NovelToon NovelToon

Pengantin Daebak!

Pertemuan Yang Menyakitkan

SETELAH melewati kemacetan jalanan siang ini, sambil membuka helm dan merapihkan ikat rambutnya. Nindya tergesa-gesa masuk ke rumah sakit, namun baru kakinya hendak melangkah masuk ke dalam rumah sakit, Ia melihat seseorang yang tengah duduk di kursi luar dan melihat ke arahnya.

Pria itu berdiri dan menatapnya. Dan Nindya sangat mengenal orang tersebut dan sudah bertahun-tahun ia tak pernah berjumpa. Terakhir kali ia tahu, pria itu berada di kota lain sejak lulus SMA, tapi kenapa bisa berada di sini sekarang dan bahkan menatapnya dengan tatapan berbeda? Dingin dan terlihat memendam sesuatu.

“Mas Dafin?”

“Saya antar kamu keruangan.” Katanya kemudian berjalan lebih dulu yang membuat Nindya bertanya-tanya.

Dipikirannya masih ada banyak pertanyaan tentang Dafin, tapi hatinya masih gelisah dan berdebar menunggu kabar Ayahnya yang baru saja masuk ke rumah sakit setelah tak sadarkan diri.

Langkah Dafin terhenti, dan membuat Nindya yang mengikutinya pun turut berhenti. Nindya sedikit terkejut melihat kerabatnya yang datang juga, ia adalah orang tua Dafin. Pertanyaan muncul dari Nindya, ia melihat Ibu yang sudah berkaca-kaca dan memeluknya.

Nindya seperti orang kebingungan. Ia menatap orang-orang yang menunggu di luar ruangan siang ini, ia melihat ada orang tua Dafin yang duduk menatapnya. Nindya sungguh tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Ayahnya.

Hingga tak lama kemudian, pria dengan setelan jas putihnya keluar ruangan dan membuat arah pandangan lainnya langsung tertuju padanya.

“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ibu.

Nindya hanya diam mencoba untuk menahan rasa sedihnya mendengar penuturan sang dokter yang mengatakan ada pengumpulan darah di jantung Ayahnya. Ah, bagaimana bisa Nindya tidak mengetahuinya? Bukankah ini berita yang memilukan? Jantung Nindya hampir berhenti berdetak mendengarnya.

Sampai dokter itu pergi, Nindya hanya diam dengan pikiran yang berkecamuk. ia tak menyadari gejala yang sudah terlihat olehnya.

Beberapa hari lalu, kaki Ayahnya terlihat bengkak dan ia melihat perubahan itu namun tidak bertanya apapun dan ia kira mungkin berat badan beliau yang bertambah, tapi penuturan dokter tadi mengatakan itu adalah gejala yang ditimbulkan.

...***...

Setelah keluarganya masuk, Nindya yang masih menunggu di luar bersama Dafin yang sejak tadi terlihat gelisah bahkan tak menyapanya. Kini keduanya dipinta masuk oleh Ibu Nindya.

Ia bingung, mengapa hanya dirinya dan Dafin yang pinta masuk ke dalam untuk menemui Ayahnya? Namun Nindya tahu jika Ayahnya itu sangat menyukai Dafin sejak dulu bahkan saat mereka masih kanak-kanak dan begitu juga Nindya yang sudah menganggap pria yang kini berdiri di sebelahnya sebagai kakaknya sendiri.

“Dafin, kamu sudah tahu alasan kamu dipanggil ke sini?” tanya Ayah Nindya dengan suaranya yang rendah.

Dafin menatap Nindya sejenak sebelum akhirnya mengangguk seolah mengetahui maksud sang Ayah Nindya itu.

“Nindya, sekarang berapa umur kamu?” tanya Ayah.

“Tahun ini 24, Yah. Kenapa? Ayah mau belikan Nindya motor baru untuk hadiah ulang tahun? Eh, jangan Nindya ingin ponsel baru aja soalnya yang sekarang udah lemot banget.” Kata gadis tersebut sambil tersenyum manis.

Memang seperti itulah Nindya, ia anak ceria dan juga cerewet bahkan sangat bisa merubah situasi yang tegang dan sedih menjadi gelak tawa. Seperti sekarang, ia masih bisa membawa Ayahnya yang sakit untuk bercanda bersamanya.

“Kamu bisa dapat keduanya, mau motor ataupun ponsel baru, bisa.”

“Tapi Ayah lagi sakit, gimana caranya dapat uang coba? Makanya Ayah sembuh biar bisa kasih Nindya hadiah.”

“Dafin bisa memberikannya.”

“Mas Dafin? Lah Mas Dafin juga mau kasih Nindya hadiah?” kini Nindya menatap ke arah lelaki itu yang masih diam.

