Surprise!"
Teriakan dari kedua orang tuaku membuat aku terdiam seketika, surprise untuk apa? Bahkan ini bukan hari ulang tahunku.
Mereka terlihat membawa satu kotak kue kesukaanku, kue brownies coklat dengan tabutan kacang mede di atasnya.
"Kok bengong?" tanya Bunda. Bunda menepuk pundakku, namun tidak terlalu kencang.
"Eh? Aku kaget, ini surprise buat apa?" tanyaku.
Bunda tersenyum, lalu dia menyimpan sekotak kue yang sejak tadi dia pegang.
"Kejutan untuk kamu, Sayang. Karena kamu sudah mendapatkan nilai yang sangat bagus saat melakukan tes untuk masuk ke universitas yang kamu inginkan," jawab Bunda.
"Lalu?" tanyaku masih dengan mode yang belum paham.
Ayah terkekeh, dia menarik aku ke dalam pelukannya. Dia mengecup keningnku berkali-kali, lalu dia berkata.
"Ayah sangat senang karena kamu mendapatkan nilai terbaik, Ayah juga senang karena kamu mendapatkan beasiswa," kata Ayah.
Oh Tuhan, senyum di bibirku langsung mengembang. Itu artinya mereka merasa bangga terhadap diriku, mereka bahkan sampai memberikan surprise untukku.
Tunggu!
Katanya ini surprise, masa hanya dengan menikmati satu kotak kue brownies sih? Memangnya tidak ada kejutan lainnya apa?
Aku melongokkan kepalaku ke dalam rumah, siapa tahu ada kejutan lainnya di sana. Namun, nihil.
Tidak ada apa pun di dalam sana, hanya ada satu kotak kue brownies yang bunda tadi pegang.
"Hei, mencari apa?" tanya Bunda.
Aku langsung tersenyum canggung, karena ketahuan oleh bunda menginginkan surprise yang lainnya.
"Mencari surprise yang lainnya," jawabku jujur.
Bunda dan ayah langsung tertawa dengan terbahak-bahak, mereka bahkan sampai memegangi perutnya.
Mungkin mereka sakit perut karena terlalu banyak tertawa, bahkan bunda terlihat mengusap air matanya.
"Ck! Masa Ayah sama Bunda ngasih surprise hanya dengan satu kotak kue brownies doang," ucapku seraya melenggang pergi meninggalkan mereka.
Aku pun memutuskan untuk melangkahkan kakiku menuju kamar, karena sepertinya kamar merupakan tempat yang paling nyaman untukku saat ini.
Rasanya aku begitu kecewa kepada ayah dan bunda, karena mereka hanya menyiapkan satu kotak kue brownies untukku.
Ya, walaupun itu adalah kue yang sangat aku sukai. Namun, tetap saja aku mengharapkan kejutan yang lebih wah. Sayangnya harapan tidak sesuai dengan ekspektasi.
Namun, baru saja aku melangkahkan kakiku beberapa langkah, ayah langsung menghadang jalanku.
"Ayah masih punya kejutan sama Bunda, kamu duduklah dulu," kata Ayah.
Senyuman di bibirku langsung melebar mendengar kata kejutan yang lainnya, aku segera duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tamu.
"Kejutannya apa, Yah? Aku sudah tidak sabar ingin mendengarnya," kataku.
Ayah terkekeh, dia langsung duduk di sampingku. Lalu, dia merangkul pundakku dan menepuk-nepuknya dengan penuh kasih sayang.
"Selama ini kamu selalu berkata ingin mendaki gunung, tapi Ayah tidak perah menyetujuinya. Untuk kali ini, karena kamu sudah membuat Ayah dan Bunda sangat bangga, kamu beserta ketiga teman kamu itu boleh mendaki gunung."
Ayah menyampaikan hal itu dengan raut wajah cemas, dia seolah takut salah dengan apa yang sudah menjadi keputusannya.
Berbeda dengan diriku, mendengar apa yang dikatakan oleh ayah aku benar-benar sangat bahagia.
Bahkan, tanpa canggung aku melompat lalu aku duduk di pangkuan ayah dan memeluknya dengan erat.
"Terima kasih, Ayah. Aku akan mengajak Naura, Mario dan juga Alex untuk mendaki. Tapi--"
Aku melerai pelukanku, aku menatap wajah ayah dengan lekat.
