Pukul delapan malam di sebuah gang yang ada di perkampungan bernama Kampung Hijau. Seorang gadis bertubuh ramping berjalan lebih cepat dari biasanya. Ada sosok tak kasat mata yang mengikutinya sedari tadi. Sosok itu melompat, mengikuti gadis belia di hadapannya.
Gadis berusia lima belas tahun yang baru saja mengikuti acara pelepasan di SMP itu membuka kain jarik yang menjadi bawahan kebaya yang dia kenakan. Dia lipat dan letakkan kain jarik itu ke dalam tas ransel miliknya. Rambut yang susah payah digelung oleh ibunya itu dia gerai.
Tepat di tikungan, gadis bernama Anandita Mikhaela itu segera bersembunyi di balik tiang listrik. Sampai sosok pocong itu muncul mencarinya.
"Buaaaaa! Mau ngapain ngikutin aku dari tadi?" tanya Dita.
Sosok pocong berwajah hitam itu tersentak. Dia menoleh pada Dita.
"Tolong saya."
"Kyaaaaaa!" Dita memilih berlari karena geli kala melihat ulat dan belatung keluar masuk dari wajah hitam pocong itu. Apalagi di bagian rongga matanya.
***
"Kamu pasti ketemu hantu lagi, ya?" tanya Bu Indah, sosok wanita empat puluh tahun itu masih tampak cantik. Meskipun wajahnya mulai terlihat sayu karena didera keletihan.
"Astagfirullah, Bu, mukanya belatung semua. Tadinya mau aku ajak bercanda, eh malah nakutin."
"Kamu tuh ya kebiasaan banget. Masa hantu kamu ajak bercanda."
"Hehehe, aku mau mandi dulu ya, Bu. Tadi acara perpisahannya seru banget."
Anandita Mikhaela, gadis bertampang pas - pasan yang memiliki kulit kuning langsat, mulus, dan juga bersih ini sebenarnya memiliki senyum yang menggemaskan. Gadis itu memiliki rambut hitam lurus sepinggang. Dia termasuk anak pintar saat di sekolah. Ibunya menatap dengan bangga plakat penghargaan juara umum yang dia ambil dari tas putrinya. Bulir bening itu sampai membasahi pipi.
"Alhamdulillah, Yah, putri kita selalu saja membanggakan," lirih Bu Indah seraya mengusap bulir bening di pipinya.
Anan, panggilan masa kecil yang berubah menjadi Dita saat bersekolah di SMP itu, sudah menjadi anak yatim sejak usia sepuluh tahun. Ayahnya yang bekerja sebagai masinis saat itu mengalami kecelakaan kereta api yang parah dan menewaskan sang ayah saat itu juga.
"Bu, kok nangis?" Dita keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Selamat ya, Nan, ibu terharu dan bangga banget sama kamu."
Dita langsung memeluk ibunya.
"Oh iya, Nan, tadi ada surat buat kamu." Bu Indah segera mengambil sepucuk surat yang dia simpan di laci tadi. Lalu, menyerahkannya pada putrinya.
Dita meraih surat dengan amplop putih dari tangan ibunya. Dia membuka lembaran surat tersebut yang ternyata berisi pemberitahuan kalau seorang Anandita Mikhaela berhasil mendapatkan beasiswa seratus persen untuk bersekolah di SMA Abadi Jaya.
"I-ibu, ibu ini serius buat aku?"
"Ya, Nan, itu buat kamu."
"Aku nggak mimpi kan, Bu?" Dita masih menatap tak percaya.
"Nggak, Nan. Kamu nggak mimpi. Kamu berhasil dapat beasiswa di sekolah favorit itu. Alhamdulillah, Ibu seneng banget, Nan."
Dita dan ibunya sampai berjingkrak-jingkrak kegirangan sambil berpelukan. Kebahagiaan Dita bukan sekedar karena dia masuk sekolah favorit, tetapi karena dia mendapat beasiswa seratus persen. Itu artinya dia bersekolah di sana dengan gratis. Dia bisa meringankan beban ibunya yang seorang single parent.
Ali, adik laki-laki Dita satu-satunya muncul seraya mengucek kedua matanya setelah terbangun karena suara berisik ibu dan kakaknya. Dia terkejut akan jerit kegirangan kedua perempuan tersayangnya itu.
