NovelToon NovelToon

Gara-gara Nafkah

Bab 1. Perdebatan

*****

Siang itu, Vina pulang ke rumah karena merasa kepala rasanya pusing sekali. Namun saat ia hendak masuk ke kamar ia justru malah mendengar ibu mertuanya sedang berbicara dengan Pras suaminya di kamarnya. Karena suasana sepi, Vina memberanikan diri untuk menguping pembicaraan antara ibu dan anak itu.

"Masak cuma tiga juta setengah aja dia ga mau ngasih pinjam ibu sih, Pras?" terdengar suara ibu mertua Vina kesal.

"Buk, masalahnya ibu kalau pinjam Vina, ujung-ujungnya ibu itu selalu minta ia buat ikhlasin uang itu. Ya jelaslah dia tidak mau meminjami ibu uang lagi."

"Punya istri kok engga ada guna gitu, Pras, mending kamu ceraikan saja dia. Lama-lama kelakuan dia juga engga ada sopan-sopannya sama ibu. Ibu ini sudah susah payah besarin kamu, sekolahin kamu tinggi-tinggi. Dia mau enaknya dapetin kamu tapi ga mau ngurusin ibu."

"Udah lah, Bu... Pras pusing. Lagian salah ibu yang terlalu memanjakan Asya. Ibu selalu saja menuruti perintah Asya."

"Oh, jadi begini pemikiran ibu mertuaku?" batin Vina. Meskipun ia sering mendapat kata-kata kasar dari ibu mertuanya, tapi ia tidak habis pikir dengan sikap ibu mertuanya. Apa selama ini pengorbanan yang telah ia lakukan masih kurang?

Suaminya sejak dari menikah sampai sekarang tidak pernah memberinya nafkah dengan alasan uangnya dipergunakan untuk keperluan ibunya. Vina rela menggunakan uang hasil jualannya sebagian untuk menutup keperluan rumah tangga dan sebagian lagi untuk kebutuhannya. Secara tidak langsung Vina selama satu tahun ini menjadi tulang punggung di dalam rumah tangganya, tapi kenapa di mata ibu mertuanya ia tetap saja selalu salah.

Vina bergegas keluar saat mendengar suara langkah kaki bergerak mendekati pintu. Rasa sakit di kepalanya mendadak sirna berpindah menjadi rasa sakit di hati Vina.

Sejak awal perempuan itu sudah meminta suaminya untuk mengontrak rumah sendiri. Namun, suaminya selalu menolak, ia mengatakan jika tidak tega meninggalkan ibunya. Padahal ada adik Pras dan juga iparnya tinggal bersama ibunya.

Vina pun hanya bisa pasrah. Berulangkali harus menelan kekecewaan, padahal sebelum menikah Pras selalu bersikap baik padanya.

Asya yang tadi Pras sebut namanya, adalah adik ipar Vina. Ibu memang sering meminjam uang pada Vina dengan alasan untuk kebutuhannya, tapi sebenarnya ia tahu, uang itu diberikan pada Asya, iparnya.

Padahal Vina dan Asya sama-sama menantu di rumah itu, tapi ibu mertuanya selalu pilih kasih, ia memperlakuan Asya bak ratu karena Asya lulusan Sarjana sedangkan pada Vina yang hanya lulusan SMA, ibu mertuanya itu sama sekali tak menganggap dirinya.

Semua yang ada di rumah suami Vina tidak ada yang tahu, jika Vina diam-diam melanjutkan kuliah. Ia pernah membicarakan tentang melanjutkan pendidikannya, tapi selalu saja suaminya tidak memberikan respon yang baik. Akhirnya tanpa sepengetahuan Pras, Vina melanjutkan pendidikannya di Universitas Terbuka, di mana jadwal kuliahnya bisa disesuaikan dengan kesibukannya.

Vina telah memutuskan ia harus berbicara dengan suaminya lagi, jika tidak, lebih baik ia menyerah dengan rumah tangganya karena tak akan mungkin bisa selamat jika ibu dari suamunya terus menerus ikut campur urusan rumah tangga mereka.

Vina tidak mau hidup seperti ini terus menerus. Bukannya kebahagiaan yang dia dapat, melainkan hanya hinaan dari hari ke hari.

