"Ayo buruan, Kak Nina. Jemputan untuk ke sekolah sudah datang tuh!" seru Nita, adik perempuan Nina dengan suara lantang hingga menembus dinding kamar Nina.
"Iya." Nina segera keluar dari kamar tidurnya sambil mengangkat sebuah koper kecil berwarna cokelat. Isinya pakaian beberapa stel dan perlengkapan mandi.
Hari ini ada acara sinau wisata bersama anak didiknya kelas 5 SD ke daerah pegunungan yang sejuk dan indah. Rencananya mereka semua akan menginap di hotel, berenang di waterpark hotel, pergi ke kebun strawberry dan peternakan kelinci. Semuanya adalah fasilitas edukasi yang disediakan hotel bintang lima pilihan Nina.
"Bu, Nita, Nina pergi dulu ya!" Nina membuka pintu ruang tamu rumah mungilnya dan segera menyeret kopernya yang beroda menuju ke mobil jemputan.
"Hati-hati di jalan, Nina," balas ibu.
Nina melambaikan tangan pada ibu dan Nita yang sedang sarapan bubur di meja makan. Mereka berdua tidak mengantar Nina ke halaman, tapi tetap lanjut sarapan.
"Kak Nina terlihat cantik sekali hari ini. Semoga di Prigen bisa ketemu jodoh," gumam Nita yang disambut dengan derai tawa renyah ibu Nina dan Nita.
Well, ibu mana sih yang tidak ingin segera punya mantu? Pasti sudah tak sabar ingin menimang cucu yang lucu dan imut-imut seperti Rayyanza. Sayang Nina, si putri sulungnya belum ingin melepas masa lajang. Boro-boro punya calon suami, seumur hidupnya Nina belum pernah pacaran. Hari-hari Nina selalu disibukkan dengan pekerjaannya sebagai guru SD.
Ya, seperti hari ini contohnya.
Pagi-pagi Nina sudah memesan mobil jemputan agar perjalanan ke tempatnya bekerja lebih nyaman dan datang tepat pada waktunya.
"Selamat pagi, Nona Nina. Tujuan kita adalah SD Tunas Harapan Bangsa ya? Saya siap mengantar Nona ke sana sekarang," ucap sopir mobil jemputan dengan sopan.
"Terima kasih, Pak," balas Nina yang sudah duduk nyaman di dalam kabin mobil, sedangkan tas kopernya sudah tersimpan rapi di bagasi mobil jemputan. Mobil pun mulai melaju dengan kecepatan sedang.
"Kalau boleh saya tahu, apakah ada acara wisata di sekolah, Nona? Saya lihat Nona membawa tas koper. Berarti akan ada acara jalan-jalan dan menginap di hotel," tanya supir mobil jemputan ingin mencairkan suasana sepi.
"Benar, Pak. Saya bersama murid kelas 5 SD mau ke Prigen. Menginap semalam di hotel Srikandi. Doakan semoga acaranya lancar ya, Pak. Pulang pergi semua selamat dan semuanya happy," jawab Nina sambil tersenyum.
"Jangan menginap di hotel Srikandi, Nona!" pinta supir jemputan cepat-cepat.
"Bukankah beberapa hari yang lalu di hotel tersebut ada beberapa anak kecil yang tenggelam dan meninggal di waterpark hotel? Sampai masuk koran dan seantero Surabaya heboh lho," tambahnya.
Nina tersenyum kecil.
"Pihak sekolah dan orang tua murid sudah berdiskusi sebelum memutuskan untuk tetap menginap di hotel Srikandi atau membatalkan acara ini, Pak. Mayoritas berpendapat bahwa kecelakaan tenggelamnya anak-anak kecil itu karena kelalaian orang tua dalam mengawasi anak-anak mereka. Dalam video amartir yang direkam oleh pengunjung kolam renang, terlihat petugas pengawas kolam renang sangat sigap dalam menyelamatkan anak-anak. Sayang nyawa mereka tidak tertolong. Ehm ... Pihak hotel juga, sangat bertanggung jawab dalam penanganan kasus ini. Mereka meminta maaf dengan tulus dan memberikan uang bela sungkawa tanpa bermaksud menghina atau apapun," balas Nina.
