Mataku terbuka, sudah pagikah ini, atau hari masih malam? Jam berapa sekarang? Rasanya terlalu malas untuk bangun. Aku, coba memejamkan mata, tetapi sia-sia. Mata ini tidak bisa tidur kembali.
Aku lalu menatap ke arah cermin, dalam cahaya redup terlihat ada putih-putih, duduk di sampingku di sisi tempat tidur. Apa itu? Kok, seperti pocong? Begitu sadar, spontan aku langsung melihat ke samping dan benar saja, dia duduk di sana. Sontak saja aku bangun kemudian duduk menjauh dan merapat ke dinding.
Itu adalah Pocong! Serius, pocong! Sekitar matanya hitam, matanya berwarna merah menyala. dia memakai kain kafan putih, dan yang paling menyeramkan adalah dia menatap ke arahku dengan mata merahnya. Suasana kamar yang remang membuat suasana bertambah horor.
Ya Allah, seumur hidup baru kali ini aku melihat sosok gaib yang suka melompat. Aku mencoba berteriak meminta tolong tetapi suaraku seolah tercekat di tenggorokan. Mulutku bergerak tapi tak ada suara yang keluar. Mendadak aku menjadi bisu.
Aku coba memukul lemari agar menimbulkan suara bising, untuk membangunkan semua orang. Namun, tidak ada suara, entah pukulannya yang pelan atau aku yang tidak bisa mendengar? Jantungku, berdetak cepat. Darahku terasa mengalir cepat dari kepala ke kaki, aku takut sekali.
Kemudian aku berdoa, semua doa yang kuhafal, tetapi tak satu pun yang ku ingat. Meskipun itu surat An-nas yang sudah aku hafal sejak TK. Akhirnya aku hanya mengucapkan takbir.
Bukannya kepanasan dia semakin tersenyum. Aduh, apa yang salah dari takbirku? Apa aku salah mengucap, saking takutnya?
Aduh Cong, nggak usah senyum, bukannya membuat terpesona, justru membuatku takut setengah mati. Aku pejamkan mata, tak ingin melihatnya. Berharap ini adalah mimpi.
Lalu ku beranikan diri membuka mata kembali. Dia sudah hilang, tapi tunggu dulu ...Kok aku sedang berbaring? Bukankah, tadi aku sedang duduk merapat ke dinding? Berarti, tadi itu hanya mimpi, sungguh mimpi? Rasanya seperti nyata.
Aku tidak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak.
Terdengar adzan subuh berkumandang. Aku bergegas menyalakan lampu kamar, lalu ke kamar mandi. Aku tidak berani mengunci pintu, rasa takut masih menghantui.
Hanya butuh waktu lima menit untuk mandi. Tak ingin berlama-lama di kamar mandi, karena selain dingin, aku juga takut melihat pocong. Setelah itu aku bergegas berpakaian lalu memakai mukena dan sholat subuh.
Suara pintu yang diketuk, terdengar saat aku sedang sholat. Aku tetap berusaha berkonsentrasi. Suara ketukan itu semakin sering dan kencang, membuat konsentrasiku terganggu.
Setelah salam terakhir, aku bangkit, lalu membuka pintu tanpa menanggalkan mukena yang kupakai.
Terlihat adikku yang hanya berbeda dua tahun denganku berdiri di depan pintu. Dia menatapku dari atas hingga ke bawah, lalu dia tersenyum. Kebiasaan dia seperti itu.
Kadang aku merasa tersinggung kalau dia sudah menatap dari atas sampai bawah. Seperti sedang meledek, maklum badannya lebih tinggi dariku.
“Udah kaya pocong aja lo, kak!” ucapnya padaku. Sontak aku langsung keluar kamar dan mendekatinya.
“Ih, ngapain mepet-mepet? Sana masuk! Aku, cuma mau bilang jangan berisik! kebiasaan, nyanyi-nyanyi di kamar mandi. Bikin kuping aku sakit!” Adikku, kemudian berlalu masuk ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku.
Nyanyi? Tadi dia bilang nyanyi? Aku, tidak pernah nyanyi di kamar mandi. Tadi, dia bilang juga kebiasaan? Berarti sering dong, dia dengar suara orang nyanyi dari kamar mandi.
