NovelToon NovelToon

Rumah No. 27

Bulan Februari

Tahun 2015 menjadi tahun baru bagiku yang baru saja kehilangan pekerjaanku.

Perkenalkan namaku melisa, orang sekitarku biasa memanggilku lisa.

Usiaku sekarang dua puluh empat tahun, dan tinggiku masih di bawah seratus enam puluh senti meter.

Selain kehilangan pekerjaan, aku juga baru saja rugi seratus juta rupiah, karena tergiur keuntungan besar, yang di tawarkan oleh perusahaan futures.

Hanya butuh waktu tiga bulan untuk uang tersebut hilang.

Celakanya adalah, uang tersebut milik orangtuaku, yang mereka percayakan padaku, untuk aku kelola uang tersebut.

Uang yang mereka hasilkan dengan jerih payah mereka, hilang tak bersisa.

Aku yang bodoh dan tergiur dengan kemewahan yang di tawarkan oleh marketing perusahaan futures, menandatangi perjanjian tanpa mencari tahu lebih dalam, mengenai perusahaan tersebut terlebih dahulu.

Semua sudah terjadi, airmata, kekecewaan, dan depresi sudah kulewati.

Sekarang aku dalam perjalanan menuju pondok aren, karena aku sudah tidak punya uang untuk membayar sewa kontrakan lagi.

Pondok aren adalah rumah tante mirna, salah satu kenalanku, yang dengan baiknya menawarkanku untuk tinggal di rumah kontrakan, yang dia sewa bersama kedua anaknya.

Kontrakan yang sebelumnya ku tinggali, letaknya di radio dalam.

Butuh satu jam perjalanan menggunakan kendaraan umum, untuk aku bisa sampai di rumah tante mirna.

Setelah tiga kali berganti angkutan umum, akhirnya aku sampai di gapura masuk area perkampungan, yang tante mirna jelaskan padaku tadi pagi.

Aku kemudian menelvon tante mirna dan mengabari kalau aku sudah sampai.

"Tunggu situ dulu, nanti aku jemput", ujar tante mirna padaku di telvon.

Sepuluh menit kemudian, aku melihat tante mirna dari kejauhan.

Aku langsung berjalan menemui tante mirna dan menarik koper yang berisi pakaian milikku.

"Jam berapa dari radio dalam", tanya tante mirna padaku, saat aku sudah di dekatnya.

"Jam sepuluh tante", jawabku, setelah mencium tangan tante mirna.

Aku kemudian berjalan berdampingan dengan tante mirna, sambil mendengar cerita tante mirna mengenai parfum mahal yang baru dia beli.

Butuh sepuluh menit berjalan kaki, dari tempat pemberhentian angkutan umum, untuk sampai ke depan rumah tante mirna.

Rumah yang bercat kuning terang nomer dua puluh tujuh, dengan pagar dengan tinggi sepundakku, yang berwarna coklat, adalah rumah tante mirna.

Pagar coklat tersebut merupakan akses pertama, untuk masuk ke area rumah.

Dari luar rumah, aku langsung bisa melihat garasi yang kosong.

Garasi rumah tante mirna, bisa muat satu mobil dan dua motor.

Di ujung garasi ada mesin cuci, juga jemuran yang menempel di dinding.

Ada dua pintu untuk bisa masuk ke rumah tante mirna.

Pintu pertama langsung menuju ruang tamu, dan pintu kedua menuju lorong rumah.

Aku masuk melalu pintu kedua, aku langsung melihat lorong yang lurus berhadapan dengan pintu belakang.

Kamar pertama yang ku jumpai adalah kamar seli, anak perempuan tante mirna.

Kemudian aku melihat akses ke ruang tamu, yang ada di sebelah kanan.

Ruang tamu tante mirna tertata dengan rapi dan bersih.

Di sebelah ruang tamu ada kamar tante mirna, satu-satunya kamar yang memilki air conditioner.

Ketika aku masuk lebih dalam lagi, aku bisa menemukan kamar belakang, setelah kamar seli, yang di gunakan bian, anak pertama tante mirna.

Juga ada dapur kecil di sebelah kanan.

Ada kulkas di samping pintu menuju dapur kotor di belakang.

Di sebelah kulkas, ada tempat untuk mencuci piring, dan juga tempat untuk menata makanan.

Kemudian di sebelah tempat untuk mencuci piring, ada pintu menuju kamar mandi.

