman. Menurutnya, aura Athena semakin kelam.

Sejak gadis itu mulai kacau, cowok itu sudah berada di sana. Padahal, awalnya dia berniat membantu Gloria membawa Athena ke unit kesehatan sekolah.

Barangkali, Athena mengalami vertigo atau merasa tidak sehat, begitu pikirnya. Akan tetapi, melihat penolakan yang diterima Gloria yang notabene adalah sahabat Athena, dia pun jadi ragu.

"Ath-Athena, lo gak apa-apa?" cicit Gloria takut.

"Gak. Maaf, kalau gue bikin lo khawatir." Athena menjawab singkat, matanya kosong menatap lurus.

"Gue bisa antar lo pulang, lo gak usah ikut kerja, nanti biar gue aja yang atur. Kayaknya, lo butuh istirahat lebih banyak hari ini."

"Gue gak selemah itu. Gue masih bisa ngelakuin apapun sendirian. Lagian, gue baik-baik aja. Gara-gara barusan, lo jadi ngeremehin gue, gitu?" Suara Athena mulai meninggi.

Setiap mengalami stress, emosi Athena jadi tidak stabil. Ia akan memarahi siapa saja yang berbicara dengan dirinya. Athena tak peduli, apakah itu orang tua atau remaja seumuran dirinya.

Ini bukan pertama kali Athena bersikap aneh. Sebagai sahabat, Gloria selalu berusaha mengerti walau tetap terkejut ketika mengalaminya berulang kali. Dia hanya bisa mengangguk maklum dan meminta maaf atas sikapnya yang membuat Athena tersinggung.

"Kalau gitu, kita ke ruangan Pak Arya sekarang," putus Gloria, sembari menyugar rambut sebahunya.

Athena mengangguk kecil. Dia berjalan bersisian dengan Gloria, untuk meninggalkan tempat di mana dirinya sempat hilang kendali. Embusan napas kasar dikeluarkan berkali-kali.

Semakin lama, kontrol dirinya semakin mudah terlepas. Mungkin benar, Athena butuh mengunjungi psikolog atau psikiater.

Namun, uangnya masih belum cukup dan pasti tidak akan cukup, karena sering dipakai ketika keadaan terdesak. Seperti membeli beberapa bahan yang dibutuhkan saat belajar, butuh buku ataupun memberikan sumbangan.

"Akhirnya kalian datang juga. Ke mana aja, sih? Lama banget, udah Bapak tunggu dari satu setengah jam yang lalu juga!" cerocos Arya saat keluar dari ruangan dan mendapati murid-murid kepercayaannya. Satu persatu, ia menyambut uluran tangan muridnya. "Athena, tangan kamu dingin. Mata kamu juga sembab. Kamu sakit?" tanyanya perhatian.

"Saya baik-baik aja, Pak. Mungkin efek baju saya yang kurang tebal. Jadi, saya agak kedinginan," elak gadis itu sambil menunduk.

"Kamu yakin baik-baik aja? Kita akan kerja sampai malam. Kalau kamu sakit mending pulang aja istirahat, pasti yang lain maklum," saran guru seni itu.

Hampir saja Athena mengumpat kesal, bila tidak ingat siapa pria di depannya. Terlalu banyak bicara hanya akan membuat Athena pusing.

Gloria sendiri memilih diam karena takut salah bicara, selama tidak ditanyai Arya. Ia juga sempat melihat Athena memejamkan mata erat-erat pertanda mulai kesal.

"Ya udah, nanti kalau ngerasain pusing atau apa, bilang sama Bapak, ya? Soalnya tugas kamu lumayan berat." Guru seni itu menghitung lembaran yang ada di tangan. "Ini naskah yang baru aja Bapak copy. Tolong, kamu bagikan ke teman-teman ekskul drama."

"Iya, Pak. Ada lagi?"

"Lembaran terakhir coba liat dulu. Itu tugas kamu."

Athena membalikkan tumpukan kertas lalu mengambil yang paling terakhir. Benar, tugasnya cukup banyak. Tugas pertama, mengecek kostum yang akan dipakai anak-anak tarian, drama, penyanyi, dan musikalisasi puisi.

Dengan tugas sebanyak ini, mungkin tidak akan menjadi masalah selama Athena bekerja sendiri. Untuk yang lainnya, masing-masing sudah dibuat tim.

"Saya pamit, Pak. Mau antar skrip ini ke anak-anak drama." Athena membungkuk sopan diikuti Gloria.

"Na, siniin kertasnya! Gue bantu antar ke ruang drama. Biar lo bisa kerjain tugas yang lainnya," tawar Gloria.