“Kamu bisa catat apapun asal jangan berlebihan, kamu bisa minta ke Dafin.” kata Ayah menatap Nindya dengan lekat.

“Oh jadi ini maksudnya Mas Dafin tahu kenapa dia di panggil ke sini? Pantesan mukanya asem banget dari tadi, ternyata mau beliin Nindya hadiah dan terserah Nindya? Kalau gitu Nindya ingin minta banyak karena Mas Dafin punya banyak uang.” Nindya tersenyum mengangkat dua alisnya sambil tersenyum menggoda Dafin.

“Kamu minta apapun sebagai hadiah Mas Kawin kamu.” Kata Ayahnya yang membuat senyum di wajah Nindya pada Dafin menjadi kerutan di dahinya.

“Ma--,.Mas Kawin? Apa Nindya salah dengar? Maksudnya Mas Dafin, kan?”

Dafin yang masih menatap dingin ke arah Nindya kini membuka suaranya.

“Kamu ingin minta mas kawin apa dari saya untuk pernikahan kita?” kata Dafin menatap Nindya serius.

“Hah pernikahan kita? Maksudnya apa?” Nindya menatap Ayahnya.

“Kamu dan saya akan menikah. Sekarang kamu ingin meminta mas kawin apa?” tanya Dafin sekali lagi.

“Ayah?”

“Kamu dan Dafin akan menikah, kalian sudah Ayah jodohkan sejak lama.”

“APA? JODOHIN? KENAPA?” tanya dengan suara keras yang membuat Ayahnya sedikit terkejut dengan pekikan anak gadisnya dan saat Nindya ingin protes Ayahnya kembali merasakan sesak hingga Dafin menekan bel untuk memanggil dokter masuk ke dalam.

...***...

“Ini nggak bisa, Nindya sudah punya pacar, Mas. Kita nggak mungkin bisa menikah.” Kata Nindya menatap Dafin serius.

“Kita sama-sama punya pasangan, dan saya juga mencintainya. Memang seharusnya tidak boleh!” Timpal Dafin.

Keduanya masih berada di café yang sama sejak pertama kali keduanya dipertemukan. Bukannya kehangatan atau candaan seperti biasanya, justru pertemuan pertama mereka setelah enam tahun malah menjadi ketegangan.

“Nindya akan bilang ke Ayah, dan pasti beliau mengerti.”

Dafin hanya diam, ia tak bisa berbicara apapun saat ini. pikirannya kacau tapi masa depannya lebih kacau setelah mendengar kabar yang baru ia dapat beberapa jam lalu.

“Ayah kamu belum membaik.”

“Terus gimana, Mas?” katanya frustasi.

Dafin dan Nindya sama-sama terdiam dan memikirkan nasib mereka. Bagaimana jika keduanya benar-benar dipaksa menikah, sedangkan keduanya sudah memiliki tambatan hati?

Hening beberapa saat, hingga Nindya tiba-tiba mengebrak mejanya dan membuat Dafin yang dihadapnnya terkejut dan menatapnya.

“Nindya ada ide.” Katanya.

“Apa?”

“Kita ikutan nikah masal aja, yang penting kita berdua sama-sama nikah, Mas!” Kata Nindya dengan wajah berbinar dan merasa yakin dengan idenya.

“Itu bukan ide, Nindya. Kamu mau buat Ayah kamu tambah sekarat?” tegas Dafin yang membuat Nindya kembali menunduk dan bingung dengan nasibnya setelah ini.

...°°°°...

...Terimakasih yang sudah mampir dan membaca cerita ini....

...Semoga suka dengan karya baru Author ❤️...

...Jangan lupa kasih Bintang dan tinggalkan komentar gratisnya ya ❤️...

...Bandung, 10 Juni 2022...

Duka dan Luka

DAN di sinilah Nindya dan Dafin berada. Keduanya masih berada di ruangan Ayah Nindya untuk mengatakan beberapa keputusan tentang permintaan beliau yang menjodohkan mereka sejak lama.

Nindya selama ini sangat mengenal baik sosok Dafin yang usianya 5 tahun lebih tua darinya. Lelaki tersebut masih dibilang saudara jauhnya dan mereka telah melewati masa kecil bersama-sama. Nindya kecil sering bermain bersama Dafin, entah Dafin mengajaknya bermain layangan di sawah belakang rumahnya atau membuat origami dari kertas warna.

Namun sejak Dafin mulai masuk SMA dan keluarganya pindah rumah, hubungan mereka tidak sedekat dulu. Dafin dan Nindya mulai sedikit berjarak, mereka juga hanya sesekali bertemu jika ada kumpul keluarga atau lebaran tiba dan itupun hanya sekedar tegur sapa tanpa bertanya-tanya.

