"Iya, Mom."
Wanita berambut pirang itu tertawa kecil. Setiap ada waktu senggang. Dia akan menghubungi sang Mommy dan Daddy. Jarak yang membentang jauh, ada sejuta kerinduan di hatinya. Namun ada luka yang tak bisa ia tepis. Rasanya masih sakit mengingat semuanya.
"Jangan lupa makan Ken,"
"Mom aku bukan anak kecil." Dia beranjak dari tempat tidurnya, melangkah ke luar jendela. Melihat lampu gedung pencakar langit yang berwarna-warni itu.
"Haha, iya benar. Putri ku sudah dewasa rupanya. Apa putri ku ini sudah memiliki hati seseorang?"
"Ayolah Mom, jangan bercanda. Aku lebih suka seperti ini Mom."
"Apa perlu Mommy carikan jodoh untuk mu?"
"Sudahlah Mom, aku ngantuk mau tidur." Gadis itu berdecih, ia malas kalau menyangkut perjodohan. Ia ingin hidup bebas, apa lagi perasaannya belum hilang sepenuhnya.
"Tunggu sebentar, Daddy Ardhan sering menanyakan mu pada Mommy. Katanya kamu tidak pernah menghubunginya. Jangan seperti itu, waktu kecil kamu sangat suka menempel padanya."
"Dia tidak butuh Kenzia, Mom. Dia sudah punya istri. Sudahlah, Kenzi tutup dulu."
Bip
Kenzia berumur 27, dia menganyam pendidikan di Prancis dan saat ini tinggal di Prancis. Bukan kemauannya untuk kuliah di Prancis, namun sebuah keterpaksaan demi luka hati yang ingin sembuh.
"Dia melupakan aku Mom,"
Flasback
Seiringnya waktu, dia tumbuh menjadi gadis yang beranjak dewasa. Hatinya sering berbunga-bunga, ia sering membayangkan wajah Daddy Ardhan. Setiap bersama Daddy Ardhan. Jantungnya selalu berdebar-debar. Kadang ia gugup, kadang ia malu. Sebuah rasa yang tak pernah ia rasakan sebelum.
"Aku harus bilang, kalau aku suka sama Daddy Ardhan. Aku yakin Daddy Ardhan juga menyukai ku," ucapnya dengan senyam-senyum sendiri.
Sebelumnya, dia curhat pada teman-temannya. Bahwa dia menyukai Daddynya yang sering bersamanya. Daddy Ardhan sosok yang hangat dan lembut padanya. Jadi ia yakin, Daddy Ardhan akan membahagiakannya.
Dia mulai melangkah ke ruang tamu dan hendak berbicara. Namun tenggorokannya langsung tercekat mendengarkan suara seseorang yang ia kenal.
"Berli sudah kembali dan aku ingin menikahinya."
Gadis berambut pirang dengan di kepang dua itu, senyumnya langsung luntur. Jiwanya terombang ambing. Kedua matanya mulai berair.
Ketiga orang itu masih belum menyadarinya, kalau ia berdiri tak jauh dari mereka.
"Jadi kamu akan menikahinya setelah dua tahun meninggalkan mu?" tanya Mommy Aira terkejut.
"Benar, aku sangat mencintai Berlin. Ternyata dia meninggalkan ku hanya karena menurutnya aku tidak sepadan dengannya."
Daddy Arga mangut-mangut. Ia mengerti, bahwa cinta sangat sulit di lupakan. Apalagi pandangan pertama.
"Sebagai seorang sahabat, kami hanya mendukung mu. Lagi pula kamu sudah lama menjomblo, aku takut milik mu sampai karatan."
Tanpa ia sadari sebuah bantal langsung melayang ke arah wajah Daddy Arga.
"Mas, apa otak mu bisa waras sedikit?" kesal Mommy Aira. Lama-lama ia ingin mencongkel otak suaminya itu yang berbicara tidak ada remnya.
"Hahaha."