"Pada ngapain, sih? Kok, Ali nggak diajak lompat-lompatan?" tanyanya dengan polos.
"Aliiiii! Kak Anan seneng banget malam ini!" Dita langsung meraih adiknya. Dia mengajak adiknya bergabung melompat-lompat.
"Jangan lupa sujud syukur, Nan." Suara berat seorang pria terdengar.
Dita menghentikan aksinya lalu menoleh pada pria itu. Tak terasa bulir bening jatuh membasahi pipinya.
"Iya, Ayah." Dita mengangguk.
"Nan, kamu pasti lihat ayah, ya?" tanya Bu Indah menyentuh bahu kiri Dita.
"Iya, Bu."
"Yeayyy, ayah pasti ke sini karena besok ulang tahun Ali," seru anak lelaki itu.
Setiap ulang tahun Ali, arwah ayahnya memang kerap datang untuk berkunjung. Meskipun tak masuk di akal, tetapi Dita percaya kalau ayahnya memang bisa hadir untuk sekedar menyapa Ali. Lalu, pergi lagi.
Dita memang memiliki bakat melihat makhluk tak kasat mata sedari kecil. Namun, berkali-kali ibunya berusaha menutup mata batinnya tetapi tak bisa. Dita masih ingin melihat ayahnya. Gadis itu juga berusaha berjuang untuk tidak takut melihat makhluk gaib yang kerap datang menganggu.
Seorang wanita muda berusia dua puluh tujuh tahun turun dari Mercedes Benz hitam miliknya. Rambutnya dicat warna cokelat bergelombang. Wanita itu memasuki sebuah rumah mewah dengan pagar besi berlapis cat emas yang ada kepala harimau di tengahnya. Kedua bola mata wanita itu memindai sekeliling rumah sebelum akhirnya dia memasuki pintu utama.
"Selamat malam, Nona!" sapa seorang wanita paruh baya bernama Mey pada majikannya yang bernama Dewi.
"Malam, Bu Mey! Ada kabar apa hari ini?" tanya Nona Dewi
"Dua orang asisten rumah tangga baru saja dipecat, Non."
"Sama Anan?" tanya wanita itu dengan mata terbelalak tak percaya.
"Iya, Non. Sama siapa lagi. Kucing Den Anan tadi kabur ke luar rumah terus ketabrak."
"Astaga! Kok, bisa sih?"
"Terus tadi katanya Den Anan terlibat perkelahian di sekolah," ungkap Bu Mey.
"Hadeh… sekarang anaknya di mana?" Nona Dewi menghela napas dalam.
"Di kamarnya, Non. Masih marah-marah, banting-banting barang."
Nona Dewi, atau wanita yang kerap dipanggil Tante Dewi itu merupakan adik dari ayah kandung Anan. Wanita itu sudah bagaikan ibu kandung bagi pemuda yang baru saja berusia tujuh belas tahun itu. Sedangkan ibu kandung Anan malah tinggal di Jepang bersama ayahnya dan juga saudara kembarnya.
Anan memiliki saudara kembar bernama Manan. Namun sayangnya, saudara kembarnya memiliki penyakit yang entah dia pun tak tahu apa nama penyakitnya. Yang jelas, ibunya lebih mementingkan Manan ketimbang dirinya. Pemuda itu selalu berulah untuk mencari perhatian kedua orang tuanya. Akan tetapi, lagi-lagi hanya Tante Dewi yang selalu ada untuknya dan menjadi walinya di sekolah mana pun.
"Mau sampai kapan kamu bikin ulah terus? Mau kamu buat seribu ulah pun tetep mami sama papi kamu nggak akan pergi ke sekolah buat ketemu sama guru BK kamu, Nan!" bentak Tante Dewi seraya memasuki kamar Anan.
*****
Bersambung.
Hai, semuanya! Chat Story Ruang Kosong di Sekolah, Vie remake dan dijadikan versi novel saja ya. Rasanya sulit bersaing dengan CSnya para idol korea hehehe.
So, jangan lupa favorit, vote, like, dan komentar. Nanti versi CS nya akan Vie hapus. Makasih ya.
