Sudah hampir dua minggu belakangan ini Nilam tampak gelisah. Setiap malam hingga waktu menunjukkan pukul satu dinihari, dia masih terjaga. Tampak mondar mandir sesekali menyibak tirai yang tak jauh dari ruang tamunya. Rumah bercat putih minimalis tapi terkesan mewah itu akhir-akhir ini kerap terdengar riuh suara Nilam bertengkar dengan suaminya.
Ini entah sudah kali ke berapa dia akan mengulang kisah yang sama. Bertengkar hingga subuh dengan Indra, sang suami yang sekarang Nilam rasa jadi berubah. Pernikahan mereka sudah menginjak usia dua tahun, tapi badai sudah mulai menerjang. Nilam masih berusaha mengontrol emosi yang serasa meledak-ledak, ia ingin mengajak Indra bicara empat mata tetapi suaminya kerap menghindar dengan alasan sudah mengantuk dan ingin segera tidur.
Sekarang, kegelisahan Nilam memuncak kala dilihatnya waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua. Belum ada tanda-tanda batang hidung suaminya. Nilam sebenarnya sudah mengantuk, tapi masih ditahannya rasa kantuk yang menggelayut di ujung mata. Bertahan dengan sisa tenaga agar segera bertemu Indra.
Sorot lampu mobil kemudian menyoroti jendela kaca, membuat bayangan Nilam memantul, membuat Indra sadar betul bahwa dia sedang ditunggu oleh istrinya yang pasti akan mencecar dengan berbagai pertanyaan.
"Lembur lagi, Ndra?" tanya Nilam setelah dia membuka pintu hingga benda itu ternganga lebar.
"Masih saja kau tanyakan, Lam. Ya lembur, mau tak mau. Kau tahu sendiri, ini akhir tahun, sebentar lagi tutup buku. Pekerjaanku menumpuk."
"Tidak mungkin setiap malam begini, Ndra!" tegur Nilam masih berusaha mengatur nafasnya yang mulai tersengal, antara menahan tangis juga menahan emosi yang hampir meledak.
"Suka-suka kau lah mau bicara apa. Yang jelas, aku kerja keras cari duit buatmu! Jadi jangan banyak tanya!"
Nilam melotot. Ya kalau pulangnya seperti ini terus istri mana yang tak curiga? Nilam mendekati suaminya, baru disadari bau tubuh suaminya berbeda.
"Apa sih ngendus-ngendus begitu?!" sentak Indra membuat Nilam terhuyung ke belakang dan hampir menabrak dinding belakangnya.
"Perempuan mana yang sudah menempel erat denganmu, Ndra?!"
"Heh, jangan asal tuduh! Kau ini, aku capek! Bukannya dibiarkan untuk tidur malah menuduh yang tidak-tidak!"
"Tapi baumu lain!" Nilam tak mau menyerah, ditariknya lengan Indra hingga pria itu menatap dirinya.
"Bau apa sih? Makanya jangan suka berpikir yang enggak-enggak sama suami sendiri! Dosa kau, Lam, menuduhku begini! Sudah, aku mau tidur!"
Lalu pintu kamar itu terbanting tepat di depan hidung Nilam. Nilam berdecak kesal. Ia menendang dinding melampiaskan kemarahannya yang sudah menggunung. Oke, kali ini akan ditahannya lagi.
Nilam berusaha menenangkan diri. Perlahan dia meraih gagang pintu kamar lalu membukanya. Dilihatnya Indra sudah tidur menyamping. Dikesampingkan berbagai pertanyaan yang menggelayut di ujung hati. Nilam mencoba memeluk Indra dari belakang, tetapi lelaki itu bergeming. Dulu di awal-awal pernikahan, Indralah yang suka memeluk Nilam ketika mereka tidur.
