...Cerita ini sequel "Night Destiny", yang pengen kenalan sama Saga dan keluarganya, bisa baca cerita "Night Destiny" dulu ya. Atau langsung kesini juga gpp....
...Selamat membaca dan semoga kalian suka...
* * * * * * * * * * * ** * * * * * * * * * * * * * * * * *
"Aku ... Aku baru saja melamar seorang gadis yang kutemui di taman"
"APA?!."
Sagara Ibrahim, pria berusia 26 tahun itu menutup telinga mendengar pekikan kaget Bundanya. Ralat ... Bukan hanya Bundanya, tapi juga Ayah, Abang dan Kakak Iparnya.
Jelas saja mereka terkejut. Selama ini, pria tampan itu tidak memiliki kekasih atau yang biasa disebut gebetan oleh anak zaman sekarang.
"Ga, kamu nggak kesambet setan taman kompleks kan?," tanya Azka, Abangnya.
Saga mendengus kesal, "Mana ada setan pagi - pagi begini, Bang."
Mereka semua diam lalu menatap Saga dengan raut wajah penasaran. Kenapa? Mengapa? Bagaimana bisa? Itulah pertanyaan yang bercokol di kepala mereka.
Azka dan Salsa memilih duduk disamping Gita, Salsa sendiri sambil menggendong Gavin, anak pertama mereka.
Gita menatap putra bungsunya dengan raut wajah yang tak bisa dijelaskan, "Ga, kamu melamar anak siapa? Rumahnya di mana? Siapa orang tuanya dan kenapa tiba-tiba kamu melamarnya? Apa dia sudah hamil anakmu?," berondong Gita, sang Bunda.
"Sayang, tenang dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Saga," ucap Dirga, sang suami.
Gita memijat keningnya. Perempuan itu tiba-tiba merasa pusing. Anak pertama nyicil duluan, masa iya anak kedua juga sama. Aish, rasanya dia gagal menjadi seorang ibu kalau begini.
"Aku bukan Bang Azka yang nyicil anak duluan, Bun," sahut Saga melirik Abangnya.
Azka hanya bisa mendengus kesal, mau komentar juga semua yang Saga katakan benar adanya. Beda dengan Gita yang menghela nafas lega.
"Aku tidak tahu namanya. Aku tidak tahu dimana rumahnya dan aku tidak tahu dia anak siapa. Dalam arti, aku tidak mengenalnya. Tapi yang jelas aku baru saja melamarnya."
Bruk
"Bunda!." pekik semua orang saat tiba-tiba Gita ambruk dan pingsan.
"Bang, panggil dokter!," pinta Dirga. Azka segera menghubungi dokter keluarganya.
"Bunda bangun," teriak Salsa panik.
"Lihat akibat perbuatanmu, Bunda jadi pingsan. Kalau sampai Bunda kenapa - napa. Aku akan menghajarmu. Lagian, ngelamar orang kok kayak mungut daun. Kamu tuh! Kenal cewek aja nggak pernah. Sekalinya kenal langsung main lamar aja. Otakmu sudah geser ke dengkul?"
"Sudah, jangan berdebat. Kita tunggu dokter datang dan memeriksa Bunda," putus Dirga
Salsa langsung mendekati sang mertua setelah mengambil minyak kayu putih. Ibu dua anak itu mengoleskan minyak tersebut di pelipis dan hidung sang mertua. Lalu ia melirik adik iparnya yang tampak menunduk cemas.
Tak lama, dokter pun datang dan segera memeriksa wanita paruh baya itu.
"Nyonya Gita hanya shock, dia akan sadar sebentar lagi. Saya tidak meresepkan obat apapun karena kondisi beliau akan pulih dengan sendirinya."
"Tapi istri saya sampai pingsan, dok. Apa tidak perlu perawatan lebih lanjut?."
Dokter tersenyum, "Tidak perlu, pak. Beliau hanya kaget. Itu biasa, karena respon setiap orang berbeda - beda ketika mendengar sesuatu yang mengejutkan." Dokter mengatakan demikian karena memang Azka sudah menjelaskan penyebab Bundanya pingsan saat menelponnya tadi.
Setelah melakukan pemeriksaan, dokterpun pamit undur diri. Azka mengantar dokter sampai ke teras. Dan ketika dia kembali ke kamar tamu, ternyata Bundanya sudah sadar.