Vina memutuskan kembali masuk ke rumahnya, ia tak terkejut saat melihat ibu mertuanya memasang wajah masam kepadanya.

"Heh Vina, masak cuma duit 3,5 juta saja, kamu beneran engga mau pinjami ibu?"

"Bukan saya tidak mau memberi pinjam pada ibu, tapi memang tidak ada, Bu. Sebulan yang lalu bahkan dua bulan yang lalu saya kan sering memberi pinjaman sama ibu."

"Oh, jadi kamu ga rela bantu ibu kemarin? kamu sekarang mau mengungkit uang itu?" suara ibu mertua Vina langsung meninggi saat Vina mengungkit uang yang ibu mertuanya pinjam dari bulan lalu.

"Bukannya begitu, Bu. Saya ikhlas bantu ibu, tapi kalau memang uangnya benar-benar buat ibu. Kalau untuk dikasih ke Asya, saya mohon maaf, bu. Saya ini cuma lulusan SMA yang penghasilannya tidak ada apa-apanya dengan menantu ibu yang sarjana itu."

Vina langsung memberi jawaban tegas pada Ibu mertuanya. Jangan sampai masalah uang justru malah akan semakin merusak hubungannya dengan keluarga suaminya, meskipun sebenarnya memang hubungan keduanya mulai renggang sejak ibu sering meminjam uang pada Vina. Pras mengira jika Vina lah yang meminjam uang pada ibunya.

Vina berpikir memang sebaiknya ia memberi batasan pada ibu mertuanya agar tidak selalu merendahkan dirinya. Toh Asya juga bekerja, ia juga punya suami. Kenapa harus Vina yang menanggung kebutuhan mereka.

"Ya, jelas penghasilan Asya lebih besar, dia kan sarjana, Manager pula jabatannya. Ga kaya kamu yang cuma penjual ayam," jawab ibu mertua Vina dengan lugas dan jelas sambil dagunya dinaikkan.

Memang tajam sekali lidah ibu mertua Vina ini. Setinggi itukah derajat Asya di matanya? tapi apakah perlu ia juga menjelek-jelekkan Vina seperti itu.

"Ya, syukur kalau pendapatan Asya itu besar, Bu. Jadi saya tidak perlu merasa bersalah kalau tidak memberi dia pinjaman."

Namun belum sempat ibu mertuanya menjawab ucapan Vina, Pras keluar kamar, ia menatap Vina dengan tatapan yang sulit diartikan.

Pras menarik tangan Vina dan membawa wanita itu masuk ke kamar. "Kamu itu apa-apaan sih, berdebat seperti itu dengan ibuku, Dek?"

"Mas, tapi ibu yang mulai. Ibu mengungkit uang pinjaman itu lagi. Apa aku harus selalu diam? Apa selama ini aku kurang mengalah pada ibumu?" ujark Vina dengan parau, rasanya hanya sekedar untuk mengungkapkan kekesalan di hatinya saja, rasanya sulit sekali. Vina hanya mampu meneteskan air mata. Sejujurnya ia merasa sangat lelah menjalani situasi rumit ini.

Melihat air mata Vina, Pras mendekati istrinya itu dan mengusap air matanya. Pras tidak jadi memarahi Vina saat Vina mengatakan semua isi hatinya. Pras seharusnya paham betul apa yang ia rasakan. Sudah tidak pernah diberi nafkah tapi masih harus dirong-rong oleh keluarganya.

"Aku mau kita kontrak saja, ya, Mas?" pinta Vina memelas. Namun, Pras lagi-lagi menggeleng dengan tegas. Vina benar-benar dibuat kecewa.

"Tolong mengertilah, posisiku, Dek. aku tidak bisa meninggalkan ibuku sendirian, Dek." Baru saja Pras diam, ibu mertua Vina tiba-tiba ibu mertua Vina nyelonong masuk.

"Kalau kamu mau pergi, pergi sendiri! jangan ajak anakku. Sudah mandul, tidak bisa memberi keluarga ini keturunan, Pelit, lulusan SMA lagi, tidak ada yang bisa aku banggakan dari kamu itu."