“Ayah, apa nggak ada pilihan lain untuk kita berdua?” tanya Nindya menatap serius pada Ayahnya.

“Apa permintaan Ayah begitu sulit? Dafin juga setuju dengan pernikahan ini.” seru Ayah sambil menatap Dafin yang berdiri dibelakang Nindya.

“Nindya sudah punya pacar, Yah.”

“Ayah tahu, tapi Ayah tidak setuju dengan pria yang mengatar kamu pulang kerja itu.”

“Fahri baik dan perhatian, kalau permintaan Ayah ingin Nindya menikah, Nindya akan bilang ke Fahri supaya melamar Nindya segera.”

Ayah Nindya tampak terkejut dan menatap putrinya. Sebenarnya bukan begitu, yang Ayahnya inginkan Nindya bersama Dafin hanya itu saja. Dan pernikahan adalah jalan terbaik agar mereka bisa bersama.

“Dafin, apa kamu keberatan dengan permintaan, Om?” tanya Ayah Nindya menatapnya.

“Ayah, Mas Dafin juga sud--,” perkataan Nindya terhenti saat tangan Dafin menahan pundaknya.

“Dafin siap menikahi Nindya.” Jawab Dafin mantap tanpa merasa keberatan dan membuat lengkungan senyuman di bibir Ayah Nindya tergambar jelas.

Nindya tak mampu lagi mengatakan apapun sekarang, kini dia hanya dalam kegundahan dan juga perasaan sedih karena mungkin kisah cintanya dengan Fahri, lelaki yang sudah bersamanya sejak dua tahun lalu harus berakhir dengan pernikahan terpaksa karena perjodohan. Nindya tak tahu harus bagaimana.

...****...

Keduanya kini berada di depan teras masjid di rumah sakit, setelah selesai shalat Dzuhur kini mereka berdua duduk berjarak sambil meratapi nasib masing-masing.

Yang Nindya sesalkan adalah mengapa Dafin menyetujui perjodohan mereka? Mengapa Dafin dengan lantang dan tanpa keraguan menerima pernikahan ini? jika niat Dafin adalah agar Ayah Nindya baik-baik saja tapi jelas-jelas itu adalah luka untuk Nindya yang hatinya sudah mencintai pria lain dan begitu pula Dafin.

“Mas Dafin, kenapa bikin semuanya rumit? Kenapa Mas Dafin nggak bilang jujur kalau Mas sudah punya pacar dan mau ngelamar dia?” kata Nindya sambil menyelipi rambutnya ke belakang telinga.

“Dengan kondisi Ayah kamu sekarang apakah baik-baik saja? Papah dan Mamah saya juga sudah bilang kalau perjodohan ini dirancang sejak lama.”

“Tapi, Mas Dafin pulang ke sini kan untuk minta izin ngelamar, kenapa nggak bilang langsung ke Om sama Tante?”

Terlihat Dafin menghela nafas, ia mengulung kemeja lengan penjangnya hingga sikut dan menatap ke langit siang ini yang cukup terang menderang.

“Sejak awal saya pacaran dengan Tania, Mamah paling menentang hubungan kami. Sudah tiga kali saya meminta restu tidak ada tanggapan. Saya bisa apa? Jika sekarang saya nekat menikahi Tania dengan posisi Ayah kamu sakit? kemungkinan buruk bisa terjadi pada Om dan Mamah saya juga.”

Sekarang Nindya terdiam, iya tahu bukan hanya dirinya yang berada diposisi sulit, tapi juga Dafin yang berada di tengah-tengah kebimbangan. Dafin dan Tania sudah menjalin hubungan selama 2 tahun lebih dan keduanya menjalin hubungan disatu perusahaan yang sama.

Nindya tahu, jika Dafin juga tidak mendapat restu dari Tante Linda -- Mamah kandungnya. Dan mungkin lebih sulit di posisi Dafin, jika dirinya memilih menikahi Nindya apakah Tania baik-baik saja, sedangkan mereka berjuang untuk mendapatkan restu selama 2 tahun ini?

Di selimuti perasaan tak menentu, kini ponsel Nindya berbunyi. Panggilan suara dari Fahri membuatnya ragu untuk menerimanya. Sejak dirinya dan Dafin akan dijodohkan, Nindya tidak menghubungi kekasihnya itu, entah karena takut mengecewakannya atau karena perasaannya sedang kalut.

“Kenapa nggak diangkat?”

“Nindya masih takut.”

“Kamu bicarakan saja baik-baik dengan dia, dan saya juga akan jelaskan pada Tania.” Kata Dafin yang lansung memakai sepatunya dan berjalan pergi meninggalkannya.