"Bunda sudah lebih baik?," tanya Azka
Gita mengangguk lemah, sesekali perempuan itu mengambil nafas panjang lalu memandang Saga yang sejak tadi duduk diam di sofa.
"Ga."
Saga memberanikan diri menatap Bundanya, "Ya, Bun."
"Kita lamar wanita itu malam ini juga."
Mata Saga membola. Ucapan Gita sungguh membuatnya terkejut. Apalagi, Bundanya mengatakan akan melamar gadis itu malam ini juga. Mau melamar kemana? Rumahnya saja tidak tahu. Jangankan rumah, namanya saja siapa? Saga lupa. Ah tidak, bukan lupa. Tepatnya tidak tahu karena belum sempat berkenalan karena gadis itu lebih dulu menyemprotnya.
Flash Back On
Saga menggendong Gavin setelah mereka sampai ditaman. Suasana taman yang lumayan ramai membuat Gavin terlihat senang. Mereka duduk disebuah bangku panjang yang kebetulan kosong, karena sebagian mereka yang datang, memilih duduk diatas rumput yang terlihat segar itu.
"Gavin mau beli ap--!," ucapan Saga terpotong saat dirinya tak sengaja menatap wajah sendu seorang gadis yang berhasil mencuri perhatiannya. Karena penasaran, Saga memilih diam dan mendengarkan percakapan mereka alias menguping sedikit.
"Mbak, saya bukan tidak suka sama kamu. Kamu dan Ale boleh menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, tapi kalau sebagai istrinya, maaf, tante tidak bisa. Keluarga kita sangat jauh berbeda. Tante tentu ingin yang terbaik untuk putra tante satu-satunya. Kamu paham kan maksud tante?."
Saga memperhatikan gadis yang sedang menunduk tersebut, terlihat jelas wajahnya begitu sendu. Entah kenapa dia merasa iba melihatnya. Ah, bukan iba. Ia sendiri bahkan tak paham kenapa begitu tertarik pada gadis itu. Padahal sebelumnya dia tidak pernah tertarik dengan gadis manapun. Mungkinkah dia jatuh cinta pada pandangan pertama? Ah, tidak. Mana ada yang seperti itu. Pikir Saga. Pria itu kembali memperhatikan dan mendengarkan obrolan mereka.
"Tapi kami saling mencintai, tante," ucapnya terdengar lirih.
Wanita paruh baya itu menatap gadis tersebut lalu menghela nafas, "Hidup itu tidak hanya butuh cinta. Kamu tahu kan, Ale itu seorang manajer. Sedangkan kamu, hanya lulusan SMA. Maaf, bukan maksud tante merendahkan kamu. Tapi, kalau kalian bersama, beban Ale akan semakin besar. Gaji kamu kan tidak seberapa. Sedangkan kamu tahu, bapak kamu sakit - sakitan. Tentu biaya rumah sakitnya tidak sedikit. Kalian itu jomblang. Tidak setara. Jadi tante minta, kalau kamu memang mencintai Ale, tolong lepaskan dia. Dia berhak bahagia dengan Khaira, wanita pilihan keluarga kami." ucap wanita itu lalu pergi.
Saga mengepalkan tangan, tega sekali perempuan itu berbicara dengan begitu kasar. Walau tidak dengan emosi, tapi kata - katanya terdengar begitu menyakitkan. Kata orang sih, setajam silet. Setelah kepergian wanita bermulut pedas tadi, Saga masih memperhatikan gadis itu sampai tidak sadar jika Gavin beranjak dari kursinya.
Perlahan namun pasti, Saga sangat yakin jika gadis itu sedang menangis. Walau tidak bersuara, namun bahunya terlihat bergetar dan dia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Aku harus bagaimana, haruskah aku melepas Mas Ale demi kebahagiaannya?."
"Jangan menangisi pria yang tidak bisa memberimu ketegasan dan kepastian. Kamu berhak memilih kebahagiaan lain. Jangan buang air matamu untuk hal yang percuma!."
Gadis itu mendongak lalu mengusap air matanya kasar. Dia menatap heran pada pria didepannya. "Jangan ikut campur masalah yang bukan menjadi urusanmu!," sahutnya ketus.