Sementara, aku tidak pernah sekali pun menyanyi di kamar mandi. Kan tidak boleh menyanyi di kamar mandi.
Aku ingat pernah mendengar hadist tentang hukum menyanyi di kamar mandi.
Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa kamar mandi atau wc merupakan tempatnya setan, maka dari itu hendaklah seorang muslim menjaga adabnya, dengan tidak berlama-lama misalnya, tidak menyanyi di kamar mandi serta membaca do’a ketika hendak masuk dan keluar dari kamar mandi.
Dari Zaid bin Arqom rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya toilet itu tempatnya setan, apabila salah seorang di antara kalian hendak masuk ke kamar mandi, maka ucapkanlah do’a : A’udzubillahi Minal Khubutsi wal Khobaaits (aku berlindung kepada Allah dari setan laki-laki dan perempuan). (HR. Abu Dawud, hadist no. 6
Itulah yang sepintas aku ingat.
Tuh! Aku, mendadak ingat kembali surat dan hadist, tetapi tadi begitu aku berhadapan dengan pocong, semua yang ku ingat langsung hilang.
Aku, jadi ragu untuk masuk ke dalam kamar. Kalau ingat hadist tadi dan perkataan adikku, berarti di dalam kamar mandiku ada hantunya. Terus, aku mau ganti baju sekolah gimana?
Aku, lari ke bawah dan mencari bibi. Asisten rumah tanggaku.
“Dor!”
“Eh copot ... copot ... copot.” Bibi ku memang latah, aku suka sekali menggodanya.
“Aduh, Non Kira, kebiasaan ih, ngagetin Bibi terus!” wajah Bibi cemberut, tapi aku tahu dia tidak marah.
“Bibi, yang cantik dan baik, temenin aku yuk sebentar.” Semoga Bibi mau memenuhi permintaanku.
“Lama nggak Non?” tanya Bibi padaku.
“Janji Bi, nggak lama. Cuma ganti baju sama siapin buku.”
“Ok, deh. Kemon Non!” Bibi, berjalan mendahuluiku. Aku mengikuti dari belakang.
Begitu sampai di kamarku. Bibi aku suruh untuk duduk di dalam. Dengan cepat, aku ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Sebelum masuk kamar mandi, tidak lupa berdoa terlebih dahulu.
Aku, berganti baju dengan cepat, tidak perlu rapi-rapi. Aku bisa merapikannya nanti di bawah, lalu aku mengambil tas, memasukkan buku, kerudung, kaos kaki dan sweater. Kami kemudian bergegas keluar.
“Non, nggak nyisir dulu atau rapikan baju?”
“Nanti aja Bi, di bawah. Kasihan Bibi nanti kesel nunggu aku.” Padahal itu hanya alasan saja. Alasan sebenarnya aku takut.
Bibi, hanya manggut-manggut, lalu aku ke ruang tengah sedangkan Bibi kembali ke dapur. Aku bercermin dan merapikan baju. Kemudian menyisir dan memakai kerudung.
“Apa Itu?” Sekilas aku melihat dari cermin ada yang lewat degan cepat. Atau kah itu hanya perasaan saja? Karena pikiranku sedang paranoid.
“Kira, kamu ngapain, dandan di sini?” tanya Mamah yang baru turun. Mungkin, dia heran melihat aku dandan di sini.
“Nggak apa-apa Mah, di kamar lampunya kurang terang. Jadi pindah ke sini aja.” Alasanku pada mamah.
“Lo kenapa, Kak?” Adikku Tiara juga sudah turun.
“Nggak apa-apa, kita sarapan aja yuk. Nanti telat.”
Mamah dan Tiara, berjalan lebih dulu ke dapur. Aku mengikuti dari belakang, kemudian aku duduk di samping mamah. Tiara, duduk di hadapanku terhalang meja makan.
“Ayo makan, jangan lupa berdoa,” ucap Mamah.
“Iya, mah." Aku, membaca doa makan, lalu sekilas, aku mendengar suara yang mengatakan amin dari sisi kananku. Di mana hanya ada bangku kosong.