Mau tak mau, dengan perasaan bimbang dan sedih, kini Nindya memilih menemui Fahri untuk menjelaskan semuanya dan ia sudah siap dengan keputusan lelaki tersebut nantinya, meski hatinya tidak akan pernah siap melepaskan kekasihnya itu.

...***...

Fahri selalu sama, memberikan apa yang dia inginkan dan tahu apa yang dia rasakan. Seperti saat ini, sejak Nindya mengajaknya bertemu lelaki itu sudah memesan Cappuccino favoritnya untuk menenangkan suasana hatinya yang sedang tak menentu.

Fahri tersenyum manis padanya mengelus rambut Nindya yang sudah menjadi kebiasaan lelaki itu yang membuat Nindya merasa nyaman bersamanya. Nindya tak habis pikir, mengapa lelaki sebaik dan setulus Fahri harus rela ditinggalkannya setelah ini? apa Nindya tega menjelaskan keadannya?

“Ada apa? Kenapa kelihatannya gelisah?”

“Nggak, cuma lagi pusing aja sama kerjaan.”

“Nggak usah sedih gitu, nanti kalau mau belanja biar aku yang bayar.” Katanya sambil tersenyum.

Hubungan mereka memang selalu begitu, Nindya dan Fahri bisa dibilang bukan pasangan yang romantis. Fahri bekerja di salah satu Bank di Bandung, keduanya sudah kenal sejak masa kuliah dulu. Hanya saja saat itu Nindya yang lebih dulu mengagumi sosok Fahri yang ramah dan merupakan kakak tingkatnya. Selesai kuliah keduanya dekat saat Nindya mulai mencari kerja dan Fahri lah yang membantunya dan keduanya menjalin hubungan sampai saat ini.

“Kak, aku boleh tanya?”

“Apa?”

“Kalau seminsal, tiba-tiba orang tua Nindya mau jodohin sama cowok lain, apa kak Fahri akan marah?” tanya Nindya menatap pria tersebut.

Fahri terlihat sedikit terkejut, namun wajahnya kembali menatap Nindya dengan penuh ketenangan.

“Kalau memang orang tua kamu sudah kasih pilihan masa depan, sebaiknya kamu harus turuti mereka, bagaimana pun orang tua kamu lebih tahu mana yang terbaik buat kamu.”

“Tapi kan nggak cinta.”

“Pernikahan memang bukan soal perasaan aja, butuh pertimbangan dan kesiapan. Dibanding menikah tanpa direstui lebih baik menuruti dan menghendaki keinginan hati. Perasaan akan tubuh seiring bertemu, lagi pula kenapa kamu tanya kayak gini?”

“Nggak apa-apa, Nindya hanya mengatakan kemungkinan yang akan terjadi.”

Fahri hanya tersenyum sambil mengacak rambut Nindya yang membuat keduanya kembali tersenyum meskipun Nindya tak tahu apakah ia masih bisa menikmati momen ini bersama Fahri kelak.

...***...

Selesai menghabiskan waktu sore bersama, Nindya diantar Fahri dan mereka langsung menuju rumah sakit. Fahri sebelumnya sudah mengetahui jika Ayah kekasihnya itu sedang di rawat, namun ia belum bisa menjenguknya terlebih karena Ayah Nindya pernah menatapnya dengan tatapan kurang sukanya.

Nindya melepas helmnya saat sampai di depan rumah sakit, ponselnya sejak tadi di café sudah mati karena kehabisan baterai dan untunglah Fahri mau mengantarnya ke rumah sakit meskipun belum mau untuk bertemu Ayah Nindya, karena Nindya sendiri sudah tahu jika Ayahnya tidak suka dengan Fahri.

Nindya merapihkan rambutnya dan melihat Dafin yang berjalan ke arahnya dengan terburu-buru bersama seorang wanita yang digandengnya di belakang. Keduanya menghampiri Nindya dan membuat Nindya serta Fahri yang masih berada di sana menatap heran.

“Kenapa ponsel kamu nggak aktif?” tanya Dafin melepaskan genggamannya dari perempuan dibelakangnya.

“Lowbat, tadi lupa charger. Ada apa, Mas?”

Dafin terlihat menghela nafasnya dan beralih menatap Fahri yang masih turun dari motornya.

“Ayah kamu tidak sadarkan diri dari tadi.” Ungkap Dafin.

Nindya yang mendengar ucapan Dafin langsung menjatuhkan helm yang ia pegang. Fahri yang mendengarpun turut terkejut, tanpa berpikir lama dengan cepat Nindya berlarian menuju ruangan Ayahnya di susul Dafin bersama wanita yang mengikutinya serta Fahri yang mengikuti kekasihnya itu.

Air mata Nindya tumpah seketika saat melihat Ibunya yang sudah menitihkan air mata sambil mengenggam tangan suaminya itu. Nindya yang sudah menitihkan air mata dengan nafas terengah-engah langsung memeluk Ayahnya itu.

