NovelToon NovelToon

VIRA (Viki Dan Nara)

ViRA 01

Tidak ada satupun manusia yang menginginkan jika dirinya sakit. Penyakit yang bahkan tidak ada obatnya. Penyakit yang merupakan aib bagi diriku sendiri dan keluarga.

Tapi sampai detik ini, keluargaku tidak ada yang mengetahui jika aku mengidap penyakit tersebut. Kecuali kedua temanku.

Mereka berdua mengetahuinya sejak kita SMA. Alih-alih meninggalkanku, mereka malah semakin menjagaku. Memberi dukungan. Dan selalu berada di sampingku.

Ella dan Denis. Kedua sahabat sejati yang aku miliki.

Aku memiliki penyakit kelainan sek-sual. Diriku yang seorang lelaki, sama sekali tidak tertarik dengan yang namanya perempuan cantik dan seksi.

Aku malah bernafsu dan hasratku akan muncul jika melihat lelaki yang sama denganku. Berbadan kekar, mempunyai perut kotak-kotak. Dan pastinya tampan.

Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Dan di sana aku bertemu dengan seorang lelaki yang juga mengaku memiliki kelainan seperti diriku.

Hubungan kita berjalan hampir satu tahun. Aku selalu memanjakannya dengan berbagai materi yang berlimpah.

Tapi pada kenyataannya, kita bahkan tidak pernah melakukan hubungan layaknya pasangan pada umumnya. Berciuman saja, bahkan kita tidak pernah.

Tapi entah kenapa aku tidak pernah menaruh rasa curiga pada dirinya.

Tapi akhirnya diriku harus kembali ke negara kelahiran ku, dan dia tetap berada di sini. Kami berhubungan jarak jauh. LDR.

Tidak lama kemudian, dia menyusul ku. Dan kita bertemu. Menjalani hari-hari seperti bisa dengannya.

Hingga terjadilah peristiwa yang tidak pernah aku pikirkan dan aku bayangkan sebelumnya.

Suatu hari, temanku Denis, secara tiba-tiba menyekap ku di dalam ruangan apartemen. Mengikat badanku dengan tali yang menjadi satu dengan kursi. Dengan mulut tersumpal kain.

Sementara di depanku, ada sebuah laptop yang menyala. Menampilkan sahabatku, Ella dan Jo. Lelaki yang selama ini menjadi kekasih rahasiaku.

"Itukan,,, Jo dan Ella. Jo bilang sedang sibuk. Makanya tidak bisa bertemu dengan gue. Tapi,,, kenapa,,,, dia bersama Ella. Di dalam apartemen Ella." batin Viki melihat video di depannya.

Ingin sekali Viki berteriak dan bertanya. Tapi apalah daya. Mulutnya masih tersumpal kain. Yang menjadikannya hanya bisa diam.

Di apartemen, Viki melihat dengan sedikit menahan nafas. Rahangnya mengeras sempurna melihat bagaimana Jo menatap Ella dengan penuh damba dan bernafsu.

Berkali-kali Viki menggoyang-goyangkan badan. Dia ingin ikatan di tubuhnya di lepaskan. Tapi sayangnya Denis tidak mengindahkan permintaannya.

Denis mendekat ke arah Viki. "Elo lihat. Ella melakukan semua ini demi elo." bisik Denis. Yang juga sahabat Viki dan Ella.

Viki yang mendengarnya langsung menatap penuh tanya ke arah Denis. "Demi gue." batin Viki penasaran. Ada apa ini sebenarnya.

"Vik,, elo nggak apa-apakan?" tanya Denis, saat Viki mulai diam. Dan tidak berontak lagi, ingin dilepaskan.

Bahkan tatapan datar dan nanar mengarah pada layar di depannya. Di mana di layar menampakkan Ella dan yang lain.

Denis menggoyang pelan tubuh Viki. "Jangan bikin gue takut." ucap Denis karena Viki masih saja diam. Denis segera mengambil kain yang menyumpal di mulut Viki.

"Bawa gue ke sana." ucapnya tanpa ekspresi, bahkan terkesan dingin.

Dilepaskannya ikatan di tubuh Viki. "Tunggu." Denis mencekal lengan Viki, saat Viki bergegas ingin meninggalkan apartemen Ella.