"Ya, aku juga tahu. Itu semua karena Manan, bukan begitu, Tante?" Pemuda bertubuh tinggi dan tegap serta mata sipit itu tersenyum menyeringai. Menunjukkan wajah tampan yang dingin itu semakin sinis terlihat.
Ponsel Tante Dewi berdering. Rupanya pihak sekolah menghubunginya dan menjelaskan nasib korban yang Anan hajar tadi siang. Tak lama kemudian, wanita itu menutup ponselnya.
"Udah deh, Nan. Korban kamu kali ini bahkan sampai patah loh tangannya dan keluarga dia nuntut. Sekarang kamu maunya apa? Belum lagi kamu suka banget pecat pembantu di sini, kamu nggak kasian apa?!"
"Mereka yang salah. Dikasih kerjaan bukannya kerja yang bener malah nggak becus! Terus, Tante mau tau kenapa si gorila itu aku patahin tangannya?" Anan mengepal tangannya.
"Kenapa?"
"Karena dia menghina Tante."
"Nan, biarkan mereka mau ngomong apa soal Tante asal kamu nggak kenapa-napa. Besok kita cari sekolah yang baru. Kamu harus pindah."
"Kan ada duit papi yang buat sekolah dan si gorila itu tutup mulut, kenapa harus pindah?" tukas Anan.
"Anak yang kamu panggil gorila itu, anaknya investor perusahaan papi kamu, Nan. Namanya Gohan bukan gorila!"
"Tapi dia udah ngatain Tante pecun dan nuduh Tante pelakor!"
"Papinya Gohan emang kurang ajar. Tapi Tante bertahan demi bisnis papi kamu."
"Udahlah, Tante! Jangan belain papi terus!" rengek Anan.
"Pokoknya siapkan diri kamu buat pindah sekolah!"
Brak!!
Pintu kamar Anan ditutup dengan kasar. Tante Dewi segera menuju ke kamarnya. Dia memilih berendam di kamar mandi kamarnya untuk menenangkan diri. Sebenarnya sulit untuk membesarkan Anan dengan sikap keras dan kasarnya itu. Namun, kakaknya seolah tak mau mengurus Anan. Apalagi ibunya Anan lebih memilih mengurus putranya yang satu lagi. Jika dia tidak bisa bertahan. Maka, Anan akan sendirian.
Sementara itu, Anan yang marah lantas meninju cermin wastafel di dalam kamar mandinya sampai retak. Dia ingin sekali menangis. Namun, rasanya tak pantas jika harus membiarkan bulir bening itu bergulir dari matanya. Dia membendung sekuat mungkin dengan teriakan.
"Sampai kapan sih papi selalu sibuk kerja dan mami selalu ngurusin Manan? Sampai kapanpun?! Apa kalian mau sampai salah satu dari kita mati, gitu? Apa kalian mau aku yang mati, hah?"
Anan membentak di depan sebuah figura emas yang di dalamnya ada foto dirinya dan saudara kembarnya saat berusia lima tahun sedang duduk di pangkal ayah dan ibunya. Lalu, diraihnya figura tersebut dan dibanting keras di lantai.
...***...
Di sebuah lorong suatu gedung yang memiliki banyak pintu dan jendela, Dita melangkah melewatinya. Bangunan itu tampak seperti sebuah gedung sekolah. Dengan pencahayaan yang minim, Dita mencoba meraba-raba dinding untuk melangkah. Sampai sebuah pintu terbuka. Cahaya berpendar dari arah dalamnya. Dita mencoba melangkah menuju arah cahaya itu. Sekelebat bayangan melintas mengejutkannya.
"Siapa itu?" Dita berusaha mencari sosok yang melintas tersebut.
Sampai akhirnya, dia mendapati seorang gadis sedang meringkuk. Gadis itu memakai seragam putih dengan rompi sweater, dan mengenakan rok kotak-kotak warna biru itu. Gadis itu sedang menangis.
"Halo, kamu ngapain nangis di sini?" tanya Dita yang perlahan-lahan menyentuh bahu gadis itu.
Gadis itu menghentikan tangisannya. Dia menoleh ke arah Dita. Sayangnya, wajahnya tertutup oleh rambut panjangnya. Gadis itu bangkit dan langsung mencekik Dita.