Aku melihat ke samping kanan, tapi bangku itu kosong. Aku melihat sekeliling, mungkin ada bibi di belakangku, tapi tidak ada.
Aku menatap Tiara dan Mamah mereka sedang makan, sudahlah mungkin itu Tiara atau Mamah. Aku berpikir positif saja.
Aku pun mulai makan. Tiara dan aku satu sekolah. Aku kelas tiga dia kelas satu di SMA Tunas Bangsa.
“Kak, nanti pulang jam berapa?”
“Sekarang hari kamis ‘kan ya? Kakak, ada ekskul. Pulangnya agak sore, kamu duluan aja.”
“Ok, kalau begitu,” ucap Tiara, kami memang selalu pulang bersama naik angkutan umum. Padahal mamah sudah bilang lebih baik di jemput, tetapi kami tidak mau, karena menurut kami naik mobil umum lebih menyenangkan.
“Nanti, kalian di jemput supir. Mamah tidak akan mengizinkan naik umum kalau kalian hanya sendiri.” Mamah, mengatakannya dengan tegas. Kami tidak bisa membantah jika mamah sudah berkata seperti itu.
...----------------...
Hai reader ini adalah karya terbaru author dab baru pertama. author membuat genre horor. Walau rada-rada takut bikin nya, saya mau nyoba aja bikin semua genre. Arthur juga mau ikutertakan novel ini dalam lomba menulis horor. Mohon dukungannya jika kalian suka klik bintang 5, like favorit dan komen ya juga hadiahnya. Terima kasih banyak
Saat ini aku sudah sampai di sekolah. Kami berpisah di lorong dia di lantai dua, aku di lantai empat. Setiap lantai pun ada kantin tetapi kantin yang lengkap dan besar ada di bawah.
Ruang ekskul dan lab semua di bawah, Ruang Guru dan staf semua juga di lantai satu.
Aku langsung masuk ke kelas dan duduk di bangkuku. Sonia sepertinya belum datang karena bangkunya masih kosong.
Teman-teman yang lain sedang di luar. Kelas ini akan kosong jika bel masuk belum berbunyi hanya aku sendiri. Rasanya malas keluar, lebih baik aku bermain ponsel.
Tiba-tiba aku merasakan sensasi dingin di sekitar tengkuk. Aku melihat ke belakang tidak ada apa-apa. Aku kembali bermain ponsel.
Set ...
Aku merasa melihat sesuatu lewat.
Blak ...
Pintu tiba-tiba tertutup dengan kencang. Menimbulkan suara yang keras. Aku tercekat tak dapat bicara apa pun.
“Siapa sih yang iseng menutup pintu. Ayolah ini masih pagi, bercandanya nggak lucu tahu!” teriakku.
Namun, tak ada respon apa pun. Apakah memang tak ada orang? Lalu siapa tadi yang menutup pintu?
Aku bangun dan melangkah ke pintu. Sumpah kalau emang itu temanku, aku akan jenggut rambutnya.
Brak ...
Belum sampai ke pintu tiba-tiba terdengar suara sesuatu terjatuh. Aku melihat ke belakang, dan bangku yang kududuki tadi terjatuh, jaraknya dua meja dari tempatku.
Bagaimana bisa? Itu berarti di lempar bukan terjatuh.
Ya Allah pagi-pagi udah ketemu yang ginian. Mamah aku mau pulang.
Aku segera berlari ke pintu, dan berusaha membukanya. Aduh susah banget, apakah pintu ini terkunci?
“Tolong, buka pintunya dong. Hey guys siapa di luar tolong bukain pintu dong!”
Aku berteriak minta tolong dan menggendor pintu agar dibukakan. Ya Allah masih pagi udah bikin jantung berdetak cepat, nafasku seperti orang habis lari. Aku melihat ke belakang.
Sreet ...
Meja depan bergeser, aku berteriak kencang. Kemudian aku merapat ke pojok dinding.
Tiba-tiba semua meja dan bangku bergerak tidak beraturan. Aku berteriak histeris dan kembali berlari ke pintu. Ya Allah tolong aku.