"Makasih, gue ke tempat penyimpanan kostum dulu!"

Setumpuk kertas itu sudah berpindah tangan. Athena melenggang pergi begitu saja meninggalkan Gloria.

"Gue gak ngerti lo kenapa, Na. Padahal, gue udah jadi sahabat lo lumayan lama," gumam Gloria lirih.

"Dia misterius, kan?" tanya seseorang di sampingnya.

Gloria terlonjak kaget. Ia segera mendekap tumpukan skrip drama yang telah di klip agar tidak jatuh, dengan cara mendekapnya di dada.

Matanya menatap nyalang pada si tersangka. Seperti buaya saja. Datang tak diundang, pulang-pulang meninggalkan wajah menyebalkan.

"Lo ngapain, sih, hah?" gertak Gloria kesal.

Gabriel sadar dirinya dalam bahaya. Ia cepat-cepat menyatukan kedua tangan di depan dadanya sebelum terkena amukan macan betina.

"Maaf, maaf. Gue salah, ngagetin lo."

Gadis itu mendengkus. "Iya, gak papa. Kertasnya belum jatuh juga."

Gabriel menghela napas lega lega. Ia kira akan dimarahi. Ternyata masih diampuni. Mereka melanjutkan obrolan sambil berjalan.

"Gue penasaran, deh, sama Athena. Kenapa dia misterius kayak gitu?" tanyanya.

"Gak juga, dia sebenarnya baik. Cuma kadang aneh aja kayak tadi," jawab Gloria tanpa ragu.

"Baik itu basic setiap orang, Glo. Gue yakin, nih, ya. Sekalipun lo sahabatan sama dia, nggak ada yang lo tahu tentang Athena. Selain namanya dan, ya, wujud dia."

"Iya juga, sih. Gue nggak berani banyak nanya sama dia. About anything, especially home and family. Takut Athena marah."

"Emang dia pemarah?"

Gloria menatap Gabriel penuh selidik dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Kepo banget, sih. Lo suka sama Athena?" tembak Gloria langsung.

Wajah Gabriel memerah menahan malu. Ia menggaruk tengkuk dan telinganya yang tak gatal. Dia membatalkan niatnya untuk mengorek soal Athena.

Sementara itu, Gloria menaruh curiga. Ia tidak menuntut jawaban atas pertanyaannya. Gelagat aneh Gabriel lebih dari cukup.

"Just a little interested," aku Gabriel jujur.

"Kalau gitu, nih, sekalian bawain kertas ini ke ruang anak-anak drama. Tadinya tugas Athena, tapi kayaknya lo bisa bantu. Hitung-hitung, pedekate sama kertas dulu sebelum sama Athena," ujar Gloria sambil mengedipkan mata sebelah.

Ia segera pergi dengan tawa menggelegar meninggalkan Gabriel yang sedang melongo. "Dapat informasi kagak, beban iya," gumamnya dongkol.

...🍁...

Athena sudah sampai di ruang OSIS. Tugas penting lain sudah dikerjakan beberapa saat Arya menemuinya dan memberi tugas untuk menjumpai sang ketua dekorasi. Akhirnya, ia kembali ke sini demi menanyakan pekerjaan dekorasi panggung kepada murid kesayangan Arya yang lain, yakni El Hafiz.

Sejak dulu, Athena jarang berinteraksi dengan cowok itu. Ia merasa agak risih saja sebab El sering kedapatan menatap Athena terlalu lekat. Saat Athena menoleh ke arahnya, dia malah pura-pura tak melihat. Hal semacam itu cukup menyebalkan menurutnya.

"Pak Arya nyuruh gue nanyain soal dekor," kata Athena tanpa basa-basi.

Cowok itu melirik sekilas. Jemarinya mengetik sesuatu, lalu mengarahkan laptop bergambar apel digigit sebelah pada Athena. Ada beberapa bentuk dekorasi panggung di sana. Entah di download dari situs internet atau justru buatan El sendiri, Athena tidak peduli pada sumbernya.

Dekorasi pertama tampak terlalu meriah. Balon ada di mana-mana, pita besar tergantung di tengah, dan spanduk belakang panggung berwarna-warni macam pelangi. Athena mengernyitkan dahi, dikira ini ulang tahun anak TK apa?

Dekorasi kedua dan ketiga juga tak jauh berbeda. Tak ada yang memenuhi syarat sederhana dan elegan seperti bayangan Athena. El merupakan sedikit daripada populasi yang bisa membuat dekorasi indah di Pelita Bangsa.

