"Perut Mbak sakit?" tanya Ravella cemas. Sejak tadi ia melihat Raisa memegangi perutnya yang sudah membesar. Ravella khawatir jika kakak perempuannya itu akan melahirkan di saat dia sedang berada di kampus.
"Belum, Vel. Menurut HPL, aku baru melahirkan tanggal dua puluh. Itu masih satu minggu dari sekarang. Bayiku sedang sangat aktif, menendang ke kiri dan ke kanan. Makanya aku mengelusnya supaya lebih tenang," jelas Raisa sambil tersenyum. Dia bersyukur karena memiliki adik yang siaga dan selalu siap mendukungnya. Paling tidak keberadaan Ravella bisa mengobati kepedihannya yang harus menjalani kehamilan tanpa kehadiran ayah dari bayinya.
Tidak, ia tidak akan mengingat lagi wajah pria tidak bertanggung jawab yang sudah tega meninggalkannya. Raisa menyesal karena pernah mempercayai pria itu bahkan bersedia menyerahkan mahkotanya yang paling berharga. Sungguh Raisa sangat menyesali kebodohannya. Kenapa waktu itu dia sampai termakan oleh bujuk rayu Steven yang berjanji akan segera melamarnya. Andai waktu bisa diputar ulang, dia pasti akan menjauhi pria brengsek seperti Steven Wijaya.
"Oh, iya, aku lupa. Pikiranku kacau karena ada dua tes hari ini," ucap Ravella menepuk dahinya sendiri.
Raisa membelai sayang surai rambut adik semata wayangnya itu.
"Jangan cemaskan aku. Semoga tesmu berjalan lancar dan dapat nilai A."
Ravella mengangguk sambil memeluk kakaknya. Pasca kedua orang tua mereka meninggal, Ravella hanya memiliki Raisa, begitu pula sebaliknya. Karena itu mereka berdua saling menjaga dan menyayangi.
Sebelum berangkat ke kampus, Ravella melambaikan tangannya sekali lagi. Kemudian ia memakai helm dan naik ke atas motornya. Selama berkendara di jalan, Ravella tak henti memikirkan Raisa. Betapa malangnya nasib kakaknya itu karena harus hamil di luar nikah. Saat keponakannya lahir, mungkin mereka juga akan dianggap sebagai anak haram oleh masyarakat. Namun apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Ravella tidak mau menyalahkan Raisa, karena itu hanya akan memperparah luka yang telah menganga di hati kakaknya. Ravella pun bersumpah jika ada orang yang berani menghina kakak dan keponakannya, dialah yang akan berdiri di garis terdepan untuk membela mereka.
Setibanya di kampus, Ravella langsung berjalan ke ruang kelas. Ia berusaha berkonsentrasi penuh pada tes yang dikerjakannya hari ini. Apalagi kedua tes tersebut melibatkan perhitungan matematika yang rumit.
Tiga jam telah berlalu. Ravella meregangkan kedua tangannya ke atas untuk menghalau rasa pegal. Meskipun begitu, ia merasa puas karena berhasil menyelesaikan semua soal dengan baik.
"Vel, yuk makan di kantin," ajak Alana, sahabat Ravella di kampus.
"Ayo, tapi aku nggak bisa lama-lama ya. Aku harus kembali ke rumah."
"Memangnya Mbak Raisa udah mau melahirkan?"
"Belum sih, tapi harus berjaga-jaga. Di rumah, dia hanya berdua dengan Bi Karsih."
"Aku salut banget sama kamu, Vel. Nanti kalau kamu jadi ibu, suamimu pasti sayang banget deh."
"Itu masih lama, Na. Pacar aja aku belum punya," sanggah Ravella.
Alana tertawa terbahak.
"Makanya pikirkan dirimu sendiri juga. Tuh, disana ada Axel, Gibran, Johan, Satya. Tinggal dipilih-dipilih! Beli satu dapat dua!" seru Alana berlagak seperti penjual baju di pinggir jalan.