"Cih, wanita itu sudah menghinamu. Seharusnya kau menjunjung tinggi harga dirimu. Buktikan, kalau semua yang dia ucapkan tidak benar. Kamu bisa menjadi wanita hebat tanpa putranya!."
"Dengar, bung. Pertama, kita tidak saling mengenal, jadi aku tidak perlu mendengarkan semua ucapanmu. Kedua, kalaupun ucapanmu benar, semua tidak semudah membalikkan telapak tangan, ketig--!."
"Menikahlah denganku, dan buktikan pada mereka kalau kau bisa bersinar meski tidak bersama Ale - Alemu itu!."
Deg
"Pria Gila! Kita tidak saling kenal. Kalau mau nge prank, jangan denganku. Mengganggu saja. Dasar sinting!." ucapnya lalu pergi.
"Astaga, sepertinya aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Huh, kenapa malah sama pacar orang sih?." ucap Saga tersenyum. Lalu dia menatap kursi disebelahnya dan kosong. "ASTAGA, GAVIN."
Flash Back Off
"Ga, kamu dengar Bunda kan? Kita akan melamar gadis itu malam ini juga."
"Kan sudah aku bilang, Bun. Aku tidak kenal dia, aku juga tidak tahu rumahnya dimana!."
Dirga yang mendengar ucapan putranya menjadi geram. "Sagara Ibrahim! Dalam waktu 2 kali 24 jam kamu tidak menemukan gadis itu. Ayah akan kirim kamu ke Ukraina!."
Saga masih mengemudikan mobilnya tak tentu arah. Dua kali dua puluh empat jam, adalah waktu yang diberikan Dirga padanya untuk mencari gadis itu. Hahah, ingin sekali Saga menertawai dirinya sendiri saat mendengar kata "gadis itu", harusnya dia tahu namanya. Harusnya dia memanggil gadis itu dengan namanya. Tapi sudahlah, dia tidak mau menyesali semua yang sudah terjadi. Sekarang, dia harus fokus mencari gadis taman yang mencuri hatinya itu. Entah kenapa, dirinya begitu yakin bahwa gadis itu adalah jodohnya. Konyol memang, tapi ... Siapa yang tahu akan misteri Ilahi.
Jam sudah pukul sembilan malam, suasana jalanan sudah mulai lenggang. Namun Saga masih tak punya tujuan kemana dia akan mencari si gadis taman.
Entah takdir atau kebetulan, Saga tak sengaja melihat sosok seorang pria dan wanita dipinggir kedai. Jelas sekali Saga tahu siapa wanita itu. Ya ... Dia adalah gadis taman yang dicarinya. Tanpa menunggu lama, Saga menepikan mobilnya dan segera menyusul mereka.
Tanpa tahu malu, tiba-tiba saja Saga duduk diantara dua orang itu. Sang pria nampak mengernyitkan dahi, sebab banyak meja kosong dikedai itu tapi pria itu memilih duduk dan bergabung dengan mereka. Sedangkan sang gadis, jangan ditanya. Matanya melotot sempurna mengingat siapa yang duduk dihadapannya sekarang. Pria gila yang melamarnya tadi pagi di taman.
"Kamu!."
Saga memberikan senyum terbaiknya, "Kita bertemu lagi."
"Sayang, kamu kenal pria ini?."
Florensia Agata, gadis itu nampak bingung bagaimana harus menjelaskan siapa Saga pada Alendra, kekasihnya. Tidak mungkin dia mengatakan apa yang terjadi tadi pagi ditaman. Bisa - bisa, Tante Eta akan semakin marah dan menjauhkan mereka.
"D-dia--!."
"Kenalkan, aku Sagara Ibrahim. Aku calon suami kekasihmu!."
Wajah Ale berubah merah, dia menatap Flo dengan tajam. "Apa maksud ucapannya, Flo? Benarkah dia calon suamimu?. Apa selama ini kamu berselingkuh dibelakangku?."
"T-tidak Al, yang dia katakan tidak benar. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Dan aku bersumpah, aku tidak pernah menduakanmu. Kenapa kamu jadi meragukan aku?" tanya Flo cepat.
Ale terdiam, Flo benar, dia bukan tipe badgirl dan selama mereka bersama, Flo tidak pernah dekat dengan pria manapun juga. Jadi bisa dipastikan jika pria didepannya ini hanya mengarang cerita. Ale pun memandang Saga dengan sengit. "Apa maksudmu mengarang cerita dan mengaku sebagai calon suami Floren! Dia bahkan tidak mengenalmu!."