“Waktunya sudah tidak banyak , sekarang segerakanlah akad nikah kalian. Mungkin beliau masih menunggu kamu,” ucap Mamah Dafin yang berada di ruangan.

Dafin yang baru tiba bersama yang lainnya langsung menegang, Fahri yang berdiri diambang pintu dan mendengar ucapan tersebut sedikit bingung dan merasa tak enak hati.

“Dafin, Papah sudah bawa penghulu ke sini. Sekarang segerakanlah akad nikah kalian, Om Rahman masih menunggu kalian berdua menikah.” Ungkap Papah Dafin.

“Enggak, Bu. Pasti Ayah bisa sadar.” Kata Nindya yang benar-benar terkejut.

“Dokter bilang, detak jantungnya sudah melemah sejak tadi siang. Dan mungkin ia masih menunggu kamu dan Dafin menikah sebelum benar-benar pergi.” Kata Ibu disela-sela isakannya.

Dafin menatap ke belakang, di sanalah Tania pacarnya yang sudah mengetahui kabar ini sebelumnya dan juga Fahri kekasih Nindya yang kini hanya berdiri terdiam setelah mendengar semua yang terjadi.

“Dafin, kamu sudah berjanji pada Om Rahman.” Tegur Papahnya.

Dafin menghela nafasnya, masih menatap Tania yang sudah berkaca-kaca, ia berjalan mendekati Nindya dan duduk di samping gadis itu.

Tania dan Fahri yang berdiri di ambang pintu pun, kini di pinta masuk untuk menyaksikan pernikahan kekasih mereka. Nindya sudah menangis tersedu, ia terus mengenggam tangan Ayahnya agar bangun dan menghentikan pernikahan tak diinginkannya ini, sedangkan Dafin sudah mengeluarkan cincin disakunya.

Tania menatap cincin yang Dafin keluarkan. Seperyiny Dafin sudah menyiapkan cincin itu sebelumnya. Ia tak kuasa melihat kekasihnya akan menikah tiba-tiba dengan wanita lain di depan matanya sendiri.

Fahri yang sama terkejut dan terluka juga hanya bisa menatap Nindya yang menangis di depan Ayahnya yang sudah terbaring tak berdaya. Dokter dan penghulu ada di sana dan apakah kini kekasihnya akan menikah dengan pria lain hanya dalam hitungan beberapa menit setelah mereka menghabiskan waktu bersama?

Tangan Dafin gemetar, ia bahkan tak bisa menatap Tania yang sudah menitihkan air matanya. Dafin benar-benar dilema, ia tak tahu harus berbuat apa sampai akhirnya penghulu menjabat tangannya dan dengan bibir bergetar Dafin mengucapkan ijab kabul tanpa habatan hingga kata “SAH” terdengar diruangan dan disaat bersamaan itu pula Ayah Nindya benar-benar pergi dengan damai.

Nindya yang tak kuat langsung pingsan di samping jasad sang Ayah, sedangkan Tania yang tak sanggup dengan apa yang baru saja terjadi dan langsung pergi bersama Fahri.

“Mau ke mana kamu? Nindya pingsan!” Kata Mamah Dafin saat ia hendak menyusul pacarnya itu.

“Dafin sudah turuti keinginan kalian, tolong jangan halangi Dafin saat ini.” kata Dafin.

“Dia istri kamu, Ayahnya baru saja tiada. Apa kamu tega meninggalkan Nindya yang kehilangan demi seseorang yang kini sudah tidak ada ikatan.” Kata Mamah Dafin yang membuat Dafin terdiam dan menoleh menatap Nindya dan Ibunya yang kini resmi menjadi mertuanya juga sedang menangis.

Dafin benar-benar kacau, ia menjambak rambutnya kesal. Namun saat ini ia benar-benar berada disituasi yang sulit, janjinya pada mendiang Ayah Nindya sudah terucap sebelumnya dan ia tak mungkin mengingkari itu. Kini Dafin mencoba menahannya egonya dan mengangkat tubuh Nindya yang kini resmi menjadi istrinya.

...°°°°...

...Semoga suka dengan cerita ini, jangan lupa kasih Komentar & Bintangnya...

...❤️❤️...

...12 Juni 2022...

Memulai Perjanjian

PAGI ini suasana berbeda diselimuti duka. Sejak semalam saat jenazah Ayah Nindya tiba di kediamannya, wanita itu yang kini sudah resmi berstatus istri Dafin hanya terdiam sambil menyadar pada dinding dan menatap kosong.

Beberapa orang yang datang untuk mengucapkan belasungkawa hanya bisa menatap iba pada Nindya. Wanita itu benar-benar kehilangan orang yang paling ia cintai yang selalu memanjakannya.

