NovelToon NovelToon

Aku Pulang Mas...

1. Mirna...

Yanto tampak memeluk nisan isterinya yang kini telah beristirahat dengan tenang, dengan tangis yang terus tercurah, Yanto sesekali masih membisikan nama sang Isteri.

"Mirna... Mirna..."

Lirih suara Yanto seolah enggan ditinggalkan sang isteri untuk selama-lamanya.

Tapi apa mau dikata, takdir nyatanya telah berkata lain. Mirna, isterinya mengalami pendarahan hebat saat berjuang melahirkan anak mereka.

Ya, anak kedua mereka, yang harusnya menjadi pelengkap kebahagiaan keluarga kecil Yanto.

"Wis To, ayok pulang, sebentar lagi Maghrib."

Kata Ibu Yanto mengajak Yanto pulang.

Mata Ibunya juga sembab, karena Mirna, meskipun menantu namun baik sekali macam anak sendiri.

Tentu saja, Ibunya Yanto merasa begitu kehilangan sosok menantunya yang cantik dan baik itu, apalagi bertambah-tambah pula kesedihannya karena Mirna meninggal dalam keadaan meninggalkan dua anaknya yang masih kecil.

Anak sulungnya masih berusia sepuluh tahun, sedangkan yang kedua adalah bayi yang baru dilahirkannya.

"Aku ingin di sini dulu Bu, biar aku sendiri saja di sini, tidak apa-apa, tinggalkan saja aku."

Kata Yanto.

Para pelayat satu persatu memang telah meninggalkan area pemakaman Mirna.

Ibunya Yanto mengusap kepala anaknya, iba sekali rasanya ia melihat sang anak yang begitu terpukul atas kepergian isterinya yang bisa dibilang begitu cepat.

"Sabar nak, ini ujian, kamu harus kuat, demi kedua anakmu."

Ujar Ibu menguatkan.

Yanto menyandarkan kepalanya ke nisan sang isteri, air matanya tak kunjung berhenti, seolah ingin terus mengalir, menandakan betapa Yanto sungguh mencintai isterinya itu.

"Tidak ada perempuan seperti Mirna, tidak ada lagi."

Begitulah kata Yanto saat pertama kali mendapati kenyataan Mirna meninggal.

Ibunya Yanto menatap langit yang kini pelahan mulai gelap karena matahari mulai terbenam di sebelah barat.

Angin berhembus pelahan, aroma bunga untuk makam tercium semerbak. Beberapa bunga kamboja berjatuhan dan tampak berserakan di atas tanah.

Ibunya Yanto menghela nafas, ia menoleh ke arah Lukman adik Yanto yang masih SMA dan kini tampak menunggu Ibunya untuk segera pulang.

"Wisan Bu, pulang dulu saja, biar Mas Yanto di sini sampai tenang."

Kata Lukman akhirnya tak sabar lagi.

"Lagipula kasihan Tita dan Adik bayi di rumah,"

Kata Lukman pula mengingatkan, yang tentu saja langsung membuat Ibu tersadar bahwa di rumah ada bayi yang harus mereka rawat.

Ya, bayi yang baru dilahirkan Mirna, yang demi bayi inilah, Mirna meregang nyawa.

Sungguh pengorbanan seorang Ibu, tak akan pernah bisa digantikan oleh apapun, yang setelah lelah dan teramat berat melewati masa-masa kehamilan, para ibu masih diharuskan berjuang bertaruh nyawa demi buah hatinya.

"Baiklah, ayo kita pulang Man."

Kata Ibu.

Lukman mengangguk, ia lantas membantu Ibu untuk berjalan melewati bekas galian tanah makam yang sedikit licin karena tanahnya merupakan tanah liat.

Yanto sendiri masih menangis di sisi makam Mirna, tak perduli jika hari sebentar lagi akan masuk waktu maghrib, dan tak lama kemudian akan menjadi gelap.

"Apa tidak apa-apa, kang mas mu ditinggal begitu? Kalau nanti ada apa-apa bagaimana Man?"

