Seorang wanita dengan gemetar diam-diam mengamati seorang lelaki dan seorang wanita lainnya dari luar pagar. Dia tengah hamil, sesekali ia memegangi perut buncitnya yang tiba-tiba terasa nyeri.
Ucapan wanita bersama lelaki itu membuatnya ternganga. Air matanya pun seketika mengalir deras. Ia tak tahan, lalu melangkah mendekat dengan susah payah.
"Apa ini?" Teriaknya mengejutkan sepasang manusia di hadapannya.
"Wu-Wulan...?" Lelaki itu terkejut akan kedatangan dirinya yang memang tiba-tiba.
"Jadi, kamu, Wulan?" Timpal wanita yang sedang bersama lelaki itu.
"Iya, saya, Wulan.... Istri Dean Fernando... Kamu siapa? Kenapa meminta suamiku untuk menikahi kamu secara resmi?" Tanya Wulan dengan bengis. Tatapannya seolah tak percaya jika perempuan di hadapannya tampak tidak peduli atas pengakuannya sebagai istri sah.
Sebelum menyahut, wanita itu tersenyum seolah mencibir. "Aku ini, sama sepertimu... Sama-sama istri sah... Bedanya, kamu istri sah yang terlihat, sedang aku hanya perempuan yang selalu memperjuangkan haknya dari suami kita ini... Aku butuh Pengakuan darinya..." Tutur perempuan itu dengan sombongnya.
"Sandra...!" Lelaki itu meneriakinya, mencoba menahan ucapan-ucapan yang akan keluar kembali dari mulut perempuan itu.
"Kenapa, Pa? Kamu takut?" Perempuan itu tak kalah berteriak.
"Pa? Suami kita? Apa ini, Yan?" Tubuh Wulan semakin gemetar. Air matanya kembali tak tertahan. Segala macam dugaan bentuk hubungan antara suaminya dan perempuan asing di hadapannya itu berkelana di dalam benaknya.
Ia berusaha tetap tenang, meski nyeri semakin menyakiti perutnya.
"Dia harus tahu semuanya, Pa... Sudah waktunya dia tahu... Aku tidak mau kamu meninggalkan aku hanya karena kamu akan memiliki anak darinya..." Sandra berkata dengan amarah, sementara Wulan terus saja menangis menantikan pernyataan keduanya.
Dean menggeleng keras. "Diam kamu, Sandra... Aku sudah bilang, itu tidak akan pernah terjadi." Ia menarik lengan Wulan untuk segera pergi dari sana.
"Cukup, Yan... Biarkan aku mendengar semuanya... Aku tidak ingin ada kebohongan lagi... Aku selalu merasa kamu penuh rahasia jika bersamaku... Aku tidak lagi melihat kejujuran dari segala tindakanmu, ucapanmu dan bahkan dari tatapan matamu, Yan..." Wulan menahan lengannya. Ia berusaha tetap tegar.
"Tapi, Wulan..." Bantah Dean. Wajahnya mulai cemas.
"Kamu lihat sendiri, kan, Pa... Wulan ini juga perempuan. Dia pasti juga mampu memahami perasaan perempuan lainnya, termasuk aku, selirnya..." Ketus Sandra merasa menang.
Dahi Wulan mengernyit, wajahnya yang basah pun memucat.
"Cepat katakan..." Wulan berteriak, namun wajahnya tampak memelas. Ia berharap mendadak tuli, agar ia tidak mendengar apapun yang akan menyakiti hatinya.
"Duta...!" Sandra malah menyerukan nama lainnya, membuat Dean terlihat salah tingkah. Dan melihat perubahan wajah Dean, hal itu juga mampu membuat Wulan semakin penasaran akan hal apa yang sebenarnya telah terjadi.
Tak lama, seorang bocah berusia empat tahunan keluar dari dalam rumah.
"Mama memanggilku?" Tanya bocah itu seraya berlari kearahnya. Wajah bocah itu berseri ketika melihat sosok Dean juga berada disana.