"Hush, nanti mereka dengar."
"Dengar juga nggak apa-apa. Justru mereka dengan senang hati akan mendaftar jadi cowokmu."
"Buat apa punya cowok kalau bisanya cuma bikin sakit hati. Janji mereka palsu. Cintanya sangat dangkal, cuma sebatas ketertarikan fisik," sanggah Ravella. Pengalaman pahit yang dialami Raisa telah membuat Ravella tidak percaya lagi kepada kaum adam.
"Wah, kamu sepertinya benci sama cowok. Jangan-jangan kamu malah naksir aku karena aku ini tulus, perhatian dan selalu menepati janji," seloroh Alana.
"Ih, amit-amit. Aku masih perempuan normal."
Sambil bercanda, Ravella dan Alana terus berjalan menuju ke kantin. Namun langkah mereka terhenti ketika Ravella mendengar suara ponselnya berdering.
"Halo, Mbak Raisa," sapa Ravella.
"Non Vella, ini saya Bi Karsih. Tolong cepat pulang, Non Raisa pendarahan." Suara Bi Karsih terdengar panik.
Mendengar kabar buruk itu, paras cantik Ravella langsung berubah pucat.
"Hah, kenapa bisa pendarahan?"
"Tadi Non Raisa terpeleset di kamar mandi."
"Okey, aku segera pulang ke rumah sekarang, Bi. Tolong jaga Mbak Raisa," ucap Ravella panik.
Melihat kekhawatiran di mata Ravella, Alana turut prihatin.
"Jangan cemas, Vel. Mbak Raisa dan bayinya pasti baik-baik saja."
"Makasih, Na. Aku pergi dulu ya."
"Hati-hati, Vel. Nanti kabari aku di rumah sakit mana Mbak Raisa melahirkan."
Setelah berpamitan kepada Alana, Ravella bergegas menuju ke area parkir. Tak ada hal lain yang dipikirkannya selain keselamatan Raisa dan calon keponakannya.
...****************...
Di dalam taksi, Raisa terbaring lemah di pangkuan Ravella. Sesekali terdengar desisan kecil di bibirnya akibat menahan rasa sakit yang semakin menjadi.
"Aku nggak kuat, Vel," rintih Raisa. Bulir-bulir keringat membasahi keningnya.
"Jangan bicara begitu, Mbak. Ingatlah anakmu yang ada di dalam kandungan," ucap Ravella seraya mengusap cairan merah pekat di kedua kaki Raisa dengan tissue. Sebenarnya Ravella sangat ingin menangis, tapi dia berusaha menahan diri di depan kakaknya.
"Vel, maukah kamu berjanji satu hal kepadaku?" tanya Raisa memegang tangan Ravella.
"Sebaiknya Mbak jangan terlalu banyak bicara dulu. Hematlah tenaga untuk melahirkan nanti."
"Tapi aku harus mengatakan ini. Dari hasil USG, aku mengandung bayi kembar. Aku tidak tega kalau mereka jadi anak yatim piatu."
"Apa maksud, Mbak?" tanya Ravella membelalakkan mata.
"Tolong jaga kedua bayiku jika aku tiada. Jadilah ibu untuk mereka," ucap Raisa dengan mata berkaca-kaca.
"Mbak ini bicara apa? Mbak pasti akan melahirkan dengan selamat dan bisa membesarkan mereka."
Raisa menggelengkan kepalanya dengan lemah.
"Kumohon berjanjilah, Vel. Sayangi kedua bayiku seperti anakmu sendiri. Mereka sudah ditolak oleh ayahnya. Jangan sampai mereka kehilangan sosok ibu juga."
Perkataan Raisa yang terdengar seperti pesan terakhir membuat air mata Ravella berlinang. Sungguh dia tidak mau kehilangan Raisa.