Aku berusaha tenang agar dapat mengingat ayat surat yang ingin ku baca. Aku menutup mata dan membacanya. Sambil terus menggedor pintu. Aku rasakan seseorang menepuk-nepuk punggungku.
Aku membuka mata, dan terlihat Sonia sedang menatapku.
“Lo kenapa tidur sampai keringatan gitu? Mimpi dikejar setan lo! , bel masuk udah bunyi, bangun!"
Aku lalu melihat sekeliling ku. Semua meja dan bangku masih tersusun rapi. Teman-temanku Juga sudah duduk di tempatnya masing-masing.
Aku juga sedang duduk di tempatku bukan berdiri di depan pintu. Apa ini artinya aku bermimpi? Lagi? Aku merasakan lelah dan jantungku masih berdetak cepat.
“Nia, aku mimpi setan. Serem banget. Coba pegang.” Aku letakkan tangan Sonia di atas jantungku yang berdetak capat.
“Jantung lo kaya orang habis lari.”
“Iya, berdebar kencang. Takutnya juga nyata seperti bukan mimpi.”
“Lo ketiduran kali, habis main game, makanya kalau mau tidur baca doa dulu!”
“Namanya juga ketiduran, berarti gak sengaja tidurnya. Mana inget baca doa! Dodol.”
“Bersiap!” Suara ketua kelas terdengar kencang, guru telah masuk.
***
Aku tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik, konsentrasiku buyar. Bayangan mimpi itu masih menghantuiku. Duh, mana rasanya mau pipis. Gimana nih? aku takut ke kamar mandi.
“Sonia, anterin yuk ke kamar mandi. Aku kebelet nih,” bisikku pada Sonia.
“Biasanya juga sendiri.”
“Ah Sonia anterin yuk, gue takut. Tadi gue mimpi horor, jadi takut pipis sendiri.” Semoga Sonia mau, aku sudah tidak kuat.
“Ayo deh, tapi tar traktir ya!”
“Nggak ikhlas banget lo anterin gue. Biasanya juga gue traktir.”
“Gue ikhlas banget kok Ra, ya udah cepet, lo yang ijin sama guru.” Nyengir aja lo Nia, temen gue emang rada-rada matre.
Gue berdiri dan berjalan ke meja guru. “Aduh!” aku tersandung. Hampir saja aku terjerembab ke lantai.
Aku melihat teman di sampingku. Wajahnya malah kelihatan bingung.
“Ada apa Sakira?” Bu Guru bertanya padaku.
“Tidak apa-apa Bu, Bu maaf saya mau ijin ke toilet sana Sonia, udah kebelet Bu.”
"Berdua?” tanya bu Guru.
“Iya, Bu. Saya juga kebelet. Kita ‘kan bestie Bu, satu kebelet yang lainnya juga sama kebelet.” Ada-ada saja celetukan Sonia.
“ya udah. Silahkan tapi jangan lama-lama!”
“Baik, Bu. Terima kasih.”
Aku dan Sonia bergegas pergi ke kamar mandi. Suara sepatuku yang berlari menggema di lorong. Aku sudah benar-benar tidak tahan. Sonia justru berjalan dengan santai.
Sudahlah biarkan saja dia, yang penting jangan sampai aku ngompol di sini.
Aku langsung masuk toilet, kemudian aku masuk ke dalam salah satu kamar mandi. Ah ... lega rasanya. Setelah selesai, saat aku sedang membetulkan kembali pakaian dalamku.
Aku mendengar suara air dari kamar mandi sebelahku. Mungkin itu Sonia. Setelah rapi aku bergegas keluar.
Aku kemudian mencuci tangan di wastafel. Suara air masih terdengar bahkan airnya sampai luber, meluap keluarckamar mandi. Sonia sedang apa? Sampai tidak mematikan air.
Aku ketuk pintu. “Nia! Airnya kalau sudah penuh matikan!”
Tidak ada jawaban. Suara air mengalir masih terdengar. “Nia!” Aku panggil dia.
“Apa? Udah belum pipisnya? Lama banget!” Sonia tiba-tiba datang dari luar.
“Loh, lo bukannya di dalam?” tanyaku sambil menunjuk pintu kamar mandi tadi yang masih terdengar suara air.
