NovelToon NovelToon

Milik Wanita Lain

Part 1

Kisah ini sedang tahap revisi.

Mohon maaf jika mengganggu kenyamanan kalian para pembaca, sebab naskah sebelumnya terlalu banyak adegan yang aku pangkas. Hingga membuat naskah itu seakan tidak bernyawa lagi bagi aku pribadi.

Akan tetapi, dengan hadirnya nanti naskah baru, aku harap akan menjadi lebih baik dan kalian bisa mengerti alur cerita ini. Karena ini novel pertama dan tulisan pertamaku.

Jika ada kritik dan saran, bisa kalian sampaikan langsung padaku melalui Instagram dengan nama account @bossytika

Sekian dan terima kasih.

©Copyright 2019/2020

——————————

Point of View 1 All-knowing

Sudut Pandang 1 Serba Mengetahui

——————————

Tika POV.

Tiiiin ...

Tiiiin ...

Tiiiin ...

Suara klakson mobil di depan pagar membuyarkan obrolanku dengan kakakku. Namanya Max, dia selalu saja mencercaku dengan sekelumit pertanyaan aneh jika aku ingin keluar rumah, apalagi jika aku dijemput oleh orang lain, seperti sekarang ini.

Lebih mirip mengintrogasi adiknya sendiri. Pergi ke mana? Berapa lama? Dengan siapa? Kenal di mana? Pekerjaannya apa? Alamat rumahnya di mana? Dan masih banyak yang lainnya yang selalu saja membuatku pusing seketika.

Kalau sudah dalam keadaan seperti ini, biasanya aku selalu berdoa, semoga orang yang menjemputku segera tiba. Agar aku dapat terbebas dari setumpuk pertanyaan itu.

“Aku pergi dulu ya, Kak!” teriakku sambil bangkit dan pergi melangkah meninggalkannya.

“Gak sopan, deh! Mestinya dia turun dulu dong, izin gitu kek sama orang rumah mau ngajak kamu jalan,” omel Max.

“Kakakku, Sayang, aku buru-buru! Jadi aku yang gak mengizinkannya untuk bertemu denganmu,” godaku sambil mengedipkan sebelah mataku. “Byeeee.” Aku berjalan cepat menuju keluar rumah.

“Dasar nakal,” umpatnya sambil menggelengkan kepalanya. Aku melihat itu sebelum berbalik.

**

“Haiii ... how was your day?” sapaku di saat membuka pintu mobil lalu masuk ke dalamnya dan segera duduk. *yaiyalah duduk, Bambang, masa berdiri~

“Good, you?”

Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaannya sambil meletakkan bokongku lembut di dalam mobilnya. Dia adalah Jefri, teman Alex yang aku kenal saat hangout bersama. Sebenarnya Alex adalah temanku saat SMA dulu, tapi entah mengapa malah aku yang sering hangout bersamanya.

Sempat aku melirik jendela ruang tamu, terlihat tirai gordennya sedikit terbuka. Jendela itu memang terlihat hitam, tapi tidak begitu pekat, sampai aku meyadari ada sepasang mata yang memperhatikan, lalu dengan gesit, segera aku menututup pintu mobilnya.

“Mau makan di mana?” tanya Jefri.

“Gak tau anak-anak, 'kan mereka yang ngajak. Emang mereka gak ada ngabarin lagi?” tanyaku sambil memandanginya.

“Gak ada, cuman tadi siang aja waktu nyuruh ngubungin kamu.”

“Ooohh,” jawabku saat tangan ini mulai mengaduk-aduk isi tas untuk mencari benda tipis itu, yaitu ponsel.

“Bentar aku coba whatsapp Kaisar deh.”

Kedua jari jempolku mulai lincah menekan-nekan layar ponsel, tanpa suara, aku kirimkan pesan whatsapp pada sebuah grup yang berisikan banyak anggotanya.

Me : Jadi kita ngumpul-ngumpul di mana nih? Aku sudah dijemput Jefri.

Kaisar : Kita makan dulu aja ya, gue belum makan nih seharian. Gue sudah sama Dodi, Alex sama Nando juga udah otw katanya.

Me : Iya tahu makan dulu, tapi di manaaa?

Biar aku sama Jefri langsung ke sana.

Kaisar : Sorry sorry, kita ketemu di Depot Aroma deh. Tempat biasa, Jefri tahu kok di mana tempatnya.

Me : Oh oke.

Begitu menutup ponselku, aku langsung berkata pada Jefri, “Katanya makan di Depot Aroma. Kamu tahu tempatnya?”

“Oh, di sana? Eh, tapi kita mampir bentar gak apa-apa 'kan ya? Bentar aja, gak sampai sepuluh menit. Gak apa-apa, 'kan?” pinta Jefri memelas.