"Aku belum tahu harus mendaki ke gunung mana," kataku jujur.
Ayah langsung tertawa, kemudian dia mengelus rambutku dengan lembut.
"Bagaimana kalau kalian mendaki ke gunung G yang berada di kota B, di sana kita punya Villa. Kalian bisa istirahat di sana sebelum dan sesudah melakukan pendakian," usul Ayah.
Aku merasa setuju dengan apa yang ayah usulkan, karena di gunung G yang aku ketahui ada bunga edelweis'nya juga.
Aku dan teman-temanku bisa menikmati keindahan bunga tersebut di sana, tidak perlu capek-capek untuk pergi ke gunung C.
"Aku setuju, Ayah memang pengertian," kataku.
Kembali aku memeluk ayah, aku benar-benar merasa bahagia karena akhirnya aku bisa melakukan pendakian.
"Kok Bunda ngga ada yang peluk, yah?"
Terdengar kalimat protes dari Bunda, aku langsung melerai pelukanku dengan ayah. Lalu, aku memeluk Bunda dengan erat.
"Terima kasih," kataku.
"Sama-sama, Sayang." Bunda mengelusi punggungku.
***
Kini aku sudah berada di dalam kamar, aku langsung menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur, lalu aku mengambil ponsel dan mengetikkan pesan chat ke grup AMAN.
Grup yang sudah tiga tahun ini kami buat, grup yang beranggotakan empat orang saja. Dibuat dengan inisial kami berempat.
Aneska, yaitu aku. Mario, yaitu temanku yang suka bercanda dan membuat hari-hariku lebih ceria. Alex, yaitu temanku yang berparas lebih tampan dari Mario, karena dia turunan bule.
Naura, teman perempuanku yang terkadang sangat lemot, namun dia selalu membuat hatiku lebih berwarna.
Kami empat bersahabat, yang selalu saling mendukung dan saling berbagi. Entah itu hal yang membahagiakan ataupun hal yang membuat kesal bahkan sedih.
Aneska📲 "Guyz, gue ada kabar gembira. Besok kita ke kota B, nginep di Villa bokap. Kalian mau, kan?"
Mario📲 "Serius loh? Tumben elu dikasih pergi jauh, biasanya dirumahkan terus."
Aneska📲 "Sialan, loh! Gue ngga ajak tahu rasa, loh! Gue diizinin naik gunung, guyz. Elo ngga bakal gue ajakin!"
Mario 📲 "Serius loh?"
Naura 📲 "Beneran, Nes? Gue ikut, awas kalau ngga ngajak!"
Aneska📲 "Kalian berisik! Gue ajakin, kuy'lah. Itu si Alex ngga ikut? Kok dia enggak ada suaranya?"
Alex 📲 "Ikut gue, santai aja."
Aneska📲 "Asik, besok abis lohor kita berangkat. Gue tunggu di rumah, jangan lupa minta izin sama orang tua kalian ya, guyz."
Naura 📲 "Pasti, gue pasti izin dulu lah."
Mario 📲 "Gue juga pasti izin'lah, masa ngga?"
Aneska📲 "Elu gimana, Lex?"
Alex 📲 "Tinggal cabut, aman. Bonyok gue lagi di luar negeri."
Aneska📲 "Sip!"
Aku begitu senang, karena akhirnya keinginan aku untuk mendaki gunung akan terlaksana. Tentu saja yang lebih membahagiakan, aku akan pergi bersama dengan teman-teman terbaikku.
"Oooh! Aku sudah tidak sabar pengen buru-buru besok, pengen cepat pergi ke kota B. Terus naik gunung deh, uuuh!"
Aku benar-benar sangat senang, bahkan aku langsung bangun dan segera merapikan barang-barang yang akan aku bawa.
"Semangat Aneska! Semangat, jangan kasih kendor!" aku berusaha untuk menyemangati diriku sendiri.
****
Selamat datang di dunia halusinasi Othor Cucu Suliani, semoga kalian suka dan betah dalam membaca novel bergenre horror ini.
Jangan lupa tinggalkan jejak, Yes. Koment dan like kalian adalah penyemangat buat Othor.
Hari ini aku bangun sangat pagi sekali, karena aku sudah tidak sabar untuk segera pergi menuju kota B. Tentu saja yang membuatku tidak sabar adalah mendaki gunung sesuai dengan keinginanku.