"Papa... Papa datang, Ma?" Duta berjalan kearah Dean, lalu bergelayut manja di kakinya.
"Sandra, tolong untuk kali ini kamu bawa Duta ke dalam..." Perintah Dean dengan bibir bergetar. Matanya tak luput memerhatikan Wulan yang tampak semakin melemah di sampingnya.
"Papa..." Panggil bocah itu lagi.
"Sayang, kamu sama mama dulu, ya... Papa ada pekerjaan, Sayang..." Bujuk Dean pada Duta mungil yang tak tahu apa-apa.
"Apa ini? Apa, Yan? Kenapa kamu melakukannya kepadaku?" Isak wulan melemah. Ia perlahan terduduk.
"Kita pulang, Wulan... Aku akan jelaskan nanti kepadamu." Ajak Dean berusaha menangkan Wulan yang dikuasai kepedihan.
Sandra mengambil alih Duta, lalu menyuruh bocah itu kembali masuk. "Setahun menikah denganmu, Dean tak kunjung memiliki anak. Ia frustasi... Sementara kedua orang tuanya menginginkan cucu sebagai ahli waris seluruh kekayaan Fernando..."
"Lalu dengan itu kamu memutuskan untuk melakukan perselingkuhan ini dengannya, Yan?" Potong Wulan cepat. Amarah dalam dirinya semakin memuncak. "Tega kamu, Yan... Setahun pernikahan kita? Lalu kamu sudah menyembunyikan ini semua dariku selama lima tahunan ini? Astaga... Kamu benar-benar jahat, Yan..."
"Bukan begitu, Wulan..." Ucap Dean berharap pengertian dari Wulan.
"Lalu bagaimana, Yan? Rasanya, mustahil mendengar banyak penjelasan lagi dari kamu... Hasilnya akan tetap sama... Kamu berbohong... Menodai pernikahan kita... Mengingkari semua janjimu..." Ucap Wulan menggebu. Menuding Dean tanpa ampun.
"Aku benci kamu, Yan... Aku benci..." Wulan berusaha bangkit, namun sakit di dalam hatinya membuat ia tak berdaya, lalu tersungkur disana.
"Wulan!" Pekik Dean. Ia segera mengangkat tubuh Wulan dan membawanya ke dalam mobil yang sedari tadi terparkir disana. Sementara Sandra berdiri tak peduli menatap Dean yang perlahan menghilang bersama mobil itu.
.
.
.
.
Dua puluh tujuh tahun berlalu, Sandra berhasil menjadi Nyonya Dean menggantikan Wulan. Iya masih sama, hanya saja ia tak mampu menguasai Dean seutuhnya. Dean Fernando berubah menjadi lelaki paruh baya yang dingin.
"Dalvin...!"
Baru saja ia turun dari mobilnya, suaranya yang garang memanggil seseorang dari dalam rumahnya yang megah.
"Ada apa, Pa?" Lelaki muda datang menghampirinya.
"Tunggu Papa dalam lima menit di sana. Ada yang harus Papa sampaikan kepadamu..." Perintah Dean, lalu ia berjalan ke arah kamarnya.
Meski bingung, lelaki muda yang memanggilinya dengan sebutan papa itu pun menurut. Ia segera melangkah ke sofa di ruang keluarga yang ditunjuk Dean tadi.
Ada apa Papa memanggilku? Kenapa aku mendadak cemas begini? Batin Dalvin.
Lima menit berjalan, tampak Dean yang telah berganti pakaian mengarah ke tempatnya. Sementara di samping Dean, Sandra mengikut layaknya ibu negara yang selalu setia mendampingi bapak presiden.
"Ada apa Papa memanggilku?" Tanya Dalvin penuh selidik.
Tak beda dengan Sandra, ia juga menunggui Dean berbicara. Ia tampak tidak mengetahui maksud suaminya itu.
