Pagi ini, Tania bersiap akan berangkat KKN bersama teman-teman kelompoknya. KKN merupakan salah satu kegiatan yang wajib bagi semua mahasiswa tingkat akhir jika ingin menyelesaikan studinya.
Dalam satu kelompok Tania, ada dua belas orang. Di antaranya ialah: Tiwy, Ebot, Sekar, Aisyah dan Tania sendiri yang memang teman satu fakultas. Sementara teman yang lain ada: Abid, Vhie, Wulan, Vicky, Kevin, Riswanto, dan Saiful dari fakultas berbeda. Mereka sudah berkumpul di halaman kampus menunggu kendaraan yang akan mengantar mereka ke tempat KKN. Semua akomodasi telah disiapkan dari kampus. Tidak hanya mereka, tapi ada beberapa kelompok lain yang memang akan berangkat KKN hari ini juga.
“Kamu hati-hati ya selama di sana,” ucap Nathan penuh perhatian. Mereka juga sedang menunggu teman yang lain datang. Nathan sudah sejak subuh tadi datang ke kost dan memaksa ingin mengantar Tania ke kampus, karena hari ini Nathan sedang free.
“Iya, Nath. Doain aja semoga semuanya lancar,” jawab Tania dan Nathan hanya sedikit mengangguk dengan tatapan yang penuh arti.
Sejak sampai di kampus tadi, Nathan terlihat sering menatap Tania. Terlebih, saat Tania sedang mengobrol dengan temannya, Nathan diam-diam mencuri pandang ke Tania. Ada rasa khawatir dalam hati Nathan dan kekhawatirannya memang beralasan.
Tania sudah merasakan perasaan yang tidak nyaman saat setelah mendengar tempat yang akan dia dan teman-teman sekelompoknya kunjungi untuk tugas KKN. Tania telah membayangkan bagaimana keadaan tempat di sana dari cerita salah satu dosen pembimbingnya. Namun, Tania segera menepis pikiran-pikiran buruknya dan berusaha tetap berpikir positif.
Tania merasa kalau sikap Nathan semakin posesif akhir-akhir ini. Bahkan, Nathan sudah lebih dulu mencari tahu bagaimana keadaan tempat di sana semenjak Tania akan berangkat KKN hari ini.
Nathan juga memberi tahu keadaan tempat di sana beberapa hari yang lalu. “Di sana banyak hutan. Kamu harus selalu hati-hati dan jangan pernah pergi sendirian.”
Tania tidak begitu cemas dengan manusia. Tapi, dia cemas karena ada makhluk tak kasat mata!
Semenjak bersama Nathan, Tania mulai lebih merasa tenang dan bisa mengendalikan rasa ketakutannya. Itu karena Nathan selalu ada di dekatnya. Tapi kini, mereka berdua harus terpisah bermil-mil jauhnya untuk beberapa waktu.
Sebenarnya, hubungan Tania dengan Nathan saat ini masih tahap pendekatan. Tapi, sudah menjadi kebiasaan Nathan yang sering mengantar jemput Tania di saat dia sedang ada waktu dan kesempatan.
Bahkan, Tania selalu berpikir, apakah pantas hubungan seperti ini hanya sebatas teman saja? Dengan segala perhatian yang selalu Nathan berikan pada Tania? Entahlah, Tania tidak mengerti dan saat ini masih tidak ingin memikirkan tentang hubungan yang tidak jelas ini.
“Eh, itu mereka datang. Yuk, kita ke sana!” ajak Tania pada teman di sampingnya, kemudian menghampiri teman-temannya yang baru datang. Nathan berjalan mengikutinya dari belakang dengan membawakan koper milik Tania.
“Wah, makin lengket aja nih romeo and juliet?” sindir Tiwy yang baru datang sambil melirik ke arah Tania dan Nathan.
Tania tanpa aba-aba langsung menjitak Tiwy yang hobi menggodanya hingga Tiwy mengaduh.
“Aduh...aww! Sakit, anjir!”
“Rasain!”
“Libur lo, Nath?” tanya Aisyah sambil meneguk susu kotak full cream yang dibawanya.