"Ib-Ibu, Ibu tolong Anan, Bu!" Dita terbangun dari mimpinya yang menyeramkan. Namun, gadis itu tak bisa bergerak.
Dita merasakan ada sesuatu yang menindihnya dan masih mencekiknya. Akan tetapi, sosok itu tak terlihat. Tangan kanan Dita mencoba menggapai ibunya yang tidur di sampingnya bersama Ali. Karena hanya ada satu kamar dan satu kasur, mereka masih tidur bertiga kala itu.
"Ibu, tolong Anan," lirih Dita dengan suara serak. Napasnya terasa sesak. Dia kesulitan bernapas.
Kedua mata gadis itu sudah terbuka lebar menatap ke langit-langit kamar, tetapi tubuhnya masi terdiam kaku di atas tempat tidur. Dita berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan tubuhnya tetapi tetap saja tak bisa dua gerakkan.
Tubuh ramping itu terasa kaku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dita merasakan sesuatu sedang menindihnya. Namun, dia tak dapat melihatnya. Padahal biasanya gadis itu dapat melihat makhluk gaib. Untuk mengangkat tangannya saja sangat berat baginya, sehingga Dita kesulitan untuk meminta pertolongan dari ibunya.
Ibu Indah masih saja terlelap di sampingnya. Dita terus mengerang semampu yang dia bisa. Namun, sekeras apapun Dita mencoba, tubuhnya malah akan lebih terasa ditekan keras oleh sesuatu. Sampai akhirnya, sang ibu terbangun karena kandung kemih tang terasa penuh. Ibu Indah menoleh ke arah Dita yang tangannya sedang mencoba menggapai sedari tadi.
"Astagfirullah, Anan! kamu kenapa, Nak?!" seru Ibu Indah sembari memukul paha putrinya pelan dan berkali-kali.
Dita terlonjak.
"Bu, bantuin Anan, Bu!" lirih gadis itu.
"Baca ayat kursi, Nan!" Seru Ibu Indah sembari mengguncang tubuh putrinya lagi. Dia juga merapalkan ayat kursi berkali-kali.
Lalu, dengan tepukan yang lebih kencang mendarat di paha Dita, akhirnya gadis itu terlonjak kaget dengan pukulan ibunya barusan. Pukulan itu berhasil membebaskan dirinya dari tindihan sesuatu yang tak dilihatnya.
Dengan napas yang masi terengah engah, Dita pun bangun dari tidurnya. Dia langsung duduk di samping ibunya dengan keringat yang sedikit bercucuran.
"Ada apa, Nan?" tanya Bu Indah.
"Aku juga nggak tau, Bu. Aku lihat sesuatu yang aku juga nggak ngerti," jawab Dita seraya mengusap peluh yang bercucuran dari wajah ke lehernya.
"Ibu ambil minum dulu sekalian mau pipis," ucap Bu Indah lalu menuju ke kamar mandi yang terletak di samping dapur.
Tak lama kemudian, Bu Indah datang membawakan Dita segelas air.
"Ini minum dulu," kata Bu Indag seraya memberi segelas air putih ke tangan Dita.
Gadis itu segera meraih dan meneguk habis air putih pemberian ibunya. Dia merasa sangat kehausan di tengah malam seperti ini. Hawa panas yang membuat gerah juga sangat terasa.
"Kamu tuh kenapa, Nan?"tanya wanita berusia kisaran hampir lima puluh tahun yang duduk di samping Dita.
"Sekarang jam berapa, Bu?" Dita malah bertanya balik.
"Kamu tuh ditanya apa, malah nanya balik. Sekarang jam tiga," jawab Bu Indah.
"Aku solat tahajud dulu deh, Bu. Kali aja nggak mimpi buruk lagi," ucap Dita.
"Oh, ternyata kamu mimpi buruk. Ya udah sana solat dulu."
Dita bangkit menuju ke kamar mandi. Di hatinya masih bergejolak rasa yang tak menyenangkan. Gadis itu yakin sekali kalau dia berada di sebuah sekolah, sekolah menengah atas bernama SMA Abadi Jaya. Dita yakin karena melihat seragam yang dikenakan penampakan seorang gadis menyeramkan di mimpinya. Namun, mimpi itu terasa aneh. Apalagi Dita belum pernah menginjakkan kaki di sekolah itu.