Jadi namanya Floren, baiklah inilah saatnya. bathin Saga
Bukan Saga namanya kalau kalah sebelum berperang. Pria tampan itu punya banyak cara untuk membungkang mulut lawannya dengan mudah.
"Aku menyukai Floren, dan aku berniat menjadikannya sebagai istriku. Apa ada yang salah dengan hal itu?."
Ale mengepalkan tangan, "Dia kekasihku. Apa kamu sebegitu tidak lakunya hingga menginginkan kekasih orang!."
"Al, sudah!," bujuk Flo, dia berusaha menenangkan kekasihnya.
"Hahaha, kamu hanya kekasihnya. Bukan suaminya. Jadi siapapun masih berhak mendekati Flo termasuk aku. Aku punya niat dan kepastian. Aku ingin menjadikan Flo sebagai istriku. Selain aku menyukainya, aku juga akan membuatnya tidak dipandang sebelah mata. Khususnya oleh seseorang yang tidak mau menerimanya dengan tangan terbuka!."
Deg
Flo memejamkan mata lalu melirik Ale yang tampak mengepalkan tangan. Kekasihnya itu terlihat menahan amarah. Dan kalau sudah begini, urusannya akan semakin rumit.
Aku harus mengusir pria gila ini. Semua bisa kacau kalau dia mengatakan yang sebenarnya. Ucap Flo dalam hati
"Aku tidak mengenalmu. Aku minta, pergilah dari sini!."
Saga menatap Flo sekilas lalu tersenyum manis, tentu hal itu membuat Ale semakin marah.
Bug
"Al!, apa yang kamu lakukan?," pekik Flo saat melihat Saga jatuh tersungkur.
"Aku hanya memberinya pelajaran. Agar dia tahu, kamu bukan barang yang mudah dipindah tangankan!."
Mendapat satu pukulan yang mendarat tepat dirahangnya, bukannya marah, Saga malah tersenyum sinis. "Kalau kamu memang menganggap Flo berharga, harusnya kamu bisa memberinya kepastian. Bukan menggantung harapannya dan membiarkan ibumu menghinanya begitu kejam."
"Apa maksudmu? Jangan bicara omong kosong lagi! Dasar penipu!," ucal Ale emosi, kini dia menatap Flo yang terlihat menunduk. "Flo, yang dia katakan tidak benar kan? Mama tidak menyakitimu kan?."
"Kamu pasti tidak tah--!."
"Cukup! Aku mohon jangan ikut campur lagi urusanku. Kita tidak saling mengenal, kenapa kamu sibuk mengurusi hidupku! Sekarang, tolong pergilah!." potong Flo sembari menatap Saga dengan sinis.
Saga hanya melipat tangannya didada tanpa berniat pergi seperti perintah gadis itu. "Kamu masih mau bertahan dengan pria seperti dia? Pria yang bahkan tidak bisa melindungimu dari Mamanya sendiri. Dia bahkan tidak tahu, seperti apa Mamanya menyakiti hatimu. Merendahkanmu dan memintamu meninggalkan putranya!."
Floren lagi - lagi memejamkan mata. Dia mencintai Ale, tapi peringatan tante Eta tadi pagi tentu tidak bisa ia remehkan. Nyatanya, sejak awal hubungannya dengan Ale, perempuan itu memang tidak pernah menyukainya.
"Flo, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? kenapa dia berkata seperti itu. Katakan yang sejujurnya, Flo. Benarkan Mama sudah menyakiti kamu?," tanya Ale serius
Flo menatap Saga dengan sendu, "Aku mohon pergilah. Jangan ikut campur masalahku," ucapnya lirih.
"Flo, jawab! Apa benar yang dia katakan tentang Mama? Katakan, Flo!." paksa Ale
"Benar!," jawab Flo lantang, dia geram karena Ale terus mendesaknya. Sebenarnya dia tidak ingin mengatakan hal ini. Tapi sekarang mungkin sudah waktunya Ale tahu apa yang diperbuat Mamanya selama ini padanya.