“Iya, Syah, libur sehari. Tapi kalian malah mau pergi KKN,” jawab Nathan dengan ekspresi wajah pasrah yang seolah tidak rela kalau mereka pergi, atau ... Tania pergi?
“Bentar-bentar, otak gue tiba-tiba ngelag nih. Nggak tahu maksud ucapan lo barusan.”
“Iya, Syah. Libur sehari. Tapi malah Tania mau pergi KKN. Gitu maksud Nathan, Aisyaaah!” ucap Ebot yang menyela obrolan mereka dan langsung tertawa disusul dengan tawa teman-teman yang lain.
Ebot dan Tiwy memang pasangan kompak yang suka jahil terhadap hubungan Tania dan Nathan yang masih belum jelas di mana pun mereka berada.
“Sialan lo!” umpat Nathan yang langsung merangkul leher dan mengapit kepala Ebot dengan lengannya karena merasa malu oleh celotehan Ebot.
Tania hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku mereka. “Yang lain masih belum dateng ya?” tanya Tania pada Sekar yang sedang melihat papan pengumuman peserta KKN.
“Tahu tuh. Bentar lagi mungkin dateng, Tan,” jawab Sekar ngasal tanpa mengalihkan tatapannya dari papan pengumuman di depannya, kemudian memanggil Tania. “Eh, Tan. Lihat deh!”
“Paan?” Tania sambil menolehkan kepala melihat Sekar.
“Penggemar berat lo ngikut kelompok kita,” ucap Sekar sambil menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah sebuah nama yang sangat familiar.
“Siapa sih?” Tania mendekati Sekar dengan penasaran karena merasa tidak memiliki penggemar.
“Saiful Jamil, anak Hukum itu.” Belum sempat membaca nama yang ditunjuk, Sekar sudah menyebutkan nama itu.
Oh sial! batin Tania sambil menatap nama Saiful Jamil pada papan pengumuman itu.
“Uhuk, uhuk!” Tiba-tiba Nathan tersedak air mineral pemberian Aisyah.
Sedangkan Aisyah terkekeh geli sambil menepuk-nepuk punggung Nathan. “Makanya pelan-pelan minumnya, Nath.”
“Napa lo, Nath? Cieee, cemburu yeee?” ledek Tiwy yang selalu mengapit lengan Ebot kekasihnya.
“Paan sih lo?! Tenggorokan gue lagi sakit!” ucap Nathan sebagai alasan, dan tentu saja tidak ada yang percaya dengannya.
“Tenggorokan apa hati lo yang sakit?” ledek Ebot disusul dengan tawanya yang langsung meledak, kemudian berlari menjauh dari jangkauan Nathan yang sudah menatapnya dengan tatapan membunuh. Ebot takut dicekik lagi oleh Nathan.
“Lo tenang aja, Nath. Tania tuh nggak suka sama Saiful kok. Ntar gue bakal jagain Tania terus deh selama di sana, biar Saiful nggak deket-deket Tania,” sahut Sekar yang tumben sekali membela Nathan.
Nathan hanya diam dan kembali meneguk air mineralnya sampai habis.
“Setelah ini, kamu mau ke mana?” tanya Tania pada Nathan.
“Balik kos aja deh,” jawab Nathan datar.
“Nggak balik ke rumah mama sama papa kamu aja?” tanya Tania lagi.
“Nggak. Lagi males ke mana-mana,” jawab Nathan dengan wajah masam.
“Oh, gitu. Ya udah, nanti kamu jangan telat makan dan jangan tidur kemaleman,” nasehat Tania yang memang sudah hafal bagaimana kebiasaan Nathan. Sering telat makan kalau tidak diingatkan, dan juga suka begadang tiap malam hanya untuk bermain game yang membuatnya lupa waktu.
Raut wajah Nathan yang semula masam karena kesal saat mengetahui laki-laki yang katanya penggemar berat Tania satu kelompok dengan Tania, kini berubah menjadi senang setelah mendengar nasehat Tania. Namun, Nathan tidak memperlihatkan rasa senangnya.