"Ibu... " kali ini Pras menghardik ibunya. Ucapannya benar-benar keterlaluan.

"Kamu berani bentak ibu, Pras?"

"Bu-bukan begitu, Bu, tapi ibu jangan bicara seperti itu pada Vina."

"Ibu ini ngomongin fakta, Pras. Kamu aja yang buta, ga bisa melihat. Kamu masih muda, tampan, Sarjana Ekonomi dan bisa mendapat gadis mana saja yang kamu mau. Kenapa malah mempertahankan dia yang jelas-jelas mandul."

"Kenapa ibu selalu menilai saya seperti itu? apa tidak cukupkah selama ini saya mengalah sama ibu. Selama setahun saya menjadi istri mas Pras tidak pernah sepeserpun dia menafkahi saya. Pernahkah saya mengeluh? kenapa ibu selalu membandingkan saya dengan Asya? Apa karena masalah anak ibu menilai saya seperti itu? Atau karena pendidikanku? apakah ibu pernah melakukan tes kesehatan pada mas Pras? kenapa hanya saya yang selalu disudutkan oleh keluarga kalian?"

Benar kata orang, jika sedang marah hendaklah diam. Namun saat emosiku meledak bibir ini tidak bisa berhenti berucap hingga kata-kataku akhirnya menjadi bumerang bagi rumah tanggaku.

"Jadi selama ini, itu yang ada di pikiran kamu, Dek? kamu kira mas yang mandul?"

Deg!!

Sungguh aku tidak ada niatan menyakiti perasaan suamiku dengan ucapanku itu. Pras menatapk Vina kecewa, sedangkan ibu mertuanya justru tersenyum sinis melihat putranya terluka hatinya.

"Kamu lihat sendiri wajah asli istrimu itu Pras?" ujar ibu seperti menuang minyak ke dalam api.

"Ma-mas... bukan seperti itu, maksudku."

"Aku selama ini tidak pernah menanyakan perihal anak agar tidak menyakiti hatimu, Dek, tapi mengapa hanya karena uang, kamu tega ngomong begitu?"

"Mas, bukan begitu maksudku."

"Vina... mas kecewa padamu."

"Sudahlah Pras ceraikan dia," kata ibu mertua terus menghasut suamiku. Aku menatap mas Pras dengan perasaan bersalah.

Bab 2. Asya Selalu Berulah

*****

"Saya terima, nikah dan kawinnya Vina Adiatirta binti Saleh Adiatirta Almarhum dengan mas kawin emas seberat 10 gram dibayar tunai."

"Bagaimana saksi?"

"Sah... "

Tanpa terasa bulir air mata ini akhirnya mengalir. Antara bahagia dan sedih, Vina menikah hanya disaksikan oleh kedua kakakku. Kedua orang tuaku sudah meninggal 3 tahun yang lalu. Kakak-kakak Vina semua sudah berkeluarga. Itulah mengapa saat Pras melamar Vina pada kakak tertuanya, Kakak Vina itu langsung setuju, alih-alih agar Vina ada yang mengurus dan menjaganya.

"Sekarang kamu sudah ada suami. Kamu harus menghormatinya seperti kamu menghormati kami berdua. Dia yang sekarang akan melindungimu, tapi kamu tetaplah adik kecil kami, apapun yang terjadi. Seberat apapun masalahmu, ingat jika kami adalah tempat kamu pulang," ujar Kak Fahri saat itu. Vina hanya sanggup terisak dan memeluk kakak tertuanya itu.

"Kakak ... "

"Sudah jangan menangis lagi, jika kelak ada waktu yang tepat, katakan pada suamimu untuk belajar manajemen bisnis. Siapa lagi yang akan meneruskan bisnis papa yang lain jika bukan suamimu."

Vina hanya bisa mengangguk berkali-kali di pelukkan kakaknya.