Dafin yang sejak tadi mencoba menyambut beberapa sanak saudara yang mulai berdatangan dari luar kota hanya bisa sesekali menengok ke arah istrinya. Untungnya beberapa kerabat dekatnya sudah mengetahui kabar pernikahan dirinya dan Nindya kemarin sore.

"Dafin, kamu temani Nindya. Dari kemarin dia belum makan dan minum apapun." Pinta Mamah Dafin yang menatap sendu menantunya itu.

Dafin yang masih belum menerima statusnya menjadi suami Nindya dan masih terpikirkan kabar pacarnya Tania yang kemarin sore menyaksikan ijab kabul mereka hanya bisa mencoba melawan kata hatinya. Ia berjalan mengambil minuman gelas dan menghampiri Nindya yang matanya sudah bengkak dan hidungnya memerah.

"Minum dulu, nanti kalau sampai sakit kasihan Ibu."

Nindya menatap Dafin sekilas dan mengambil minum dari tangan lelaki yang sejak kemarin sore telah resmi menjadi suaminya itu. Rasanya sangat sakit bagi Nindya, jika memang Ayahnya menginginkan dirinya dan Dafin menikah bisakah mengadakan sedikit pesta dan Ayahnya menjadi walinya?

Nindya menatap jari manisnya tersematkan cincin dari Dafin, iya yakin cincin tersebut akan digunakan suaminya untuk melamar kekasihnya. Tapi dalam sekejap keadaan berubah, apa yang direncanakan tak sesuai harapan, justru cincin tersebut kini menjadi miliknya.

Dunia Nindya benar-benar berubah dalam sekejap. Ayahnya pergi dengan begitu cepat dan dirinya kini resmi menikah dengan Dafin hanya dalam waktu beberapa hari setelah mereka bertemu kembali.

...***...

Acara pemakaman telah selesai, Nindya pergi beristirahat di kamarnya disusul Dafin yang dipinta untuk menemani istrinya tersebut.

Dafin yang sudah hafal letak kamar Nindya yang tak pernah berubah sejak beberapa tahun terakhir itu langsung membuka pintu kamar Nindya yang tidak terkunci. Ia menatap keadaan kamar wanita itu yang semuanya tetap terlihat sama sejak terakhir Dafin berkunjung.

Beberapa foto kelulusannya terpanjang rapih di dinding dan foto dirinya bersama Nindya saat masih kecil pun masih terpanjang di sana. Dafin berjalan ke arah rak buku yang sedikit berantakan. Ia sangat tahu jika Nindya gemar mengoleksi beberapa novel terjemahan dan novel best seller meskipun kadang butuh beberapa bulan untuk selesai membacanya.

Dafin merapihkan letak buku tersebut dan setelahnya ia berjalan ke arah ranjang menatap Nindya yang terlihat tertidur gelisah. Ia tak tahu harus bagaimana menjalani kehidupan selanjutnya. Kedatangannya untuk pulang ke Bandung sebenarnya untuk meminta restu orang tuanya melamar Tania, namun saat sampai di Bandung ia mendapat kabar Ayah Nindya masuk ke rumah sakit.

Beberapa hari ia berada di Bandung sampai kabar perjodohan Ayah Nindya tersampaikan membuat Dafin benar-benar gundah. Jika saja ia tak pulang ke Bandung kemarin, apakah pernikahan dirinya dan Nindya tidak akan terjadi?

"Ayah--," ngingau Nindya.

Dafin yang hendak menyelimuti Nindya kini menyentuh pipi wanita itu dan membangunkannya. Dan tak lama, Nindya membuka mata dan menatap sedikit terkejut saat Dafin berdiri di hadapannya.

"Kamu ngingau."

Nindya langsung duduk dan merapihkan rambutnya. Dafin duduk di ranjang Nindya sambil mengalihkan pandangannya menatap ruangan kamar.

"Mas, kenapa di sini?"

"Ibu suruh saya temani kamu."

Ah, Nindya lupa jika dirinya dan Dafin sudah resmi menikah. Nindya terlalu sulit menerima kenyataannya.

"Tadi di bawah, saya lihat Fahri datang."

"Dia ke sini?"

"Sepertinya dia masih di bawah."

Nindya masih terdiam, ia bingung harus bagaimana. Sejujurnya ia masih takut bertemu dengan Fahri yang masih menjadi kekasihnya itu. Bahkan Fahri sendiri menyaksikan langsung dirinya dan Dafin saat ijab kabul, meskipun itu bukan keinginannya.

"Kak Tania gimana?" tanya Nindya.

"Saya sudah menghubunginya, tapi ponselnya tidak aktif." Jujur Dafin.