"Papa ingin menjodohkan kamu dengan seorang gadis. Dia..."
"Apa, Pah? Dijodohkan?" Potong Dalvin cepat. "Harusnya Papa sadar, sebelum Papa mengatakan ini kepadaku, Papa sudah akan tahu jawabannya. Jangan semuanya semau Papa..." Ketus Dalvin seraya bangkit hendak meninggalkan kedua orang tuanya.
"Tetapi jika ini adalah amanah mendiang mama kandungmu bagaimana, Vin?" Ucap Dean datar tanpa paksaan.
Langkah Dalvin terhenti seketika. Matanya memerah, emosinya semakin meletup-letup di dalam dadanya.
"Tapi, aku memiliki perempuan yang aku suka, Pa..." Protesnya dengan suara melunak.
"Itu terserah kamu, Vin... Papa tidak akan memaksamu... Setidaknya kamu pikirkan ucapan Papa tadi..." Dean berucap santai. Lalu menepuk pelan bahu Dalvin sebelum berlalu meninggalkan putranya yang dirundung kegalauan oleh ucapannya.
Dalvin melangkah gontai menuju ke kamarnya. Ia menghampiri meja di samping tempat tidurnya, dan matanya tak henti menatap sebuah foto disana.
"Jika seandainya ini bukan permintaan Mama, mungkin aku akan tetap menerima perjodohan itu, Ma... Asal, Papa menatapku sebagaimana bapak di luaran sana yang menatap anaknya dengan penuh kasih..." Dalvin berbicara seolah sedang curhat dengan mamanya lewat foto itu. Foto Wulan ketika tersenyum bahagia sambil memegangi perut buncitnya dalam mengandung Dalvin dulu.
Dalvin Fernando, dia tumbuh dewasa dalam lingkungan yang sama sekali tidak mendukungnya. Ibu tiri yang selalu menatapnya dengan tatapan tidak suka, dan kakak tiri yang selalu merebut apa maunya, meski kakak tirinya tak menyukai itu.
Ketika melahirkan dirinya, ibunya mengalami perdarahan hebat dan tidak terselamatkan. Setelah sebulan menduda, Dean pun meresmikan hubungan pernikahannya dengan Sandra.
Tatapan kosong papanya, membuat ia merasa rendah diri dan bersalah, berpikir bahwa ia penyebab kematian ibunya.
Dalvin membuka ponselnya, lalu mencari galeri photo. Dia menatap sendu seorang gadis di dalam ponselnya itu.
"Baru saja aku berniat mengakui perasaanku padamu, Amira..." Ucapnya sendu.
Tanpa ia sadari, seorang pria muda lainnya tengah mengintipnya sedari tadi, bahkan sejak ia tengah bicara dengan papanya.
****
"Amira? Bukankah dia gadis yang selalu bersama Dalvin di kampusnya dulu? Bukankah katanya, ia tak menyukai gadis itu? Kalau tidak salah, papanya direktur di PT Angkasa Raya..."
Lelaki yang diam-diam mengamati Dalvin sedari tadi tidak lain kakak tirinya, Duta Fernando. Seringai licik menghiasi wajahnya yang tak kalah tampan. Sebuah rencana telah menari di dalam benaknya.
Lihat saja, Vin... Kamu akan menyerah kalah lagi dariku... Amira akan jatuh ke dalam pelukanku dalam waktu sesingkatnya...
Duta bergegas menjalankan aksinya. Tidak tahu kenapa, ia begitu tidak menyukai kehadiran Dalvin dalam hidupnya. Dari dulu, bahkan dari Dalvin masih bayi baru lahir. Ia berpikir, kehadiran Dalvin membuat kasih sayang papanya berkurang terhadapnya. Ia juga berpikir, semenjak Dalvin ada, kedua orang tuanya sering bertengkar.