“Makasih ya,” ucap Nathan menahan senyumnya. “Oh iya, hampir aja lupa. Kamu pakai ini ya. Ini aku dapet dari Mama sepulang umroh minggu lalu.” Nathan memberikan sebuah kalung perak berliontin Asma Allah pada Tania.
“Loh, kenapa dikasih ke aku?” tanya Tania dengan heran meski tidak menolak dan menunduk menatap kalung itu yang sudah berada di tangannya.
“Kamu lebih butuh. Semoga kalung ini selalu bisa jagain kamu selama di sana karena aku nggak bisa dateng setiap saat buat nengokin kamu di sana,” ucap Nathan yang seketika membuat jantung Tania berdegup kencang. “Sini, biar aku pakaikan,” ucap Nathan lagi sambil mengambil kalung itu dan memakaikannya di leher Tania sehingga membuat jantung Tania semakin berdetak cepat dan hampir melompat dari sarangnya.
“Makasih ya,” ucap Tania dengan tersenyum menahan rasa senangnya yang hampir melompat kegirangan.
Astaga, Nath! Kenapa sih, kamu selalu bikin aku baper gini? batin Tania.
Tak lama, peserta KKN yang lain pun mulai berdatangan.
“Udah komplit nih pesertanya. Yuk, kita berangkat sekarang aja!” seru Kevin memberi komando. Peserta KKN berjalan menuju mobil elf dan satu per satu naik ke dalam.
Tania menghentikan langkahnya dan menolehkan kepala menatap Nathan. “Aku berangkat dulu ya?” pamitnya pada Nathan, kemudian segera naik ke mobil elf. Tapi, sebelum Tania naik, tangannya diraih oleh Nathan, membuat Tania kembali menoleh dan menatapnya.
“Kamu hati-hati di sana ya? Kalau sempet, aku pasti bakal dateng ke sana,” ucap Nathan sambil menggenggam tangan Tania yang sudah hampir naik ke mobil elf.
“Iya, Nath. Ya udah, sampai ketemu lagi. Bye.” Tania segera masuk dan memilih kursi di dekat jendela tepat di samping Nathan yang sedang berdiri terus memperhatikannya.
Belum pergi aja gue udah ngerasa kangen. Eh, kenapa sih gue ini? Kok kangen? Sial! batin Nathan.
Ebot yang masih di luar mobil, mendekati Nathan. “Itu tuh yang namanya Saiful Jamil, saingan lo!” ucap Ebot sedikit berbisik sambil menunjuk ke arah Saiful Jamil yang sedang berjalan ke arah mobil dengan tas ransel di punggungnya.
Nathan menatap pada Saiful dengan tatapan tajam.
Tania yang sejak duduk di dalam mobil memperhatikan Nathan hanya tersenyum geli karena merasa lucu dengan reaksi Nathan yang ternyata mudah terpengaruh dengan kejahilan teman-temannya yang hobi menggoda dia.
“Titip Tania, Bot!” Nathan saat Ebot naik ke mobil elf.
“Siap, Komandan!” seru Ebot dengan hormat.
Semua peserta KKN telah naik ke mobil elf.
“Daaah, Nathan!” teriak teman-teman Tania yang duduk satu deretan dengannya saat mobil elf mulai berjalan.
Nathan melambaikan tangannya pada mereka dan tersenyum pada Tania.
“Jangan lupa kabarin aku, Tan!” teriak Nathan dan Tania hanya mengangguk sambil tersenyum menunjukkan jempolnya ke pada Nathan.
Mobil elf berjalan keluar dari halaman kampus dan semakin menjauh, membuat Nathan juga semakin tidak terlihat lagi.
“Tan, kenapa kalian nggak jadian aja sih?” tanya Aisyah yang duduk di samping Tania.
“Lah, dianya aja nggak nembak, gimana mau jadian?” Bagi Tania atau bahkan mungkin kebanyakan orang, suatu hubungan memang harus didasari dengan sebuah komitmen. Seperti mengungkapkan perasaan kepada seseorang yang disayanginya atau sering sekali disebut dengan istilah nembak. Istilah tersebut masih menjadi tradisi jika seseorang dikatakan sebagai kekasih orang tersebut.