"Kita pergi ke tempat dan tujuan yang sama. Sebaiknya kita pergi ke sana bersama-sama." ucap Denis.

Denis hanya takut jika Viki tidak bisa mengendalikan diri. Dirinya takut jika terjadi sesuatu di jalan saat Viki pergi ke apartemen Ella.

Karena pasti Viki akan menyetir dengan emosi yang meletup-letup. Entah emosi karena kebohongan Jo, atau Ella yang berpura-pura menggoda Jo.

Ketakutan Denis yang lain adalah, apalagi jika Viki sudah sampai apartemen. Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan di dilakukannya. Memaki dan marah pada Jo. Atau malah kecewa dengan rencana Ella.

Dengan penuh amarah Viki sampai di apartemen Ella. Tapi sepertinya Ella sudah tidak kaget. Karena dia sudah di beritahu oleh Denis sebelumnya.

Hingga di apartemen, semuanya terkuak.

Jo selama ini mendekatinya. Dan berpura-pura menyukai dirinya. Menjalin hubungan dengannya. Tak lain hanya untuk mengorek informasi mengenai keluarga Ella.

Jo memanfaatkan dirinya untuk memperlancar balas dendamnya pada keluarga Ella.

*********

Dan Viki, di sinilah dirinya sekarang berada. Meratapi nasibnya di pinggir sebuah danau. Tempat di mana dirinya dan dua sahabatnya selalu ke sini saat mereka bertiga bolos sekolah.

Apalagi tempat ini terbilang sepi. Menjadi tempat yang cocok untuknya menyendiri. Viki merenung sendiri. Ingin rasanya dia mengakhiri hidupnya. Tapi pikirannya masih waras.

"Kenapa aku di lahir kan. Hidup ku kacau. Kenapa aku tidak bisa hidup normal seperti yang lainnya. Kenapa." ucapnya lirih, mengingat jika dirinya penyuka sesama.

Seketika ingatannya kembali mengingat satu tahun terakhir. Di mana selalu ada Jo yang menghiasi hidupnya. Tapi ternyata semuanya palsu.

Viki menjambak rambutnya kasar, mengingat betapa bodoh dirinya. Begitu mudah terperangkap tipuan Jo. Hanya karena kata cinta.

Sesungguhnya Viki ingin sekali sembuh. Tapi dia enggan untuk berkonsultasi dengan dokter. Takut jika bertambah lagi orang yang tahu bahwa dirinya penyuka sesama. Takut akan di cibir banyak orang.

Ketakutan Viki, dengan berbagai alasan selalu terlintas di benaknya. Pernah dirinya menonton video perempuan yang sedang menari atau bergoyang erotis tanpa benang sehelaipun.

Nyatanya, dirinya sama sekali tidak bisa memunculkan nafsu birahinya. Dia merasa biasa saja saat melihatnya.

Dan saat dia melihat lelaki macho yang bergaya seksi dengan perut kotak-kotak, juniornya langsung menegang. Ada hasrat menggebu ingin menyentuh, bahkan memilikinya.

Viki memegang kepalanya. "Tidak bisa, hidup gue akan hancur jika terus seperti ini. Tapi bagaimana caranya." gumam Viki.

Viki berdiri. Manik matanya menatap ke depan lurus dan jauh. Hanya hamparan air danau yang dapat dia lihat.

"Siapapun, siapapun. Tolong aku. Aku terlalu capek. Aku ingin hidup normal. Siapapun yang mendengar, tolong aku.....??!!!" teriak Viki hingga air matanya secara tak sadar luruh.

Tubuh Viki merosot. Berjongkok dengan kedua telapak tangan menutupi wajahnya. Terlihat pundaknya bergerak turun naik. Menandakan dirinya sedang menangis.

"Ommm,,, om menangis. Apanya yang tengelam. Apakah kekasih om." oceh seorang gadis di belakang Viki dengan mata sedang mencari sesuatu di danau. Jikalau ada yang mengapung, itulah yang terlintas dalam pikirannya.

"Tidak ada apa-apa. Kenapa tadi teriak minta tolong. Orang aneh." ucapnya. Dia mengira jika ada yang membutuhkan pertolongan. Atau lebih tepatnya, ada yang tenggelam.