Setelah kedua kakak Vina berpamitan. Wajah ibu mertua Vina langsung berubah masam. Vina pikir itu hanya karena ibu mertuanya terlalu lelah mengurus persiapan ini itu untuk pesta pernikahan Vina dan Pras, sehingga dia memasang wajah seperti itu. Tapi ternyata tidak, wajah masam itu setiap hari harus dinikmati bersama perihnya hati Vina karena mendapat perlakuan yang berbeda. Bu Siti selalu terlihat senang jika berada di dekat ipar Vina, senyumnya terus mengembang jika sedang berbicara dengannya. Sementara di depan Vina, Bu Siti akan memasang wajah judes.

Vina kembali tersadar saat Pras mengguncang lengan Vina dengan kasar. Kilasan masa lalu yang baru saja melintas langsung menghilang begitu saja.

"Jadi seperti itu pemikiranmu selama ini?" tanya Pras menatap Vina tajam.

"Mas, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak punya maksud apa-apa. Aku berkata begitu karena ibu selalu memojokkanku," ujar Vina membela diri.

"Apa jangan-jangan selama ini, kamu juga tidak ikhlas dengan apa yang sudah kamu keluarkan untuk biaya hidup kita selama ini?" tanya Pras. Raut wajahnya tak dapat dipungkiri jika dia kecewa mendengar ucapan Vina tadi. Kenapa omongan Pras jadi kemana-mana?

"Kenapa diam, Vin?" Suara mas Pras menggelegar, sungguh baru kali ini Vina dibentak oleh orang, seumur-umur dia tidak pernah dikasari oleh keluarganya, ia sangat takut sekali melihat Pras yang sedang marah seperti ini. Bulir air mata Vina kembali menetes. Ia tidak tahu lagi, apa yang harus ia katakan untuk meyakinkan suaminya itu.

"A-aku capek mas. Kita tidak usah membahas ini lagi. Aku ikhlas dengan apa yang sudah aku berikan selama ini."

Gegas Vina masuk ke kamar mandi, dengan tubuh gemetaran. Dari dalam kamar mandi itu, telinga Vina masih bisa mendengar ibu mertuanya yang terus menjelek-jelekan dirinya.

"Lihatkan, itu tingkah istrimu, Pras. Untuk apa kamu terus pertahankan dia?"

"Sudah lah, Bu. Jangan ikut campur masalahku terus. Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri."

"Terserah kamu, Pras. Yang penting ibu sudah peringatkan kamu. Istri kamu itu memang tidak pernah menghormati ibu."

Ibu mertua Vina akhirnya keluar dari kamar. Akan tetapi, Vina sama sekali tidak mendengar suara suaminya, ia tahu mungkin Pras kecewa kepadanya Tapi salahkah jika dia berkata begitu? Vina hanya merasa perlu mempertahankan harga dirinya. Ia tak mau jika terus menerus disudutkan seperti ini.

Vina membasuh wajahnya, ia mencoba untuk mengatur napasnya. Setelah itu, perempuan itu membuka pintu kamar mandi dan ternyata suaminya sedang berbaring sambil menutup kedua matanya menggunakan lengan kanannya.

"Mas..." panggil lirih. Jujur dia takut jika Pras akan membentaknya lagi.

Pras menarik lengannya dan membuka matanya, tatapannya terlihat sangat tidak bersahabat pada Vina, namun Vina berusaha untuk tetap tenang.

"Aku tidak menyangka ternyata selama ini kamu punya pikiran seperti itu, Vin," ucap Pras, dari nada bicaranya saja Vina tahu jika suaminya sedang kecewa padanya.

"Mas, jujur saja aku sudah lelah. Aku tidak pernah mempermasalahkan apapun sebelumnya, tapi ini sudah keterlaluan mas. Aku selalu saja disudutkan, padahal tidak ada sedikit pun niatku untuk menjadi istri dan menantu yang pembangkang."

"Kamu masih saja membela diri kamu, sedangkan aku jelas-jelas mendengar sendiri. Aku benar-benar kecewa padamu, Vin."

"Kenapa mas tidak bisa melihat ketulusanku selama ini? kenapa, Mas? Itulah kenapa aku selalu ingin mengajakmu pindah dari sini."

"Kita menumpang saja, hidup kita serba pas-pasan, Vina. Bagaimana kalau kita sampai kontrak rumah sendiri? mau makan apa kita?"