Kini keduanya sama-sama terdiam, dalam duka yang mendalam mereka juga merasakan rasa sakit karena menghianati kekasih masing-masing. Tapi, apakah sekarang hubungan pernikahan mereka penting? Keduanya tak punya perasaan yang sama.

"Kamu mau temui dia? sepertinya dia masih menunggu untuk bertemu kamu langsung." Kata Dafin.

"Apa nggak apa-apa Nindya ketemu Fahri?"

"Bukankah hubungan kalian masih terjalin? Saya tidak akan ikut campur urusan kalian."

Nindya bangkit dari kasur dan berjalan keluar kamar, ia sudah menyakiti Fahri dan ia harus bertanggung jawab untuk hal ini. Tanpa peduli dengan Dafin yang sedang sibuk mengecek ponselnya untuk menghubungi Tania. Keduanya hanya memiliki status tanpa perasaan, apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja setelahnya?

...***...

Seminggu berlalu setelah kepergian Ayah Nindya untuk selama-lamanya kini keadaan mulai kembali semula, namun hubungannya dengan Dafin masih terjalin.

Setelah seminggu lebih Dafin mengambil cuti kerjanya, kini ia harus kembali bekerja dan kembali ke rumahnya yang sudah ia beli empat tahun lalu. Namun kini Dafin kembali bukan hanya ingin menyelesaikan masalahnya dengan Tania, ia juga harus membawa serta Nindya yang sudah menjadi istrinya.

Awalnya Nindya menolak untuk ikut tinggal bersama Dafin. Mereka juga menunda resepsi pernikahan yang sudah direncanakan untuk diadakan dua minggu lagi namun Ibu dan orang tua Dafin kompak menentang keinginan Nindya. Mereka meminta Nindya tinggal bersama Dafin dan mereka setuju dengan keinginan Nindya dan Dafin untuk menunda resepsi pernikahan.

Dan hari ini, Nindya sudah mengemas beberapa pakaiannya dan sedikit novel untuk ia baca nanti. Ia tak tahu kapan akan kembali ke Bandung setelah Dafin membawanya pergi. Ini bukan keinginannya juga bukan keinginan Dafin. Ia tak menyangka semuanya cepat terjadi.

"Dafin, Ibu titip Nindya. Kalian memang sudah saling kenal, tapi sifat Nindya mulai berbeda. Ibu berharap kamu bisa menjaga dia dengan baik." Kata Ibu Nindya.

"Dafin akan berusaha menjaga Nindya." Kata Dafin sambil mencium tangan Ibu mertuanya.

Nindya yang merupakan anak tunggal di keluarnya kini memeluk Ibunya dengan erat. Ia tak tahu jika dirinya akan secepat ini meninggalkan rumah, terlalu banyak kenangan yang tercipta bahkan bersama Ayahnya. Mungkin sudah takdir Tuhan, lepas Ayahnya pergi saat itu juga ia di bawa pergi untuk menjalani kehidupan barunya.

...***...

Nindya dan Dafin sudah tiba di rumah. Selama Dafin bekerja, ia sudah bisa membiayai kuliah dan juga membeli rumah yang sudah ia tempati tiga tahun terakhir.

Nindya masih terdiam di mobil, sedangkan Dafin sudah sibuk mengeluarkan beberapa barang yang Nindya bawa. Entah apa yang dipikirkan wanita itu, Dafin sejujurnya merasa berat membawa Nindya ke rumahnya. Dulu dirinya membeli rumah tersebut untuk ia tempati bersama Tania kelak, tapi sekarang justru Nindya yang menjadi ratu di rumahnya.

"Kamu nggak mau masuk?" tanya Dafin membuka pintu mobil.

Nindya yang tersadar dari lamunannya, kini langsung turun dari mobil dan menatap rumah minimalis milik Dafin. Ini kali pertama dirinya menginjakkan kaki di rumah pria itu. Selama Dafin lulus sekolah dan mulai bekerja, mereka memang jarang berkomunikasi lagi dan ia hanya sedikit tahu informasi jika Dafin membeli rumah dan mobil.

Nindya mengira jika Dafin bekerja di luar kota, tapi kenyataannya Dafin sudah pindah ke kota yang sama sejak dua tahun lalu dan hanya berjarak beberapa jam saja dari rumah Nindya dulu. Lihatlah, Nindya benar-benar tidak tahu apapun mengenai suaminya saat ini.

Dafin membuka pintu rumahnya dan dari dalam terlihat sangat rapih, pria itu meksipun sibuk bekerja dan tinggal sendirian. Namun ia sangat rajin untuk membersihkan rumah. Nindya masih ingat kebiasaan lelaki itu yang sangat rapih.

"Mas, Nindya ingin bicara." Nindya masih berdiri diambang pintu.