Viki mengusap air matanya. Mendongakkan kepala menatap gadis di sampingnya. "Iiihh,, om kenapa menangis?" tanyanya dengan nada menggemaskan. Viki melihat gadis itu berpakaian lusuh. Dengan sebuah karung berada di pundaknya.

"Dari mana dia datang." batin Viki masih menatapnya.

Pemulung. Dia adalah seorang pemulung. Terdengar di telinganya ada orang berteriak minta tolong saat dirinya sedang mengambil sampah plastik di tepi danau. Segera dia berlari dan menemukan sumber suara.

"Om, tidak apa-apakan?"

"Om." gumam Viki merasa aneh, kenapa dia di panggil om oleh gadis di depannya.

"Om." dia melambaikan tangan di depan Viki. Karena Viki hanya diam dan menatapnya.

"Jangan-jangan, dia kerasukan hantu danau." ucapnya ngaco.

"Apa-apaan kamu bocah!!" teriak Viki saat d

gadis di depannya meniup ubun-ubunnya.

"Om, sadar om. Pasti om sedang kerasukan hantu danau." ucapnya dengan wajah polos.

"Kau ini...!" geram Viki.

"Pergi sana. Kau itu hantunya. Bikin mood gue tambah jelek saja." usir Viki pada gadis berpakaian lusuh di depannya.

"Yakin, om menyuruh saya pergi?" tanyanya kembali.

"Om, om, om. Kami pikir saya om kamu. Saya anak tunggal. Tidak punya kakak. Berhenti panggil saya om." ucap Viki kesal. Karena sedari tadi gadis itu memanggilnya dengan sebutan om.

"Lalu saya harus panggil apa?" tanyanya dengan mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Terserah. Peduli amat gue sama elo." acuh Viki.

"Baiklah. Jika begitu saya permisi dulu pak." ucapnya sontak membuat Viki langsung membulatkan matanya tidak percaya karena gadis itu malah memanggilnya dengan sebutan bapak pada dirinya.

"Kamu..." geram Viki.

"Oh iya pak. Sebaiknya bapak hati-hati. Di sini sepi." ucapnya sambil menengok ke kanan dan kiri, memastikan bahwa dia berkata benar.

Ingin sekali Viki membuka mulutnya. Memaki gadis yang ada di depannya. Tapi gadis itu terlebih dulu mengeluarkan suara lagi.

"Dan lagi, hari sudah mulai petang." ucapnya kembali. Karena memang sekarang sudah sore. Bahkan sudah mendekati senja.

Gadis itu bergerak maju ke arah Viki. Membuat Viki sedikit memundurkan badannya. Viki merasa gadis itu sangat aneh. "Jika sudah gelap, biasanya hantu danau akan muncul. Bapak sebaiknya segera pergi." ucapnya lirih dengan tangan sebelah kanan di angkat keatas, dengan ekor mata memandang ke arah danau.

"Permisi pak." pamitnya dengan sedikit menundukkan kepala dan berlalu meninggalkan Viki.

ViRA 02

Viki menatap badan gadis itu, semakin lama semakin menjauh. Hingga dia berbelok ke arah lain. Membuat Viki tak lagi bisa melihatnya.

Segera Viki mengambil ponselnya. Menyalakan kamera. Melihat wajahnya dari kamera ponsel. "Padahal gue ganteng. Bocah tengik." umpatnya teringat saat gadis tadi memanggilnya om. Dan beralih memanggilnya bapak.

Viki meraba-raba wajahnya. "Memang gue bapak-bapak apa. Gue saja belum menikah." ujarnya kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celananya.

"Menikah." gumam Viki teringat kembali akan keadaan dirinya. "Memang perempuan mana yang mau menikah dengan lelaki seperti diriku." Viki kembali duduk di batu yang sempat dia duduki.

"Lelaki yang tidak bisa memuaskan pasangan di atas ranjang." keluhnya.

Kembali Viki menatap lurus ke arah danau. "Eh..." Viki teringat perkataan gadis barusan.

"Serius apa tidak sih." ucap Viki dengan pandangan ke sekitarnya.

JIKA SUDAH GELAP, BIASANYA HANTU DANAU AKAN MUNCUL.

"Masa iya, di sini ada hantu. Yang benar saja." ucap Viki dengan pandangan terarah ke danau.

"Pasti bocah tengil itu menakut-nakutiku." batin Viki.