Tanya Ibu sembari sesekali masih menoleh ke arah Mirna di makamkan dan Yanto tampak terduduk lemas di samping makam sambil memeluk nisan Mirna.

"Tidak akan ada apa-apa Bu, tenang saja, paling-paling kalau toh ada apa-apa, Kang Mas Yanto diajak kenalan kuntilanak yang ada di pohon kamboja dekat makam Mbak Mirna."

Ujar Lukman membuat Ibu terpaksa menabok lengannya.

**-------------**

2. Satu Sosok Di Pemakaman

Lukman dan Ibunya keluar dari area pemakaman dan langsung menuju motor di parkiran.

Parkiran yang tentu saja sudah sepi itu, kini hanya menyisakan tiga motor saja.

Satu motor milik Lukman, dan dua motor lainnya adalah milik dua teman Yanto yang memilih tetap menemani Yanto meskipun mereka duduknya di area parkir.

"Mau pulang sekarang Bu?"

Tanya Munir pada Ibunya Yanto.

Munir adalah teman Yanto yang merupakan sesama pegawai kelurahan.

"Nggih Nak Munir, sudah mau maghrib, Ibu titip Yanto ya."

Kata Ibu pada Munir.

"Nggih Bu, jangan khawatir."

Munir tampak mantuk-mantuk.

Lukman menuju motornya untuk kemudian dibawanya mendekati Ibu, di saat bersamaan, Rahmat yang juga teman Baik Yanto muncul.

Ia sepertinya baru sibuk menelfon, mungkin telfon dari isterinya yang khawatir karena Rahmat belum pulang.

"Monggo Nak Rahmat, Ibu pulang dulu nggih."

Kata Ibunya Yanto.

"Oh pulang sekarang Bu? Nggih Bu, hati-hati."

Rahmat menghampiri Ibunya Yanto yang kini tampak naik ke boncengan motor anaknya.

Matahari telah semakin condong ke barat, lembayung senja mulai pudar diganti warna abu-abu dan segera ditelan warna hitam.

Lukman menyalakan mesin motornya, dan melajukan motor yang ia tumpangi untuk segera meninggalkan pemakaman umum.

Namun...

Belum lagi motor jauh melaju, tiba-tiba saja Lukman menghentikan motornya lagi. Gerakannya yang begitu mendadak, membuat Ibu nyaris terjatuh.

"Kamu ini lho, ada apa to?"

Omel Ibu.

Lukman celingak-celinguk, ia melihat ke arah belakang, terutama di bagian pagar dinding yang mengelilingi area pemakaman umum.

Dinding setinggi dua meter itu tampak sepi saja, padahal Lukman tadi merasa melihat seseorang di sana.

Ya...

Seseorang yang duduk di atas dinding, seorang perempuan namun wajahnya tak begitu jelas, hingga membuat Lukman terpaksa harus menghentikan laju kendaraannya.

"Ada perempuan duduk di atas dinding Bu."

Lirih Lukman pada Ibunya yang langsung jadi ikut celingak-celinguk.

"Kamu jangan nakuti Ibu lho Man."

Kata Ibu.

Lukman menghela nafas,

"Sopo yang nakutin Ibu lho, wong aku bener tadi lihat ada perempuan duduk di atas pagar dinding itu Bu."

Ujar Lukman,

"Aduh, wis Man... Uwis... Uwis... Ayok Ndang mulih."

Kata Ibu seraya menabok bahu Lukman,

Tampak Lukman bergidik saat teringat sosok yang duduk di atas pagar dinding tempat pemakaman umum barusan.

Meski hanya sekilas, tapi jelas sosok itu adalah sosok perempuan.

Lukman melajukan kendaraannya lagi, masih sambil memikirkan kemungkinan apakah sosok itu Kuntilanak yang banyak orang sering cerita penampakannya.

Ah Lukman jadi terbayang Mas Yanto yang kini sendirian di pemakaman karena masih berat meninggalkan makam isterinya.