“Padahal, udah keliatan banget kalo Nathan suka sama lo,” ucap Aisyah lagi.
“Tapi kan dia belum bilang apa pun ke gue, Syah. Masa iya harus gue yang nembak? Ogah banget!” Tania mengeluarkan ponselnya dan memasang earphone. Dia pun mulai mendengarkan musik.
......................
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam, akhirnya mobil elf yang membawa meraka sampai di Desa Bambu. Jalannya belum diaspal, masih berupa tanah dan bebatuan. Sesuai namanya, banyak rumpun bambu tumbuh di sana.
Mobil elf yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar, bahkan paling besar di Desa Bambu. Rumah itu milik kepala desa. Mereka pun turun satu per satu dengan barang bawaan mereka yang banyak.
Terlihat Pak Kades sedang menunggu di depan teras rumah bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Beliau pun menyambut kedatangan mereka dengan hangat. “Selamat datang, Mas-Mas dan Mbak-Mbak. Mari, silahkan masuk!”
“Terima kasih, Pak,” ucap Kevin dengan sopan.
Mereka meninggalkan barang-barang bawaan mereka di luar dan masuk, lalu duduk di ruang tamu rumah Pak Kades yang cukup luas untuk menampung mereka semua.
“Mungkin dari pihak kampus sudah meminta ijin agar kami bisa KKN di sini, Pak. Namun, secara pribadi, kami ingin meminta ijin kembali ke Pak Kades kalau selama sebulan ke depan, kami akan merepotkan Bapak.” Saiful mengawali obrolan.
“Oh, iya. Tidak apa-apa, Mas. Justru saya dan para warga di sini merasa senang ada mahasiswa yang melakukan kegiatan KKN di sini. Desa Bambu akan terasa lebih ramai lagi nantinya dan juga akan terbantu oleh kalian,” ujar Pak Kades.
“Ngomong-ngomong, nanti kami tinggal di mana ya, Pak?” tanya Kevin.
“Saya sudah menyediakan rumah yang ada di tengah desa. Saya rasa, rumah itu cukup untuk kalian karena paling banyak kamarnya. Rumah itu kosong, yah ... memang disediakan untuk keperluan KKN seperti yang sudah-sudah,” jawab Pak Kades menjelaskan.
“Terima kasih banyak ya, Pak. Jadi merepotkan,” sambung Aisyah basi-basi.
Mereka pun diantar oleh seorang warga suruhan Pak Kades menuju rumah yang berada di tengah-tengah Desa Bambu yang akan menjadi tempat tinggal mereka selama sebulan ke depan dengan berjalan kaki karena jalanannya tidak memungkinkan untuk dilalui mobil.
Benar-benar luar biasa! Untung aja gue cuma membawa satu koper bawaan aja, gumam Tania dalam hati.
Teman-teman yang lainnya ada yang membawa gitar, bantal pribadi, juga boneka. Katanya, dia tidak bisa tidur tanpa bonekanya. Dan dia itu adalah Tiwy.
“Fyuhh ... berasa pindahan nih,” gumam Tania.
Tania berjalan berdampingan dengan Aisyah dan Sekar.
“Oh, ya ampun! Nih sinyal pada ngumpet ke mana sih ya?!” Tania menggerutu merasa kesal sambil mengangkat ponselnya tinggi-tinggi dan menggoyang-goyangkannya, berharap mendapatkan sinyal.
“Hiah! Yang udah kangen sama Aa. Oh iya, tadi kan suruh ngabarin ya? Mampus lu! Nathan bakal uring-uringan nggak dapet kabar dari elu!” ledek Ebot yang berjalan di belakang Tania.
“Ini hutan kali, Tan. Pelosok! Ya pasti nggak ada sinyal lah,” cetus Vhie yang berjalan di depannya.
“Iya juga ya? Tanpa internet selama sebulan dong nanti? Aaargh!” Tania merasa frustasi sambil mengentakkan kaki.
“Kayaknya kita memang kudu fokus KKN nih. Nggak bisa main-main,” sambung Aisyah.