Entah mengapa pikiran Viki jadi tak karuan. Ada perasaan takut pada dirinya. "Bocah sialan. Awas saja kalau bertemu lagi." Viki segera meninggalkan tempat itu. Gara-gara gadis tersebut, buku kuduk Viki terasa meremang

Tujuan Viki bukan apartemen. Melainkan rumah kedua orang tuanya.

"Mbok, Mama sama Papa di mana?" tanya Viki pada seorang perempuan berumur yang bekerja di rumah kedua orang tuanya. Mbok sudah bekerja dari Viki masih kecil hingga sekarang.

"Nyonya pergi menemani Tuan, Den." jelasnya.

"Kemana?"

"Katanya Tuan ada pekerjaan di luar kota. Dan Nyonya menemani Tuan." imbuhnya.

Viki hanya manggut-manggut, dan berjalan menuju kamar. Merebahkan badannya. Meski belum membersihkan diri.

tok,,tok,,tok,,

"Masuk, tidak di kunci." teriak Viki masih berada di posisi yang sama.

"Mandi dulu Den. Jangan tidur. Pamali tidur mau maghrib." ucap Mbok mengingatkan Viki.

Viki menghela nafas. Bangun dari tidurnya dan segera membersihkan badan.

Setelah kejadian tersebut, Viki nampak enggan beraktifitas. Bahkan urusan kantor dia serahkan pada Rey, sang asisten. Dirinya beralasan sedang tidak enak badan.

Mustahil jika dirinya berkata jujur pada Rey. Jika Viki sedang mengalami patah hati. Karena selama ini Rey belum pernah melihat Viki menggandeng tangan seorang perempuan. Kecuali Ella.

Dan jika Rey tahu kondisi sebenarnya, bisa-bisa Rey akan hengkang dari posisinya menjadi asistennya. Lantaran merasa terancam.

Dan Rey, sebenarnya dia ragu jika Bossnya sedang sakit. Tapi mau tidak mau dirinya menjalankan perintah atasannya tersebut. Karena biar bagaimanapun juga dia di bayar untuk bekerja.

Pagi hari, Viki sudah di kejutkan dengan kedatangan sahabatnya, Ella. Yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar miliknya. Tanpa mengetuk pintu.

"Ellll...." Viki bangun dan membalikkan tubuh Ella.

"Elo mau bunuh gue." seru Viki dengan wajah kesalnya, saat Ella menaruh bantal di wajah Viki. Kekesalan Viki ditanggapi tawa oleh Ella.

Ella berada di bawah tubuh Viki. Dengan kedua tangan di pegang ke atas kepala oleh Viki. "Elo sih, cuekin gue." Ella cemberut dan memasang raut wajah bete.

"Ngapain ke sini?" tanya Viki.

"Gue takut elo bunuh diri." celetuk Ella.

"Ngaco." timpalnya.

"Elo cantik Ell. Tubuh Elo juga bagus." Ella spontan melepaskan cekalan tangan Viki dan menaruhnya di depan dada.

Viki masih duduk di atas paha Ella. Tak beringsut sedikitpun. "Tapi kenapa gue sama sekali nggak ada getaran apa-apa ya Ell." Viki menundukkan kepala.

"Vik." ucap Ella lirih. Viki beralih dari paha Ella. Duduk di samping Ella.

"Kita kan teman. Mana mungkin elo tertarik sama gue." ucap Ella menghibur Viki.

"Elo nggak usah menghibur gue Ell." ujar Viki.

"Sini." Ella membawa Viki tidur di sampingnya. Mereka tidur dengan posisi miring saling berhadapan.

"Elo pasti sembuh. Pasti ada jalan. Dan ada waktunya. Elo harus yakin. Dan gue, gue akan selalu membantu. Dan berada di samping elo. Kapanpun. Apapun keadaan elo. Gue akan selalu mendukung elo." Ella mengelus pipi Viki.

Viki merangsek ke depan. Memeluk erat tubuh Ella. Terdengar suara tangis dari bibir Viki.

"Beruntung Vano nggak ikut. Yang ada malah keadaan makin runyam." batin Ella.

"Coba saja jika Vano melihat. Pasti akan terjadi perang." batin Ella.

Berdua di atas ranjang. Tidur dan berpelukan. Pasti Vano akan cemburu, meskipun dia tahu bahwa Viki penyuka sesama. Dia tetap tidak akan rela Ella di sentuh lelaki lain.