Di ruangan paling belakang, selain berfungsi sebagai dapur kotor, juga ada rak papan yang panjang, dengan dua tingkat.

Sebelah kiri rak papan, tante mirna fungsikan untuk menaruh kumpulan sepatu, dan sebelah kanan untuk perlengkapan dapur.

"Kamu tidur di kamar seli ya, biar seli tidur denganku", ujar tante mirna padaku, setelah mengajakku berkeliling rumah.

Aku kemudian masuk ke kamar seli, dan mulai membongkar koperku.

"Dikit amat bajunya", tanya tante mirna padaku.

Tante mirna duduk di sofa yang melengkung, yang terletak di sebelah jendela kamar seli.

Jendela kamar seli punya akses pemandangan langsung ke garasi, dan ke jalan luar rumah.

"Iya tante, bajuku emang dikit", jawabku pada tante mirna sambil tersenyum.

"Yaudah nanti kalau kurang, kamu pakai baju seli aja nggak papa", ujar tante mirna.

"Terimakasih tante", jawabku atas tawaran tante mirna.

Aku kemudian meletakkan pakaianku ke dalam lemari baju seli.

"Anak-anak pulang jam berapa tante", tanyaku pada tante mirna.

"Paling sebentar lagi", jawab tante mirna.

Setelah membereskan semuanya, tante mirna mengajakku untuk makan siang.

Setelah makan siang, kita ke ruang tamu, dan mulai mengobrol, sambil menunggu kedua anak tante mirna pulang.

Ruang tamu tante mirna, lumayan luas, setelah pintu masuk pertama, ada sofa berwarna merah yang memilki akses pemandangan langsung ke teras rumah, yang tante mirna hiasi dengan beberapa tanaman yang ada di pot.

Teras rumah tante mirna, di tutupi oleh tembok setinggi rumah, jadi orang yang lewat, tidak bisa melihat ruang tamu rumah tante mirna secara langsung.

Sofa berwarna hijau, dua kursi kecil dan gentong dari tanah liat, yang di tutup kaca bundar, bisa di temui saat aku masuk melalui akses dari depan kamar seli.

Di ujung dinding ada meja tinggi dan panjang, di penuhi dengan piring hias, dan juga foto-foto keluarga tante mirna.

"Nih minum es teh dulu", ujar tante mirna padaku.

"Terimakasih tante", jawabku.

Aku kemudian menyeruput es teh yang tante mirna tawarkan.

"Rencana kamu gimana kedepannya", tanya tante mirna padaku.

"Belum tau tante, mungkin cari pekerjaan freelance", jawabku.

"Ikut aku aja ya, jadi broker tanah, mau nggak", ajak tante mirna padaku.

"Boleh tante", jawabku.

Tak lama kedua anak tante mirna yang masih remaja pulang ke rumah.

Seli dan bian datang ke ruang tamu dari pintu kedua, lalu menyapa tante mirna.

"Kenalin, ini lisa", ujar tante mirna pada kedua anaknya.

Seli dan bian kemudian mencium tanganku, lalu menuju kamar mereka masing-masing.

Seli meninggalkan tas dan jaketnya di ruang tamu, tante mirna kemudian mengambilnya dan membawa ke kamar lisa.

Seli berusia tiga belas tahun, dan bian lima belas tahun.

Seli baru masuk SMP, dan bian hampir lulus SMP.

"Makan dulu bian baru main game", pinta tante mirna pada anak pertamanya.

"Lauknya apa ma", tanya seli pada tante mirna, sambil tetap melihat handphonenya.

"Kak lisa tadi bawain ayam goreng, sama sayur kangkung sel", jawab tante mirna.

"Yes, makasih ya kak", ujar seli padaku.

"Iya", jawabku.

"Sel, nanti kamu tidur sama mama ya, biar kak lisa tidur di kamar kamu", ujar tante mirna.

"Oke", jawab seli singkat.

Keributan kemudian terdengar di dapur, aku dan tante mirna langsung beranjak untuk melihat apa yang terjadi.

"Kenapa", tanya tante mirna.

"Ini mah seli ngambil semua bala-balanya", ujar bian.

"Seli bagi dong kakaknya, jangan di makan sendiri", pinta tante mirna.

"Yaelah, cuma ada lima ma, kecil-kecil pula", jawab seli dengan muka juteknya.