"Bagaimana tidak pas-pasan, semua uangmu ibu yang mengaturnya, Mas. Sedang aku istrimu bahkan tidak pernah menikmati uangmu selama ini," batin Vina.

"Apa kamu benar-benar tidak bisa pinjami ibu uang itu, Vin?"

"Pinjam? memang kapan ibu pernah mengganti uangku, Mas?" tanya Vina dengan perasaan dongkol.

"Kamu kok perhitungan begitu sama ibu, Vin?"

"Mas, selama kita menikah, aku tidak pernah, lho tahu berapa jumlah gaji Mas Pras. Aku juga sepeserpun engga pernah menikmatinya. Padahal aku ini istri mas, aku yang jelas-jelas berhak atas nafkah dari mas, tapi apa nyatanya, Mas? Aku selama ini selalu banting tulang untuk mencukupi kehidupan kita mas. Masa iya aku masih harus meminjamkan uangku, toh uang itu bukan buat ibu melainkan buat Asya, dia sarjana, kan? penghasilan dia lebih besar daripada aku yang hanya penjual ayam, Mas. Aku juga butuh modal, butuh uang untuk keperluan lain-lain. Mas sih enak, ga mikirin itu,"ujar Vina kesal. Lagi-lagi suaminya selalu bersikap seperti ini, lama-lama Vina merasa tidak dihargai di rumah itu, ia semakin merasa keluarga Pras mengginjak harga dirinya.

Tadinya Vina sangat merasa bersalah saat membahas masalah anak tadi, ia juga takut menghadapi kemarahan suaminya, tapi semua rasa itu mendadak hilang berganti dengan rasa marah. Suaminh sendiri tidak pernah peka dengan keinginanku.

"Kok kamu ngomong gitu lagi. Kamu ga ikhlas?" tanya Pras dengan nada suara yang kembali meninggi. Kali ini Vina sudah siap apapun resikonya dia memilihbee untuk mempertahankan sikapnya.

"Aku ikhlas mas. Jika aku tidak ikhlas menjalani semua ini, aku tidak akan bertahan di rumah ini selama setahun, Mas."

Vina memilih pergi, ia melangkah keluar kamar, niat hati pulang untuk istirahat, tapi aku malah harus menghadapi masalah seperti ini.

Vina menuju tempat cuci baju. Matanya langsung melebar saat melihat pakaian Asya ada di keranjang bajunya dan juga suaminya. Vina mulai memisahkan pakaian Asya dan membawa keranjang pakaian kotornya ke belakang.

Vina memilih mengalihkan rasa kesalnya dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangganya, ia pun mulai mencuci baju, Di rumah itu tidak memiliki mesin cuci, jadi setiap saat Vina selalu mencuci baju secara manual.

Sekilaa Vina melihat Pras pergi menyalakan motor milik Vina, laki-laki itu pergi begitu saja tanpa berpamitan seperti biasa. Vina hanya bisa menghirup napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan agar tak menjadi sesak di dada.

"Lho, Mbak, kok baju aku ditaruh di bawah sana?" tanya Asya dengan nada kesal. Sepertinya dia baru saja pulang bekerja karena masih berpakaian rapih.

"Tinggal kamu pindahkan saja, kan?"

"Mbak Vina, jangan terlalu perhitungan begitu. Mbak kenapa ga cuci bajuku sekalian?"

"Yang pertama, Mbak bukan pembantu di sini. yang kedua, aku ini juga repot masih banyak hal lain yang perlu dikerjakan," ujar Vina ketus.

Sebenarnya Asya lebih tua dari Vina 5 tahun. Tapi karena Vina adalah istri Pras. Ia jadi dipanggil mbak.

"Repot apa, sih, Mbak? anak aja ga punya, sok-sokan bilang repot segala."

"Suka hatiku, lah. Toh status kita di sini sama saja, kita sama-sama hanya menantu di sini."

Asya menghentakkan kakinya, sebal. Dia lalu masuk ke rumah dan tak lama ibu mertua muncul bersama Asya.

"Cih, bisanya hanya mengadu," lirih Vina kesal.

"Kamu itu, Vin. jadi saudara ga berguna. melahirkan anak enggak bisa, bantu saudara ga mau. Nyesel aku kasih restu Pras, nikah sama kamu."