Sekarang, suaminya jadi dingin. Nilam tak tahu apa sebabnya. Nilam kemudian menarik lagi tangannya karena tak ada respon sama sekali dari sang suami. Matanya kemudian tertuju pada fotonya ketika masih menjadi artis beberapa tahun yang lalu.
Nilam datang dari desa, dulu sempat salah pergaulan dan berakhir hilangnya perawan ketika bertemu dengan Toni, pemuda Jakarta, orang pertama yang menyambut kedatangannya setibanya dia di Jakarta dulu. Kemudian dia menjadi asisten model terkenal lalu ada jalan dirinya sendiri pun dilirik produser dan sutradara hingga namanya melambung, menjadikannya artis muda naik daun kala itu.
Bersama managernya, Yuki, ia berpetualang di ranah hiburan. Pundi-pundi rupiah semakin menggunung, dia jadi kaya raya tanpa harus jadi simpanan orang kaya seperti mimpinya dulu. Hasil kerja kerasnya menghasilkan satu rumah megah di desa mereka untuk kedua orangtuanya. Nama yang dielu-elukan, tubuh yang semakin terawat, dan banyak lelaki yang berduyun-duyun mendekatinya.
Termasuk dengan Indra Wijaya ini, lelaki yang sudah sah jadi suaminya semenjak dua tahun belakangan. Mereka harusnya sudah memiliki anak, sayangnya Nilam sempat keguguran karena kecelakaan satu tahun yang lalu. Semenjak itu, dia jadi kesulitan mengandung.
Akhirnya Nilam berhenti total dari panggung hiburan atas kehendak suaminya. Tapi semenjak di rumah saja, sikap Indra justru semakin berubah. Dingin, bagai orang asing. Hampir dua minggu pula mereka tak melakukannya, Nilam nelangsa, curiga dan menerka-nerka apa mungkin suaminya memang betulan berselingkuh di luar sana?
Karena gelisah pula akhirnya Nilam beranjak perlahan, sedikit berjingkat memutari sisi ranjang menuju ke samping Indra yang sedang terlelap. Dia ingin melihat isi ponsel suaminya itu. Setelah ia mendapatkan benda itu, ia mulai membukanya perlahan. Baru saja hendak membuka pesan, benda itu dirampas begitu saja.
"Ndra ... Aku ..." Nilam jadi terbata-bata, merasa bersalah karena lancang.
"Apa?! Lancang kau!"
Indra keluar dari kamar, meraih kunci mobil lalu menuju halaman. Nilam berseru memanggil nama suaminya. Nelangsa ditinggalkan begitu saja. Deru mobil Indra berlalu entah kemana. Tinggallah Nilam yang merasa diabaikan begitu saja. Entah apa salahnya.
Pagi hari, Nilam terbangun dengan mata sembab. Lelah menangis membuatnya ketiduran lalu bangun terlampau siang. Ia membuka mata tepat pukul sepuluh pagi. Nilam mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dilihatnya ruangan itu masih sepi dan hampa.
Tapi, dia melihat baju yang tergantung yang disiapkannya untuk Indra berangkat kerja sudah tak ada. Artinya suaminya itu sempat pulang tapi tak membangunkan dirinya. Nilam meraih ponsel, mencoba menghubungi suaminya tetapi Indra sedang berada di panggilan lain.
Berkali-kali mencoba menghubungi, panggilan itu tetap saja terbentur panggilan lain. Nilam menghempaskan ponselnya dengan kesal ke atas ranjang.
"Betul-betul keterlaluan kau, Ndra!" desis Nilam.
Dengan langkah berat, dipaksanya tubuh menuju kamar mandi. Air dingin mengguyur tubuhnya. Setelah ini, Nilam hanya akan disajikan pemandangan sepi di rumahnya. Semenjak tak lagi berkecimpung di panggung hiburan, kehidupan Nilam hanya seputar rumah dan suaminya saja. Tapi sang suami justru seperti sedang mempermainkan dirinya yang sudah dengan sangat patuh menuruti segala kehendaknya selama ini.