Gelak tawa terdengar dari Daddy Ardhan.
Kenzia masih mematung, ia menatap wajah tampan itu. Ternyata wajah itu semakin mempesona saat sedang tertawa. Ia memang sering melihatnya, tapi wajah itu seakan menyimpan kesedihan. Namun sekarang, ia senyuman lebar itu, melihat wajah yang tanpa beban.
"Eh sayang, sudah pulang."
Mommy Aira beranjak dari tempat duduknya, merangkul kedua bahu sang putri agar ikut duduk bersamanya.
"O iya, kamu tahu sayang. Daddy Ardhan akan menikah dengan Berlin. Pasti kamu belum tahu kan? Berlin kekasih Daddy Ardhan. Namun dia pergi dan sekarang dia kembali. Daddy Ardhan akan menikah."
Perkataan menohok itu membuat seluruh tubuhnya terasa panas. "Jadi Daddy akan menikah,"
Kenzia berdiri, dia mengulurkan tangannya. "Selamat Om, semoga pernikahan Om lancar."
Ardhan terkejut, ia di panggil Om. Padahal selama ini, Kenzia tidak pernah memanggilnya dengan sebutan Om.
"Sayang, kenapa kamu memanggil Daddy Ardhan dengan sebutan Om?" tanya Mommy Aira.
"Kita harus menjaga jarak dengan laki-laki yang sudah menikah, Mom." Kenzia menurunkan tangan kanannya yang tidak di sambut oleh Ardhan. "Aku lelah, mau istirahat dulu."
Kenzia langsung pergi meninggalkan ruang tamu itu. Dia menunduk dalam-dalam di iringi air mata yang sudah keluar..
Flasback Off
"Apa yang di katakan Kenzia?" Tanya seorang pria. Wajahnya berbinar menatap mama Aira. Sudah lama ia tidak berbicara dengan Kenzia. Pernikahannya pun Kenzia tidak hadir, Kenzia seperti menjauhinya. Sudah beberapa tahun Kenzia tidak menghubunginya.
"Aku sudah mengatakannya, mungkin dia butuh waktu untuk menerima pernikahan mu dengan Berlin," ucap mama Aira. Ia pikir, putrinya itu cemburu karena Daddy yang dekat dengannya sudah menikah dan takut menjauhinya.
Mama Aira melangkah ke sofa putih di samping suaminya, papa Arga.
"Tapi sudah lama sekali dia tidak menghubungi ku," ucap Ardhan dengan wajah lesu.
Papa Arga tersenyum, sahabatnya itu memperlakukan putrinya seperti anaknya sendiri. "Jangan memasang raut seperti itu, semua orang akan mengira kalau kamu menyukai putri ku. Amit-amit aku memiliki besan seperti mu."
"Lagi pula aku akan mencarikan jodoh yang sangat pas untuk putri ku,"
Deg
Ada rasa tidak suka di hati Ardhan. Kenzia akan di jodohkan, hatinya merasa tidak terima. "Kenzia masih kecil, jangan terburu-buru menjodohkannya dengan orang lain," ucap Ardhan. Dia pun memilih duduk, kedua netranya melirik sebuah foto yang tak jauh dari pandangannya.
"Haih, jadi aku sebagai Daddynya tidak berhak untuk memutuskan pernikahan putri ku?" Tanya papa Arga dengan kesal. "Kamu hanya papa angkatnya saja, bukan papa kandungnya." Imbuhnya lagi.
"Sudah-sudah," mama Aira melerai perdebatan kedua laki-laki itu. "Dimana Berlin? Apa dia tidak pulang?"
"Biasa, dia sibuk pemotretannya."
Ardhan menghela nafas kasar. Selama menikah, ia berusaha mewujudkan keinginan Berlin untuk menjadi model ternama. Ia mengesampingkan keinginannya bersama Berlin demi kebahagiaan Berlin. Tapi sekarang, ia merasa kesepian. Berlin hanya pulang beberapa kali saja.