"Jadi kalian semua tetap memutuskan menginap di sana padahal sudah ada kejadian buruk beberapa hari lalu? Nona, sepertinya anda terlalu meremehkan masalah ini. Hotel Srikandi itu angker, Nona," tegur supir jemputan.
"Ah, bapak mau nakut-nakutin aja deh!" Nina tertawa kecil mendengar candaan supir mobil jemputan.
"Ih! Saya serius, Nona. Beneran hotel Srikandi itu angker. Beberapa bulan lalu, saya juga pernah mendengar kasus tenggelam beberapa anak kecil di waterpark hotel Srikandi. Tapi kasus ini tidak sampai tercium media karena manager hotel Srikandi menutupinya dengan rapat," ucap supir jemputan.
"Lalu kenapa sekarang bisa tercium media?" tanya Nina penasaran hingga memajukan tubuhnya ke arah depan.
"Managernya diganti, Nona. Dia baru bekerja awal bulan ini. Sepertinya manager baru masih kurang cakap menangani hal begituan," jawab supir jemputan.
"Kok bapak bisa tahu?" tanya Nina penasaran.
"Karena saya adalah penduduk Prigen, Nona. Saya besar di sana. Dan beberapa teman saya bekerja di hotel Srikandi. Sebagai tukang bersih-bersih, tukang rawat kebun strawberry dan ada yang mengurus peternakan kelinci. Jadi info dari teman-teman saya pasti akurat, Nona." Supir jemputan tersenyum bangga.
"Kalau hotel Srikandi angker, kenapa teman-teman bapak masih kerasan kerja di sana? Kan serem tuh kalau kerja digangguin setan," balas Nina ingin membalikkan keadaan.
"Mereka sudah terbiasa dengan gangguan-gangguan dari mahluk gaib, Nona. Kan mereka sudah kerja belasan tahun. Jadi mereka sudah tahu harus apa kalau gangguannya makin parah," jawab supir jemputan.
"Hah? Apa yang mereka lakukan kalau diganggu, Pak?" tanya Nina ingin tahu.
"Berdoa dan keesokan harinya mereka hanya makan nasi putih selama tiga hari, Nona. Ternyata cukup manjur untuk mengusir godaan roh halus," jawab supir jemputan.
"Oh begitu ya caranya, Pak? Terima kasih banyak, Pak." Nina merenung.
Semalam dia bersama guru-guru sekolah yang lain sudah menggelar acara doa bersama agar perjalanan hari ini lancar. Dan sudah dua hari ini, Nina hanya makan nasi putih tanpa topping apa pun karena Nina takut sakit perut, ke kamar mandi bolak balik jika dua hari menjelang acara sinau wisata, makanannya tidak karu-karuan.
Baiklah, kalau memang berdoa dan puasa hanya makan nasi putih saja sanggup mengusir gangguan mahluk gaib, aku akan berdoa dan terus makan nasi putih saja sampai acara sinau wisata selesai, batin Nina.
"Ingat pesan saya, Nona. Selalu awasi murid-murid anda dengan baik. Kalau perlu minta bantuan pihak hotel untuk memantau anak didik anda. Perbanyak doa dan berpuasa mutih, Nona," ucap supir mobil jemputan.
"Terima kasih banyak untuk petunjuknya, Pak."
"Sudah sampai tujuan, Nona. Selamat jalan."
Nina membuka pintu mobil lalu turun dari mobil. Supir mobil jemputan dengan sigap membuka bagasi mobil dan menurunkan koper Nina.
Manik mata Nita membulat saat melihat tangan kanan supir mobil jemputannya. Ada tatto wayang wanita di sana. Berwarna merah menyala.
"Wayang srikandi, Pak?" tanya Nina yang langsung tahu nama tokoh wayang tersebut, karena ia sangat menyukai cerita pewayangan.
Supir mobil jemputan buru-buru menarik lengan bajunya yang tertarik ke atas saat mengambil koper Nina dari bagasi.
Nina tersenyum kecil.
Baiklah, tidak masalah jika pak supir tidak mau menjawab pertanyaanku malah menutupi tattonya. Mungkin ada syarat dari pihak ojol kalau pengemudi ojol dilarang punya tatto di tubuhnya, batin Nina.
"Terima kasih banyak, Pak." Nina berpamitan pada supir mobil sambil membawa tas kopernya. Menghampiri bus sekolah yang terparkir di tepi jalan. Nina memasukkan kopernya ke bagian samping bus, lalu masuk ke halaman sekolah.