Ya ampun. Ucapan ibu benar-benar membuat Vina merasa memang ia tidak ada harganya di sini.

Namun Vina hanya bisa diam dan berusaha untuk tidak terprovokasi dengan ucapan ibu mertuanya. Vina terus menyikat baju Pras tanpa mempedulikan omongan ibu mertua yang tak enak didengar itu.

Tapi sepertinya semua yang Vina lakukan memang selalu salah, bukannya emosi ibu mertuanya mereda, wanita paruh baya itu malah dengan kasar menendang ember yang ada di depan Vina hingga membuat wajah Vina terpercik air sabun.

"Aduh, mataku," pekik Vina kesakitan. Ia mengucek matanya, rasanya mata Vina seperti terbakar karena terkena cipratan air sabun itu.

"Makanya mbak, sama saudara itu yang baik." Asya mencemooh Vina, karena ia merasa dibela oleh ibu mertua mereka.

🌹🌹🌹🌹🌹

Mohon dukungannya untuk karya ini ya.

Jangan lupa like, komen gift dan Vote kalian.

Bab 3. Hasutan Ibu Mertua

*****

Asya dan ibu tampak sangat senang melihat Vina menderita. Vina berusaha bangkit dari duduknya dan berjalan masuk ke kamar mandi yang ada di belakang. Untunglah yang terkena cipratan sabun hanya mata sebelah kiri.

Vina membasuh wajahnya berkali-kali, entah kenapa air mata yang semulanya sudah tak akan dia keluarkan kini menjadi tak tertahan, Vina bahkan tak bisa menghentikan lajunya. Sakit, hatinya benar-benar sangat sakit. Ia memang mencintai suaminya, tapi jika dia terus diperlakukan seperti ini Vina benar-benar merasa harus menyerah. Ia tak mau dijadikan badut di keluarga itu, meskipun di hatinya masih tersimpan rasa cinta untuk suaminya itu.

Vina keluar dari kamar mandi setelah merasa matanya sedikit lebih baik. Meskipun tampak merah, tapi ia sudah tidak begitu merasa perih. Rasa perih yang paling terasa adalah rasa perih di hatinya. .

Saat keluar, Asya dan ibu mertuanya sudah tidak ada lagi di sana. Vina kembali melanjutkan mencuci baju yang tinggal sedikit. Setelah dibilas Vina langsung menjemur baju-baju itu samping rumah.

Saat Vina selesai dan masuk ke rumah, ternyata sudah ada suaminya, ibu mertua, Asya dan juga Bagas. Meskipun sedikit terkejut, tapi Vina tetap melangkah. Melihat mereka sekeluarga seperti ingin menyerangnya, Vina sudah membulatkan tekad dalam hati untuk tidak melanjutkan rumah tangganya. Ia tidak mau lagi mereka terus menerus menginjak harga dirinya, Biarlah ia akhiri saja pernikahannya dari pada hatinya terus menerus disakiti.

"Vina, kemarilah!" Pras memanggil Vina dengan suara datar dan dingin.

"Ada apa, Mas?"

"Kamu apakan Asya?"

"Hah, aku apakan memangnya dia? jadi dia ingin mengadu domba ku. baiklah, akan aku layani, karena setelah ini aku tidak akan lagi mau berhubungan dengan kalian lagi." Batin Vina

"Memang dia cerita apa sama kamu, Mas?" tanya Vina dengan nada santai. Namun, Vina enggan duduk, ia memilih tetap berdiri tak jauh dari suaminya.

"Kenapa kamu melemparkan baju-baju Asya ke wajahnya? Dia sudah meminta bantuanmu baik-baik. Lalu kenapa kamu bersikap kasar?" tanya Pras masih dengan nada bicara yang tak mengenakkan. Vina sampai dibuat tak habis pikir, sebenarnya di sini yang istrinya itu, dia atau Asya? kenapa Pras justru membela Asya?

"Apa mas melihat sendiri, aku melakukannya? Jangan menilai sesuatu dari sebelah mata saja, Mas. Mas menuduhku tanpa mencari tahu kebenarannya. Bagaimana jika dia hanya berbohong?"