Bagaimana nanti jika tiba-tiba kuntilanak itu penampakan di makam kakak iparnya dan dilihat Mas Yanto?

Apa tidak pingsan Mas Yanto nanti? Batin Lukman.

Motor terus melaju menyusuri jalanan perkampungan di mana mereka tinggal.

Tak begitu jauh, hingga mereka sampai di depan rumah model lama yang halamannya masih cukup luas.

Di halaman, terlihat kursi-kursi plastik sudah ditumpuk, sementara kursi ruang tamu yang dikeluarkan dan sebelumnya benar-benar ada di halaman terbuka, kini telah diletakkan di atas teras takut nanti hujan turun.

Kakak Yanto yang perempuan, Mbak Ukha, keluar dari rumah menyambut kedatangan Ibunya.

"Bu, tahlilan nanti malam tadi sudah dibelikan kue lapis Surabaya dan buah Dukuh serta Kacang kulit. Rokok juga sudah beli. Minuman gelasan juga sudah. Mau ditambah nopo Bu?"

Tanya Mbak Ukha.

Ibunya Yanto sambil turun dari boncengan tampak berpikir, lalu...

"Pesan gorengan saja Kha, suruh kirim pas mau acara itu supaya anget."

Putus Ibu akhirnya.

"Oh nggih Bu."

Mbak Ukha mengangguk.

"Tita di mana?"

Tanya Ibu menanyakan cucunya yang merupakan anak sulungnya Yanto.

"Diajak ke minimarket sama Hanun, baru selesai nangis tadi."

Ujar Mbak Ukha.

Ibu mantuk-mantuk.

"Kalau dede bayi tidur, tadi dibuatkan susu sudah habis satu botol."

Kata Mbak Ukha pula.

"Yo wis, nanti dede bayi tidur di kamar depan saja."

"Lho kamar depan kan jendelanya besar Bu, nanti kedinginan."

Kata Mbak Ukha kurang setuju.

Ibu menghela nafas,

"Ini bukan soal dingin atau bagaimana Kha, ini manut wong tuo, mbok Ibune dede bayi mau nengok jadi dia tidak bingung nyari."

"Lah Bu, kok ngomongnya begitu, Mirna maksudnya?"

"Iyo, memangnya sopo maneh Ibunya dede?"

"Ah Bu, terlalu serem Bu,"

Kata Mbak Ukha bergidik ngeri membayangkan Mirna pulang.

"Mbak Mirna pulang kok ngeri, yang ngeri itu tadi di pagar dinding pemakaman ada perempuan duduk."

Lukman yang sudah turun dari motornya nimbrung sambil mendekat ke Mbak Ukha sambil berlagak seperti hantu, membuat Mbak Ukha langsung menaboknya.

**-------------------**

3. Bisikan Lirih

Maghrib berlalu, dan langitpun menjadi gelap. Suasana di dalam pemakaman begitu sepi. Pohon-pohon besar, tua, yang banyak berdiri di sekitar Yanto duduk di samping pusara isterinya terlihat semakin menyeramkan.

Angin bertiup sepoi-sepoi, gemerisik dedaunan terdengar di tengah kesunyian. Bersahut dengan suara serangga yang mulai terdengar mengisi ruang sepi di sekitar pemakaman.

Yanto menyeka air matanya, ia sudah lelah menangis, dan pelahan ia mulai sadar jika apa yang ia lakukan hanyalah kesia-siaan belaka.

Seperti apapun ia menangis dan merintih, isterinya tak akan pernah kembali. Perempuan yang telah menemaninya lebih dari sebelas tahun itu tak akan pernah hidup lagi.

"Mir, bagaimana aku dan anak-anak akan hidup tanpamu? Semua terasa sangat gelap Mir, sama seperti di tempat ini."

Lirih Yanto pada pusara Mirna.

Lamat-lamat tampak cahaya seperti senter mengarah pada Yanto, laki-laki itu menoleh ke arah kedatangan cahaya senter tersebut, yang tak lain adalah Munir.