"Setelah aku patuh begini, kau malah mengabaikan aku. Lihat saja kau, Ndra! Sepertinya aku memang harus segera menyelidikinya." Nilam bergumam pelan sembari mengenakan baju.
Ia kemudian turun ke bawah. Ia tidak jadi masak untuk siang nanti. Indra juga sudah jarang sekali makan di rumah itu. Nilam memutuskan untuk pergi ke mall, tempat dimana Indra bekerja sebagai general manager di sana. Jabatan suaminya memang cukup tinggi dan gaji yang didapatkan juga termasuk besar tapi sekarang Nilam tak memegang uang itu sepenuhnya. Sebab kata Indra, ia juga memberi ibunya separuh uang itu.
Nilam tak keberatan, karena tabungannya sebagai artis dahulu juga masih cukup banyak. Nilam sengaja merahasiakan itu dari Indra. Indra hanya tahu bahwa Nilam tak punya apa-apa lagi setelah ia berhenti dari panggung hiburan. Padahal diam-diam, Nilam punya tabungan sendiri.
Dengan sedikit berdandan dan memakai kaus juga celana jeans ketat, ia menyetop sebuah taksi. Setelah menyebut tujuannya, supir langsung melajukan taksi.
Lam, apa kabarmu?
Sebuah pesan dari Yuki, mantan managernya dahulu. Suatu kebetulan, Nilam memang ingin menghubungi perempuan itu.
Aku kurang baik, Mbak. Mbak sendiri gimana? Oh iya, apa Mbak sedang sibuk?
Tidak, Lam. Kurang baik kenapa? Ayo cerita padaku. Aku sedang free. Btw, aku sedang di mall, kau dimana?
Wah, kebetulan sekali, Mbak, aku sedang menuju ke sana juga. Kita bertemu di kafe biasa ya.
Oke, Lam. Aku tunggu.
Nilam menarik nafas lega, agak merasa terhibur dengan pesan yang dikirimkan oleh Yuki barusan. Tadinya dia ingin langsung pergi ke ruangan suaminya, tetapi dia harus menundanya dulu. Sudah lama ia tak bertemu dengan Yuki.
Sesampainya di mall terbesar itu, Nilam segera turun. Ia segera mencari Yuki di kafe biasa mereka nongkrong dulu. Dari kejauhan perempuan itu melambai ke arahnya.
"Apa kabar kau, Lam?" tanya mbak Yuki sembari memeluk Nilam.
"Kurang baik, Mbak. Mbak sendiri gimana?" tanya Nilam.
"Aku baik, Lam. Kau sendiri, tumben tak baik?"
"Masalah rumah tangga, Mbak. Pusing."
Nilam duduk bersama Yuki lalu mereka memesan minuman. Yuki memandangnya lekat, seolah paham dengan apa yang tengah melanda Nilam.
"Ada apa, Lam? Indra?" tanya Yuki.
Nilam mengangguk. "Aku curiga Indra selingkuh, Mbak."
"Ngaco kau, Lam. Selama ini aku lihat kalian baik-baik saja."
"Ya, Mbak. Tapi sudah hampir dua minggu ini sikap Indra kepadaku berubah. Dia dingin, semalam saja kami bertengkar dan dia tidur entah dimana. Pulang selalu larut bahkan sudah subuh."
Nilam mulai mengeluarkan uneg-uneg di hatinya yang selama ini tertahan di rongga dada.
"Mungkin sedang banyak kerjaan, Lam. Lihat, mall ini ramai sekali, suamimu pasti sibuk juga."
"Tak mungkin lembur setiap hari, Mbak. Lagipula, dia itu manager, posisinya cukup tinggi bisa saja dia meminta bawahan. Biasanya juga begitu. Jadi kalau katanya lembur terus, aku malah tak yakin."
"Coba dibicarakan baik-baik kalau begitu, Lam."
"Dia dingin, Mbak. Tidak mau diajak bicara. Makanya sekarang aku pengen cari tahu dan nekat ke sini."