"Selamat pagi, Bu Nina," salam beberapa anak didik kelas 5 yang mengenakan kaos hijau dipadu celana panjang warna gelap. Mereka berkumpul di halaman sekolah sembari menunggu detik-detik keberangkatan.
"Pagi, Anak-anak. Sebelum kita berangkat jangan lupa berdoa ya. Selalu ikuti petunjuk bapak ibu guru. Jangan nakal ya," pesan Nina pada anak-anak.
"Nina, barusan datang kamu?" Irene, guru BK yang juga ikut mendampingi sinau wisata menepuk bahu Nina.
"Iya, aku barusan datang. Emang kamu udah datang dari tadi?" tanya Nina sambil memperhatikan penampilan Irene yang super cantik dengan balutan kaos polo warna merah dan celana jeans biru ketat.
"Aku juga barusan datang. Hari ini kamu cantik sekali, Nina. Kaos polo warna merah memang cocok buatmu. Warna putih kulitmu jadi makin bercahaya," jawab Irene.
"Kamu juga kelihatan cantik pakai baju merah. Kita foto dulu yuk sebelum berangkat. Ayo anak-anak kita foto ramai-ramai," balas Nina sambil merangkul bahu sahabatnya dan berfoto wefie di ponsel bersama anak didiknya.
Klik! Foto mereka semua terlihat keren.
"Terima kasih, Anak-anak. Nanti Ibu bagikan fotonya lewat WA ya," ujar Nina.
"Sama-sama, Bu," sahut murid-murid Nina.
"Aku tadi naik ojek online kemari. Kamu tahu apa yang dikatakan pengemudi ojol kepadaku?" tanya Irene sambil mengapit lengan tangan Nina menjauh dari kerumunan anak-anak.
"Sorry, aku bukan cenayang yang bisa meramal. Jadi, langsung aja ceritain apa percakapanmu dengan supir ojol," sahut Nina tidak suka main tebak-tebakan. Kecuali jika berhadiah voucher belanja.
"Supir ojol bilang kalau hotel Srikandi itu angker. Trus, dia minta aku supaya banyak doa dan puasa mutih supaya dijauhkan dari gangguan roh halus," jawab Irene singkat.
"Apa? Supir ojol kamu bilang gitu?" tanya Nina tak percaya. Detak jantungnya mulai berdebar aneh. Bulu kuduknya juga mulai merinding.
Bagaimana mungkin supir ojol Irene juga mengatakan hal yang sama dengan supir mobil jemputan yang ditumpanginya? Ini kebetulan atau ini firasat buruk sebelum keberangkatan? batin Nina.
Irene mengangguk lalu kembali berbicara.
"Dan anehnya lagi, supir ojol itu memakai kaos putih bergambar wayang srikandi. Jadi makin kelihatan serem kan kalau habis dikasih tahu hotel Srikandi itu angker lalu bapak supir ojol juga pakai kaos gambar Srikandi," tutur Irene dengan wajah gelisah.
Nina menggigit bibirnya supaya tidak lancang membuka mulut dan membuat Irene yang penakut menjadi lebih takut lagi. Supir ojol Nina juga meminta hal yang sama dan memiliki tatto Srikandi di tangannya. Sungguh suatu kebetulan yang menakutkan.
"Hai, Irene! Hai, Nina! Buruan masuk ke ruang guru yuk! Semua udah nunggu nih! Ada yang perlu kita bicarakan sebelum berangkat ke Prigen," seru Ratna, guru kelas 4 SD.
Nina dan Irene pun segera mengikuti Ratna ke ruang guru. Karena melihat raut wajah Ratna yang senewen berarti ada masalah besar yang harus dibahas sebelum keberangkatan.
Kriet! Pintu ruang guru dibuka oleh Ratna. Suara guru-guru sedang berdebat dengan orang tua pendamping sinau wisata terdengar.
"Itu hanya sms iseng saja, Bu. Jangan terlalu dipikirkan seperti itu. Kasihan anak-anak, mereka sudah berkemas dan datang ke sekolah. Tidak mungkin kita suruh mereka pulang karena sinau wisata dibatalkan," ucap Budi, guru olah raga sekaligus ketua acara sinau wisata hari ini.