Ale seketika lemas, kenapa dia tidak tahu apa - apa soal ini. "Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya padaku? Apa yang sudah Mama perbuat padamu?," lirih Ale
"Mamaku tidak menyukaiku karena aku tidak sebanding dengan kamu! Dia bahkan memintaku meninggalkanmu! Dan dia juga sudah menyiapkan calon istri untukmu. Sekarang kamu tahu kan, kenapa Mamamu tak kunjung memberi kita restu?," ucap Flo lemas.
Dia mengambil tas dan segera meninggalkan dua pria itu. Ale masih terdiam ditempat, sedangkan Saga, pria itu langsung menyusul Flo pergi.
"Tunggu!."
"Lepas!," teriak Flo menghempas tangan Saga. "Apa lagi maumu? Aku sudah berkali-kali bilang, jangan campuri urusanku. Kenapa kamu begitu tertarik mengusik hidupku, hah! Katakan apa tujuanmu sebenarnya?."
"Sudah aku katakan! Aku ingin menikahimu."
"Dasar pria gila. Aku ti--!."
"Ga, apa ini calon menantu Bunda?."
Deg
"Ga, apa ini calon menantu Bunda?."
Deg
Baik Saga maupun Flo sama-sama terperanjat. Mereka menatap Gita dan Dirga dengan pandangan terkejut. Bagaimana bisa Ayah dan Bundanya ada disini malam-malam begini.
Gita langsung menghampiri wanita yang ia yakini akan menjadi menantunya. "Akhirnya kita bisa bertemu. Kenalkan, nama Tante Gita dan ini suami tante, Om Dirga. Dari awal tante sudah duga kalau Saga berbohong. Mana mungkin dia tidak mengenalmu tiba-tiba langsung melamar, ya kan?."
Flo mematung bingung. "S-saya."
"Oh ya, sayang. Siapa namamu?."
"N-nama saya Florensia, tante."
Gita tersenyum lembut "Nama yang cantik. Secantik orangnya."
"T-terima kasih."
Jujur, Flo bisa merasakan kehangatan dari senyuman itu. Berbeda dengan Eta yang selalu tersenyum sinis padanya.
"Oh ya, ini kan sudah malam. Sebaiknya kami mengantar kamu pulang. Tidak baik kalau kamu pulang dengan Saga. Nanti malah nyicil duluan kayak Abangnya."
Saga mendelik, sedangkan Flo terlihat semakin bingung dengan situasi saat ini. "Saya bisa pulang naik taksi tante," tolaknya halus.
"Tidak boleh. Bahaya seorang gadis malam-malam begini pulang sendirian. Biar Om dan Tante yang mengantar kamu pulang."
"T-tapi Tan - - ."
"Tidak ada penolakan."
Flo hanya bisa pasrah. Akhirnya mau tidak mau, dia masuk kedalam mobil Gita. Sedangkan Saga, dia harus pulang lebih dulu karena Flo sudah diantar pulang orang tuanya. Setidaknya dia beruntung karena bukan Ale yang mengantar calon istrinya pulang.
Sepanjang perjalanan, Flo tidak mengatakan apapun. Selain canggung, dia juga tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Gita dan Dirga sendiri juga merasa sedikit canggung, "Ehhmm," Gita berdehem membuat Flo mau tak mau menatapnya walau sedikit menunduk.
"Maaf ya Flo, jika kamu kurang berkenan tante memanggilmu calon menantu. Mungkin kamu bingung dengan apa yang terjadi. Tante sebenarnya juga bingung. Tapi, setelah melihat kamu, tante yakin jika Saga tidak akan salah pilih. Entah kenapa, tante langsung menyukai kamu."
Flo menunduk, jika ibunya Saga saja bingung, bagaimana dengan dirinya.
Gita meraih tangan Floren dan menatapnya lembut. "Selama ini, tante mengira jika Saga itu belok. Tapi saat tadi pagi dia bilang sudah melamar seorang gadis, tante langsung kaget. Tante pikir dia gila karena kelamaan menjomblo. Tapi melihat kamu yang cantik jelita begini, sekarang tante yakin kalau Saga masih normal."
Bundanya saja bilang dia gila, apalagi aku. Bathin Flo.
"Oh ya, berapa lama kalian menjalin hubungan? Kenapa Saga tidak pernah mengajakmu kerumah? Ah, anak itu memang keterlaluan!."
"Em ... Sepertinya saya harus meluruskan sesuatu dulu tante."