...*****...
...Bersambung. ...
Dita selesai mengambil wudu, tiba-tiba tirai jendela di dapurnya terbuka. Gadis itu melangkah mendekat untuk menutupnya. Sontak saja Dita sempat mengucap istigfar ketika melihat wajah pucat milik sosok kuntilanak sedang menatapnya datar. Kedua mata itu menghitam. Hantu perempuan itu terus menerus menyisir rambutnya yang panjang sampai menyusuri tanah dan acak-acakan.
"Ngapain Mbak Kun di situ? Mau ikut solat tahajud?" tanya Dita.
Kuntilanak itu menggelengkan kepalanya.
"Kirain tobat mau ikut solat," ucap Dita lalu menutup tirai jendela itu.
Sosok kuntilanak itu lantas tertawa melengking dengan suara cekikikan yang khas. Hantu perempuan itu melayang pergi.
...***...
Di hari minggu yang cerah, Dita membantu sang ibu menjajakan kue tradisional di Pasar Cempaka. Dagangan kue tersebut laris manis dan banyak digemari masyarakat sekitar. Selain rasa kue yang enak, para pemuda juga kerap datang untuk menggoda Dita. Beberapa pria dewasa juga kerap menggoda sang ibu karena paras wanita itu masih terlihat ayu, meskipun usianya tak lagi muda.
"Nan, nanti kirim seratus kue pisang sama seratus risoles ke Rumah Sakit Keluarga, ya. Soalnya mau ada syukuran di sana," ucap Bu Indah seraya merapikan uang penjualan yang sudah terkumpul hari itu.
"Oh, rumah sakit yang baru dibangun itu ya, Bu? Ya udah nanti Anan antar. Ibu siapin aja kuenya," jawab Dita sembari melayani pembeli.
"Ali ikut ya, Kak, boleh ya?" Ali yang sedari tadi duduk seraya mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolahnya itu bangkit mendekati Dita.
"Hmmm … perasaan Kakak nggak enak nih," ucap Dita.
"Hehehe, Ali lagi pengen makan bakso pentol yang jualan di seberang rumah sakit itu, Kak." Anak itu meringis memperlihatkan giginya yang renggang.
"Ali di sini aja sama Ibu." Bu Indah menyela sambil mempersiapkan kotak kardus yang mau dia isi dengan kue pesanan.
"Tapi Ali mau ikut, Bu. Boleh ya Kak Anan, Ali boleh ikut, ya?"
Rengekan anak kecil dengan tipe khas suara cadel itu terus saja terngiang seraya menarik ujung kaus kakak perempuannya.
"Duh, jangan ditarik terus, Dek! Nanti kaus Kakak melar," sahut Dita.
"Pokoknya Ali mau ikut. Nanti Ali bantuin deh," ucap bocah itu dengan tatapan mautnya yang mengiba.
"Hadeh, Ali di sini aja nemenin Ibu. Nanti pas pulang dari sana Kakak beliin. Janji deh asal kamu diam tenang di sini dan bantuin ibu," tegas Dita.
"Ya udah deh. Tapi janji ya bawain bakso pentol sama es krim."
"Loh, kenapa jadi nambah es krim?"
"Nggak mau tau pokokny bawa bakso sama es krim, atau Ali ikut nih," ucapnya.
"Dih, maksa banget! Oke oke oke, adik Kakak yang paling ganteng tapi bawel." Dita mencubit ujung hidung Ali dengan gemas.
Dita lalu meraih dua kardus berisi kue. Dia akan menyewa sebuah becak menuju ke rumah sakit. Sementara itu, ponsel Bu Indah berdering.
"Halo, Ibu penjual kue ya? Nanti keponakan saya mau ambil kuenya ya ke sana." Suara Tante Dewi terdengar dari dalam ponsel milik Bu Indah.
"Waduh! Anak saya baru aja pergi antar kue ke rumah sakitnya, Bu."
"Naik apa dia ke rumah sakit? Bisa dihubungi nggak, Bu? Soalnya keponakan saya udah terlanjur jalan," ucap Tante Dewi.