"Sudah. Cengeng." ejek Ella melepaskan pelukan Viki. "Gue pengap Vik." ujar Ella.

"Kalau gue normal, gue pasti akan jadi pacar elo ya Ell."

"Ngaco." Ella menoyor kepala Viki. "Gue nggak suka sama elo." Viki tertawa mendengar perkataan Ella.

"Dan hebatnya elo Ell. Bisa bertahan sampai sekarang. Dengan satu lelaki." ucap Viki memuji sahabatnya.

"Bukankah kita semua memang hebat. Denis, sebelum dengan Hana. Dia juga mempunyai seorang mantan. Dan kekasihnya, yang bodoh itu meninggalkannya demi lelaki lain. Benar-benar brengsek." Ella teringat kenangan saat kekasih Denis meninggalkan Denis hanya karena seorang lelaki.

"Dan elo. Bukankah elo juga setia. Gue yakin, jika elo sembuh. Elo sama seperti kita. Tidak pernah mempermainkan kata cinta." ucap Ella menghibur Viki.

"Do'akan Ell. Do'akan gue sembuh. Supaya gue bisa merasakan apa yang elo dan Denis rasakan." Viki menatap Ella dengan senyum, tapi jelas tergambar raut wajah sedih di balik senyumannya.

"Gue akan cari cara. Elo tenang saja." ucap Ella tersenyum.

"Elo harus semangat. Laki-laki kok cengeng. Lagi pula masih ada gue dan Denis. Dan juga kedua orang tua kamu."

"Semangat." seru Ella tersenyum.

"Terimakasih." Viko memeluk erat tubuh sahabatnya tersebut.

"Denis nggak bisa datang. Dia ada pekerjaan." Ella menepuk pelan bahu Viki.

"Iya." sahut Viki.

Dan haro berikutnya Viki melakukan aktifitas seperti biasa. Dirinya tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.

Tak lupa, Viki menjual apartemen miliknya. Dirinya benar-benar ingin mengubur kenangan tentang masa lalunya bersama sang kekasih.

"Benar Vik? Kamu nggak lagi nge-prank mama kan?" tanya Nyonya Rahma pada sang anak, saat Viki bilang ingin tinggal bersama mereka. Di rumah ini.

"Mama nggak senang, Viki tinggal di sini?" tanya Viki.

"Bukannya nggak senang. Senang banget." ucap Nyonya Rahma senang. Lantaran selama ini putra semata wayangnya tidak mau tinggal bersama mereka setelah lulus SMA. Viki beralasan ingin mandiri.

"Syukur deh. Kalau kamu mau tinggal bersama kita." ucap Tuan Hendra. Papa Viki dengan santai.

"Setidaknya papa punya teman." imbuhnya, Tuan Hendra melepas kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya. Dan melipat koran yang sedang beliau baca di atas meja depannya.

"Memang selama ini papa tidak punya teman. Kan ada mama." kata Viki.

Tuan Hendra berdiri dari duduknya. Melihat ke arah Viki dan istrinya bergantian. "Teman jika mama mu sedang bad mood."

Segera Tuan Hendra melangkahkan kaki dan meninggalkan ruang santai. "Papaaaa.....apa maksudnya." teriak sang mama, menyusul suaminya.

Spontan Viki menutup telinganya menggunakan kedua telapak tangannya. "Huhhh,,, berapa oktaf tadi." gumam Viki.

ViRA 03

Hari ini Viki bertemu dengan seorang klien di sebuah cafe. Karena pertemuan sudah mencapai kata sepakat. Mereka mengakhiri pertemuan hari ini. Dan kembali ke perusahaan masing-masing.

Betapa kagetnya Viki saat dirinya hendak membuka pintu mobil. Seorang gadis duduk dan bersandar tepat di samping pintu mobil. Membuat Viki tidak bisa membuka pintu mobilnya.

"Apa yang kamu lakukan. Hey, bangun." seru Viki menendang pelan kakinya ke kaki gadis tersebut.

Perempuan tersebut mengucek-ucek matanya. Setelahnya dipandangnya Viki yang berdiri di depannya. Segera dia menyingkir dari tempat duduknya.

"Maaf." cicitnya, karena menghalangi Viki yang hendak masuk ke dalam mobil.