"Iya, aku berjanji, Mbak. Aku akan menyayangi mereka sepenuh hati, tapi Mbak harus bertahan. Bagaimanapun anak-anak lebih baik dibesarkan oleh ibu kandungnya. Sekarang Mbak tenang ya."
Ravella membelai rambut Raisa sembari menceritakan lelucon untuk menghibur kakaknya. Ia berusaha terlihat tegar walaupun hatinya serasa ditusuk sembilu.
Ketika sampai di rumah sakit, Raisa segera ditangani oleh dokter dan perawat. Karena air ketubannya sudah pecah ditambah pendarahan yang tidak kunjung berhenti, dokter segera melakukan tindakan operasi.
Sambil menunggu di depan pintu ruang operasi, Ravella terus memanjatkan doa. Penantian seperti ini membuatnya sangat gelisah. Dia hanya berharap agar firasat buruknya tidak akan menjadi kenyataan.
"Vel," panggil Alana berlari kecil. Ia memeluk Ravella yang terlihat pucat dan sedih.
"Makasih, Na, kamu sudah datang untuk menguatkan aku."
"Iya. Percayalah Mbak Raisa akan melahirkan dengan selamat."
Entah berapa lama Ravella menunggu dalam harap-harap cemas, hingga akhirnya lampu ruang operasi padam. Ravella pun segera berlari untuk menyongsong sang dokter.
"Dok, bagaimana keadaan kakak saya dan anak kembarnya?" tanya Ravella mencari tahu. Dokter itu menatap Ravella dengan wajah datar.
"Bayi kembarnya sehat. Tapi, maaf, kami tidak bisa menyelamatkan ibunya. Nyonya Raisa kehilangan banyak darah dan kondisinya sangat lemah. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi dia tidak mampu bertahan."
Seketika lutut Ravella terasa goyah. Dia hampir roboh ke bawah bila Alana tidak menopang tubuhnya. Tangis Ravella pun pecah saat ia melihat tubuh Raisa yang tertutup kain putih dibawa keluar oleh perawat.
"Mbak, jangan tinggalkan aku sendiri. Bangun, Mbak, aku membutuhkanmu," isak Ravella pilu. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Raisa yang terasa kaku dan dingin. Pemandangan menyayat hati ini membuat Alana ikut menangis.
"Tabahkan hatimu, Vel. Mbak Raisa sudah pergi," bujuk Alana.
"Aku nggak mau kehilangan kakakku, Na. Sekarang aku benar-benar sebatang kara di dunia ini."
Alana mengusap punggung Ravella yang gemetaran.
"Siapa bilang kamu sendiri? Sekarang kamu punya sepasang keponakan kembar. Lihatlah mereka di ruang bayi, aku dan Bi Karsih akan mengurus jenazah Mbak Raisa."
Seperti orang linglung, Ravella berlari ke ruang perawatan bayi. Ia menempelkan tangan dan wajahnya di kaca untuk melihat yang mana keponakannya. Dan tampaklah sepasang bayi kembar yang sangat mungil, laki-laki dan perempuan. Kedua bayi itu sedang menggeliat pelan dengan mata terpejam. Di depan box mereka tertulis nama "Bayi Ny. Raisa", yang artinya itulah keponakannya.
Dengan berurai air mata, Ravella menatap sayang kedua bayi kembar itu. Dia berjanji akan menjalankan amanat terakhir dari kakaknya untuk menjadi ibu pengganti bagi mereka.
Mulai sekarang aku akan menjadi Mama kalian. Aku akan selalu merawat, menyayangi, dan menjaga kalian dengan seluruh hidupku,
gumam Ravella mengucapkan sumpahnya.
Bersambung
Hi, all my lovely readers, senang bisa bertemu kalian lagi. Yuk dukung novel CEO Magang dan Mama Perawan dengan meninggalkan jejak like, komen, dan votenya.
Berikut bonus visual Ravella dan Alarick.