Yuki mengangguk-angguk. Dia paham kegelisahan mantan artisnya itu. Terlihat beberapa orang melihat mereka.
"Lam, lihat, mereka kayaknya fansmu."
Yuki menunjuk orang-orang itu. Nilam menoleh, kemudian tersenyum dan melambaikan tangan kepada mereka.
"Aku kan bukan artis lagi, Mbak. Mana ada fans."
"Lah itu, buktinya."
Nilam hanya tertawa.
"Lam, kalau saja kau masih mau main film, ada satu tawaran untukmu. Produser meminta aku menghubungimu untuk membicarakan ini. Film ini pasti meledak, karena diangkat dari novel penulis ternama di negeri ini."
Nilam tampak terdiam, baginya tak mudah untuk kembali ke ranah hiburan. Apalagi Indra tak suka dia kembali jadi artis beken.
"Aku mana bisa, Mbak. Mbak tahu sendiri, Indra gak mungkin kasih izin."
"Ya, aku tak bisa memaksamu, Lam. Tapi, waktunya juga masih lama. Syuting baru bisa dilaksanakan enam bulan lagi."
Nilam hanya mengangguk. Dia sendiri sekarang ingin mencari tahu dulu tentang kecurigaannya terhadap Indra. Belum memikirkan hal lain.
Saat mereka sedang berbicara, tak sengaja mata Nilam menangkap sosok berjalan dari kejauhan, mirip sekali dengan Indra meski dari belakang. Tapi harusnya Indra sendiri bukan dengan perempuan memakai rok mini di sampingnya itu. Tapi apakah memang itu Indra?
"Mbak-mbak, aku seperti lihat Indra!" Nilam memekik tertahan.
"Mana, Lam, aku gak lihat."
"Sudah menghilang Mbak, mungkin ke sisi lain. Aku tinggal dulu, Mbak." Nilam bergegas keluar, berusaha melangkah secepatnya untuk mencari sosok yang dia yakin adalah Indra.
"Aku ikut, Lam. Tunggu!"
Yuki mengejar Nilam yang sudah hampir menghilang dari pandangan. Ia berhasil mensejajarkan langkah dengan nafas yang tersengal. Yuki memandang sekeliling seperti yang sedang Nilam lakukan.
"Kau salah lihat sepertinya, Lam."
"Sumpah, Mbak. Aku paling hafal bentuk Indra dari atas sampai bawah, dari depan sampai belakang. Sampai tahi lalatnya di mana aja juga aku tahu."
"Ya sudah, kita cari ke sana."
Yuki menunjuk sebuah lorong di dalam mall. Nilam mengangguk lalu secepat mungkin keduanya segera mencari keberadaan seseorang yang diyakini sebagai Indra.
"Dia sendiri, Lam?" tanya Yuki di sela langkah mereka yang cepat itu.
Nilam menoleh sebentar kemudian menggeleng.
"Aku lihat ada perempuan di sampingnya, Mbak."
Yuki segera menghentikan langkah. "Serius?" tanyanya tak percaya.
"Ya, aku yakin dia bersama perempuan."
Yuki mengangguk-angguk lagi. Namun, setelah jauh mereka mencari, memutar kesana kemari, tidak juga ditemukan keberadaan Indra. Nilam mulai melambatkan laju langkahnya.
"Sepertinya kau memang salah lihat, Lam." Yuki mulai skeptis. Mungkin saja Nilam yang terlalu curiga hingga membuatnya jadi berhalusinasi dengan melihat bayangan suaminya sendiri bersama perempuan lain.
"Aku yakin tak salah lihat, Mbak."
"Coba kalau begitu kau datangi saja ruangannya, Lam. Daripada terus-menerus curiga begini. Kau juga yang akan pusing."