"Bukankah dia perempuan danau waktu itu." batin Viki teringat jika perempuan di depannya sama dengan perempuan yang menakut-nakutinya di danau.

"Bapak..." serunya dengan mata berbinar. Dirinya ternyata juga mengingat Viki.

"Bapak-bapak. Minggir, saya mau lewat." ucap Viki dingin.

"Maaf pak, tadi saya ngantuk banget. Makanya ketiduran di sini." ucapnya sembari tersenyum.

"Kalau ngantuk tidur di kamar. Jangan di tempat seperti ini. Berbahaya." omel Viki.

"Iya pak, maaf. Makasih perhatiannya." ucapnya tersenyum.

"Gue, perhatian sama elo." Viki menunjuk tepat di wajah perempuan tersebut. "Cih, yang benar saja. Gue nggak mau elo mengganggu orang lain." imbuh Viki.

"Paham!!!" seru Viki hingga perempuan tersebut terlonjak kaget. Dan segera menundukkan kepala.

"Vikkk,,,," panggil Ella. Ternyata Ella makan siang di restoran, tepat di sebelah cafe tempat Viki bertemu dengan rekan kerjanya.

"Elll,,, dari mana?" tanya Viki setelah Ella berada di dekatnya.

"Dari restoran, shoping." jawab Ella nyleneh.

"Dasar." Viki memukul pelan lengan Ella. Mata Ella melihat perempuan di samping Viki sedang menunduk.

"Gue nggak ngapa-ngapain dia. Sumpah. Dia tadi tidur deket mobil gue. Ngalangin pintu mobil. Makanya gue bangunin." jelas Viki pada sahabatnya tersebut.

Viki melirik ke arah perempuan tersebut yang masih berdiri di dekatnya. "Elo ngapain masih di sini. Pergi sana." usir Viki dengan nada ketus.

Ella memukul kasar lengan Viki, membuat si empunya meringis dan mengelus lengannya. Seraya cemberut. "Jangan galak-galak."

Ella mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dari dalam dompetnya. "Ini untuk kamu." ucap Ella dengan tangan memberikan uang tersebut.

"Iya, ambil. Untuk kamu." ucap Ella. Karena perempuan tersebut hanya diam sambil memandang ke arah Ella. Dengan tatapan tidak percaya.

"Terlalu banyak Nona." ucapnya sopan.

"Sudah ambil. Jangan pernah menolak rezeki. Nggak baik." rayu Ella.

"Terimakasih." ucapnya tersenyum dan mengambil uang tersebut dari tangan Ella.

"Sok-sok nolak. Di ambil juga." sindir Viki mendapat pelototan dari Ella.

"Matanya, sangat indah." batin Ella saat pandangan mereka bertatapan. Karena mata perempuan tersebut berwarna kebiru-biruan.

Dan Ella yakin, jika orang tuanya pasti seorang yang berkuasa, atau lebih tepatnya seorang bangsawan. Tapi kenapa dia berpakaian seperti ini. Dan menjadi pemulung.

Segera dia menundukkan kepala, merasa Ella melihatnya dengan tatapan berbeda. Apalagi sekarang Ella memindai seluruh tubuhnya.

Kulit yang bersih. Hidung mancung dengan bulu mata lentik, dan juga bibir tipis berwarna merah asli. Semua tidak akan terlihat, karena tertutup dengan penampilannya sebagai seorang pemulung.

Entah kenapa dirinya tidak nyaman dengan pandangan Ella. Segera perempuan tersebut pergi tanpa mengucap sepatah katapun.

"Lihat, dasar bocah tidak tahu berterimakasih." omel Viki melihat dia berlari pergi.

Ella mengalihkan pandangannya ke arah Viki. "Kamu kenal sama dia?" tanya Ella membuat Viki kesal.

"Astaga. Gue nggak kenal Ell, tadi kan sudah gue jelaskan." ujar Viki kesal.

"Ya sudah, gue pergi dulu. Masih banyak pekerjaan." Viki pamit pada sahabatnya tersebut.

Masih setengah perjalanan, Viki melihat gadis itu lagi. Dan sekarang dengan keadaan berbeda. Tampak gadis itu di kelilingi beberapa lelaki. Terlihat dengan jelas dia ketakutan. Mendekap tasnya dengan erat di dadanya.