"Sepertinya kamu salah mendukungnya. Seharusnya kamu membujuknya menjadi ibu rumah tangga saja," ucap papa Arga.
"Lihatlah istri ku, dia mengesampingkan pekerjaannya demi menjadi ibu rumah tangga yang baik, mementingkan suami, setiap pagi aku di sambut dengan makanan yang hangat, begitu pun pulang kerja, aku di sambut dengan senyuman hangat."
Ardhan tidak menjawab, ia rasa perkataan papa Arga ada benarnya juga. Apa ia terlalu memanjakan istrinya?
"Kapan kamu akan ke Prancis?"
"Besok, aku akan berangkat besok. Jangan bilang pada Kenzi, aku sudah membeli Apartement di sebelahnya."
Tanpa tawa Kenzia, celoteh Kenzia. Hidupnya sangat sepi. Kenzia, gadis yang selalu menemani hari-harinya. Ia kesepian tidak mendengarkan tawanya. Selama ini, ia mendengarkan kabar Kenzia dari kedua sahabatnya sekaligus orang tuanya.
"Aku yakin Kenzia akan senang bertemu dengan mu."
"Aku berharap seperti itu."
"Apa Berlin tahu kamu akan ke Prancis?"
Ardhan menunduk lesu, Berlin seakan tidak memiliki waktu bersamanya. "Berlin sibuk,"
"Apa?! Kamu seperti tidak memiliki istri saja." Cibir papa Arga.
Mama Aira memukul lengan papa Arga. Suaminya itu sering mencibir Ardhan. Bahkan keduanya kadang bertengkar, papa Arga tidak setuju dengan pernikahan Ardhan. Karena merasa Ardhan di permainkan oleh Berlin.
"Sudahlah, aku mau pulang."
"Ya sudah sana pulang," ucap papa Arga dengan ketus.
Ardhan pulang dengan melangkah gontai, tanpa ia sadari, ia merasa mendengarkan tawa seorang anak-anak. Dia menoleh dan melihat Kenzia yang sedang bermain ayunan dengannya dan tertawa bersama.
"Apa aku serindu ini pada gadis kecil itu? Kira-kira seperti apa dia saat ini? Apa dia masih kecil atau sudah gemuk? Aku tidak sabar ingin melihatnya." Gumam Ardhan tersenyum.
Tepat jam 12 malam, Ardhan telah sampai di Apartementnya. Sebelum memasuki Apartement itu, dia menatap pintu yang di samping pintu Apartementnya.
"Mungkin dia sudah tidur," gumam Ardhan tersenyum. Hatinya begitu bahagia bertemu dengan Gadis kecilnya.
"Tuan." Sapa Jack. Pria berjas hitam itu menyapa sang majikan yang masih tersenyum. "Sudah pasti nona sudah tidur," ucap Jack.
"Iya, semoga dia menyukai hadiah yang aku berikan padanya."
Sebelum melakukan perjalanan jauh, Ardhan sempat memesan sebuah boneka beruang dengan memegang love. Dia bermaksud memberikannya pada Kenzia. Esok hari, ia akan menjadi tetangga yang ramah.
Ardhan memencet tombol Apartementnya, masuk ke dalam dan menyapu ruangan itu. Ia cukup nyaman dengan Apartement baru yang ia tempati pertama kalinya.
"Jack, kau beristirahatlah."
"Baik, Tuan." Jack menyeret kopernya ke kamar tamu lantai bawah. Sedangkan Ardhan menaiki anak tangga menuju lantai atas.
"Hah," Ardhan begitu menyukai suasana di kamarnya yang bernuansa ke emasan. Dia jadi teringat dengan Kenzia yang menyukai warna biru langit. Bahkan kamarnya di rumahnya yang menjadi tempat Kenzia saat libur dan tinggal bersama di ubah dengan sesuai warna kesukaannya.
"Apa di kamarnya akan bernuansa biru? Dia penyuka Doraemon."