Akhirnya, setelah sekian purnama ayah dan bunda mengizinkan aku untuk melakukan pendakian. Setelah mandi dan mematut wajahku di depan cermin, aku memutuskan untuk keluar dari dalam kamar.
Aku melangkahkan kakiku menuju dapur, aku ingin membantu bunda untuk menyiapkan sarapan. Karena Bunda pasti akan kerepotan.
Kalau soal urusan memasak, bunda memang tidak pernah mau menyerahkannya kepada bibi. Karena baginya, makanan untuk diriku dan juga Ayah harus dia yang memasaknya.
"Pagi anak Bunda," Siapa Bunda kepadaku.
Aku tersenyum hangat, lalu membalas sapaan bunda.
"Pagi, Bun," sapaku seraya memeluk Bunda dari samping.
"Manja," ucap Bunda.
"Biarin," balasku.
"Ya sudah, sekarang kita masak. Jangan peluk-peluk terus, nanti kita kelaparan kalau kamu terus melukin Bunda kayak gini. Soalnya Bunda tidak bisa masak," kata Bunda.
Aku tersenyum seraya melerai pelukan kami, kemudian aku pun mulai membantu aktivitas bunda dalam memasak.
Setelah satu jam berkutat di dapur, pada akhirnya semua masakan sudah matang dan tertata dengan rapi di atas meja makan.
"Selesai," kataku bangga.
Padahal aku tidak memasak, hanya membantu bunda saja. Namun, aku merasa sangat senang. Bunda terlihat tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tunggu sebentar ya, Nes. Bunda mau panggil ayah dulu," kata Bunda seraya membuka celemek yang sedari tadi dia pakai.
"Ya, Bunda," jawabku.
Setelah berpamitan, bunda nampak meninggalkanku di ruang makan sendirian. Aku mulai mengambil piring kosong dan menatanya di atas meja.
Tidak lama kemudian, bunda nampak datang bersama dengan ayah. Mereka langsung duduk di kursi yang ada di ruang makan, aku pun turut duduk.
Baru saja kami hendak memulai sarapan pagi, tiba-tiba saja terdengar suara ribut dari arah luar rumah. Samar-samar kudengar teriakan Naura dan juga Mario.
Aku jadi bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah mereka sudah datang sepagi ini? Bukankah kami akan berangkat setelah shalat dzuhur? Lalu, kenapa mereka sudah datang?
Belum selesai aku bertanya dalam hati, ternyata Mario, Naura dan juga Alex sudah terlihat berjalan menghampiri kami.
"Pagi Om, Tante," sapa mereka secara bersamaan.
Aku melihat wajah Naura dan juga Mario begitu sumringah, berbeda dengan Alex yang nampak biasa saja, datar tanpa ekspresi.
Aku sudah bisa menebak, pasti Naura dan Mario mengajak Alex untuk segera datang ke rumahku dan sudah dapat dipastikan jika Alex merasa kesal akan hal itu.
"Pagi, ayo duduk dan sarapan bersama," tawar Bunda.
Naura dan Mario terlihat tertawa cekikikan, kemudian mereka menghampiriku dan langsung duduk dapat di samping kanan dan kiriku.
"Terima kasih, Tante. Jadi enak nih," kata Mario.
Mario dan juga Naura terlihat langsung menggendok nasi beserta lauk pauknya, mereka terlihat seperti orang kelaparan. Langsung melahap masakan bunda yang memang selalu enak rasanya, menurutku.
Berbeda dengan Alex, dia terlihat berjalan dengan perlahan seraya menggelengkan kepalanya. Kemudian dia duduk tepat di samping Mario.
"Aku sudah sarapan, Tante. Terima kasih, aku duduk saja," kata Alex.
Bunda terlihat tersenyum ke arah Mario, lalu dia berkata.
"Seenggaknya kamu minum susu hangat atau makanan roti, masa iya nemenin orang sarapan hanya bengong aja," kata Bunda.
"Ya, Tante," jawab Alex.
Alex, Mario dan juga Naura memang sudah sering datang ke rumahku. Mereka sudah seperti anak bunda juga, datang dan makan sesuka hati mereka.
Tidak lama kemudian, aku melihat Alex bangun dan segera membuat susu coklat yang biasa aku buat. Lalu, dia terlihat duduk kembali di samping Mario.