"Gue tolong apa nggak ya." Viki menghentikan mobilnya. Mengetuk-ngetuk stir mobilnya.

"Kasihan juga. Satu lawan...." Viki menghitung banyaknya lelaki yang berada di samping gadis tersebut.

"Empat. Pasti kalah tu gadi." Viki akhirnya turun dari mobil. Menghampiri mereka.

"Heyy... apa yang kalian lakukan?" seru Viki, menggulung lengan kemejanya ke atas.

"Kami sedang bercanda. Iyakan." ucapnya merangkul gadis tersebut. Tampak raut wajah ketakutan dari gadis tersebut.

"Kami ini teman. Bukan begitu?" ucapnya melihat ke arah gadis tersebut. Tampak gadis tersebut mengangguk cepat, dengan kaku.

"Teman." kata Viki memastikan.

"Iya. Bapak tidak percaya." ujarnya.

"Bapak." batin Viki mendesah. Lagi-lagi dirinya dipanggil bapak.

"Baiklah jika kalian berteman. Aku tidak akan menganggu." ujar Viki membalikkan badan.

"Terimakasih pak, tidak mengganggu kami." ucapnya. Gadis tersebut nampak memejamkan mata. Tadinya dia merasa senang, ada seseorang yang akan menolongnya.

Tapi ternyata dia salah berpikir. Kelihatannya dia memang harus merelakan uang yang di berikan oleh Ella tadi di ambil oleh mereka.

Merasa Viki akan meninggalkan mereka, mereka kembali memandang gadis tersebut. "Cepat, serahkan." ancamnya dengan pisau ditangan, berada tepat di depan perut gadis tersebut.

Pantas saja, gadis tersebut hanya diam dan menurut. Ternyata mereka memegang pisau untuk menakut-nakuti dan mengancam gadis tersebut.

"Hey." kata Viki memegang pundak salah satu dari mereka.

Bugh.. bugh...

Dengan mudah Viki menghajar mereka. Membuat keempat orang tersebut lari. "Ternyata, cuma segitu kemampuan kalian. Preman tengik." seru Viki melihat mereka lari meninggalkan pisau yang tergeletak di tanah.

"Terimakasih pak." tanpa Viki duga, gadis tersebut langsung berhambur memeluk Viki. Sontak Viki langsung mengangkat kedua tangannya ke atas. Seperti tidak ingin menyentuh gadis tersebut.

"Maaf." ucapnya melepaskan pelukannya pada Viki.

"Sekali lagi terimakasih pak." ucapnya sembari mengelap pipinya yang basah karena air mata dengan telapak tangannya.

Viki menunduk, melihat kemejanya yang tadinya putih bersih, sekarang ada aksen warna lain. Coklat.

"Maaf pak." ucapnya menyadari jika kemeja yang dipakai Viki kotor gara-gara dirinya tadi memeluk Viki.

"Ck,, pak, pak, pak. Memang saya bapak kamu." ketus Viki, masih merasa kesal dengan gadis tersebut. Lantaran dia pernah menakut-nakutinya di danau.

Ya ela Vik,,, jangan ngambek. Gitu aja marah.

"Lalu saya harus panggil apa?" tanyanya dengan sopan.

"Tidak perlu memanggil saya. Toh setelah ini saya juga tidak akan bertemu lagi dengan kamu." ucap Viki jutek.

"Saya Nara pak. Terimakasih sekali lagi." ucap Nara. Gadis yang baru saja Viki tolong.

"Aduh, bodo nama kamu siapa. Saya tidak peduli." ucap Viki acuh.

"Astaga, gue harus kembali ke perusahaan. Kerjaan gie masih banyak." ucap Viki.

"Semua gara-gara elo." ketus Viki meninggalkan Nara sendiri.

"Maaf pak. Maaf." seru Nara.

Viki membalikkan badan. "Stop panggil gue pak. Gue bukan bapak elo." seru Viki dengan kesal.

"Terus nanti kalau ketemu lagi panggil apa?" ucap Nara lirih.

Nara menengok ke kanan dan kiri. "Sebaiknya aku segera pergi." gumam Nara berlari meninggalkan tempat tersebut. Nara berpikir, mumpung masih ada Viki. Jadi tidak mungkin mereka mengejar Nara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!