Dalvin kecil begitu berisik dengan tangisannya, dan entah mengapa, tidak menyukai Dalvin menjadi kebiasaan bagi dirinya hingga mereka sama-sama dewasa.
"Sayang, kamu mau kemana?" Seruan Sandra menghentikan langkah Duta.
"Keluar sebentar, Ma... Ada meeting mendadak..." Sahut Duta berbohong. Ia mendekat kearah Sandra, lalu mengecup pipi mamanya.
"Jadi anak kebanggaan papamu, ya... Biar kamu tidak tergeser dari perusahaan..." Pesan Sandra begitu percaya jika Duta adalah yang terbaik dari siapapun.
"Siip, Ma... Mama tenang saja..." Duta keluar rumah dengan wajah berseri kegirangan. Dia memang meeting, tetapi bersama Amira yang sudah sempat ia hubungi sebelumnya. Ia tidak peduli dengan perasaannya apa, dia hanya memikirkan satu tujuannya. Membuat Dalvin kecewa, marah dan kesal merupakan tujuan utama baginya. Dan dia akan melakukan apa pun itu.
.
.
.
.
.
Suara ketukan begitu keras dari luar kamar Dalvin, membuat ia menggerutu dan terpaksa berjalan membukakan pintu.
"Ada apa?" Tanya Dalvin ketus.
Di luar, Duta menyeringai melihat wajah Dalvin yang kesal.
"Nggak ada orang lain di rumah ini... Ngapain pintu pakai dikunci segala? Takut banget..."
Bukan menyahut, Duta malah menyelonong masuk lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur milik Dalvin.
"Kalau tidak ada keperluan, silakan keluar... Saya lelah, saya butuh istirahat..." Usir Dalvin. Ia berusaha menahan rasa jengkelnya melihat kelakuan kakak tirinya.
"Santai, Broth... Memangnya ada rasa lelah untuk si pengangguran sepertimu?" Ejek Duta.
"Aku hanya mau berbagi kabar bahagia sama kamu... Aku sekarang lagi bahagia sekali... Dan tentunya kebahagiaan Abang mu ini, kebahagiaanmu juga, kan?"
Duta bangkit dan berjalan ke posisi Dalvin yang berdiri berpangku tangan, acuh tak acuh menungguinya keluar dari kamar itu.
"Cepat katakan, apa mau kamu?" Tanya Dalvin lagi bersikap tak peduli.
"Malam nanti, Abang mu yang tampan ini bakal bawa calon menantu buat kedua orang tua kita. Kamu jangan seperti biasanya yang tidak mau makan malam bareng keluarga, ya... Hormati tamuku... Please... Buat kali ini saja..." Pinta Duta seolah-olah memang terlihat butuh.
"Nggak... Malas..." Jawab Dalvin tanpa basa-basi.
"Kalau kamu tidak mau, ya sudah... Tinggal bilang papa jika kamu tidak senang melihat Abang mu ini bahagia..." Ancam Duta seraya beranjak meninggalkan kamar Dalvin.
Dalvin kembali menghempaskan pintu kamarnya dengan keras.
"Kenapa papa masih saja merawat diriku, jika papa tidak pernah mengganggap aku? Kenapa papa tidak membuang aku saja dulu? Atau setidaknya menitipkan aku ke panti asuhan? Mungkin rasanya tidak akan sesakit ini... Setidaknya aku tidak perlu mengenal mereka..."
Dalvin menggerutu. Melihat tingkah Duta, dan mendengar ucapan sehari-hari mama tiri dan kakak tirinya itu sungguh menjengkelkan hatinya.
Dalvin melirik foto mamanya sesaat, lalu kembali bersandar di kepala tempat tidurnya.
"Kenapa dia sebahagia itu? Terakhir, dia bahagia karena berhasil mengambil proyekku... Alhasil, aku pengangguran sekarang..." Pikir Dalvin dipenuhi perasaan was-was dan jantung berdebar tak karuan.