Acara sarapan pagi pun berlangsung ramai, karena adanya ketiga sahabatku. Sahabat yang selalu ada di saat aku berada dalam keadaan terpuruk sekalipun.
Setelah sarapan, kami memutuskan untuk bermain PS bersama di ruang keluarga. Bunda dan ayah terlihat begitu senang karena di rumah kami sangat ramai pagi ini.
***
Tanpa terasa adzan dzuhur terdengar berkumandang, kami langsung melaksanakan salat dzuhur bersama. Setelah itu, kami langsung pergi menuju kota B.
Ayah membawa dua mobil sekaligus, yang satu mobil khusus untuk kami tempati. Sedangkan satu mobil lainnya, pak sopir yang bawa dengan barang-barang milik kami di dalamnya.
Ya, kami seperti orang yang akan pindah rumah. Kami membawa begitu banyak barang, ayah dan bunda sampai geleng-geleng kepala.
"Kalian ini mau berlibur atau mau pindah rumah sih?" tanya Bunda.
Aku, Mario dan juga Naura hanya nyengir kuda. Berbeda dengan Alex, dia hanya diam dengan telinga yang ditutupi headset.
Lagi pula dia hanya membawa barang seperlunya saja, tidak Seperti kami. Ya, temanku yang satu itu memang terlihat lebih baik dari kami bertiga.
Setelah melakukan tiga jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Villa milik ayah. Villa yang begitu megah namun jarang sekali kami datangi, karena ayah adalah seorang pengusaha yang begitu sibuk dengan pekerjaannya.
Belum tentu kami bisa setahun sekali untuk datang ke Villa ini. Namun, walaupun seperti itu, aku tetap bangga kepada ayah. Karena ayah selalu meluangkan waktunya untukku, walaupun hanya di rumah saja.
"Selamat datang, sesuai yang anda perintahkan, saya sudah membersihkan semua kamar untuk kalian semua. Kalian tinggal pilih saja mau tidur di kamar yang mana," sapa Mang Asep.
Mang Asep adalah seorang pria paruh baya yang ditugaskan oleh ayah dan juga bunda untuk mengurus Villa.
"Terima kasih, Mang," jawab Ayah.
"Saya juga sudah menyiapkan perlengkapan dapur, jadi... jika Tuan dan Nyonya mau memasak, semuanya sudah lengkap," lapor Mang Asep.
"Ya, terima kasih atas pengertiannya, Mang," jawab Ayah.
Setelah mengatakan hal itu, Mang Asep terlihat berpamitan untuk ke belakang. Dia berpesan jika kami mengingin sesuatu, tinggal langsung memanggil dirinya saja.
Dengan tidak sabarnya aku langsung masuk ke dalam Villa dan berlari menuju kamar yang biasa aku tempati jika kemari.
Naura, Mario dan juga Alex terlihat mengekori langkahku dari belakang. Berbeda dengan ayah dan bunda, mereka terlihat berkeliling di sekitar Villa.
Kedua orang tuaku itu seolah tidak ada capeknya, padahal aku saja yang masih muda ingin segera beristirahat.
Saat aku sampai di dalam kamarku, aku langsung menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Rasanya begitu nyaman sekali.
Naura, Mario dan juga Alex terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuanku.
"Nes, gue tidur di mana?" tanya Mario.
"Iya nih, kamar gua yang mana?" tanya Naura.
Aku pun turun dari tempat tidurku, kemudian aku keluar dan menunjukkan banyaknya kamar yang ada di dalam Villa.
"Terserah kalian aja mau tidur di mana. Kan, kamar tidur ada banyak," kataku.
"Oke," jawab Mario.
Tanpa banyak bicara lagi, aku melihat Mario memilih kamar tepat di samping kananku. Aku juga melihat Alex memilih kamar tepat di samping kiriku, sedangkan Naura memilih kamar di samping Mario.
Aku tersenyum, kemudian kembali masuk ke dalam kamarku. Ku tutup pintu kamarku dan kemudian aku rebahkan kembali tubuh lelahku ini.
"Ya Tuhan, rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera esok hari. Pengen buru-buru naik gunung," ucapku senang.
****
Masih berlanjut....
Jangan lupa tinggalkan jejak, yes. Komen dan like kalian adalah penyemangat buat Othor.
Hari yang dinanti kini telah datang, di mana aku dan ketiga temanku akan mendaki gunung. Ternyata mendaki gunung itu tidak sembarangan, tidak bisa asal naik saja.