“Iya, gak apa-apa kok.”

Jefri langsung mengincak gas mobilnya lebih cepat dibanding yang tadi, karena dia sudah tau arah dan tujuan perjalanan kami akan ke mana. Tak selang beberapa lama dia membelokkan arah mobilnya, masuk ke sebuah halaman rumah seseorang lalu memarkirnya mundur.

“Aku mau ngasihin paket ini bentar. Kamu nunggu di sini aja atau mau ikut turun?” tawar Jefri menatapku.

"Aku nunggu di sini aja deh ya, emang itu apaan sih?” tanyaku saat melihat sebuah kotak dalam genggaman tangannya.

“Oh ini, vaping-nya temen aku, mau dia jual. Tunggu ya, kalo gitu mesinnya aku nyalain aja, biar AC-nya tetep hidup,” jelasnya sambil membuka dashboards di depanku dan mengambil dompetnya.

Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala sebagai tanda setuju. Aku menatap dirinya sampai punggungnya menghilang dari pandangan mataku. Hati inj tiba-tiba saja merasa tertarik dengannya. Saat berdua, dia terlalu lembut untuk ukuran seorang teman. Jauh berbeda saat kami sedang berkumpul bersama teman-teman yang lain. Dan rasa penasaranku pun mulai muncul.

Aku penasaran dengan jenis lelaki yang seperti ini. Dan aku selalu tidak bisa menahan rasa penasaranku hingga aku bisa mendapatkan jawabannya. Itulah diriku.

Bersambung ...

Part 2

Still Tika POV.

“Done?” tanyaku saat Jefri membuka pintu mobilnya.

“Yaps,” sahutnya sambil duduk di kursi kemudi.

“Anak-anak pada nyariin gak?” tanya Jefri yang kemudian mulai menjalankan mobilnya perlahan.

“Gak ada ngechat aku sih, cuman dari tadi hp kamu bunyi mulu, rame banget,” sahutku sambil memutar bola mata.

Dia tertawa, “Itu pasti grup. Kami 'kan punya grup sendiri, setiap hari bunyi terus, ada aja yang di bahas. Dari bagi info, ngirim video lucu sampe ngeledekin temen sendiri, pokoknya rame,” jelas Jefri semangat.

Tak berapa lama berselang, ponsel Jefri berdering.

🎶

Can't we just talk?

Talk about where we're goin'

Before we get lost

Let me out first

Can't get what we want without knowin'

I've never felt like this before

I apologize if I'm movin' too far

🎶

Jefri mengerutkan keningnya, masih fokus dengan setir mobil lalu mengambil ponselnya. “Hallo? Iya udah deket kok, gue pesen ayam lalapan deh sama teh panas, kamu mau pesen apa?” tanyanya sambil menoleh kepadaku sesekali karena harus fokus dengan kemudi setirnya.

“Ada lalapan, nasi goreng, mie goreng, rawon, nasi pecel juga ada,” tambahnya.

“Aku nasi goreng aja setengah porsi sama teh panas tawar,” sahutku.

Dia kembali fokus dengan setir dan telepon di tangannya. “Pesenin Tika nasi goreng setengah porsi sama teh panas tawar. Iya iya, sedikit lagi kok. Ini udah deket. Iya bawel ah.” Kemudian Jefri memutuskan sambungan teleponnya dan kembali meletakkan ponsel itu di atas dashboard.

“Kaisar ya?” tanyaku.

“Bukan, si Alex, bawel banget emang, heran, udah kayak cewek aja,” protesnya. Aku hanya tertawa geli.

Aku memang mengenal Alex, karena dulu kami pernah satu tempat bimbingan belajar untuk sekolah menengah atas. Dan entah dari mana Alex dan Jefri saling kenal hingga mereka berteman akrab seperti sekarang. Padahal jika dibandingkan dengan umur, mereka berdua sangat jauh terpaut.

Sama sepertiku, usiaku dan Jefri juga terpaut sangat jauh. Berbeda enam tahun, bagiku itu sudah terlalu jauh.

Ya, aku ingat betul moment pertama pertemuan kami saat itu ...

Di saat istirahat makan siang dan aku memutuskan untuk pergi ke sebuah kedai makan yang jaraknya lumayan dekat dari kantorku. Dan di sanalah aku bertemu kembali dengan Alex dan juga Jefri. Entah mengapa, mereka ternyata juga mengenal akrab pemilik kedai tersebut. Mereka bercanda gurau saat itu, padahal sebelumnya aku tidak pernah melihat mereka di sana.