Ravella :
Alarick :
Pagi ini keluarga Adhiyaksa sedang sarapan bersama. Sedari pagi, Cleantha sudah menyiapkan makanan spesial demi menyambut kedatangan putra bungsunya, Alarick Adhiyaksa.
"Sayang, kamu rajin sekali," ucap Raja mengecup pipi Cleantha.
"Tentu, aku sudah menyiapkan semuanya. Jadi saat Alarick pulang nanti, makan siang sudah siap," kata Cleantha bersemangat.
Dari lantai dua terdengar langkah kaki seorang pria menuruni tangga. Spontan, para pelayan wanita langsung melirik ke atas. Bagaimana tidak, mereka tidak mampu melewatkan pemandangan yang memanjakan mata di pagi hari. Pria yang luar biasa tampan dengan tubuh atletis yang menjadi impian setiap kaum wanita. Terlebih ia adalah sang pewaris utama keluarga Adhiyaksa. Dengan melihatnya saja bisa membuat rasa lapar menjadi hilang. Siapa lagi kalau bukan Almero Adhiyaksa.
"Al, mana kakakmu, Ivyna? Kenapa dia tidak turun untuk sarapan?" tanya Cleantha memandang Almero dengan rasa kasih yang besar. Setiap kali menatap Almero, ia selalu teringat pada Alvian semasa mudanya.
"Ivy, dia...."
"Ada apa, Mom? Ini aku."
Di belakang Almero, menyusul seorang wanita cantik bertubuh ramping. Rambutnya yang bergelombang ikut berayun seiring dengan gerakannya yang lincah. Wanita itu menuruni dua anak tangga sekaligus lalu menggandeng erat tangan Almero.
"Aku pasti bangun kalau pintu kamarku diketuk oleh Almero. Bagaimana kami serasi, kan?" tanyanya tersenyum lebar.
"Sangat serasi. Sayangnya Almero itu adikmu, bukan kekasihmu. Makanya cepat cari calon suami, kalau tidak Daddy akan menjodohkanmu," jawab Raja dari meja makan.
Ivyna mengerucutkan bibirnya ke depan.
"Dad, jangan bahas itu lagi. Aku mau menikah kalau bertemu laki-laki yang seperti adikku ini."
"Oh, jadi kamu pengagum rahasiaku. Kalau kamu berkata begini di depan Marion, dia bisa cemburu," sahut Almero menyeringai.
"Marion tidak akan cemburu karena aku yang menjadi perancang gaun pengantinnya. Ingat tanpa aku kalian tidak bisa menikah."
"Iya, ibu desainer cantik. Aku percaya padamu," kata Almero menarik kursi untuk Ivyna.
Cleantha dan Raja tersenyum bahagia melihat keakraban Almero dan Ivyna. Sejak kecil sampai dewasa hubungan mereka sangat dekat. Bahkan mereka kerap kali disangka sebagai pasangan kekasih oleh orang yang belum mengenal keluarga Adhiyaksa.
"Dad, hari ini aku masuk ke kantor usai jam makan siang. Setelah menjemput Alarick dari bandara, aku akan mengajaknya ikut bersamaku dan Marion untuk memilih souvenir pernikahan."
"Tentu, Al. Daddy akan menggantikanmu untuk menghadiri meeting dengan Tuan Mark dan Tuan Ibrahim."
"Terima kasih, Dad," jawab Almero senang.
Cleantha mengambilkan roti gandum untuk Ivyna karena putrinya ini sangat menjaga bentuk tubuh.
"Mom, maaf ya hari ini aku tidak bisa ikut menjemput Alarick. Satu jam lagi aku harus bertemu dengan klien baruku. Dia sangat aneh," keluh Ivyna.
Cleantha mengerutkan alisnya.
"Tidak apa-apa, Sayang. Nanti malam kamu masih bisa bertemu adikmu. Memangnya ada apa dengan klienmu itu?"