“Tan, nggak nyangka kita bisa satu kelompok,” ucap Saiful yang sudah berjalan mensejajari Tania.
“Iya,” jawab singkat Tania karena masih sibuk mencari sinyal di ponselnya.
“Udah, percuma. Nggak bakal dapet sinyal di sini,” ucap Saiful lagi yang berusaha mencari perhatian dari Tania.
“Tahu gini, tadi aku pinjem walkie talkie-nya Nathan,” gumam Tania kembali menggerutu merasa kesal.
“Cowok tadi itu, pacar kamu ya?” tanya Saiful lagi.
“Bukan. Temen,” jawab Tania apa adanya.
“Masa sih? Aku sering lihat dia nganter jemput kamu ke kampus,” kata Saiful lagi yang membuat Tania merasa kesal.
“Emangnya cuma pacar doang yang bisa antar jemput?!”
“Pul, dia itu calonnya Tania. Polisi. Udah deh, lo nggak usah deketin Tania lagi!” sahut Aisyah.
“Selama janur kuning belum melengkung, masih bisa ditikung kali,” sindir Saiful sambil melirik pada Tania dan Tania langsung memelototinya dengan marah.
Dasar gila!
“Bercanda kali, Tan.”
***
Setelah menempuh perjalanan hampir dua kilometer dengan berjalan kaki, akhirnya mereka sampai di rumah yang dituju.
“Alhamdulillah, nyampai juga!” teriak Ebot dan langsung merebahkan tubuhnya di teras depan rumah.
Lantai rumah itu masih tegel zaman dulu, bukan keramik seperti rumah-rumah zaman sekarang. Namun, rumah itu terlihat bersih. Sepertinya masih terawat.
“Ini rumahnya. Kamarnya ada delapan. Ada dua kamar mandi di belakang sebelah dapur. Cuma WC-nya aja ada di dekat sumur belakang rumah karena belum lama dibangun,” ucap Pak Karno menerangkan.
“Duuuh, kalo pas kebelet tengah malem, gimana dong, Pak? Horor banget pasti nih, dikelilingi pohon-pohon gede kayak gini,” ucap Abid sambil bergidik ngeri.
“Ya kalau gitu, usahakan jangan sampai kebelet tengah malem, Mas,” jawab Pak Karno. “Sebenarnya, desa ini sih aman daripada Dusun Alas,” imbuhnya.
“Emangnya, Dusun Alas kenapa, Pak?” tanya Tania penasaran.
“Angker, Mbak,” jawab Pak Karno. “Dulu, semua warganya dibantai sama orang. Terus katanya, arwah mereka penasaran. Saya sarankan, untuk selalu hati-hati aja. Jangan sampai kalian masuk ke Dusun Alas karena jaraknya lumayan dekat dari sini,“ lanjut Pak Karno menjelaskan.
“Hah? Dibantai? Ngeri banget, ih!” pekik Sekar sambil bergidik ngeri. “Kapan itu kejadiannya, Pak?”
“Sekitar 20 tahun yang lalu, Mbak. Bahkan, sampai sekarang desa itu nggak ada penghuninya. Jangan main-main ke sana pokoknya!” saran pak Karno.
“Iya, Pak. Makasih ya infonya,” sahut Tania dan mengakhiri obrolan ini.
Pak Karno kemudian pulang ke rumahnya yang berada di ujung jalan, searah dengan mereka.
“Oke, kita bagi tugas dulu,” ucap Kevin.
“Ketua, Riswanto! Gimana? Setuju?” usul Saiful.
“Setujuuu!” jawab mereka semua dengan kompak.
“Eh, kok gue sih?” protes Riswanto.
“Kan lo ketua DPMU. Udah dipercaya deh bakal jadi ketua selama kita di sini. Setuju kan semua?” tanya Saiful.
Riswanto hanya bisa menghela napas pasrah. Dia memang memiliki pribadi yang dewasa dan pendiam sehingga digandrungi mahasiswi-mahasiswi setingkat maupun adik tingkatnya. Dia juga menjabat sebagai DPMU (Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas). Jadi, eksistensinya tidak diragukan lagi.
“Wakilnya siapa nih?” tanya Abid.