Banyak aturan yang harus kami patuhi, banyak juga syarat yang diajukan. Semisal harus ada sepuluh orang dalam satu kelompok bagi pelajar seperti kami, tidak boleh berkata sembarangan dan masih banyak lagi yang lainnya.
Karena kami cuma berempat, jadi kami pun bergabung dengan kelompok lainnya. Hatiku benar-benar riang tiada terkira, karena akhirnya aku akan mendaki gunung.
"Ra, gue seneng banget. Gue udah ngga sabar pengen buru-buru manjat," kataku.
"Hush! Kok manjat, sih? Memangnya elu monkey?" tanya Naura sinis.
"Astogeh! Sorry, gue khilaf. Saking senengnya gue ini," kataku dengan binar bahagia yang terus terpancar jelas dari wajahku.
Naura masih terlihat sinis memandang ke arahku, aku bingung. Padahal aku hanya salah menyebut kata manjat saja, dia sepertinya sangat kesal terhadapku.
"Hem!"
Hanya kata itu yang aku dengar dari bibir Naura, Mario yang ada di sampingku langsung merangkul pundakku.
"Udah jangan didengerin, lagi kumat kali dia. Mending kita dengerin pengarahan, biar nanti kita ngga kesasar," kata Mario.
Dalam hati aku tersenyum, tumben pikirku dia mempunyai pikiran yang lurus. Biasanya Mario selalu saja melenceng. Bahkan ucapannya selalu terkesan bercanda.
"Okeh!" jawabku.
Aku terdiam, karena harus mendengarkan pengarahan. Mendengarkan apa yang diucapkan sebagai tuntunan saat kami mendaki nanti.
Aku bahkan dengan jelas mendengarkan jika pendakian akan berlangsung selama enam sampai delapan jam, pengarah juga mengatakan ada lima pos pendakian.
Pengarah juga berkata, jangan berkata sembarangan dan jangan jalan terlalu cepat atau lambat. Takutnya akan terpisah dari kelompok.
"Mengerti?" tanya Pengarah.
"Mengerti!" ucap kami semua.
Setalah mendengarkan pengarahan, kami mulai mendaki gunung. Aku begitu bersemangat, karena ini adalah hal yang pertama bagiku.
Berbeda dengan ketiga temanku Naura, Mario dan juga Alex. Mereka sudah keempat kalinya mendaki, terlihat lebih berpengalaman dan terlihat lebih santai.
Tidak sepertiku yang begitu terlihat antusias, bahkan sepanjang perjalanan aku terus saja membeo.
Alex dengan sabar mendengarkan ocehanku, berbeda dengan Naura dan Mario, mereka lebih sering mencela.
"Elu ngoceh mulu, gue pusing!" keluh Naura.
Entah kenapa aku melihat Naura hari ini selalu saja terlihat kesal terhadapku, apakah mungkin dia sedang PMS?
"Ho'oh, gue aneh banget deh. Kok mulut elu engga berbusa, ye? Padahal dari tadi elu ngoceh mulu," tanya Mario.
Buset! Mario ikut mencelaku, sedih banget rasanya. Namun, mungkin saja mereka hanya bercanda saja.
"Sialan elu pada, gue dorong dari atas sini nyungsep loh!" kesalku.
Alex langsung mencekal pergelangan lenganku, dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jangan berkata sembarangan, kita sedang melakukan pendakian. Bahaya," kata Alex.
Aku menekuk wajahku dengan sempurna, aku benar-benar kesal terhadap Mario dan juga Naura. Namun, sayangnya aku tidak bisa mengeluarkan keluh kesahku saat ini.
"Sorry, gue kesel." Aku berkata dengan ketus.
Alex tersenyum tipis sekali, lalu dia menepuk-nepuk pundakku.
Alex seperti sedang berusaha untuk menenangkan hatiku, dia memang temanku yang paling pendiam dan pengertian.
"Sabar," ucap Alex.
"Hem," kataku.
Setelah terjadinya perdebatan kecil antara kami, akhirnya kami melanjutkan perjalanan mendaki kami.
Namun, baru saja lima belas menit mendaki, aku merasa sedikit cape. Mungkin karena ini adalah pendakian gunung pertama untukku.
Jalanku sedikit melambat, peluh mulai membanjiri dahiku. Sehingga beberapa detik kemudian.
Brugh!