"Oh, memangnya ada apa? Kalian bertengkar dan batal menikah?."
Flo menggeleng, "Sebelum saya minta maaf. Saya dan Saga memang tidak pernah mengenal sebelumnya."
Gita sedikit terkejut, "Benarkah? Ta-tapi bagaimana bisa dia langsung melamarmu kalau kalian tidak saling kenal?."
"Bun, mungkin Saga punya alasan sendiri. Sebaiknya kita tanyakan saja nanti padanya."
"Tapi aku menyukai Floren, Yah. Sama seperti aku menyukai Salsa," lirih Gita kemudian menatap Flo, "Kamu tidak mau menerima Saga menjadi suamimu? Atau kamu sudah punya calon suami?."
"Bun ...." peringkat Dirga
"Bunda hanya usaha Yah. Siapa tahu dia mau menjadi menanti kita, istrinya Saga"
Flo semakin bingung. Dia dilema. Hubungannya dengan Ale tidak mendapat restu. Bahkan Eta selalu bersikap ketus padanya. Sedangkan Saga, keluarganya begitu ramah dan wellcome. Padahal mereka kenal hanya beberapa jam saja.
"Apa rumahmu masih jauh?," tanya Dirga
"Didepan belok kiri, Om," ucap Flo sopan.
Setelah berada di ujung pertigaan. Dirga membelokkan setirnya ke kiri. Masuk kedalam gang yang cukup sempit. Hingga mereka tiba didepan rumah sederhana bercat putih yang lumayan usang sesuai petunjuk Flo.
Di depan teras, terlihat seorang pria tua langsung berdiri setelah melihat kedatangan sebuah mobil didepan rumahnya. Flo, Gita dan Dirga segera turun dan berjalan mendekati pria tersebut.
"Flo ... Kamu pulang dengan siapa?."
Flo menatap Gita dan Dirga bergantian. "Em, mereka orang tua temannya Flo, Yah."
Dirga dan Gita tersenyum, "Benar Pak. Kami orang tua dari temannya Floren. Kenalkan, saya Dirga dan Ini istri saya Gita." ucap Dirga memperkenalkan.
"Saya Rianto, Ayahnya Flo. Terima kasih sudah mengantar putri saya pulang. Jika berkenan, mari kita masuk dulu, Pak, Bu."
Dirga menatap Gita sekilas, "Mungkin lain kali Pak. Sudah malam, tidak enak juga dengan tetangga Bapak. Kalau ada waktu, kami pasti akan silaturahmi lagi kemari."
Ayah Flo tersenyum, "Tentu. Sekali lagi terima kasih sudah mengantar anak saya pulang."
Gita dan Dirga tersenyum, sebelum pergi, Gita berpamitan pada Flo. Sekali lagi, gadis itu merasakan kehangatan seorang ibu.
Setelah mobil mereka benar-benar tak terlihat, Flo dan Ayahnya masuk kedalam rumah. Rianto menepuk kursi kayu usang diruang tamunya, meminta Flo duduk disamping pria tua tersebut.
"Kamu tidak mau menjelaskan tentang mereka pada Ayah?."
Flo terdiam, dia kemudian menghela nafas panjang. "A-aku ... Aku bingung Yah. Semua terjadi secara tiba-tiba. Aku tidak tahu harus bagaimana," lirih Flo
Rianto menatap anaknya sejenak. Terlahir tanpa kasih sayang seorang ibu, membuat Rianto sangat memahami Flo. "Ayah tidak bisa berbicara banyak. Tapi jika kamu mau cerita, Ayah akan mendengarkan."
Flo, gadis cantik itu tersenyum. Dia memeluk Ayahnya dengan erat. Hanya Rianto yang Flo punya. Walau hidup sederhana, tapi dia bahagia.
"Aku bertemu tante Eta, dan seperti biasa, dia memintaku menjauhi Mas Ale. Ayah tahu, dia selalu mengatakan hal menyakitkan setiap kali kami bertemu. Dan entah darimana datangnya, Saga tiba-tiba datang setelah kepergian tante Eta. Dia mengatakan hal yang membuatku jengkel. Dia bahkan melamarku dengan entengnya padahal kami tidak saling kenal."
Rianto tersenyum, "Apa Saga anak mereka tadi?."