“Ipul aja tuh. Mereka kan kaya kembar siam. Ke mana-mana selalu bareng,” jawab Vicky.
“Setujuuu!” Mereka semua kembali menjawab dengan kompak.
Saiful pun kena getahnya dan dia juga hanya bisa pasrah.
“Bendahara siapa? Cewek nih harusnya,” kata Riswanto.
“Ada yang mau nggak?” sambung Saiful.
“Lo aja gimana, Tan sama Vhie?” usul Riswanto.
Tania dan Riswanto memang sudah akrab karena rumah mereka berdekatan dan Riswanto teman kecil Tania.
“Eh? Gue?” Tania menunjuk dirinya sendiri dengan bingung, kemudian menoleh ke arah Vhie. “Vhie, gimana?” tanyanya pada Vhie dan Vhie hanya menanggapi dengan mengangkat kedua bahunya saja.
“Oke, fix! Bendahara 1, Tania dan bendahara 2, Vhie,” ucap Saiful penuh semangat. Kemudian, dibentuk juga jadwal untuk masak setiap harinya. Karena kelompok mereka ada 12 orang, mereka bagi untuk memasak dan bersih-bersih rumah 2 orang per harinya. Untuk hari Minggu, mereka akan melakukan kegiatan tersebut bersama-sama. Ya, hitung-hitung kerja bakti.
Tania mendapat jadwal di hari Selasa bersama Riswanto.
Setelah selesai membagi tugas, mereka masuk ke kamar masing-masing untuk membereskan barang-barang bawaan.
Tania sekamar dengan Tiwy, sedangkan Aisyah dengan Sekar. Ebot dengan Kevin, Vhie dengan Wulan, Riswanto dengan Saiful, dan Vicky dengan Abid. Dan ternyata, masih tersisa 2 kamar kosong yang letaknya di belakang.
Di setiap kamar, sudah dilengkapi 2 tempat tidur berukuran single dengan meja di tengahnya dan jendela yang cukup besar juga.
“Ini serius nggak bakal ada sinyal, Wy?” tanya Tania pada Tiwy sambil kembali sibuk mencari sinyal di ponselnya.
“Ya ampun, segitu kangennya sama Babang Nathan. Ntar juga dia nyusul ke sini,” ucap Tiwy dengan yakin.
“Masa?”
“Lo lihat aja ntar. Gue paham banget gimana dia, apalagi perasaannya ke lo tuh udah dalem banget melebihi dalemnya Samudra Pasifik! Yang gue heran nih ya, kapan sih dia nembak lo? Biar kalian jadian sekalian!” ucap Tiwy dengan gemas.
Tania hanya diam tidak menanggapi ucapan Tiwy. Dia kemudian meletakkan ponselnya di atas meja dan melanjutkan membereskan barang bawaannya.
Tok! Tok! Tok!
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar jendela.
Seketika Tania dan Tiwy saling lempar pandangan. Suara ketukan itu terdengar pelan, tapi begitu jelas di telinga mereka. Tiwy memberi isyarat pada Tania untuk melihat siapa yang mengetuk.
Perlahan Tania berdiri dan berjalan mendekat ke arah jendela. Tania sedikit mengintip dari balik korden karena memang korden masih tertutup rapat dan belum sempat dibuka.
Kosong!
Tidak ada siapa pun di luar jendela.
Akhirnya, Tania membuka korden itu lebar-lebar agar cahaya matahari masuk. Dia juga membuka lebar jendelanya.
“Siapa, Tan, yang ketok?” tanya Tiwy penasaran.
“Ayam tadi lewat di bawah,” jawab Tania ngasal. Kalau Tania jujur, takutnya membuat Tiwy paranoid nantinya dan berpikir kalau itu ulah makhluk halus.
Sebenarnya, Tania sendiri juga merasa penasaran siapa yang mengetuk tadi, karena Tania tidak melihat siapa pun di luar jendela.
......................
Setelah beres-beres, mereka semua kembali berkumpul di ruang tamu. Karena ini hari pertama datang, mereka memutuskan untuk observasi keliling Desa Bambu terlebih dahulu agar tahu tentang keadaan desa itu seperti apa.