"Aduh!" aku mengeluh, karena aku hampir terjatuh jika saja aku tidak berpegang kepada Alex.
Seorang pria bertubuh cungkring terlihat sengaja menabrak bahuku, saking kagetnya aku sampai hampir terjengkang.
"Woy! Elu gila, hah?" sentakku.
Mendengarkan sentakan dariku, bukannya takut dia malah tersenyum meledek ke arahku. Aku benar-benar merasa muak melihat wajahnya.
"Siapa suruh jalan elu lemot kaya siput, kalau ngga bisa daki ngga usah ikutan. Dasar penghambat!" ucapnya sarkasme.
Aku sangat kesal, aku bahkan sampai mendorong dadanya cukup kencang. Namun, Walaupun dia terlihat bertubuh cungkring, dia terlihat kuat.
Tenaganya lumayan besar, karena dia hanya bergeser sedikit saja dari tempat aku mendorongnya. Sial sekali, pikirku.
"Baccot! Ajn! Brengsek luh!" ucapku kasar.
Pria bertubuh cungkring itu tertawa lalu pergi begitu saja, dia benar-benar menyebalkan. Sumpah demi apa pun aku ingin melempar wajahnya dengan batu.
Sayangnya, Alex datang dan menepuk-nepuk pundakku. Kembali dia berusaha untuk menenangkan diriku.
"Sabar! Kita lagi mendaki gunung, jangan kepancing emosi," ucapnya terdengar menenangkan.
Ku elus dadaku, ku hisap udara yang terasa seperti air minum alami. Terasa begitu segar dan dingin, padahal hanya udara yang ku hirup.
Aku benar-benar berusaha untuk mengontrol emosi, aku memang ceria, aku gampang bergaul dengan siapa pun. Namun, entah kenapa aku begitu gampang terpanjang emosi.
"Okeh, kita mulai jalan lagi," kataku.
Aku kembali berjalan dengan rombonganku, selama perjalanan sesekali aku mendelik ke arah pria cungkring yang terlihat menyebalkan itu.
Tiga jam kemudian.
Kembali langkahku melambat karena begitu kelelahan, namun aku berusaha untuk berjalan dengan cepat. Karena tiba-tiba saja, kabut tebal terlihat menyelimuti.
Langit terlihat gelap, suara sambaran petir mulai terdengar. Awalnya suara petir terdengar lemah, namun semakin lama terdengar semakin menggelegar.
"Kita percepat jalannya, takut keburu hujan. Sebentar lagi kita sampai di pos pemberhentian berikutnya," kata ketua dari kami.
Semua orang nampak berjalan lebih cepat, aku juga mencoba mengimbangi langkah pendaki lainnya.
Namun, tiba-tiba saja pandanganku gelap. Tertutupi kabut yang begitu tebal, aku ketakutan. Aku berusaha untuk mencari ketiga temanku, bahkan aku berteriak-teriak. Sayangnya seolah tidak ada orang yang mendengar teriakanku.
Jeder!
Terdengar sambaran petir yang menggelegar, aku begitu takut. Kututup mataku kuat-kuat, ku tutup pula telingaku dengan rapat.
"Mario! Naura! Alex!" Aku berteriak dalam ketakutan.
Sungguh aku benar-benar takut kali ini, apalagi saat aku membuka mata, semua tampak gelap.
"Ayah! Bunda!"
Kembali aku berteriak karena takut, aku benar-benar takut.
Jeder!
Jeder!
Kembali kilat menyambar, namun kali ini begitu kencang. Bahkan gendang telingaku seakan hendak pecah.
Tiba-tiba saja, sebuah kilatan cahaya terlihat seperti akan membelah langit. Sebuah kilatan cahaya yang diiringi gelombang cahaya hitam pekat seolah hendak menghantamku.
"Apa itu, Tuhan?" tanyaku dengan tubuh yang bergetar hebat.
Tanpa aku duga, cahaya itu terasa menghantam tubuhku bertepatan dengan sambaran petir yang begitu dahsyat.
Mataku terasa tidak bisa terbuka, hanya bayangan kilatan cahaya dan bayangan hitam pekat yang terus terbayang sebelum aku kehilangan kesadaranku.
"Bunda," kataku sebelum aku benar-benar tidak sadarkan diri.
***
Masih Berlanjut....
Kuy ramein kolom komentar, kasih likenya juga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!