Nilam tampak berpikir. Akhirnya dia setuju, jadi bersama Yuki dia kembali keluar. Kantor berada di sisi lain gedung mall terkenal itu. Nilam pernah beberapa kali datang dahulu untuk mengantar makanan untuk Indra. Tapi beberapa bulan ini, Indra tak mengizinkannya lagi melakukan hal itu. Nilam pun menurut saja. Barulah sekarang dia kembali menjejakkan kaki di tempat itu.
"Cari siapa, Mbak?" tanya seorang perempuan dengan pakaian hitam putih. Sepertinya dia pegawai baru jadi tak tahu siapa Nilam.
"Saya mau ke ruangan pak Indra."
"Maaf, Mbak ini siapa? Apa sudah membuat janji dengan pak Indra karena pak Indra sekarang sedang ada tamu orang pusat."
"Aku istrinya!" bentak Nilam tanpa sadar. "Maaf, aku istrinya. Ada perlu dengan Indra." Akhirnya Nilam memelankan suaranya. Dia memang terbawa suasana. Yuki juga berusaha untuk menenangkan Nilam.
"Maaf, Mbak. Tapi betulan pak Indra sedang ada tamu."
"Pasti tamu perempuan yang aku lihat tadi! Awas kau, Ndra! Minggir!"
Nilam menerobos masuk, membuat perempuan tadi kewalahan menahannya. Tapi Yuki menyarankan kepada gadis itu untuk membiarkan Nilam, sebab dia paling tahu watak Nilam.
Akhirnya, Nilam bisa melangkah menuju ruangan Indra berada. Tapi saat dia memaksa masuk dan saat pintu terbuka, yang ada di dalam ruangan itu adalah beberapa orang pusat dan semuanya laki-laki.
Indra menatap Nilam dengan melotot. Ia mengisyaratkan kepada Nilam untuk segera pergi. Tetapi karena Nilam masih tertegun di tempatnya berdiri, akhirnya ia yang mendekati Nilam.
"Saya tinggal sebentar, Bapak-bapak," kata Indra kepada para orang pusat yang jadi merasa terganggu karena Nilam barusan.
Sementara itu, Nilam sekarang diseret paksa oleh Indra keluar dari ruangan. Indra membawa Nilam menuju lorong gelap yang ada di kantor itu.
"Maksudmu apa? Kau mau mempermalukan aku?!"
"Aku melihat kau tadi, Ndra! Jadi aku mengikutimu!" Nilam tak mau kalah, ia tetap bertahan dengan keyakinannya.
"Melihatku dimana, sedari tadi aku di sini bersama orang pusat! Jangan kekanakan! Aku gerah selalu saja kau curigai!"
"Firasatku tak pernah salah, Ndra! Bahkan baju ini baju yang aku lihat dengan orang yang katamu bukan kau!"
"Sudahlah jangan aneh-aneh! Aku juga sudah bilang jangan pernah ke sini saat aku sedang bekerja!"
Indra kemudian berlalu dari hadapan Nilam, meninggalkan Nilam yang hanya bisa mengepalkan tangannya. Nilam kemudian pergi ke depan lagi. Di sana Yuki sudah menunggunya.
"Aku ke toilet dulu, Mbak."
Yuki mengangguk. Nilam pergi ke toilet dengan langkah gontai. Saat ia tiba di depan wastafel, ia mendengar salah satu pintu terbuka. Nilam tak begitu mengacuhkannya tetapi kemudian ia terkenang perempuan yang diyakininya berjalan mesra dengan Indra beberapa saat yang lalu.
Rok mini perempuan itu yang paling dikenang oleh Nilam juga rambutnya yang pirang kemerahan. Perempuan itu berlalu begitu saja. Nilam yakin, dia tak salah lihat. Artinya, perempuan itu satu departemen dengan suaminya.
Betul tak benar ini. Nilam yakin memang sudah ada yang terjadi dengan suaminya. Ia yakin Indra memang sedang bermain api di belakangnya. Dia akan menyelidiki siapa perempuan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!