"Kita juga sudah membayar penuh penginapan dan sewa busnya, Bu. Kalau kita batalkan di hari H seperti ini, pihak hotel dan bus tidak akan mengembalikan uang pembayaran kita. Orang tua murid yang lain pasti akan kecewa dan marah jika kita membatalkannya secara sepihak," tambah Voni selaku bendahara acara.
Nina dan Irene menoleh ke arah Ratna. Mereka berdua meminta penjelasan kenapa guru dan orang tua murid pendamping sinau wisata ribut seperti ini.
"Beberapa orang tua murid mendapat sms dari nomer tak dikenal yang berisi peringatan untuk tidak melanjutkan acara sinau wisata hari ini," jelas Ratna dengan suara lirih.
"Seperti apa sms-nya?" tanya Irene penasaran.
Ratna menunjukkan ponselnya. Di layar whatsapp terlihat fowardan sms dari orang tua murid pendamping.
"Batalkan sinau wisata jika tidak ingin anak kalian celaka," ucap Irene saat membaca pesan di whatsapp.
Bulu kuduk Nina kembali meremang. Sudah banyak orang yang memperingatkannya bahwa acara sinau wisata ini dibatalkan.
Apakah sinau wisata ini masih tetap akan berjalan? Bagaimana jika peringatan-peringatan tersebut tidak dihiraukan? Apakah anak-anak akan celaka?
Nina sudah ingin membuka mulutnya untuk melayangkan keinginannya untuk menunda acara sinau wisata atau mungkin memberikan alternatif dengan mengganti penginapannya. Tidak lagi menginap di hotel Srikandi yang angker itu. Tapi belum sempat Nina berbicara, tiba-tiba ...
Ting! Sebuah pesan masuk ke ponsel Nina. Pesan dari tante Ima. Seorang wanita tua yang sudah menjadi tetangga Nina beberapa bulan ini. Beliau sering menasehati Nina agar puasa mutih (hanya makan nasi putih dan minum air putih) tiap akan bepergian bersama anak didiknya. Katanya agar jauh dari kesialan.
Nina segera membaca pesan dari Tante Ima.
"Sebaiknya sinau wisata ini dibatalkan," gumam Nina saat membaca pesan teks dari tante Ima. Dengan cepat jari jemari Nina membalas pesan teks. 'Kenapa harus dibatalkan, Tante?'
Ting! Pesan balasan dari Tante Ima masuk.
"Coba lihat fotomu di ponselmu," gumam Nina. Dahinya sedikit mengernyit bingung.
Kenapa Tante Ima menyuruhku melihat foto di ponselku? batin Nina sembari membuka galeri fotonya. Melihat foto wefie terbarunya bersama Irene dan yang beberapa menit lalu tersimpan di ponselnya.
Prak! Ponsel Nina terjatuh ke lantai karena jemari tangan Nina mendadak lemas hingga membuat ponselnya lepas dari genggaman.
"Nina, ada apa?" tanya Irene langsung berjongkok untuk mengambil ponsel Nina. Begitu Irene melihat layar ponsel Nina. Irene langsung pingsan seketika.
"Irene!" Nina dan Ratna langsung memapah tubuh Irene, mendudukkannya di kursi dan memijat tengkuknya dengan minyak kayu putih yang ada di dalam saku celana Nina.
"Ada apa? Kok Irene tiba-tiba pingsan?" tanya Ratna kaget.
Nina menyodorkan ponselnya pada Ratna. Layar ponsel memperlihatkan foto anak-anak didik yang diajaknya wefie bersama. Wajah mereka seperti terkena pantulan sinar matahari sehingga wajah mereka tertutupi bulatan warna putih. Hanya foto Nina dan Irene saja yang terlihat wajahnya. Tentu saja Irene ketakutan hingga pingsan.
"Kamu pakai filter apa di ponsel?" tanya Ratna dengan nada biasa-biasa saja.
Nina menggelengkan kepalanya. Ia tidak pernah menyetting filter apa pun di ponsel. Jadi foto di ponselnya bukan foto editan untuk menakut-nakuti orang. Terutama Irene si penakut.
"Mungkin sudut pengambilan fotonya tidak pas sehingga wajah anak-anak jadi terkena sinar matahari," dalih Nina tidak ingin mempercayai firasat buruk yang makin menumpuk.
Nina mengambil ponselnya dan mem-foward fotonya pada Tante Ima.