Tania pergi bersama Aisyah, Tiwy, Sekar, dan Ebot karena mereka satu fakultas. Dan nanti, mereka akan merencanakan proker individu dan sepakat akan selalu saling membantu. Tidak ada persaingan dalam hal ini.
Desa Bambu tidak terlalu luas, namun karena sebagian besar masih pepohonan dan hutan, seolah-olah mereka merasa sudah berjalan jauh sekali. Lalu, sampai mereka di ujung desa ada pagar dari bambu yang menyilang di tengah-tengah jalan dan ada tulisan “Dilarang Masuk ke Dusun Alas”, lalu ada tanda silang merah yang cukup besar.
“Eh, itu jangan-jangan desa yang tadi dibilang sama Pak Karno ya? Yang katanya angker gitu. Hiii, ngeri!” ucap Tiwy sambil bergidik.
“Kayaknya sih iya. Tapi kok cuma dipalang gini aja? Masih ada akses keluar masuk dengan mudah dong ini. Kalau misal ada orang yang nggak tahu, bisa masuk ke desa tak berpenghuni itu. Bahaya banget!” sambung Sekar.
Samar-samar Tania melihat beberapa gerombolan anak kecil yang diam mematung dengan wajah pucat dan bersimbah darah di dalam Dusun Alas. Gerombolan anak-anak kecil itu melambai-lambaikan tangan kepada mereka. Tapi, Tania melihat teman-temannya diam tidak merespons. Itu berarti, hanya dia yang melihatnya.
“Udah yuk, balik aja! Kita keliling lagi!” ajak Tania sambil membalikkan badan dan berlalu pergi. Akhirnya, teman-temannya mengikutinya pergi.
Setelah berjalan mengelilingi Desa Bambu, mereka kembali ke posko, dan di sana teman-teman yang lain juga sudah berkumpul.
“Gimana, kalian udah nentuin proker pribadi kalian?” tanya Riswanto begitu mereka sampai.
“Udah kok,” jawab Tania mewakili teman-temannya yang masih mengatur napas karena kelelahan.
Beruntung, Nathan sering mengajak Tania olahraga lari pagi sehingga Tania merasa terbiasa dengan kegiatan di luar seperti ini.
“Ya ampun, udah mirip ikan yang kehabisan oksigen aja kalian,” ledek Kevin.
“Gila! Desa ini luas banget, pohon doang lagi isinya!” seru Ebot dengan napas yang masih ngos-ngosan.
“Lebay, lo!” sahut Tania mengejeknya.
“Kamu nggak capek, Tan?” tanya Aisyah.
“Ya capek, tapi juga nggak segitunya kali. Makanya, pada dibiasain olahraga! Baru jalan segitu aja udah pada bengek,” jawab Tania meledek mereka.
“Iyaaa ... yang tiap pagi disamperin joging ama Babang Nathan, paham gue!” balas Tiwy balas meledek Tania.
Tania tidak menanggapi ledekan Tiwy dan mengalihkan topik pembicaraan. “Oh iya, Ris, soal proker kelompok gimana? Udah ada ide?” tanyanya pada Riswanto.
“Eum ... gue sih udah ada beberapa ide, Tan. Lo sendiri, ada ide apa?”
“Tadi, kita lihat ada pembatas antara Desa Bambu dengan Dusun Alas cuma dipalang bambu gitu aja, dan kesannya asal-asalan gitu deh. Gimana kalau kita bikin pembatas buat desa ini juga? Biar jelas kalau memang ada pembatas, jadi orang tahu kalau memang dilarang masuk ke Dusun Alas. Kata Pak Karno, desa itu bahaya, ‘kan? Takutnya, nanti ada orang yang nyasar, terus masuk ke sana gitu aja, kan kasian,” saran Tania.
“Good idea, Tan! Ada lagi nggak?” tanya Riswanto.
“Eum ... itu dulu kayaknya. Paling sama nambah penerangan jalan aja. Lampunya dikit banget. Masih kurang terang deh kalau menurut gue. Cuma pakai bohlam yang warna kuning dan agak kecil. Redup kan itu?” ucap Tania menambahkan.