Namun, entah kenapa, kali ini pekerjaannya hancur seperti ini. Athena menggeleng tak percaya. Lalu, sore ini mereka harus melakukan apa?

"Kenapa?" El menatap tak suka pada reaksi Athena.

"Lo ngapain aja sejak rapat bulan lalu? Dekor macam apa ini? Bling-bling kayak ulang tahun balita." Tanpa ragu Athena menyuarakan pendapatnya.

Mata El melebar diberi komentar seperti itu. Padahal, menurut El, dekorasi ini sudah sangat bagus. Ia rela bergadang demi mengerjakan sesempurna mungkin.

Seharusnya gadis itu memuji, bukan malah meremehkan. Yah, walaupun hatinya sedikit mengakui kalau dekorasi ini dikerjakan secara terburu-buru karena kemarin-kemarin El tidak sempat membuatkan.

"Lo gak bisa ngehargain karya orang sedikit, ya? Gue tau lo anti sosial, tapi gak bisa seenaknya sama orang kayak begini, dong!" ucap El kesal.

"Gak usah bawa-bawa anti sosial. Gue gak bangga disebut kayak gitu," balas Athena dengan suara datar. "Faktanya, kerjaan lo begini. Mau lo kumpulin orang sepadang rumput juga sama aja jawabannya. Gue yakin itu."

"You shouldn't have commented like that!"

"Terus ngapain juga lo tunjukin ini ke gue, kalo gue gak boleh komentar apapun?" desis Athena. "Smart people can accept any criticism. Mata lo buta sampai gak bisa liat kerjaan amatir kayak gini?"

Emosi Athena sedang tidak labil. Dibentak seperti itu tentu semakin memperparah suasana hatinya. Akan tetapi, El juga sedang pusing sendiri. Mereka sama-sama sedang dalam kondisi mudah meledak.

"Ini orang gak sadar diri, ya. Eh, lo itu cuma kacung! Tahu diri sedikit, dong, jadi manusia. Udah gak bisa bergaul sama orang, gak bisa menghargai pula."

'Harusnya kamu tau diri!'

Perkataan mamanya kembali diucap ulang oleh El. Mata Athena memanas. Diikuti darah yang juga bergejolak.

"Udahlah, gak suka gue satu kerja sama cewek kayak gini!" Suara El tetap meninggi.

"Gue juga gak sudi!"

Athena melangkah ke luar dari ruang OSIS dengan emosi menguasai dirinya. Ia bahkan menabrak bahu Gabriel yang berdiri di pintu karena menghalangi jalan.

Beberapa orang berbisik-bisik tak jelas, mereka sempat menonton pertengkaran dua orang itu barusan. Mereka terkesima sekaligus heran. Hanya karena masalah kecil saja dua El dan Athena sampai bersitegang.

Gabriel mengusap wajahnya dengan geram. El dan Athena sama-sama manusia bersumbu pendek. Sudahlah sama-sama merasa tak cocok, saling senggol sedikit auto bacok.

"Na, lo mau ke mana?!" cegah Gloria.

"Mau pergi. Ngapain gue di sini? Buang-buang waktu," sinis Athena.

"Just get out of here, Damn Girl!" teriak El kesal.

Sekarang Gloria paham, kenapa Athena bisa semarah itu. Sudah dia duga dari awal, kalau gadis itu tak akan bisa bekerja dengan tim. Akan tetapi, Arya bersikeras. Alasannya, agar Athena terbiasa.

Sekarang lihat saja akibatnya. Ia pergi begitu saja tanpa mau menoleh ke belakang lagi. Menjawab pertanyaan Gloria saja suaranya terdengar sinis.

Gloria menjadi serba salah, mau menyalahkan guru takut dicap murid durhaka, diam saja malah berakibat fatal bagi semuanya. Tanpa banyak cakap, Gloria mengejar Athena dan menariknya masuk ke ruang OSIS.

"Ngapain, sih?" Athena memberontak.

"El, ada masalah apa?" Gloria masuk ke ruang OSIS dengan wajah tak habis pikir.

"Gue gak suka kacung kayak gitu, berani rendahin dekorasi yang udah capek-capek gue buat," jawab El datar.

Gadis itu membuang muka. "Kacung? Lo bilang kacung? Dia bisa dan mau ngelakuin apapun karena dia pengen, El. Bahkan, dia gak nolak waktu Pak Arya nulis namanya tanpa nanya Athena mau apa gak."

"Terus, dia kerja di bagian apa? Panitia apa dia? Nggak ada, kan? Harusnya tahu diri."