“Aku dari tadi nunggu di luar.” Jawab Sonia membuatku terkejut. Lalu siapa tadi yang di dalam dan menyalakan air.
“Terus siapa yang di dalam? Airnya juga nyala.”
“Mungkin anak-anak lupa matiin.”
“Tapi sebelum gue masuk gak ada suara air. Pas gue di dalam baru ada suara air. Apa ada yang masuk setelah gue?” tanyaku.
“Nggak ada.” Jawab Sonia yakin. Sepertinya dia memang jujur.
“Sebentar aku matiin air dulu.” ucapku pada Sonia. Kita harus hemat air. Aku ketuk pintu sekali lagi untuk memastikan ada orang atau tidak?
Tidak ada jawaban berarti mungkin kosong. Aku coba membukanya dan ternyata tidak terkunci. Tapi tadi terkunci sungguh.
Aku matikan keran, lalu pintu tertutup sendiri. Aku berusaha membukanya tapi tidak bisa. Tiba-tiba aku merasakan aura dingin di sekitarku.
“Sonia! Tolong, buka pintu! Sonia!” Aku minta tolong pada Sonia sambil menggedor pintu.
Wangi kemenyan menyeruak, bercampur melati. Oh, tidak! Jangan lagi, ku mohon! Aku sudah lelah mengalami hal buruk sejak semalam. Apa ini, mimpi lagi?
Sekarang aku tidak bisa membedakan mana mimpi dan mana yang nyata.
“Ra! Kayanya pintu nya rusak, kekunci sendiri. Sebentar ya gue panggilan satpam dulu!” teriak Sonia padaku, lalu terdengar suara sepatu berlari. Sonia mungkin sedang pergi mencari satpam.
Ya Allah, aku sendirian di sini. Meskipun siang hari, toilet adalah tempat yang menakutkan kalau sendirian.
Wangi menyan semakin tajam, Aku membaca doa dalam hati. Suara air mengalir terdengar kembali. Aku membalikkan badan untuk melihat keran itu. Benar saja kerannya kembali terbuka.
Namun, siapa yang membukanya. Bulu romaku merinding.
Ceklek
Pintu terbuka. “Kira! Lo nggak apa-apa? Kok bisa kekunci sih?” Sonia langsung menarik ku keluar.
“Makasih Pak. Tolong di benerin ya Pak, biar gak ada yang ke kunci lagi,” ucap Sonia pada Pak satpam, aku sendiri tidak bisa berkata apa-apa.
Dia kemudian, menarik tanganku keluar. Saat aku melewati cermin aku melihat sebentar ke arah cermin dan sesuatu yang mengejutkan terlihat. Sosok itu berdiri di depan pintu kamar mandi yang sedang di betul kan pak satpam.
Sosok yang menyeramkan dan tak pernah ingin aku lihat itu, menatap ke arahku. Namun, ketika aku lihat langsung ke arah pintu kamar mandi sosok itu tidak ada. Ku pikir saat ini adalah nyata bukan mimpi.
...----------------...
Aku dan Sonia kemudian masuk kelas.
Tok ... tok ...
"Masuk!" Sonia membuka pintu. setelah mendengar jawaban guru dari dalam.
"Kenapa kalian lama sekali?" Aduh gara-gara pocong tadi aku jadi dimarahi guru.
"Maaf, Bu. Tadi Sakira terkunci di kamar mandi. Terus saya minta tolong satpam buat bukain. Kalau ibu gak percaya boleh tanya Satpam, Bu."
"Ya, sudah kalian boleh duduk dan langsung catat materi di papan tulis."
"Siap Bu, terima kasih." Kami pun duduk di bangku kami.
Saat melewati bangku Santi aku melihat dia yang menunduk seperti orang ketakutan. Ada apa dengan Santi? Aku terus melewatinya dan duduk di tempatku.
Semoga aku bisa tenang belajar dan berkonsentrasi tanpa gangguan apapun. Aku mulai menulis materi di papan tulis. Sesekali aku melirik ke arah Santi.
Kenapa dia tidak menulis? Wajahnya tampak pucat. Dia tidak mau melihat ke depan. Sepertinya dia ketakutan, tapi ketakutan apa?