"Tau nih, maruk", ujar bian sambil kembali masuk ke dalam kamarnya.

Seli dengan cueknnya mengambil makanan, dan lauknya, lalu makan di kursi kecil yang ada di ruang tamu.

***

Pohon Rambutan

Semua baju kotor sudah ku kumpulkan, di hari jumat dan cucian luar biasa banyak.

Sebelumnya, tante mirna selalu membawa baju kotornya untuk di cuci, di rumah kakaknya, setiap tante mirna pergi ke pondok pinang.

Aku kemudian menyarankan tante mirna untuk mencuci di rumah, karena tante mirna memiliki mesin cuci.

Awalnya adalah kami mencuci bersama, tapi aku selalu berakhir dengan mencuci semua pakai tante mirna, dan kedua anaknya sendiri, setiap hari jumat.

Kadang perasaan kesal muncul, saat aku selesai mencuci, dan melihat tante mirna dan kedua anaknya santai bermain dengan handphone mereka.

Aku berusaha menelan semua kekesalanku, dan mensyukuri karena tante mirna sudah membiarkanku tinggal di rumahnya tanpa pungutan biaya.

Akhir minggu, biasanya tante mirna dan seli pergi ke rumah adik tante mirna di pondok pinang.

Sementara bian, dia pergi kerumah temannya yang ada di bintaro.

Mereka baru akan kembali ke rumah minggu malam.

Bian berangkat di hari jumat malam, tante mirna dan seli biasanya berangkat di hari sabtu pagi.

"Sel bantuin aku bawa cucian ke depan dong", pintaku pada seli.

"Oke", jawab seli tanpa melihatku.

Seli kemudian membantuku membawa semua cucian ke garasi.

Mesin cuci tante mirna, bekerja setiap hari jumat, dari jam tiga sore sampai jam delapan malam.

"Ma aku berangkat ke rumah aska ya", pamit bian, pada tante mirna yang sibuk dengan handphonenya.

"Iya, ati-ati ya", ujar tante mirna.

"Kak aku ke rumah aska ya", pamit bian padaku, saat dia melihatku dan seli sibuk di garasi, dengan cucian kotor penghuni rumah.

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Cuci dulu pakaianmu baru pergi", ujar seli ketus pada bian.

Bian hanya menatap sinis pada seli tanpa menjawab, lalu membuka pagar rumah dan berlalu.

"Kak bilang dong biar bian cuci sendiri bajunya", protes seli padaku.

"Kenapa kenapa", ujar tante mirna yang baru keluar dari dalam rumah dan mulai mengikat rambutnya.

"Bian tuh, suruh dong cuci bajunya sendiri", protes seli pada mamanya.

"Kalau kamu nggak mau bantuin kak lisa nyuci, biar mama aja yang bantu", ujar tante mirna.

"Nggak mau bantu gimana, orang kak lisa aja nyuruh aku terus setiap dia nyuci, baju bian kan paling kotor ma, suruh dong anak kesayangan mama nyuci sendiri", pinta seli dengan ketus.

"Udahlah dek, kalau kamu protes mulu, masuk sana ke dalam", ujar tante mirna.

"Pusing mama dengerin kamu ngoceh mulu", ujar tante mirna lagi.

Seli kemudian masuk ke dalam rumah, sambil memaki mamanya dengan lirih.

Setelah seli masuk ke rumah, tante mirna mulai menyiram air, dan membersihkan debu yang ada di garasi.

"Te aku ke dalam dulu ya", ujarku, meninggalkan tante mirna yang mulai menyapu garasi dengan sapu lidi.

"Oke, sama tolong masak nasi ya buat makan malam, nanti kita beli lauk di turunan aja", ujar tante mirna.

"Oke", jawabku singkat.

Aku masuk ke dalam rumah, memasak nasi di ricecooker, kemudian bersantai di sofa merah yang ada di ruang tamu, sambil menunggu putaran mesin cuci selesai.

"Kak nanti malam nonton film yuk", ajak seli padaku.

"Nonton apa", tanyaku pada seli.

"Horor kak, aku download dulu ya di komputer bian", ujar seli.

"Jangan horor sel, yang lain dong", pintaku pada seli.

"Thriller gimana", tanya seli.

"Boleh, tapi yang bagus ya", pintaku pada seli.

Seli beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar bian.

Aku kemudian melihat handphoneku, dan membalas pesan dari rekan-rekan seperjuanganku.