"Dia memintaku mengurus gaun pengantin, jas, bunga, dan segala pernak pernik hanya dalam waktu satu minggu. Katanya dia harus menikah hari Minggu besok. Dan wajahnya selalu kelihatan cemas saat berkunjung ke bridalku."
"Mungkin dia gugup karena memikirkan pernikahannya, Ivy," jawab Cleantha.
"Tapi Almero dan Marion tidak secemas itu. Mereka sangat santai."
Almero tertawa mendengar perkataan kakaknya.
"Itu karena pernikahanku masih dua bulan lagi. Sedangkan klienmu harus menikah di akhir minggu."
Almero menghabiskan kopinya lalu beranjak dari kursi.
"Mom, Dad, aku harus berangkat sekarang supaya tidak terlambat. Aku menjemput Marion dulu sebelum ke bandara," ucap Almero mengecup pipi Cleantha.
"Iya, Sayang, hati-hati."
"Aku juga berangkat. Akan kuusahakan pulang sebelum jam tujuh. Bye, Mom, Dad," sambung Ivyna ikut berpamitan.
Melihat kepergian kedua anak mereka, Cleantha merasa bangga sekaligus terharu. Ia tidak menyangka waktu berlalu sangat cepat. Kini Almero dan Ivyna sudah dewasa, bahkan Almero sebentar lagi akan membina rumah tangga.
"Kenapa, Sayang?" tanya Raja memperhatikan istrinya.
"Aku bahagia melihat Almero akan menikah. Ivy juga berhasil mencapai cita-citanya menjadi desainer.
"Kita beruntung karena memiliki anak-anak seperti mereka. Apalagi Alarick juga sudah menamatkan pendidikannya di Stanford," jawab Raja.
"Sayang, nanti saat acara pernikahan Almero selesai, bagaimana jika kita berbulan madu juga?" goda Raja kepada istrinya.
"Kita sudah tua, rambutku juga sudah beruban. Tidak pantas lagi untuk berbulan madu."
"Siapa bilang? Kamu selalu cantik di mataku."
"Sudah, jangan terlalu banyak merayu. Kamu harus berangkat ke kantor sekarang untuk menggantikan tugas Almero," ucap Cleantha memaksa Raja melepaskan pelukannya.
"Baiklah, aku akan melaksanakan perintah istriku."
...****************...
Marion langsung keluar dari rumahnya ketika Almero datang. Ia terlihat cantik dengan dress casual berwarna biru muda. Marion adalah putri tunggal Peter Wiryadi, seorang pengusaha properti ternama yang menjadi kolega Raja. Bisa dibilang ia adalah calon istri yang paling ideal untuk Almero, baik dari segi kecantikan, status sosial maupun kecerdasan.
"Sayang, kita ke bandara sekarang?"
"Iya, Alarick akan tiba jam sepuluh pagi," jawab Almero sambil mengemudikan mobilnya.
"Al, nanti sore aku akan pergi ke Yayasan Peduli Jantung bersama Mama," ucap Marion dengan mata berbinar.
"Yayasan Jantung? Untuk apa?"
"Aku berencana mendonorkan jantungku kalau suatu hari aku meninggal dunia."
Perkataan Marion membuat Almero terkejut. Serta merta ia menghentikan mobilnya.
"Kenapa kamu bicara begitu, Sayang? Aku tidak mau kamu membicarakan soal kematian," tegas Almero.
"Semua manusia pasti akan meninggal, Al. Aku cuma ingin membuat hidupku berguna untuk orang lain. Apalagi salah satu sepupuku meninggal akibat terkena penyakit jantung. Karena itu aku terdorong untuk membantu mereka."
"Tapi keinginanmu belum waktunya dilakukan. Kita akan menua bersama anak cucu kita saat hal itu terjadi."
Marion meletakkan kepalanya di atas bahu Almero.
"Jangan marah, Al. Sebagai pendonor, mereka tidak akan mengambil jantungku sebelum nafasku terhenti."