Awalnya saat memasuki kedai, aku langsung menuju etalase display makanan dan langsung memesan makananku, sampai tiba-tiba suara seorang lelaki membuatku terganggu, sebab lelaki itu menyebutkan ciri-ciri pakaian yang aku kenakan.

“Waduh-waduh ternyata anak orang kaya juga bisa makan di kedai begini ya?” seru seseorang dari gerombolan itu.

“Hei cewek cantik! Yang pake kemeja biru muda! Sombong amat!” tambahnya lagi.

Aku menoleh sambil melihat satu persatu wajah gerombolan itu, sampai akhirnya mataku menangkap wajah seseorang yang aku kenali, “Loh Alex, ngapain di sini?”

Belum sempat Alex menjawab pertanyaanku, tiba-tiba ada orang yang di belakangku menyahut, “Ya dia makanlah, masa belanja,” ucap seorang pria yang entah siapa. Dia melemparkan senyumannya padaku.

Aku kembali berpaling dan menatap Alex saat dia melontarkan sebuah pernyataannya padaku, “Kok bisa lu makan di sini?”

“Iya dong, tiap hari malah gue makan di sini, kalian aja yang baru keliatan. Eh sorry, boleh ya gabung makan di meja ini, daripada gue makan sendirian," izinku pada yang lainnya sambil menarik kursi di samping Alex.

Semua lelaki di gerombolan itu mempersilakan aku untuk bergabung dengan mereka sambil tersenyum.

“Gimana kabar Max? Bininya udah lahiran?” tanya Alex.

“Udah, bulan kemaren, anaknya cewe lagi.” Kemudian makananku datang, "Makasih, Dek," ucapku pada anak muda yang mengantarkan pesananku. Alex hanya menganggukkan kepalanya.

“Eh kenalin nih, ini Dodi, Jefri sama Kaisar,” ucap Alex sambil mengenalkan temannya satu per satu dengan jari telunjuknya.

“Hai, gue Tika,” sapaku sambil tersenyum dan dengan refleks tangan kananku melambai kecil ke arah mereka, bak lambaian tangan dari seorang puteri kerajaan kepada rakyat jelatanya.

Aku juga melihat di atas meja mereka ini nampak bersih, hanya ada beberapa gelas minum mereka yang berserakkan. “Kalian pada gak makan?” tanyaku penasaran.

“Kita udah kelar kok makannya, lu makan aja gih, n'tar keburu dingin ga enak loh,” tegur Alex yang mulai mengambil sebungkus rokoknya lalu menyulutnya.

“Ya udah, kalo gitu gua makan ya, semuanya,” izinku sambil perlahan menyuapkan makanan ke dalam mulutku.

Mereka hanya tersenyum lalu melanjutkan kembali obrolannya. Aku hanya fokus mengunyah pelan makanan dari sendokku sambil memerhatikan dan mendengarkan obrolan mereka.

Ada yang membahas masalah politik, ada yang membahas bumper mobil dan bengkel. Bahkan ada juga yang hanya menjadi pendengar setia sambil mengisap rokok ditangannya. Mereka semua tampak akur dan juga tampak santai dengan pakaian mereka yang juga nampak rapi dan elegan.

Bersambung ...

Part 3

Still Tika POV.

Jefri memacu kecepatan mobilnya, menuju ke tempat tujuan kami. Setelah beberapa saat dia membelokan kemudi setir, memasuki sebuah kawasan parkir lalu memarkirkan mobilnya dengan hati-hati. Setelah mesin mobil itu dimatikan, aku perlahan keluar dari mobil.

Belum sempat aku menutup pintunya, tetiba suara Jefri dari dalam mobil membuat kepalaku sontak menoleh. “Tik, aku nitip rokok dan kunci mobilku dong?” pinta Jefri.

“Boleh.” Aku segera menutup pintu mobilnya dan bejalan menuju pintu mobil sebelahnta, tepat di mana dia keluar.

Aku langsung membuka handbag-ku dan menyuruhnya memasukkan sendiri rokok beserta kunci mobilnya di sana lalu kembali menutup handbag tersebut. Kemudian kami berjalan menuju ke dalam rumah makan. Aku langsung mencari di mana posisi Alex dan yang lainnya lalu melangkah mendekati mereka.

“Lama deh, jemputin Tika di mana sih, di Bogor ya?” ledek Alex. Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala pelan.

“Gue ada urusan tadi,” sahut Jefri di belakangku.

Aku langsung menarik kursi kosong di depan Alex dan duduk dengan tenang, lalu membuka handbagku untuk mengambil ponselku yang berbunyi pelan.