"Yan, ayok pulang, sudah cukup, kau bisa ke sini besok lagi, tahlilan untuk isterimu akan segera digelar, apa kau akan melewatkannya juga?"

Munir bertanya sembari mendekat.

Yanto mengusap nisan Mirna lagi, baru setelah itu akhirnya beranjak, tepat ketika Munir berdiri di dekat makam Mirna.

"Ya Nir."

Kata Yanto menyetujui.

Ia membawa langkahnya menjauhi makam Mirna, meski sesekali ia tetap menoleh seolah enggan meninggalkan sang isteri sendirian.

"Berat sekali melepaskannya, harusnya aku yang lebih dulu pergi."

Kata Yanto lirih, Munir yang berjalan di dekat Yanto sambil memposisikan senter hp nya ke jalan di pemakaman yang akan mereka lewati tampak mengangguk mengerti.

"Semua butuh waktu Yan, tak usah dipaksa harus ikhlas sekarang, pelan-pelan, nanti kau akan bisa dengan sendirinya."

Ujar Munir.

Yanto menghela nafas, ia sungguh tidak yakin jika ia akan bisa menemukan seseorang lagi seperti Mirna.

Perempuan yang sangat mengerti akan dirinya, yang halus tutur bahasanya, dan sangat penyayang serta penurut pula.

"Untuk sementara, tetap tinggal saja di rumah Ibumu, toh anak bayi mu akan di urus beliau."

Kata Munir memberi saran.

Yanto kembali menghela nafas,

"Entahlah Nir, tinggal di rumah Ibu sudah penuh sesak, Mbak Ukha dan anak-anaknya, serta Lukman juga."

Kata Yanto.

Keduanya kemudian keluar dari pemakaman menuju tempat parkiran di mana Rahmat tampak menunggu dengan gelisah.

Laki-laki itu yang semula duduk di atas motor, begitu melihat Yanto dan Munir datang tentu saja langsung menyambut dengan senang.

"Ah kalian akhirnya datang, ayolah kita segera pulang."

Kata Rahmat tak sabar.

Yanto dan Munir yang tak tahu apa yang terjadi sebetulnya dengan Rahmat hanya menatapnya heran.

Munir lantas mendekati motornya sendiri, sedangkan Yanto memilih ikut Rahmat yang memang arah pulangnya sama.

"Makasih Nir, sampai rela menungguiku di sini."

Kata Yanto pada Munir.

Tampak Munir mengangguk.

"Tidak apa Yan, dulu waktu isteriku meninggal juga kau melakukan hal ini, aku yakin kau akan bisa melewati semuanya Yan, seperti aku."

Ujar Munir.

Yanto mengangguk.

Ya, Munir di usia pernikahan yang masih baru, isterinya juga meninggal. Waktu itu, Munir bahkan sempat seperti depresi, karena isterinya meninggal saat hamil dua bulan, dan dalam posisi pulang mengajar minta dijemput tapi Munir enggan, hingga isterinya terpaksa membonceng temannya yang ternyata apes kecelakaan.

Rasa bersalah pun terus menerus membuat Munir hampir gila, hingga satu tahun berlalu, ada seorang gadis masuk kelurahan dan akhirnya jadi dekat dengan Munir.

Munir pelahan bangkit lagi dari keterpurukannya, dan akhirnya berhasil move on lalu menikah lagi.

Rahmat naik ke atas motor,

"Ayok Yan."

Kata Rahmat.

Yanto menurut naik ke boncengan.

Deru mesin dua motor milik Munir dan Rahmat beradu, hingga kemudian motor Rahmat melaju lebih dulu, dan barulah Munir menyusul.

Angin berhembus lagi seolah dari area pemakaman, menerbangkan beberapa bunga Kamboja putih.

Aroma bunga tabur makam Mirna tercium oleh Munir, seraya sayup suara perempuan yang entah dari mana di sebelah kiri Munir.

"Yanto tak boleh menikah sepertimu..."

**-----------**

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!