Andai El tahu perasaan Athena sangat sensitif, pasti dia tak akan berbicara lancang. Sekarang, semuanya menjadi berantakan. Gloria ingin sekali mencakar wajah cowok itu hingga kulitnya mengelupas, tapi takut menambah perkara lalu acaranya tak bisa diwujudkan sesuai rencana.

"Mana dekornya? Coba gue lihat!" tukas Gabriel menengahi.

Saat laptop itu menghadap dirinya, akhirnya Gabriel tahu penyebab keributan yang terjadi. Cowok itu meringis lalu menunjukkan pada Gloria.

"Pantesan Athena marah, orang blak-blakan gitu pasti ngomongnya jujur. Ini dekorasi buat ulang tahun anak TK, El!" komentar Gabriel.

"Lo apaan, sih? Gue udah bergadang semalaman buat ngerjain ini!" protes El tak terima.

"Childish." Gloria menatap prihatin pada siswa tersayang sang guru kesenian. Jauh-jauh hari sudah mendapat tugas, baru semalam dia kerjakan.

Athena spontan menggebrak meja. "Baru ngerjain semalam, lo bilang? Bangga banget lo kasih tahu kita, rela bergadang semalaman buat ngerjain tugas. Ngapain aja kemaren-kemaren, hah? Gue gak tahu isi pikiran lo apa, El. Tapi, lo nggak berhak marah ngatain gue kayak gitu, sedangkan kerjaan lo sebagai ketua aja gak becus!"

"Gue juga banyak kerjaan, lo pikir hidup gue berpusat di sekolahan doang?!" El melotot.

"Terus, lo pikir hidup gue juga hidup buat ngurusin sekolah? Selain jadi kacung di sekolah, gue juga jadi kacung di rumah. Ngerti, lo?" balas Athena murka.

"Sialan lo, ya?!" El bangkit, tapi langsung ditahan Gabriel.

"Biasa aja, dong, gak usah ngegas. Gue tahu lo orang sibuk, dan harusnya kalimat itu lo ucapin pas Pak Arya ngasih tanggung jawab ini. Bukan sekarang!" ucap Athena sambil menatap tajam.

"Udah, udah. Jangan ribut terus! Pusing gue dengernya. Glo, mending lo sama Athena ke anak-anak. Bilangin ada kendala atau apapun. Intinya, mereka ngertinya panggung nggak bisa didatangin hari ini. Gue juga bakal confirm ke tempat penyewaan biar nggak dikirim hari ini!" Gabriel mengakhiri pertengkaran itu. "Harusnya Athena, sih, yang ngurusin."

"Gue letakin tanggung jawab gue sekarang. Terserah, mau acara ini bakal jalan atau nggak. Itu bukan urusan gue lagi!" putus Athena sembari membanting kertas berisi tugas-tugasnya, lalu memiringkan kepalanya. "Kalau anak-anak tahu ketua panitia dekor kayak gini, gue nggak jamin reaksi mereka masih positif. Childish!"

Ia langsung ikut bersama Gloria untuk pergi menjumpai anggota panitia dekorasi lain dan membiarkan Gloria mengarahkan pekerjaan mereka.

Sepanjang perjalanan, Gloria sibuk mengeluhkan sikap mereka. Apabila ada satu orang dilahap emosi, yang lain pun sama. Bukannya menengahi atau mengalah sepihak, malah ikut-ikutan meledak.

"Gue pergi," ucap Athena.

"Na, bentar!" cegah Gloria, tapi gagal.

Ia hendak mengejar saat anak-anak kelas satu memanggilnya dengan nada gusar. "Kita bantu panitia lain dulu. Kalian bisa bantu goreng kerupuk atau nyiapin kotak snack, atau bersih-bersih, terserah. Panggung nggak bisa datang hari ini. Dekorasinya juga belum bisa dikerjain!" putus Gloria sembari meredam emosi.

"Bukannya hari ini panggungnya harus jadi, Kak?" tanya anak kelas satu yang menjadi bagian dari panitia dekorasi.

"Iya, tapi ada kendala dikit. Lagipula, masih ada sisa waktu besok. Semoga masih sempat buat kita ngerjain semuanya. Kalian gak keberatan buat ngebut, kan?"

"Apa boleh buat, mau gak mau harus mau."

Setelah semua sudah terorganisir, Gloria menghindari kerumunan untuk menghubungi Athena. Gadis itu langsung pergi tanpa memberitahu hendak ke mana. Ia khawatir pada kondisi sahabatnya. Entah, dia sudah pulang ke rumah atau malah mampir di mana. Setidaknya, Gloria bisa tenang bila sudah mendapatkan kabar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!