Aku melihat ke depan tidak ada apa-apa? Nanti saja aku tanyakan dia. Akhirnya selesai juga aku menulis. Tanganku pegal sekali, wajar saja aku menulisnya sampai dua lembar dan terburu-buru karena takut dihapus.
Aku lirik Sonia, dia belum selesai. Sonia memang tidak bisa menulis cepat, takut tulisannya jelek katanya. Alasan apa itu? Kalau aku sih mau jelek atau cakep asal kebaca sama diri sendiri cuek aja, tapi Santi sering pinjam catatanku walau sering menggerutu karena tidak terbaca olehnya.
"Eh ... eh ... sebentar jangan dulu di hapus sedikit lagi!" teriak Sonia pada Kenzo yang akan mengamhapus papan tulis. Hari ini giliran dia yang piket jadi tugasnya menghapus papan tulis.
"Kamu lihat saja sama teman yang sudah. Soalnya masih banyak yang harus di catat." Bu Guru memberi tahu Sonia.
Iya, Bu." Kasihan Sonia dia terlihat lesu.
"Udah, nanti gue pinjemin catatan gue."
"Dengan terpaksa dan berat hati gue pinjem catatan lo!"
"Dih, syukur gue pinjemin. Biar jelek tulisan gue yang penting gue ngaret dan gue ngerti."
"Syukur deh kalo lo ngerti."
Aku menatapnya sinis. Untung dia bestie, kalau bukan udah ku emek-emek wajhnya ngatain tulisanku jelek. Aku kembali melanjutkan nulis.
Tiba-tiba aku merasa ada yang janggal. Punggungku terasa dingin. Aku melihat ke belakang tidak ada apa-apa, hanya ada si Wawan yang tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya padaku.
Dih, GR cakep kali begitu? Sorry aku nggak bakal baper di kedipin. Dasar playboy. Aku kembali melihat ke depan.
Gubrak
Terdengar suara sesuatu yang jatuh memecah kesunyian. Semua melihat ke belakang di mana sumber suara terdengar. Nampak Wawan yang terjatuh bersama bangkunya ke samping.
Semua tertawa, suasana menjadi ramai.
"Bro, kenapa lo? tanya Bayu, teman sebangku Wawan, sambil tertawa.
"Aduh tangan gue sakit, bantuin napa!" Bayu berdiri dan membantu Wawan bangun.
"Wawan, kamu kenapa, ngantuk kamu?" tanya Bu Guru.
"Nggak kok Bu, saya lagi nulis. Saya juga nggak tahu kenapa Bu, kayanya ada yang dorong saya dari samping." Kualat kamu Wan udah kedipin aku, jadi jatuh. Aku pun tersenyum geli.
"Enak aja, lo nuduh gue!" Bayu tidak terima sepertinya dengan ucapan Wawan.
"Siapa yang nuduh lo? Emang benar gue ngerasa ada yang dorong gue dari samping."
"Tapi kan di samping lo itu gue, gak ada lagi, dodol!"
"Iya, ya. Masa setan."
"Wah, sekarang lo ngapain gue setan!"
Suasana malah tambah ramai. Mereka tertawa mendengar celetukan Wawan.
"Bukan gitu maksud gue."
"Sudah ... sudah, kalian berhenti berdebat! Wawan, apa kamu terluka?"
"Tidak Bu, cuma tangan saya sepertinya keseleo."
"Kamu pergi ke UKS, yang lainnya lanjutkan menulis!"
"Baik, Bu. Terima kasih!" Wawan segera ke UKS, aku lalu melihat ke arah Santi, dia menatap punggung Wawan. Matanya melotot dan mulutnya terbuka seperti terkejut akan sesuatu.
Santi juga nampak gelisah, dia seperti orang bingung. Kadang dia terlihat seperti akan berdiri lalu duduk lagi. Wajahnya pucat apakah dia sakit dan mau ke UKS tetapi takut untuk ijin.
"Bu, maaf. Santi sepertinya sedang sakit. Biar saya antar ke UKS." Bu Guru pun beranjak bangun dan menghampiri Santi.