Menjadi broker, membuatku memiliki koneksi yang sangat luas.

Meski begitu, ternyata pekerjaan tersebut sangat sulit untuk menghasilkan uang.

Sudah satu bulan lebih, tapi masih belum ada satupun pekerjaan yang berhasil.

Semua rekan brokerku, tidak ada yang seumuran denganku, semuanya berusia di atas empat puluh tahun.

Tante mirna sendiri sudah berusia lima puluh tahun.

Aku mengenal tante mirna, dari teman kantorku.

Sekitar satu tahun yang lalu, aku pertama kali bertemu dengan tante mirna di radio dalam.

Kita makan mie ayam bersama di haji nawi.

Bukan hanya tante mirna yang menemuiku saat itu, ada om ridwan, dan tante cindy yang merupakan rekan kerja tante mirna.

Saat itu kita membicarakan rencana tante mirna yang ingin membeli rumah di radio dalam.

Hanya saja, sampai enam bulan tante mirna tidak pernah memberi kabar.

Hingga dua bulan lalu, aku kembali menghubungi tante mirna, menanyakan kabarnya, juga menanyakan kegiatan tante mirna saat ini.

Siapa sangka dia yang akan menolongku yang seorang diri di jakarta, tanpa penghasilan.

Aku terlalu takut untuk memberitahu orangtuaku, kalau aku kehilangan uang yang mereka percayakan.

Aku sembunyikan semua sendiri, dan selalu berbohong setiap orangtuaku menanyakan hasil dari investasinya.

"Lisa mesinnya udah berhenti", teriak tante mirna dari luar.

Aku menghalau pikiranku, kemudian turun dari sofa dan berjalan ke garasi.

"Masih banyak nggak", tanya tante mirna padaku.

"Nggak tante, sekali lagi langsung selesai", jawabku.

Tante mirna yang sudah selesai membersihkan garasi, kemudian menyirami tanaman, lalu masuk ke dalam rumah.

"Kak nonton the ring aja ya", pinta seli padaku dari jendela kamarnya.

"Oke", jawabku.

Setelah menyelesaikan cucian, aku dan seli berjalan ke turunan, untuk membeli lauk makan malam.

Begitu kembali ke rumah, aku dan seli makan di kamar bian sambil menonton film.

Tante mirna memilih duduk di ruang tamu, menyalakan rokoknya, dan meminum es kopi sambil memandang keluar jendela.

Tante mirna selalu membuat ruang tamunya redup setiap malam, jarang sekali tante mirna menyalakan lampu utama.

Ruang tamu juga hanya di pasang vitrase, tanpa tirai, jadi setiap kita di ruang tamu, kita bisa melihat tembok luar yang ada di depan rumah.

*

Hari sabtu pagi, tante mirna dan seli berangkat ke pondok pinang, tinggalah aku sendiri di rumah.

Aku kemudian membersihkan seluruh rumah, lalu berolahraga yoga.

Kemudian aku menghabiskan sisa hari, browsing internet di komputer milik bian.

Biasanya aku menonton film terbaru yang aku download secara ilegal, atau hanya melihat sosial media.

Begitu terasa mengantuk, aku langsung ke kamar seli, mematikan seluruh lampu, dan hanya menyisakan lampu yang ada di lorong supaya tetap terang.

Saat aku mematikan lampu kamar dan mulai beranjak tidur, mataku melihat pemandangan luar rumah dengan jelas.

Kamar seli sama seperti ruang tamu, hanya terpasang vitrase tanpa tirai, dan tempat tidur seli menghadap langsung ke jendela.

Aku bisa melihat garasi yang terang, jalanan depan rumah, dan kebun gelap di seberang rumah.

Ada pohon rambutan yang bisa kulihat dengan jelas di kebun kosong yang gelap.

Aku kemudian menyalakan lampu kamar seli kembali, karena mataku yang semula lelah, menjadi kembali cerah setelah menatap pohon rambutan tersebut.

***

Kamar Bian

Pagi di bulan april, menandai tepat tiga bulan aku tinggal di rumah tante mirna.

Setiap hari senin sampai jumat, seli dan bian selalu berangkat ke sekolah sekitar pukul 06.15 pagi.

Sebelum pukul enam pagi, rumah selalu ramai dengan teriakan dari tante mirna yang membangunkan kedua anaknya, kemudian mereka bergegas berangkat.