"Ibu saksinya," sahut ibu mertua Vina. Mendengar pembelaan ibu mertuanya pada Asya, Vina spontan langsung terkekeh. Mas Pras dan Bagas sampai dibuat melotot tajam.

"Mas, tanyakan pada seluruh tetangga kita, orang-orang di kampung ini. Siapa menantu yang disayangi oleh ibumu dan menantu yang paling di benci olehnya. Mereka semua tahu jawabannya, Mas. Jadi kalau ibumu yang bersaksi untuk Asya, aku bisa memberi pembelaan apa? Kamu pun pasti akan lebih mempercayai ibumu ketimbang aku kan?"

"Halah, orang memang kamu yang salah," sahut ibu mertua Vina ketus.

Vina melangkah maju mendekat sampai ia benar-benar berdiri di hadapan suaminya. Pras menatap Vina dengan tajam, tapi kali ini Vina pun juga sepertinya tak mau lagi ditindas oleh siapapun termasuk suaminya sendiri. Vina pun menunduk dan menatap suaminya.

"Mas, lihat mata kiriku ini? jika aku berkata, ini karena perbuatan ibumu, apa mas akan percaya?" Pras menatap mata kiri Vina yang memerah.

"Ga usah mengada-ada kamu," ujar ibu mertua Vina gelagapan.

"Saya tidak pernah mengada-ada, Ibu. Tuhan saksinya. Ibu menendang ember sabun itu hingga terpercik mengenai mata saya," kata Vina.

Melihat diamnya Pras, Vina mengangguk dengan kecewa. Suami yang selama ini ditemani nya, tidak bisa dia andalkan dan dia harapkan. Mungkin memang Pras bukanlah jodohnya.

"Bahkan kamu ga bisa menjawabnya 'kan, Mas?" tanya Vina dengan nada sarkas.

"Coba kamu lihat itu Pras! dia sudah berani sama kamu," kata ibu mertua Vina semakin memprovokasi Pras.

Vina kembali menegakkan tubuhnya, Pras benar-benar keterlaluan, Pras sama sekali tidak memberi Vina muka di hadapan keluarganya.

"Dek, kamu minta maaf sama ibu dan Asya," kata Pras. Ia memanggil Vina dengan panggilan mesra, Dek, hanya jika ada maunya.

"Maaf mas, aku sudah tidak akan menjadi Vina yang kemarin hanya diam saat diinjak. Aku tidak tahan lagi hidup dengan keluargamu yang toxic," batin Vina.

"Maaf, Mas. Aku tidak bisa, Bukan aku yang salah. Kalau mas Pras masih tidak bisa memberiku muka, sekali lagi maaf, Mas. Aku menyerah dengan hubungan ini."

"Maksud kamu apa, Dek?"

"Kita pisah saja," jawab Vina. Pras seketika menengadahkan kepalanya karena terkejut.

"Dek, Aku hanya minta kamu minta maaf pada Asya. Jangan memperbesar masalah, hanya karena masalah ini, sampai-sampai kamu minta bercerai."

"Sudah lah, Pras. Masih banyak gadis yang akan mau sama kamu," timpal ibu Pras.

"Sebanyak apapun gadis yang mau menjadi istrinya mas Pras, jika tidak pernah dinafkahi, mereka juga akhirnya akan sama sepertiku, Bu. Ditambah lagi jika mereka tidak langsung segera hamil. Nasib mereka pasti tidak akan jauh berbeda denganku," sahut Vina ketus menanggapi ucapan ibu mertuanya.

"Dek, kamu bilang kamu ikhlas menjalani semua ini?" Pras lagi-lagi menatap Vina dengan tatapan mata mata yang sulit diartikan.

"Ya, awalnya aku tidak pernah mempermasalahkannya, Mas. Aku melihat bagaimana berbaktinya kamu pada ibumu. Aku sudah tidak punya orang tua, aku melihat kamu benar-benar menyayangi ibumu, tapi semakin ke sini aku semakin sadar. Mungkin kamu hanya menyayangi ibumu, dan tidak menyayangiku, Mas.