Dafin yang membawa koper Nindya kini terhenti dan menoleh kebelakang. Dafin menatap Nindya dan ia pun memilih berjalan ke arah sofa dan duduk di sana.

"Duduklah."

Nindya duduk di sofa di hadapan Dafin.

"Mas, apa pernikahan kita masih tetap berjalan baik?" Nindya menatap Dafin serius.

Dafin menatap Nindya sejenak. Ia bingung menjawab pertanyaan wanita itu.

"Gimana perasaan kamu sama Fahri?"

"Nindya masih sayang sama Fahri dan dia juga sudah mendengar semua penjelasan Nindya."

"Apa dia masih mau menjalin hubungan sama kamu meski kita sudah menikah?" tanya Dafin serius.

"Fahri bilang, dia masih cinta sama Nindya dan belum rela putus. Dan Nindya nggak tahu harus gimana."

Dafin menghela nafasnya, ia kemudian mengambil ponselnya dan memberikannya pada Nindya.

Nindya yang bingung saat Dafin memberikan ponselnya langsung membaca isi chat yang ditampilkan pria itu.

"Jadi, Kak Tania masih menunggu Mas Dafin?" tanya Nindya sambil memberikan kembali ponselnya.

"Saya sudah jelasin semuanya dengan dia. Dan Tania mengerti posisi saya, dia awalnya tetap ingin menyudahinya. Tapi hubungan dan perasaan kami tidak semudah itu berakhir." Dafin menghela nafasnya.

"Tania masih menunggu saya, dan kita berdua ada di posisi yang sama." lanjut Dafin.

Entah mengapa, kini Nindya justru merasa legah. Ia pikir perasaannya saja yang egois karena masih ingin mempertahankan perasaannya untuk Fahri di saat dirinya sudah menikah, tapi kini Dafin juga sama. Bukankah pernikahan ini salah?

"Mas, jadi pernikahan kita bagaimana?"

"Orang tua kita sangat bahagia dengan pernikahan ini, tapi tidak dengan perasaan kita. Saya sudah mempertimbangkan. Kita tetap menjalani pernikahan ini untuk sementara, saya akan tetap menjalani kewajiban saya sebagai suami untuk membiayai kebutuhan hidup kita dan untuk hal lainnya kita jalani masing-masing." jelas Dafin.

"Terus, Nindya masih boleh berhubungan dengan Fahri?"

"Asal tidak melakukan hal diluar batas. Ingat kamu masih istri saya."

"Tapi Mas juga sama Kak Tania masih pacaran."

Kini Dafin terdiam, ia juga bingung bagaimana hubungannya dengan Tania kedepannya. Memang mereka tidak ada kata putus dan Tania juga hanya bilang masih menunggu Dafin, begitu juga dengan Fahri yang mengatakan masih menunggu Nindya.

Lalu, apakah rumah tangga mereka yang sudah sah nanti akan baik-baik saja dengan mencintai orang lain?

"Mas, kalau kamar?" tanya Nindya.

"Ada dua kamar, kamu bisa pakai kamar tamu."

"Beneran? Kalau gitu mari kita bikin perjanjian." kata Nindya kembali bersemangat.

"Perjanjian apa?"

"Kita lakukan pernikahan ini selama 3 bulan sampai 100 harinya Ayah. Nindya akan tetap melakukan kewajiban sebagai istri, memasak dan lainnya kecuali untuk kewajiban suami-istri. Dan lepas itu, mari kita selesaikan pernikahan ini, Mas. Dan Mas Dafin boleh kembali ke pelukan kak Tania. Mas nggak usah khawatir soal orang tua kita, mereka juga akan mengerti perpisahan kita karena bagaimana pun dari awal kita tidak saling mencintai." kata Nindya.

Dafin terdiam dan mencerna ucapan Nindya. Apakah kini mereka sedang berunding untuk kontrak pernikahan? Apakah ini benar? Tapi dalam hati paling dalam Dafin benar-benar peduli dengan Nindya tapi soal perasaan, Dafin tak bisa bohongi jika masih mencintai Tania.

"Kalau begitu, mari kita coba. Saya tidak akan melarang dan ikut campur urusan kamu. Kita jalani kehidupan masing-masing, tapi ingat, kamu tetap dalam pengawasan saya." kata Dafin.

"Oke, kalau gitu perjanjian kita sudah dimulai dari sekarang." kata Nindya jari kelingkingnya.

Dafin tersenyum dan mengangkat jari keliling kanannya untuk perjanjian mereka. Mulai hari ini mereka akan memulai kehidupan baru dengan status yang sah namun dengan perasaan yang berbeda.

...°°°...

...Terimakasih yang sudah membaca kelanjutannya....

...Kalau ada typo, mohon ditandai ya ❤️...

...24 Juni 2022...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!