Aku terbangun sekitar pukul enam lewat lima belas pagi, di hari senin minggu pertama.

Keributan yang biasa kudengar di pagi hari, tidak terdengar pagi ini.

Aku keluar dari kamar seli dan berjalan ke dapur, mataku menatap sosok seli yang sedang duduk di depan komputer bian.

Aku kemudian menghampiri seli yang masih sibuk dengan tulisannya di blog miliknya.

"Kamu nggak sekolah sel", tanyaku pada seli.

"Guru lagi rapat jadi libur", jawab seli.

"Mama kemana", tanyaku lagi.

"Nggak tau, di kamarnya mungkin", jawab seli.

Aku kembali ke arah dapur, dan kulihat banyaknya piring kotor di tempat cuci piring.

Setelah membersihkan semua piring kotor, aku cuci muka dan membersihkan diri.

Kemudian aku berjalan ke kamar tante mirna, dan kulihat tante mirna masih tidur di kamarnya.

Aku lalu kembali ke kamar, dan membalas pesan yang masuk ke handphonku.

"Kak mau masak apa hari ini", tanya seli padaku, sekitar pukul delapan pagi.

"Terserah sel", jawabku singkat.

Seli kemudian menanyakan pada tante mirna.

"Bikin bubur manado aja dek gimana", tanya tante mirna pada seli.

Seli langsung menyetujui, lalu mengajakku untuk belanja bahan masakan di warung dekat rumah.

Untuk sampai ke warung, kita hanya perlu keluar dari pagar rumah, lalu ke arah kanan, kemudian masuk ke gang pertama, dan berjalan sekitar lima ratus meter.

Wanita dengan busana cadar komplit, serta pria dengan celana cingkrang, terlihat hilir mudik, masuk ke dalam rumah bercat hijau, yang letaknya tidak jauh dari warung yang aku dan seli tuju.

Di depan warung sudah ada tiga ibu-ibu yang juga sedang berbelanja.

Aku kemudian menawarkan seli jajanan pasar, sambil mendengar obrolan ibu-ibu di warung

"Itu kumpul lagi yah", tanya ibu pertama.

"Iya nih, aduh bikin takut aja", jawab si ibu pemilik warung.

"Lapor pak RT bu, takutnya kan mereka kegiatan sesat", ujar ibu kedua.

"Nggak berani saya, takut bikin keributan", ujar ibu pemilik warung.

"Mereka baru satu bulan pindah, tapi rumahnya selalu ramai setiap hari senin dan jumat", ujar ibu ketiga.

"Mau beli apa neng", tanya ibu pemilik warung padaku dan seli, yang hanya berdiri menunggu antrian sambil makan jajanan pasar.

Aku kemudian menyebutkan semua bahan untuk membuat bubur manado.

"Pengajiannya juga aneh, mereka kayak baca kitab gitu, tapi nggak kedengeran seperti bacaan al-quran, kayak kalau kita pengajian kamis sore di masjid bu", ujar ibu kedua.

"Yang sewa rumah juga nggak pernah nyapa tetangga sekitar", ujar ibu pertama.

"Kalau mereka kumpul aduh hawanya serem bu", ujar ibu si pemilik warung.

"Ini neng", ujar ibu si pemilik warung padaku.

Aku kemudian membayar belanjaanku, serta jajan yang aku dan seli makan, lalu menggandeng seli untuk keluar dari warung.

Saat perjalanan kembali ke rumah, seli melihat ke arah sekumpulan bapak-bapak dengan celana cingkrang di depan rumah, yang ibu-ibu di warung maksud.

"Jangan di lihat sel", pintaku pada seli.

"Ih bener deh kak, mereka serem banget", ujar seli padaku.

Aku dan seli yang memakai celana pendek dan kaos, merasa kalau salah satu dari mereka, terus memandangi kami saat kami berjalan.

Bulu kuduk langsung meremang di lenganku.

"Lari aja gimana kak", ajak seli padaku.

"Nggak usah sel, nanti malah ketahuan kalau kita takut sama mereka", jawabku pada seli.

Begitu aku sampai di ujung gang, hatiku langsung lega dan aku bisa kembali bernafas dengan normal, setelah merasakan hawa mencekam saat aku melewati rumah dengan cat hijau tadi.

Sampai di rumah, seli langsung bercerita pada tante mirna soal obrolan ibu-ibu di warung, mengenai perkumpulan orang-orang yang ada di rumah cat berwarna hijau.