Ting! Pesan masuk ke ponsel Nina.
"Perhatikan anak-anak tersebut. Jangan sampai mereka tewas tenggelam," gumam Nina saat membaca pesan dari Tante Ima.
Bulu kuduk Nina kembali meremang. Rasa takut mulai mencekam.
Tewas tenggelam? Itu tidak mungkin terjadi. Karena foto anak-anak yang tertutup bulatan putih di bagian wajah adalah foto anak-anak didiknya yang ikut ekskull renang. Mereka semua dapat berenang dengan baik. Nina ingat kalau guru ekskull renang pernah memuji kehebatan mereka. Mereka tidak hanya pandai berenang, lompat tinggi tapi juga sanggup menahan nafas lama di dalam air.
Nina menggelengkan kepalanya, menepuk dadanya untuk menetramkan debur jantungnya yang lebih cepat dari biasanya.
"Silahkan kalau para guru tetap ingin melanjutkan sinau wisata. Kami selaku orang tua pendamping sudah memperingatkan pihak sekolah. Kami memutuskan untuk menarik anak kami dari acara sinau wisata hari ini," ucap salah satu orang tua pendamping dengan suara lantang. Membuat Nina dan Ratna langsung memandang ke arah sumber suara.
"Baiklah. Silahkan saja jika tidak ingin ikut acara. Sinau wisata mungkin akan sedikit terlambat dari jadwal keberangkatan. Tapi akan tetap berangkat sesuai rencana," balas Budi dengan suara tegas penuh keyakinan.
Irene mengerjabkan matanya. Siuman dari pingsannya tepat setelah mendengar keputusan final dari ketua acara sinau wisata.
"Nina, aku ijin tidak ikut acara saja ya. Aku kurang enak badan," ucap Irene dengan wajah pucat pasi.
Nina menganggukkan kepala. Lebih baik Irene tetap di Surabaya saja. Daripada di Prigen nanti, Irene bolak balik pingsan karena ketakutan.
"Aku akan meminta ijin pada kepala sekolah agar kamu tidak ikut acara sinau wisata. Kamu mau ke UKS atau tunggu di sini?" tanya Nina perhatian pada sahabatnya.
"Aku mau ke toilet. Sepertinya aku harus cuci muka biar segar," jawab Irene sembari mencoba berdiri dibantu Ratna.
"Aku temani ke toilet. Aku juga mau ke wc dulu sebelum berangkat. Biar nanti tidak kebelet pipis kalau sudah duduk di bus," ajak Ratna.
Irene mengangguk lalu keluar ruang guru ditemani Ratna. Melewati koridor ruangan yang dipenuhi etalase berisi piala, medali dan foto-foto siswa berbakat yang mendulang prestasi selama sekolah di SD Tunas Harapan Bangsa Surabaya.
Prang! Irene dan Ratna terperanjat kaget hingga menoleh ke samping. Memperhatikan sebuah piala besar yang tiba-tiba miring ke depan hingga membentur dinding etalase kaca dan pecah. Bahkan piala besar itu terguling hingga jatuh dari etalase. Tepat saat Irene dan Ratna hendak melintas.
Irene dan Ratna saling berpegangan tangan saking takutnya. Mulut mereka komat kamit melantunkan doa-doa sebanyak tiga kali sebelum mereka mendekati piala besar yang jatuh di lantai.
Ratna membungkukkan badannya lalu mengambil piala tersebut. Membolak balikkan piala tersebut sambil tak henti-hentinya berpikir bagaimana piala sebesar ini tiba-tiba jatuh, memecah etalase kaca dan jatuh ke lantai.
"Piala apa itu, Rat? Bikin jantungku mau copot saja," ucap Irene dengan wajah makin seputih kertas.
"Piala kejuaran renang beregu," jawab Ratna sembari memeluk piala besar itu, berniat ingin membawa piala tersebut kembali ke ruang guru. Lalu meminta petugas cleaning servis untuk membersihkan pecahan kaca yang tercecer di lantai koridor.
Irene membelalakkan matanya.
"Apakah piala itu milik murid kelas 5 yang ikut ekskull renang tahun ini?" tanya Irene ketakutan.
Ratna mengangguk lalu menunjuk pigura foto yang memperlihatkan foto perenang beregu anak-anak yang berhasil meraih juara satu.