"Saya coba ya, Bu." Bu Indah mematikan sambungan ponselnya.
Namun, saat dia hendak menghubungi Dita, rupanya dia kehabisan pulsa dan akhirnya tak bisa menghubungi putrinya.
Sementara itu, Anan sudah tiba di area parkir Pasar Cempaka.
"Mana sih yang jualan kue? Rese banget nih si tante pakek nyuruh gue lagi. Mana si Nadia nelpon gue mulu suruh jemput. Hadeh, dia kan harusnya tahu kalau gue pindah sekolah."
Anan meletakkan motor Kawasaki Ninja 250 warna merahnya dengan sembarangan. Motor itu sampai jatuh ke arah samping becak yang baru saja dipesan dan ditumpangi oleh Dita.
"Aduh, ini kenapa nih? Duh, motor siapa lagi ini sembarangan aja!" Dita sampai memaki karena terantuk setang motor milik Anan.
"Heh, Pak! Kalau naro mobil kayunya jangan sembarangan gini dong!" seru Anan sambil memukul atap becak tersebut.
Dia lalu bersusah payah saat mengangkat sepeda motornya.
"Maaf, Mas, harusnya saya yang marah kenapa Mas nya main taro motor sembarangan," ucap pemilik becak yang merupakan pria paruh baya itu.
"Loh, kenapa jadi gue yang salah?! Mahalan motor gue dari pada mobil kayu lu, Pak! Mikir dong harusnya!" seru Anan.
"Ih, nyebelin banget sih! Jelas-jelas situ yang salah malah nyalahin orang! Mana pake bentak-bentak orang tua lagi!" Dita keluar dari dalam becak seraya bertolak pinggang. Gadis itu menatap Anan dengan tajam.
"Lah, kenapa jadi elu yang ngotot?" Anan balik menantang Dita.
Sejurus kemudian, adu mulut antara Anan dan Dita terjadi. Anan sampai membuat becak itu jatuh ke samping dan membuat kue-kue milik Dita jatuh berserakan. Dengan gemas, Dita menjambak rambut Anan.
Perkelahian antara Anan dan Dita akhirnya berhasil diredam setelah Tante Dewi dan Bu Indah tiba di kantor polisi sektor yang berada tak jauh dari Pasar Cempaka.
Tante Dewi bahkan memaksa Anan untuk meminta maaf pada Dita. Begitu juga dengan Bu Indah. Akhirnya, kedua muda-mudi itu saling menjabat tangan dengan terpaksa.
Tante Dewi juga mengganti kerugian kue-kue yang rusak milik Bu Indah. Sayangnya, di warung kue milik Bu Indah hanya tersisa tiga puluh kue yang bisa diantarkan ke rumah sakit.
Anan dan Dita masih saling melayangkan tatapan tajam sebelum mereka berpisah hari itu setelah perkelahian di antara keduanya.
"Awas luh kalau ketemu sama gue lagi. Liat aja nanti bakal gue habisi luh," gumam Anan.
"Idih, amit-amit jabang babi, jangan sampai aku ketemu sama si sipit itu, hih!" gumam Dita.
...***...
Pukul tujuh malam, di gedung SMA Abadi Jaya yang sepi. Dua orang gadis sedang melangkah masuk secara sembunyi-sembunyi mengintip dari balik gerbang sekolah warna hitam setinggi dua meter itu.
"Ti, lu serius berani sendiri?"
Gadis berambut keriting dan kulit samo matang yang bernama Loli itu mengarahkan cahaya senter ke gedung sekolah empat lantai tersebut. Sesekali dia membetulkan posisi kacamata yang dia kenakan. Tak ada lampu yang menyala di gedung itu, mungkin listriknya sedang mati. Sang penjaga sekolah juga sedang pergi ke warung belakang. Sepertinya mereka juga takut berada di sekolah yang gelap tersebut.
"Kalau elu takut, elu di sini aja. Gue mau ambil hape gue penting banget soalnya daripada diketemuin sama petugas kebersihan besok terus dikasih ke kepsek, bisa mati gue!" bisik gadis dengan tinggi semampai, rambut lurus sepunggung, dan kulit kuning langsat itu.
"Ti...."
...*****...
...Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!