"Kamu itu ngapain sih dek dengerin orang gosip, biarin ajalah, jangan terlalu berburuk sangka", ujar tante mirna pada seli.

Tante mirna kemudian membantuku membereskan belanjaan, dan kita mulai memasak.

"Emang serem banget ya di gang sebelah", tanya tante mirna padaku.

"Serem sih nggak tante, tapi aku langsung merinding pas lewat rumah itu", jawabku pada tante mirna.

Setelahnya kita memilih untuk diam, dan fokus untuk masak.

Bubur manado yang tante mirna buat, bagiku sangat enak.

"Resep dari mami", jawab tante mirna saat aku bertanya, mengenai rasa yang sangat istimewa dari bubur manado buatannya.

Mami yang tante mirna maksud, adalah ibu mertuannya yang tinggal di bandung.

Suami tante mirna sudah meninggal tiga tahun yang lalu, karena sakit paru-paru yang sudah dia derita sangat lama.

Sebelumnya mereka tinggal di area bintaro, tapi tante mirna menjual rumahnya setelah suaminya meninggal.

Tante mirna juga baru tinggal di pondok aren sekitar tahun lalu.

Tante mirna mengontrak rumah yang sekarang dia tinggali, selama dua tahun, dan ini sudah pertengahan tahun kedua.

Dalam enam bulan, tante mirna sudah harus memiliki uang untuk membayar sewa rumah yang dia kontrak.

Aku sendiri juga bingung, tante mirna dapat penghasilan dari mana, karena selama ini, pekerjaan yang aku dan tante mirna geluti, masih belum memberikan hasil.

Begitu bubur manado sudah matang, kita langsung makan bersama, dan setelah makan, aku kembali memulai aktifitasku untuk mendapat penghasilan.

Bian sampai rumah sekitar pukul tiga sore, dan dia langsung mengusir seli dari kamarnya.

Seli dengan menggerutu masuk ke kamar tante mirna, dan meminta mamanya untuk menyalakan ac.

Pukul enam sore, aku menyalakan lampu teras, lalu menutup pintu dapur belakang, karena tikus selalu masuk ke rumah melalui got yang ada di dapur kotor.

Pukul delapan malam, biasanya aku dan tante mirna di ruang tamu.

Tante mirna selalu punya cerita yang dia bagikan untukku.

Aku melihat seli keluar dari kamarnya, dan berjalan ke arah dapur sambil bersenandung.

Tak lama, seli berlari ke ruang tamu, dengan wajah pucat dan tangan gemetar.

"Kenapa sel", tanyaku pada seli yang masih berdiri di ruang tamu.

"Kak itu", ujar seli dengan terbata sambil menunjuk ke arah dapur.

"Kenapa dek", tanya tante mirna pada seli.

Aku kemudian beranjak dari sofa, dan berjalan ke arah dapur, tapi tidak ada apa-apa.

"Bian seli kenapa", tanyaku pada bian.

"Nggak tau, tadi dia di depan kamar terus lari", jawab bian.

Aku kemudian mengambil air putih dan kembali ke ruang tamu.

Di ruang tamu, seli sudah duduk dan di peluk oleh tante mirna.

Aku lalu menyerahkan gelas berisi air putih dan meminta seli untuk meminumnya.

Tangan seli masih dingin, dan dia terlihat ketakutan.

"Kenapa sel", tanyaku lagi.

Setelah lima belas menit diam, seli mulai membuka suaranya.

Seli bercerita, kalau dia baru saja ingin membuka kulkas untuk mengambil susu, tapi dia menangkap ada sosok lain saat dia melihat ke arah kamar bian.

"Sosok apa sel", tanyaku pada seli dengan bulu kuduk di lenganku yang mulai berdiri.

Seli kemudian bercerita, kalau dia melihat sosok dengan baju hitam, dan rambut panjang sampai lantai, sedang duduk di tempat tidur bian, sambil menatap bian yang ada di depan komputer.

"Kamu lihat wajahnya", tanya tante mirna.

Seli hanya menggeleng, dan dia bilang bahwa yang dia lihat, hanya rambut yang menjulur dari kepala sampai kaki.

Mendengar cerita seli, ketakutan langsung menyelimutiku, tapi tante mirna menenangkanku.

Tante mirna juga minta padaku, supaya tidak menceritakannya pada bian.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!