Irene melirik ke arah etalase dan melihat foto di dalam pigura. Ia langsung menyadari bahwa foto anak-anak dengan wajah buram tertutup bulatan putih di ponsel Nina adalah foto anak-anak yang sama dengan foto di pigura.
"Ya Tuhan, ini tidak mungkin. Kenapa ada kebetulan-kebetulan seperti ini? Sangat tidak masuk akal sekali," seru Irene mulai menitikkan air mata ketakutan.
"Ada apa, Irene?" tanya Ratna masih belum paham dengan firasat buruk yang mungkin akan berakibat fatal pada anak-anak yang ikut ekskull berenang.
Irene segera menceritakan semuanya pada Ratna. Tapi sepertinya Ratna bukanlah seorang guru yang percaya dengan cerita-cerita aneh yang mengarah pada hal-hal horor semacam itu.
"Kamu terlalu banyak berpikir aneh-aneh, Irene. Aku percaya dengan kuasa Tuhan, semua hal-hal seperti ini tidak akan terjadi. Kita semua akan dijauhkan dari mara bahaya. Tuhan akan selalu melindungi kita semua," tegas Ratna yang memang dikenal sebagai guru yang optimis dan tidak percaya dengan firasat-firasat buruk semacam ini.
"Tapi, Rat. Kamu tetap harus berhati-hati dan terus mengawasi anak-anak ekskull renang saat mereka berenang di waterpark hotel. Jangan sampai mereka kenapa-kenapa. Ingat anak-anak adalah tanggung jawab sekolah. Jangan sembrono dan tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang sudah Tuhan berikan sebelumnya. Ingat! Tuhan sudah memberikan peringatan pada kita sebelum acara sinau wisara berlangsung. Alangkah baiknya jika kita selalu waspada," pinta Irene.
"Baiklah. Aku akan memberitahu Pak Budi agar beliau juga ikut mengawasi dan memperhatikan murid ekskull berenang,. Untuk berjaga-jaga. Karena aku kan tidak bisa berenang. Jika seandainya ada yang tenggelam, aku tidak dapat menolong. Pak Budilah yang paling jago berenang," tukas Ratna.
Irene mengangguk.
"Aku akan meminta orang tua dan semua siswa siswi SD Tunas Harapan Bangsa untuk selalu mendoakan kalian semua. Berhati-hatilah."
Irene kembali meneruskan perjalanannya ke toilet. Sementara Ratna kembali ke ruang guru sambil membawa piala besar.
***
'Semua sudah siap berangkat?" tanya Budi kepada para muridnya setelah selesai berdoa di dalam bus. Sesuai dengan permintaan Ratna, Budi akhirnya satu bus dengan anak-anak yang ikut ekskull berenang.
"Siap, Pak. Ayo berangkat!" seru para murid dengan antusias. Mereka bertepuk tangan, bahkan ada yang menepuk-nepuk kaca bus agar suasana makin meriah.
"Baiklah. Kalau begitu bus satu dan dua berangkat lebih dahulu," ucap Budi setelah mendengar kabar kalau bus tiga tiba-tiba mogok sehingga harus menunggu bus berikutnya datang menjemput.
"Asyik! Akhirnya kita berangkat." Para murid bersorak girang.
"Sudah terlambat satu jam dari rencana. Untung akhirnya berangkat juga," sahut Rachel, ketua ekskull berenang yang terlihat cantik dan tubuhnya paling tinggi di antara teman-teman sebayanya.
Nina tersenyum kecil mendengar ucapan Rachel. Well, Nina sengaja memilih untuk duduk tepat di sebelah Rachel agar lebih mudah mengawasi murid-muridnya yang masuk di ekskull renang. Perhatiannya tidak boleh teralihkan sedikit pun agar murid-muridnya tidak pulang hanya dengan membawa nama. Tapi selamat sampai di rumah.
Selama perjalanan yang memakan waktu 1 jam lebih sedikit itu, Nina menghabiskan waktunya untuk mencari tahu tentang informasi korban-korban yang tenggelam di hotel Srikandi beberapa hari lalu, lewat ponselnya yang super tangguh. Jatuh berulang kali, tapi gak pernah error sekali pun.
Total ada tiga korban anak perempuan. Usianya rata-rata sembilan sampai sebelas tahun.
"Berarti sekitar kelas tiga sampai kelas lima SD," gumam Nina lirih kembali menekuri pencariannya di layar ponsel.