"Ah, sudahlah... Bukankah aku sudah biasa?" Ngocehnya berusaha menenangkan hati sendiri.
****
Malam yang ditunggu-tunggu Duta pun datang. Sosok gadis yang ia janjikan telah hadir bersama dirinya. Ia memperkenalkan gadis itu kepada kedua orang tuanya.
Sandra terlihat bangga, calon menantu yang dibawa Duta untuknya, sungguh sesuai dengan kriterianya. Cantik, elegan, dan tentunya berpendidikan. Bahkan gadis itu juga tak sungkan-sungkan menceritakan pribadinya yang merupakan putri tunggal dari seorang direktur di PT Angkasa Raya, sebuah perusahaan besar dan ternama.
Berbeda dengan Dean. Meski ia menghormati Amira sebagai tamu, namun sikap dinginnya masih sama.
"Ajak Amira makan bersama, Duta. Kemudian panggilkan adikmu juga..." Perintah Dean.
"Dalvin tidak mau bergabung, Pa... Tadi siang Duta sudah memberitahunya perihal ini, dan alhasil... Papa sudah tahu sendiri bagaimana dia, kan?" Kilah Duta berpura-pura polos di hadapan papanya.
"Sudahlah, Pa... Lagian ini pacarnya Duta kok... Bukan pacarnya Dalvin..." Bela Sandra.
Sebelum mereka makan malam, Dalvin keluar dari kamarnya.
"Mau kemana kamu, Vin...?" Panggil Dean.
"Ada janji dengan Rio sebentar..." Jawab Dalvin begitu acuh.
"Malam ini di rumah saja... Kakakmu mau mengenalkan pacarnya kepada kita..." Pinta Dean.
Dalvin memasang muka malas. Ia berjalan pelan kearah keluarganya, tampak Duta menyeringai puas.
"Hai, Vin..."
Dalvin terperanjat. Wajahnya yang semula terlihat bermalas-malasan, ia tegakkan segera.
Deg.
Jantungnya berdetak keras. Ia terpana, namun sesaat raut mukanya berubah marah.
"Amira?" Desir Dalvin terlihat kaget.
"Iya, Vin... Ini aku, Amira... Kamu kok terkejut begitu? Bukankah kamu sendiri yang sudah mengatur pertemuanku dengan kak Duta?" Ucap Amira.
"Pertemuan?" Dalvin balik bertanya. Ia tidak tahu apa-apa akan hal yang diucapkan Amira. Ia menoleh kearah Duta, dan tampak kakak tirinya itu menyeringai seolah sedang mencibir kekalahannya. Kalah telak tanpa tahu sedang bertanding.
"Terima kasih, ya, Vin... Kamu seolah mengerti perasaanku selama ini. Padahal, aku tidak pernah terang-terangan mengatakan aku suka kak Duta..." Celoteh Amira seraya mengapit lengan Duta yang berada di sisi kanannya.
Dalvin merasa terpukul. Ia bahkan sama sekali tidak pernah tahu jika Amira menyukai Duta sebelumya.
Ia terpaksa mengangguk, meski sendinya goyah dan bergetar. Meski hatinya remuk dan rapuh.
Ia kesal, tapi ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Ia sangat kecewa jika kenyataannya Amira sama sekali tidak pernah meliriknya sebagai lelaki yang punya rasa terhadapnya.
"Silakan nikmati makan malam bersama... Saya harus menepati janji saya dengan Rio..." Pamit Dalvin.
"Tidak ingin melihat kemesraan kami? Juga tidak mau mendengar kapan kami menetapkan pertunangan?" Ledek Duta memanas-manasi.
Dalvin tak peduli. Hatinya memang sudah panas, kosong dan hampa.... Ia terus berjalan menjauhi mereka. Tangannya bertumpu ke setiap benda yang ia temui, lalu terakhir dengan sengaja memecahkan vas kesayangan Sandra.
"Dalviiin...!" Teriak Sandra kesal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!