Selama ini aku hanya diam, tapi mas tidak pernah sekali saja bertanya apa keinginanku. Bagaimana seharian ini aku menjalani hidupku? bagaimana jualanku hari ini? apakah laku banyak atau malah sepi? Pernahkah sekali saja mas bertanya?"

"Kamu lihat sendiri, kan, Pras? dia wanita yang kamu pilih, sudah tidak bisa memberikan kamu anak, tapi banyak tuntutan. Sudahlah, lebih baik kamu ceraikan saja dia."

"Aku tidak akan menceraikan Vina, Bu."

"Aku akan memberikan kamu nafkah, Dek."

"Ibu tidak mau, jangan sampai kamu mengurangi uang belanja ibu. Ibu sudah membesarkanmu susah payah, ibu juga yang memberikan kamu pendidikan sampai kamu besar. Jangan sampai gara-gara istri mandul sepertinya kamu mau durhaka pada ibumu?"

"Sebaiknya mas ceraikan saja aku, karena aku tidak akan menarik ucapanku. Tidak ada gunanya lagi kita bersama. Aku sudah bulat dengan keputusanku dan mengenai hutang yang kemarin-kemarin anggap saja aku bersedekah."

Aku berbalik dan berlalu masuk ke kamar. Pras ikut berdiri dan hendak mengikuti Vina. Namun buru-buru dicegah oleh ibunya.

"Biarkan saja dia, Pras. Tanpa kamu, mau jadi apa dia? sudah untung kamu mau sama wanita yang jelas-jelas mandul itu."

Vina masih bisa mendengar cacian dari ibu mertuanya itu. Benar apa kata bu Nia, mengenai keluarga suaminya ini, mereka semua keluarga toxic dan sebaiknya ia tidak berada di tengah-tengah mereka lagi mulai sekarang.

Vina memasukkan baju-bajunya yang tak seberapa ke dalam tasnya. Pras masuk begitu saja dan menahan tangan Vina. Wajahnya terlihat gusar seakan sedang bingung harus berbuat apa. Ya, itulah suami yang selama ini dia banggakan. Hidupnya selalu dikendalikan oleh ibunya, sehingga dia tidak bisa mengambil keputusan sendiri.

"Dek, kamu tidak serius dengan ucapanmu tadi kan?" Pras menatap Vina dalam. Namun, Vina sudah terlanjur sakit hati. Cukup lah setahun ini ia menjadi wanita bodoh.

"Apa wajahku tampak sedang bercanda, Mas?" tanya Vina lagi.

"Vina, mas tahu kamu sedang emosi, tapi tolong pikirkan lagi baik-baik. Perceraian bukan solusi," ujar Pras sok bijak.

"Aku lelah, Mas. Menjalani rumah tangga denganmu sungguh sangat melelahkan buatku. Kamu ga bisa ngertiin aku, ngertiin posisiku. Apa karena aku bisa cari uang sendiri, mas bisa semena-mena tidak menafkahiku?"

"Mulai sekarang aku akan membagi gajiku, Dek."

"Ibu bilang ceraikan saja dia, Pras," teriak ibu dari luar kamar kami. Vina tahu mereka semua pasti saat ini sedang menguping pembicaraannya dengan suaminya sekarang.

"Mas dengar, kan? jadilah anak yang berbakti sekali lagi pada ibumu, setelah ini carilah istri yang benar-benar bisa dibanggakan oleh keluargamu. Yang tidak peduli dengan nafkah. Karena dia bisa melakukan apa-apa sendiri."

"Dek... " mata Pras kali ini berkaca-kaca. Vina juga sebenarnya berat mengambil keputusan ini, ia tidak hanya akan menyandang status janda tapi mungkin kedua kakaknya pasti akan kecewa dan malu, tapi Pras bukanlah miliknya, ia milik ibunya. Dulu hanya gara-gara nafkah sejuta saja, Pras selalu diomeli ibunya, hingga akhirnya Vina mengembalikan uang yang belum sempat dibelikan apapun olehnya itu.

"Dek... aku." Jantung Vina, berdebar tak karuan menunggu kalimat selanjutnya yang akan terucap dari bibir suaminya.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Jangan lupa untuk selalu memberi dukungan berupa like, komen, dan vote atau giftnya. 🥰🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!