Flo mengangguk, "Ayah benar. Dia itu pria gila yang datang seperti jailangkung, tidak di undang langsung muncul gitu aja. Dia pikir aku apa tiba-tiba di ajak menikah. Sinting kan Yah."
Flo mengeha nafas, "Jika saja Mas Ale yang melamarku, aku pasti langsung menerimanya. Tapi sepertinya kami memang tidak ditakdirkan untuk bersatu. Sekarang saja, kami bertengkar dan Mas Ale tidak berusaha mengejarku. Apa dia sudah menyerah dengan hubungan kami?."
Rianto mengusap bahu Flo pelan, "Ayah tahu kamu mencintai Ale. Tapi, orang tuanya tidak merestui hubungan kalian. Satu hal yang perlu kamu tahu, restu orang tua adalah kunci kebahagiaan sebuah hubungan, khususnya restu seorang ibu. Cinta saja tidak akan cukup melawan restu orang tua. Awalnya semua terlihat mudah, namun, ditengah jalan pasti ada saja kendala yang akan menghadang. Jadi, menurut Ayah, lebih baik kamu melepaskan sesuatu yang memang tidak bisa kamu jangkau. Ayah bukan tidak suka dengan Ale tapi Ayah memikirkan kebahagiaanmu."
Flo menatap Rianto dengan sendu, "Berat Yah. Kami sudah bersama selama tiga tahun," lirih Flo
"Jangankan tiga tahun. Sepuluh tahun pun tidak menjamin kamu akan bersanding dengan orang yang kamu cintai. Ayah hanya tidak mau kamu terus menerus terluka karena sikap Mamanya Ale. Ayah sudah tua, bahkan Ayah sakit - sakitan. Akan lebih tenang jika Ayah menyerahkanmu pada orang yang tepat dan tentunya, mau menerima kamu apa adanya."
" Yah ... Jangan bicara begitu. Ayah akan selalu sehat dan Flo, akan berusaha terus untuk mengusahakan pengobatan Ayah."
Rianto menggeleng, "Ayah bukan tidak percaya pada kamu. Tapi setiap yang hidup pasti akan berpulang. Dan betapa leganya Ayah, jika seandainya Ayah berpulang, kamu sudah ada yang menjaga."
Mata Flo mulai berkaca-kaca, "Aku sudah tidak punya siapa-siapa, Yah. Kenapa Ayah seolah ingin meninggalkanku sendirian."
Rianto menghela nafas, "Sudah, jangan terlalu memikirkan hal ini. Serahkan semuanya pada takdir. Sekarang, sebaiknya kamu tidur. Besok kamu harus bekerja kan? Nanti terlambat."
Flo masih duduk diruang tamu, dia memandang punggung Ayahnya yang perlahan hilang dibalik pintu kamar. Air mata yang tadi ditahan kini mengalir tanpa bisa dihentikan. Flo mencintai Ale, tapi benar, cinta saja tidak cukup menjadi modal untuk membina rumah tangga.
"Apa aku benar-benar harus menyerah, Mas?."
Sementara dirumahnya, Gita sedang menginterogasi Saga. Dia bertanya pada anaknya dengan serius.
"Jadi kamu memang tidak mengenal Flo sebelumnya? Dan tiba-tiba kamu melamarnya? Kamu belum gila kan, Ga?."
"Aku masih waras, Bun. Lagipula, bukankah seharusnya Bunda senang karena akan dapat mantu."
"Ya tapi nggak gini juga caranya, Ga. Berumah tangga itu nggak sehari, dua hari tapi selamanya. Kamu yakin bisa menjalaninya. Apalagi, Flo masih memiliki kekasih."
Saga bungkam, iya juga ya. Tapi dia menyukai Flo sejak awal melihat gadis itu. Orang bilang, cinta pada pandangan pertama. Apalagi setelah tahu perlakuan ibu dari kekasih Flo, dia semakin ingin memperistri Flo. Tapi masalahnya, apa gadis itu mau menerimanya. Apalagi setelah mengatainya gila.
"Jawab Sagara Ibrahim!."
"Cinta bisa datang seiring berjalannya waktu, Bun. Lagipula, ibu dari kekasihnya Flo tidak merestui mereka. Berbeda dengan Bunda yang Saga yakin sangat menyukai Flo." jawab Saga tegas
"Bunda memang menyukai Flo, tapi yang perlu kamu garis bawahi, Flo tidak mencintai kamu."