“Oke, gue catet nih. Mungkin, ada yang mau menambahkan?” tanya Riswanto kepada yang lain.
Mereka berdiskusi sampai sore.
Setelah selesai, Tania beranjak untuk mandi karena badannya terasa lengket sekali dan tak lupa membawa handuk, baju ganti, juga peralatan mandinya. Dia masuk ke kamar mandi yang sebelah kanan karena yang sebelah kiri pintunya tertutup dan sepertinya ada yang sedang memakainya.
Airnya rasanya segar sekali. Tania mandi keramas karena rasanya seperti belum mandi kalau tidak keramas.
Selesai mandi, Tania mengeringkan rambut dan tubuhnya dengan handuk. Setelah itu, dia segera memakai pakaiannya. Tapi, tiba-tiba dia merasakan seperti ada yang menyangkut di kakinya. Tania melirik ke bawah. Dia melihat ada rambut yang lumayan banyak di lantai kamar mandi. Kemudian dia meraih helaian rambut yang menyangkut di kakinya.
Perasaan, rambut gue nggak ada rontok deh. Lagian, ini juga kok panjang banget ya? Di sini yang punya rambut panjang cuma gue, tapi juga nggak sepanjang ini deh. Terus… ini rambut siapa?
Tania masih berpikir soal rambut siapa itu, namun dari samping kirinya, dia merasakan ada bayangan hitam yang perlahan turun dari atas. Seperti rambut yang panjang sekali.
Dengan perlahan, Tania melirik ke samping kirinya.
Deg!
Seketika, jantungnya berdesir tak karuan saat melihat sosok perempuan yang berdiri terbalik dengan rambut hitam panjang hampir satu meter. Wajahnya sangat pucat tanpa ekspresi dan terlihat begitu menakutkan.
Tania langsung panik dan dengan buru-buru membuka pintu kamar mandinya.
Ceklek! Ceklek!
“Sial!” Dia mengumpat karena pintunya tidak bisa dibuka, seperti terkunci dengan sendirinya.
Brak! Brak! Brak!
“Tolong! Tolong bukain pintunya!” teriak Tania sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi dari dalam tanpa berani melihat ke belakang. “Temen-Temen, tolong buka!”
“Tan, lo di dalem?” tanya Kevin dari luar setengah berteriak.
“Vin, tolong bukain! Pintunya kekunci, nggak bisa dibuka!” teriak Tania dan berusaha untuk tidak panik.
“Ya udah, lo mundur gih! Biar gue dobrak.”
“Duh, kok pake mundur segala sih?” Tania kembali panik karena merasa takut.
“Ya mundur, Tan. Ntar lo kena pintu pas gue dobrak gimana?”
“Oh, iya, ya. Iya deh. Cepetan ya, Vin!” pinta Tania yang mendadak jadi oneng karena ketakutan.
Tania pun mundur sambil menutupi wajahnya agar tidak melihat sosok yang masih ada di belakangnya.
Brak!
“Allahu Akbar!” pekik Tania terkejut begitu pintu didobrak dan langsung terbuka.
Hanya dengan sekali tendangan, Kevin berhasil membuka pintu kamar mandi itu. Tidak heran karena Kevin merupakan seorang atlet karate.
Tania melihat ekspresi terkejut dari Kevin yang sama dengannya. Kevin melihat sosok itu juga! Dengan cepat, Tania berlari keluar sambil menarik tangan Kevin.
“Tan, itu tadi apaan?” tanya Kevin dengan wajah yang terlihat pucat.
“Itu tadi Miss K. Lo mau kenalan?” tanya Tania sambil setengah bergurau menggoda Kevin agar tetap tenang.
“Hah? Miss K? Ogah! Serem banget, ih!” Kevin langsung bergidik ngeri.
“Udah ah, ayo!” ajak Tania yang tidak ingin berlama-lama di dapur. “Eh, lo jangan bilang-bilang ke temen-temen yang lain dulu ya! Takutnya, nanti pada heboh, malah jadi berabe,” imbuh Tania.
“Iya, lo bener!”
......................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!