"Cukup, Marion. Aku tidak mau kita membicarakan ini. Sekarang lebih baik kita berkonsentrasi untuk menyelesaikan persiapan pernikahan."
Melihat Almero kesal, Marion menghentikan ucapannya. Mereka tidak bicara lagi sampai tiba di bandara.
Setelah memarkirkan mobilnya, Almero segera menggandeng tangan Marion untuk berjalan ke area kedatangan penumpang.
"Kamu masih marah padaku, Al?" tanya Marion takut.
"Mana bisa aku marah terlalu lama, aku sangat mencintaimu."
Dari kejauhan, Almero melihat seorang pemuda tinggi berkacamata hitam tengah mendorong kopernya. Meskipun hampir lima tahun berpisah, Almero sangat mengenali adiknya itu. Dia buru-buru mengajak Marion untuk menghampiri Alarick.
"Rick, sebelah sini!" seru Almero.
Mendengar seseorang memanggilnya, Alarick menoleh ke samping. Senyumnya mengembang lebar saat ia mengenali pasangan pria tampan dan wanita cantik yang datang menjemputnya.
Alarick segera memeluk Almero dengan erat untuk melepas rindu.
"Kak Al, akhirnya kita bertemu lagi. Aku merasa tersanjung karena CEO Adhiyaksa Group rela meninggalkan kantor untuk menjemputku," seloroh Alarick.
Almero menepuk bahu adiknya itu sambil tertawa.
"Kamu sama saja dengan Ivyna. Selalu membuatku besar kepala. Kamu masih ingat dengan Marion?" tanya Almero mengetes ingatan Alarick.
"Tentu saja. Mana mungkin aku lupa dengan calon kakak iparku. Aku sengaja pulang lebih cepat untuk membantu pernikahan kalian. Bagaimana kabarmu, Kakak Ipar?" tanya Alarick menjabat tangan Marion.
"Aku sangat baik, Rick. Aku perhatikan kamu semakin tampan," puji Marion.
Almero pura-pura cemberut mendengar Marion memuji adiknya.
"Jangan memuji pria lain di hadapanku, Sayang. Nanti aku cemburu."
"Untuk apa cemburu? Seluruh cintaku hanya untukmu," jawab Marion bergelayut manja di lengan Almero.
Alarick hanya geleng-geleng kepala melihat kemesraan Almero dan calon istrinya. Dalam hati dia tidak mengerti mengapa kakaknya bisa sebucin itu kepada Marion. Sebagai pria, dia bersumpah tidak akan pernah mau menjadi budak cinta seorang wanita.
**Bersambung
Visual Almero** :
Visual Ivyna
Alarick berdiri sambil menyandarkan badannya ke dinding toko. Sesungguhnya dia tidak tahan jika harus menunggu tanpa melakukan apa-apa. Tapi mau bagaimana lagi, dia terlanjur berada di dalam toko souvenir bersama dengan pasangan dimabuk asmara ini.
"Yang mana, Sayang? Warna pink atau putih?" tanya Marion memegang sepasang boneka pengantin di tangannya.
"Keduanya sama-sama bagus. Terserah kamu saja, Baby," jawab Almero lembut.
"Kalau begitu aku pilih yang pink. Aku sesuaikan dulu dengan bunga dan kartu ucapannya," kata Marion dengan mata berbinar.
"Iya, kamu atur saja. Aku akan menunggu disini."
Marion berjalan ke bagian bunga dengan diantar langsung oleh si pemilik toko. Sementara Almero menghampiri Alarick yang tampak sangat bosan.
"Rick, maaf, kamu harus menunggu lama. Marion sedang memastikan souvenir mana yang akan kami pilih," kata Almero menepuk bahu adiknya.
"Tidak apa-apa, Kak. Aku bisa memahami bagaimana rumitnya pernikahan. Membayangkannya saja aku tidak sanggup," ucap Alarick menaikkan alisnya.
Almero terkekeh mendengar ucapan Alarick.