"Aku akan membuat Flo mencintaiku dengan caraku!."
Gita dan Dirga tersenyum, "Bagus. Jawaban tegas kamu yang Bunda butuhkan. Kalau begitu, besok pagi kita akan melamarnya!."
Saga melotot, "Secepat itu, Bun?."
"Sesuatu yang baik tidak boleh ditunda - tunda!."
"Kalau aku ditolak, bagaimana?." Gita menatap putranya kesal,
"Astaga anak ini! Tadi kamu menggebu, kenapa sekarang meleot! Jangan menyerah sebelum perang. Kalau kamu ditolak, ya berjuang. Jangan jadi pria lemah." celetuk Dirga
Saga mendengus kesal, "Baiklah. Besok kita lamar Florensia. Dan aku pastikan, dia tidak akan menolak Sagara Ibrahim yang tampan!."
*
*
*
Tok Tok Tok
"Flo, tolong bukakan pintu. Sepertinya ada tamu," teriak Rianto dari arah dapur.
Flo yang bersiap - siap kerja mendengus kesal. Jam enam pagi, siapa yang bertamu pagi - pagi begini. Apa penagih listrik?
"Masih pagi sudah ber--!," ucapan Flo terhenti saat melihat siapa tamunya.
"Tan-tante Gita."
Gita tersenyum, "Maaf kalau bertamu pagi - pagi begini. Kami ganggu ya?." Flo menggeleng, "Tante, Om, dan Saga tidak dipersilahkan masuk nih?."
Flo mengerjab, "Eh ... Silahkan masuk Om, Tante."
Gita dan Dirga segera masuk kedalam rumah Rianto. Sedangkan Saga masih didepan pintu. "Calon suami nggak disuruh masuk nih? Belum - belum udah dzolim."
Flo mendelik, "Masuk ya masuk saja. Ribet amat!."
Gita dan Dirga langsung duduk dikursi ruang tamu rumah Rianto.
"Siapa yang datang? Eh ..., Bapak dan Ibu."
Rianto langsung menyapa Gita dan Dirga. Pria tua itu langsung duduk didepan mereka. "Flo, buatkan minum," Flo mengangguk kemudian langsung pergi menuju dapur. "ini ...?."
"Kenalkan Om, saya Saga." Rianto hanya tersenyum saat Saga memperkenalkan dirinya, "Sebelumnya mohon maaf. Ada perlu apa ya, pagi - pagi kemari? Apa anak saya melakukan kesalahan pada kalian?."
Dirga menggeleng, "Bukan Pak. Maaf kalau kami mengganggu anda pagi - pagi. Ehm ... Sebenarnya kedatangan kami kemari untuk silaturahmi. Tapi selain itu, ...." Dirga menatap putranya.
"Saya dan kedua orang tua saya datang kemari untuk melamar putri Bapak, Florensia untuk menjadi istri saya."
Deg
Flo mematung didepan pintu dapur mendengar ucapan Saga. Rianto yang tak sengaja melihat Flo yang berdiri didepan dapur, membuat gadis itu mau tak mau segera menghampiri mereka. Ia membawa nampan berisi empat gelas teh hangat.
"Silahkan diminun, Om, Tante."
"Terima kasih."
Setelah Flo duduk disampingnya, Rianto mulai berbicara, "Kedatangan mereka, ada kaitannya denganmu." Rianto menatap putrinya lembut. "Saga ingin meminang kamu sebagai istrinya. Semua keputusan Ayah serahkan padamu. Kamu berhak menerima maupun menolak. Dan Nak Saga, dia akan menerima apapun yang kamu putuskan. Begitu kan, Nak Saga"
"Tentu, Pak," sahut Saga tegas
Flo memandang Saga, Gita, Dirga dan Ayahnya sekilas lalu memejamkan mata. Mungkin inilah saatnya dia melepas semua beban yang dipikulnya. Mencintai Ale tapi tak bisa bersamanya. Bukankah lebih baik menerima seseorang yang menawarkan kepastian. "Baiklah. S-saya terima lamaran Saga."
"Lihat kan? Dia menerima lamaran pria lain. Artinya, selama ini dia hanya mempermainkan kamu, Al!."
Deg
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!