🎶

You so fuckin' precious when you smile

Hit it from the back and drive you wild

Girl, I lose myself up in those eyes

I just had to let you know you're mine

🎶

Dengan sigap, aku langsung menerima panggilan telepon itu. “Hallo? Iya, deket Informi, bentar ya, ngomong sama Jefri deh, nih si Ferry.” Aku sodorkan ponselku pada Jefri untuk menjelaskan detail letak rumah makan ini.

Jefri menjauh berjalan kembali keluar, sambil membawa ponselku.

Aku memperhatikan sekeliling, saat ini sudah ada Geo, Dodi, Alex, Nando, Kaisar, dan seseorang yang belum aku kenal. Mereka semua asik mengobrol, tanpa permisi aku langsung memotong pembicaraan mereka.

“Siapa nih?” celetukku sambil menunjuk sopan lelaki di samping Alex yang tidak aku kenal itu.

“Kenalkan aku Brandy, anaknya walikota,” sahutnya sopan sambil menyodorkan tangan ingin bersalaman.

Sontak mataku membulat, mulutku agak menganga sedikit, tidak percaya dengan apa yang lelaki itu katakan. Anak-anak yang lain pun langsung hening, mereka berhenti mengobrol, sambil saling memandang beberapa detik, sampai akhirnya aku sodorkan tangan ini, menyambut salaman lelaki itu lalu tawa mereka pun pecah seketika. Nyaring dan terbahak-bahak.

Aku masih belum mengerti, sampai salaman itu lepas dan senyum kecil terlihat di sudut bibir lelaki yang mengaku namanya Brandy itu. Di saat yang bersamaan, barulah aku menyadari, jika dia hanya bercanda saat mengatakan bahwa dirinya adalah anak seorang walikota. Aku mendengus sedikit kesal.

“Ada apaan nih?” tanya Ferry yang baru datang dan langsung duduk di sampingku dengan pacarnya. Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis tanda kesal dengan candaan mereka semua.

“Misi-misi, geser sana, kursi gue nih,” usir Jefri sambil menyodorkan ponselku kembali.

“Permisi, ini pesanannya ya,” kata seorang pelayan yang menghantarkan pesanan kami.

Setelah semua pesanan lengkap, pelayan tersebut langsung meninggalkan meja dan kami pun langsung melahap makanan masing-masing tanpa basa-basi. Kami semua makan dengan sangat menikmati dan sambil mengobrol ringan.

“Eh habis ini pada mau ngopi atau mau langsung pulang?” tanya Ferry.

“Ngopilah, rencana awal memang mau ngopi, tapi ternyata semuanya pada belum makan, makanya makan di sini dulu,” jelas Alex pada Ferry.

“Bagus deh kalo gitu.” Ferry kembali mengisap rokoknya.

Sebagian dari kami sudah hampir menghabiskan makanan masing-masing, aku juga sudah selesai dengan makananku. Aku menghirup pelan minumanku, rasanya begitu nikmat terasa sampai tenggorokanku. Hangat dan melegakan.

Tak lama berselang, Jefri menyenggol lenganku, “Mana rokokku?”

Aku hanya menoleh dan langsung sigap membuka handbag, mengambil rokok miliknya tanpa berkata apa-apa. Aku menatap kembali sekelilingku, kemudian berbisik pelan kepada Jefri, “Aku juga boleh merokok di sini 'kan?”

“Bisa kamu tahan? Nanti aja di jalan,” pintanya yang tak kalah pelan suaranya.

“Kenapa?”

“Ya gak apa-apa. Gak enak aja di sini.”

Aku menuruti, tetapi tiba-tiba saja, selang beberapa menit kemudian, tanpa sadar aku mengambil kotak rokok milikku dari dalam handbag. Jefri yang menyadari tingkahku tiba-tiba saja mencengkram lenganku.

“Kamu ngapain sih, 'kan sudah aku bilang—” ditatapnya lekat kedua bola mataku, “emang ga bisa ditahan ya? Di jalan aja atau entar sekalian di tempat ngopi,” lirihnya.

Aku yang tangannya dicengkram pun sontak kaget menatapnya refleks, kemudian tertunduk lemas, “Iya iya. Sorry.”

Untung saja anak-anak kurang menyadari tingkah laku kami berdua, mereka masih asyik mengobrol. Sedangkan Jefri masih saja menatapku sambil perlahan melepas cengkramannya. Sedangkan aku? Aku arahkan senyum tipis kepadanya agar dia berhenti menatap tajam ke arahku, seakan ingin menerkamku seperti mangsanya.

Kemudian dia hanya menggelengkan kepalanya begitu pelan. Mengapa dia melarangku? Apa haknya melarangku? Siapa aku? Mengapa aku menuruti perkataannya?

Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!