"Kamu berkata begitu karena belum menemukan wanita yang bisa membuatmu jatuh cinta. Jika kamu sudah bertemu dengannya pasti kamu akan berubah pikiran."
Alarick membuka kacamatanya sambil memiringkan kepala.
"Aku tidak akan berubah pikiran. Aku bukannya belum pernah berpacaran dengan wanita. Terakhir kali aku berpacaran dengan Monica, tapi aku bersikap biasa saja. Tidak ada yang terlalu spesial. Aku bahkan menyuruhnya pergi ke salon dan berbelanja sendiri. Aku tidak mengerti mengapa Kakak bisa sesabar ini kepada Marion."
"Itu karena Marion adalah cinta sejatiku. Aku bersedia melakukan hal membosankan demi menyenangkan hatinya. Selain aku, ada contoh lain, yaitu Daddy. Dia sangat memuja Mommy sampai sekarang."
Alarick berdesah panjang.
"Kalau Mommy jangan ditanya lagi. She is the one. Di masa sekarang, aku yakin tidak ada wanita yang cantik dan tangguh seperti Mommy. Yang ada mereka suka merengek dan hanya mengandalkan pria untuk memanjakan mereka."
"Mungkin sekarang kamu tidak mempercayai kata-kataku. Tapi saat kamu mencintai seorang wanita dengan tulus, kamu baru akan memahami aku. Di mata orang lain, mungkin wanita itu biasa saja, tapi di matamu dia paling cantik dan sempurna. Dan yang terpenting kamu ingin segera menikahinya dan memiliki banyak anak yang lucu."
"Aku tidak ingin terikat pernikahan apalagi punya anak. Anak-anak biasanya nakal, berisik, dan membuat kepalaku pusing. Sekarang aku cuma ingin hidup bebas dan meraih semua impianku."
Almero kembali tertawa melihat adiknya yang antipati terhadap pernikahan. Tapi ia yakin sikap Alarick akan berubah drastis saat dipertemukan dengan wanita yang menjadi takdirnya.
"Sayang, aku sudah selesai," kata Marion menghampiri Almero.
"Kapan souvenirnya selesai dibuat?"
"Dua minggu lagi, Sayang. Aku lega karena semua persiapan pernikahan kita sudah selesai."
"Iya, Sayang. Sekarang ayo kita pulang. Rick sudah tidak sabar ingin bertemu Mommy," ucap Almero mengerling ke arah Alarick.
"Betul Kakak Ipar, aku sangat merindukan masakan Mommyku," sahut Alarick nyengir.
"Aku juga sangat menyukai masakan Tante Clea. Aku akan belajar darinya bagaimana membuat masakan kesukaan Almero," puji Marion.
Almero dan Marion keluar lebih dulu dari toko souvenir sambil bergandengan tangan. Sedangkan Alarick sengaja menjaga jarak. Ia menyusul di belakang seperti pengawal pribadi mereka. Namun ketika hendak keluar, Alarick nyaris terbentur pintu kaca akibat ulah seorang wanita yang masuk ke dalam toko.
"Maaf, Tuan," ucap wanita itu menundukkan kepala. Ia nampak sangat terburu-buru sehingga tidak memperhatikan keberadaan Alarick di depan pintu.
"No problem," ucap Alarick mengangkat tangannya. Ia malas mengurusi persoalan remeh seperti ini. Tanpa mempedulikan wanita itu lagi, Alarick berjalan menuju ke mobil.
"Ada apa, Rick?" tanya Almero melihat ekspresi kesal di wajah Alarick.
"Dahiku hampir saja terbentur pintu karena perbuatan ceroboh seorang wanita. Tapi lupakan saja, itu tidak penting," kata Alarick menutup pintu mobil.
Sementara di dalam, wanita itu segera berjalan ke bagian souvenir ulang tahun. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri, menelusuri setiap benda yang terpajang rapi di rak. Dia baru berhenti ketika melihat tas kecil berbentuk kepala mickey dan minnie mouse. Yah, ini cocok sekali untuk anak kembarnya.