Ketiga korban tersebut tenggelam di hari yang sama dan waktu yang sama. Tetapi lokasi tempat mereka tenggelam berbeda-beda. Dua anak tenggelam di kolam sebelah kanan. Sedangkan satu anak tenggelam di kolam anak-anak yang kedalamannya hanya 50 centimeter.
Nina semakin tertarik dengan berita kasus tenggelam di hotel Srikandi.
Bagaimana mungkin anak setinggi 130 centimeter dapat tenggelam di kolam sedalam 50 centimeter? Kolamnya hanya terisi air setinggi pahanya. Jika saja anak perempuan itu terpeleset di kolam, pasti dapat segera berdiri ke atas. Kemungkinan untuk tenggelam di kolam sedangkal itu sangat kecil. Paling-paling hanya meminum air kolam dalam jumlah kecil. Tidak sampai merenggut nyawanya, batin Nina.
"Lain lagi dengan dua korban yang lainnya, mereka tenggelam di kolam yang agak dalam. 120 centi meter. Itu masih masuk di akal. Karena anak kelas 5 SD tingginya sekitar 140-150 centi meter," gumam Nina.
"Bu Nina kok ngomong sendiri?" tanya Rachel sambil tersenyum kecil. Kedua lesung pipi Rachel membuat Nina mengagumi kecantikan siswinya yang satu ini.
"Hanya bergumam kecil," sahut Nina singkat.
"Lagi baca berita apaan, Bu? Kok kelihatan serius sekali?" tanya Rachel lagi.
Nina menyodorkan ponselnya ke hadapan Rachel agar Rachel bisa membaca judulnya.
"Oh, berita itu ya, Bu. Saya mengenal salah satu korbannya, Bu," ucap Rachel yang langsung membuat Nina menegakkan tubuhnya dengan cepat.
"Bagaimana kamu bisa mengenalnya?" Nina bertanya dengan wajah penasaran.
Rachel tersenyum lagi.
"Sebenarnya ada lima korban, Bu Nina. Tapi hanya tiga korban tenggelam yang meninggal dunia. Kebetulan teman saya itu termasuk salah satu korban yang berhasil selamat. Namanya tidak dimuat di media cetak maupun media online," jawab Rachel.
"Berarti media menutupi kenyataan yang ada di lapangan," potong Nina kurang setuju dengan pengurangan jumlah korban tenggelam di waterpark hotel Srikandi.
Walaupun tidak meninggal dunia, seharusnya dua korban tenggelam lainnya juga dicatat di media. Hal itu pasti akan menjadi bahan pertimbangan bagi guru dan orang tua murid saat memutuskan tetap menjalankan sinau wisata atau tidak. Jika korbannya banyak, mereka semua pasti akan berpikir ulang dan membatalkan rencana sinau wisatanya.
Rachel menganggukkan kepalanya.
"Kasihan teman saya itu, Bu. Setelah tenggelam di kolam renang bersama temannya, sekarang dia sering mimpi buruk, Bu. Badannya juga demam tinggi dan sampai sekarang masih dirawat di rumah sakit," jelas Rachel.
"Mimpi buruk?"
"Iya, teman saya itu bermimpi kalau saat berenang di kolam renang, kakinya ditarik oleh wanita tua berkonde, Bu. Katanya, wanita tua itu berenang dengan memakai jarik cokelat dan mengejarnya terus menerus di dalam air. Walaupun pakai jarik, tetap bisa mengejar dengan cepat lho, Bu. Ih! Serem banget mimpinya," jawab Rachel sambil bergidik ketakutan.
"Teman kamu pandai berenang?" tanya Nina penasaran.
Rachel mengangguk.
"Teman saya itu siap jadi atlit, Bu. Jago banget berenangnya. Dia ikut club renang yang paling top di Surabaya. Kami berteman karena kami pernah satu club renang," ucap Rachel.
Nina yang mendengar cerita Rachel mulai kehilangan nyali. Serem banget sih! Jago berenang tapi bisa tenggelam. Dan mungkin saja itu bukan mimpi buruk. Tapi teman Rachel benar-benar dikejar wanita tua berkonde dan berjarik di dalam air. Wanita tua itu menarik kakinya, ingin menenggelamkannya ke dasar kolam sampai tewas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!