"Benar Santi, kamu sakit?" Santi mengangkat wajahnya. Terlihat pucat. Bu Guru sepertinya percaya.
"I ... iya Bu."
"Ya, sudah. Kalau begitu kamu ke UKS. Sakira kamu tolong antar ya."
"Iya, Bu."
"Nia, aku ke UKS sebentar, kalau setengah jam gue belum balik susul gue ya."
"Mana bisa gue ijin seenaknya, tar aja pas istirahat."
"Ok!" Aku pun beranjak bangun dan menghampiri Santi.
"Ayo Santi. Kita ke UKS, lo kuat nggak jalan sendiri?"
"Kuat," jawab Santi padaku.
Kami pun pergi ke UKS. Aku tiba-tiba merasa gelisah. Aku melihat ke arah Santi, dia selalu *******-***** samping roknya. Langkahnya semakin lambat ketika mendekati UKS.
"Ayo San!" aku pegang tangannya dan terasa sangat dingin serta berkeringat. Mungkin dia ketakutan. Kami berhenti di depan pintu UKS.
Prang
Suara itu terdengar kencang, berasal dari dalam ruang UkS. Kami saling menatap dan aku langsung membuka pintu UKS.
Terkunci! Pintunya terkunci lagi. Aku gedor pintunya dan berusaha membukanya lagi. "Wan! Buka pintunya, Wan!" Aku panggil Wawan.
Prang
Suara itu terdengar lagi. Ada apa di dalam sebenarnya?
"Santi aku panggil bantuan dulu. Kamu tunggu di sini." Aku langsung berlari ke tempat Satpam.
"Pak, tolong Pak, ada keributan di UKS tapi pintunya gak bisa di buka!" Dengan nafas yang terengah aku meminta bantuan.
"Ayo," Pak Satpam langsung berjalan mendahuluiku. Langkahnya sangat cepat, Aku harus berlari untuk mengimbangi langkah Pak Satpam dengan sedikit berlari.
Sampailah kami di depan pintu UKS. Santi masih berdiri di depan pintu. Pak Satpam segera membuka pintu yang memang terkunci.
"Aaaa!"
Terdengar teriakan dari dalam. Pak Satpam akhirnya mendobrak pintu. Dalam sekali dobrakan pintu terbuka, kuat juga tenaga Pak Satpam.
Kami segera masuk ke dalam. Terlihat sangat berantakan di dalam, barang-barang dan obat-obatan berhamburan di lantai. Wawan tergeletak di lantai.
"Wan, Wawan." Aku coba bangunkan Wawan.
"Bapak panggil Ibu piket dan Kepala sekolah dulu!" Pak Satpam lari keluar. Aku melihat Santi yang hanya berdiri di luar dan tidak mau masuk.
"Wan, bangun!" Aku menepuk pipi Wawan. Dia masih belum sadar.
Aku angkat kepalanya dan aku tidurkan di pahaku. Aduh ni orang kenapa, sih? Lalu perlahan matanya terbuka.
"Wan ... lo udah sadar?"
"Gue di mana, kok ada bidadari?" Sumpah, ngeselin banget nih orang. Aku sentil dahinya, dia malah cengengesan.
"Lo tuh, malah bercanda. Orang lagi khawatir juga. Lo tuh kenapa?"
"Senang banget ada yang khawatir ama gue."
"Wan! gue nanya serius! ini kenapa berantakan semua dan lo tiduran di lantai."
"Gue kepeleset, sayang."
"Awww." Karena kesal aku langsung pindahkan kakiku, membuat kepala Wawan membentur lantai.
"Sakit, Ra." Dia malah merengek, salah sendiri bikin aku kesal.
Aku bangkit dan mulai membereskan barang-barang yang berserakan.
"Ra, tadi tuh aneh deh!"
"Aneh apa?"
"Masa barang yang di atas meja itu, jatuh sendiri jadi berantakan pas aku mau cek aku kesandung dan jatuh, terus nyenggol barang yang ada di meja. Jadi pada jatuhan semua."
"Terus kenapa pintunya dikunci?"
"Aku gak kunci pintu."
"Ada apa ini?"
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!