"Mbak, berapa harga sepasang tas ini?"
"Seratus dua puluh ribu, Bu. Tapi minimal harus cetak dua ratus pieces."
"Harus sebanyak itu, Mbak?" kata wanita itu terkejut.
"Iya, Bu. Kami tidak menerima pesanan dalam jumlah kecil karena produk kami menggunakan bahan berkualitas tinggi. Selain itu kami juga memberikan bonus kartu ucapan yang didesain sesuai permintaan pelanggan."
"Apa ada souvenir lain yang bisa dibeli satuan, kurang lebih tiga puluh pieces?"
"Maaf, tidak bisa Bu, kecuali ada sisa cetak dari kami. Tapi itu sangat jarang terjadi."
Wanita itu mengeluarkan kartu namanya dan menyerahkannya kepada pegawai toko souvenir tersebut.
"Ini nama dan nomer ponsel saya. Kalau ada sisa souvenir ulang tahun, tolong hubungi saya. Saya tidak bisa kesini lagi karena besok saya harus kembali ke Bogor. Bisa kan souvenirnya diantar ke Bogor?"
"Tentu saja bisa, Bu."
Pegawai wanita itu membaca kartu nama yang ada di tangannya sambil mengernyitkan dahi.
"Ravella Griselda, Supervisor Marketing PT. Cemerlang Clean Equipment," gumam pegawai itu.
"Terima kasih, Mbak. Saya tunggu infonya."
Dengan langkah cepat, wanita itu keluar dari toko menuju ke dalam taksi yang sudah menunggunya.
"Pak, tolong antarkan saya ke kantor Adhiyaksa Group. Saya harus menghadiri meeting satu jam lagi."
"Iya, Mbak," jawab driver taksi itu menganggukkan kepala.
...***...
Seorang gadis sedang terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Wajahnya yang cantik nampak pucat dengan bibir yang sedikit membiru. Ia memandangi layar ponselnya, mencoba mencari kabar teman-temannya yang tengah menjalani masa orientasi sebagai mahasiswa baru.
Ketika pintu kamarnya dibuka dari luar, gadis itu langsung menyembunyikan ponselnya di bawah bantal.
"Aura, sudah waktunya kamu makan dan minum obat, Sayang," ucap seorang wanita yang masuk sambil membawa nampan.
Aura mengangguk sambil tersenyum getir.
"Tante Diva, aku tidak tahan lagi minum obat. Lidahku terasa pahit. Aku sampai tidak bisa mengecap rasa makanan yang kumakan."
Wanita itu meletakkan nampan di atas nakas lalu membelai lembut rambut keponakannya. Dia memang menganggap Aura sebagai anaknya sendiri karena sudah mengasuhnya sejak bayi. Ibu kandung Aura telah meninggal dunia akibat penyakit jantung yang dideritanya. Dan kini Aura juga mengalami penyakit yang sama.
"Sabar, Sayang. Papamu masih berusaha mencarikan donor jantung yang tepat."
"Tapi sampai kapan Tante? Aku lelah menunggu. Aku rasa tidak lama lagi aku akan menyusul Mama."
"Jangan berkata begitu, Aura. Tuhan tidak pernah terlambat memberikan pertolongan. Kamu harus percaya itu. Sekarang makan dulu ya."
Aura menerima suapan dari tantenya dengan hati yang pilu. Teman-temannya saat ini berada di kampus, sedangkan dia malah terpuruk sendirian di dalam kamar.
"Apa keinginanku terlalu tinggi? Aku cuma berharap bisa menjadi reporter, tapi sepertinya itu tidak akan terjadi,"
batin Aura sedih.
Berikut visual Aura
Novel ini akan update setiap hari di bulan Juli.
Stay tune y dears.
Jangan lupa berikan komen, like, dan vote untuk author.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!