Ardhan menarik tirai yang menutupi kaca jendela bening itu. Dia menatap ke arah gedung yang di penuhi cahaya lampu. Indah, pantas saja Kenzia tidak pernah pulang ke Jakarta.
Dia mendorong pintu kaca itu ke samping. Langkah kakinya menuju balkon. Ia melihat kaca pintu itu sudah tertutup dengan tirai berwarna biru.
"Kenzia, kita akan bertemu." Gumam Ardhan tersenyum.
Keesokan paginya.
Kring...
Kenzia mengucek kedua matanya, ia melirik jam weker di atas nakas itu, tangannya mematikan alarm itu. Tepat jam 4 subuh jam itu akan berdering sesuai jadwalnya setiap harinya.
Di pagi hari, dia akan bersantai di balkon sambil melihat matahari terbit di temani dengan secangkir kopi esspreso.
Kenzia melihat ke arah cermin, kedua matanya masih sangat mengantuk. Dia mengambil sikat giginya, lalu berkumur.
Kenzia mengelap bibirnya, ia menghembuskan nafasnya dengan kasar. Dia rindu Mama dan Papanya, apa lagi Daddy Ardhan. Dia merindukannya, tapi hatinya belum siap menemui Daddy Ardhan dan istrinya, Berlin.
Tangannya memukul dada yang terasa sesak itu. "Aku tidak boleh seperti ini terus, sudah bertahun-tahun Daddy Ardhan sudah bahagia dan aku harua bahagia."
Kenzia membasuh wajahnya, lalu mengelap wajahnya dengan handuk kecil.
Dia pun beralih ke dapur, membuat telur mata sapi untuk sarapan paginya. Di Jakarta dia terbiasa dengan makan nasi, pagi hari ia akan makan nasi dari pada makan roti. Perutnya tidak akan kalau hanya makan roti saja dan segelas susu.
"Hah."
Dia membuat segelas jus kacang hijau, setelah meneguk sampai setengah gelas. Dia melanjutkan membuat kopi kesukaannya.
Kenzia duduk dengan santai, udara pagi sangat segar, sehingga tubuh lelahnya langsung sirna. Namun ada yang aneh, ia merasa jantungnya berdetak dengan kencang.
"Aneh, tidak akan terjadi apa-apa kan?"
Dia mengambil benda pipih itu, lalu memainkannya. Kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi putih itu.
Dia menaruh benda pipih itu kembali dan menyeruput kopi esspresonya.
Deg
Kenzia merasakan ada seseorang yang sedang mengawasinya. Dia menoleh dan melihat bayangan seseorang di dekat jendela.
"Apa Apartement sebelah sudah ada yang menempati?"
Kenzia menaikkan kedua alisnya, ia tidak peduli. Lagi pula kalau bisa akrap, berarti dia akan memiliki tetangga baru.
Ting
Suara bel berbunyi, kenzia beranjak dari kursinya.
"Tunggu sebentar." Kenzia membuka pintu Apartementnya, ia melihat kanan kiri, namun tidak ada orang.
"Kemana orangnya?"
Kedua matanya pun tertuju pada sebuah kado di lantai bawah. Dia mengambil kado dengan pita berwarna pink itu. Di atasnya terdapat setangkai bunga mawar merah.
Kenzia menghirup bunga mawar merah itu, wangi bunga mawar itu memenuhi tenggorokannya.
Ia membuka kado itu dan melihat sebuah boneka kecil. Di sebelah boneka itu terdapat sepucuk surat.
"Hai..
Salam kenal.."
Dan senyuman emoticon.
"Sepertinya tetangga sebelah sangat ramah." Gumam Kenzia. Dia memikirkan bagaimana cara membalasnya. Padahal ia tidak tahu, tetangga sebelahnya seorang perempuan atau laki-laki.
"Aku kasik surat aja dulu,"
Kenzia mengambil secarik kertas, dia menanyakan tetangganya laki-laki apa perempuan atau sudah berkeluarga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!