"Dek, tolong bantu aku," Gita meminta kepada sang adik yang duduk di sampingnya yang sedang berpikir dan menimbang-nimbang apakah jawabannya ya atau tidak.
"Aku tidak bisa menjalani perjodohan ini, aku mau lanjut kuliah. Kamu tahu kan, aku baru saja lulus beasiswa LPDP ke Amerika," Gita melanjutkan memberi alasan dengan raut wajah yang khawatir juga bercampur senang.
Gita kemudian menggenggam tangan Hani, adiknya. Hani menatap Gita, sorot mata sang kakak penuh harap padanya.
"Iya kak," Hani mengangguk kemudian.
"Alhamdulillah," spontan Gita memeluk erat adiknya.
"Terima kasih Han, terima kasih," gumam Gita penuh rasa syukur. Adiknya bagaikan malaikat penyelamatnya untuk menghindari perjodohan ini.
Hani tahu, kakaknya Gita takkan sanggup hidup tanpa mimpi-mimpinya. Mereka dua bersaudara, sebagai kakak Gita selalu menjadi anak kesayangan dan kebanggaan orang tua, karena dibandingkan Hani, Gita lebih menonjol di sekolah dengan perolehan nilai akademik yang baik. Meski hanya sekali dua kali ia menyandang predikat rangking satu di kelas, tapi selama bersekolah Gita tidak pernah terdepak dari peringkat tiga besar di kelas.
Sementara Hani, prestasinya biasa saja di sekolah, dalam ulangan fisika pun berkali-kali ia harus remedial agar bisa lulus.
Gita adalah sosok gadis yang ambisius, pekerja keras dan pantang menyerah. Sementara Hani adalah sosok gadis yang penyabar dan sederhana. Keduanya memang berbeda, namun Hani tak pernah iri kepada sang kakak. Ia selalu mendukung apapun keputusan yang ingin diambil oleh Gita, begitu pula kedua orang tua mereka.
Hani cukup merasakan perlakuan berbeda dari ayahnya antara dirinya dengan Gita. Sang ayah jelas-jelas menunjukkan dukungannya terhadap pendidikan dan karir Gita di masa depan nanti, sementara Hani tidak demikian, bila berdiskusi soal itu, sang ayah tidak terlalu banyak memberikan masukan, selalu mendukung tapi juga tidak pernah menentang apa keinginan putri bungsunya itu.
Hani tetap bersabar. Dalam keluarga mereka, Hani menuruni sifat ibunya yang penurut, penyabar dan penuh kasih sayang. Sementara Gita menuruni sifat sang ayah yang ambisius dan pekerja keras. Meski begitu, Hani selalu mendapat dukungan penuh dari sang ibu yang senantiasa mengingatkannya untuk menjaga tali persaudaraannya dengan Gita dan juga hubungan baik dengan ayahnya.
Sang ibu kadang merasa takut bila suatu waktu Hani menumpahkan seluruh emosinya kepada sang ayah karena memperlakukannya berbeda dengan kakaknya.
Tiba-tiba raut wajah Gita berubah ragu.
"Kak Gita kenapa?" tanya Hani penasaran.
"Aku takut jangan sampai kamu juga menolak perjodohan ini, karena laki-laki yang dijodohkan sama kamu itu adalah penyandang difabel,"
"Kakak serius?" tanya Hani setengah percaya.
Gita mengangguk, "aku pernah ketemu sekali dengannya sama ibu dengan ayah dan dia waktu itu setuju dengan perjodohan ini,"
"Tapi itu baik dek, kalau setelah ketemu dengan kamu dia malah menolak, maka perjodohan ini tidak akan dilanjutkan. Tapi kalau dia tidak menolak, ya kamu tidak perlu merasa cemas. Kedua orang tuanya kaya raya, aku dengar juga selama ini ada seorang perawat pribadi yang selalu mengurusnya. Jadi kalau misalnya kamu jadi istrinya nanti kamu tidak perlu repot-repot mengurus dia, orang tuanya juga bilang meski lumpuh tapi dia tidak mau merepotkan banyak orang, termasuk orang tuanya sendiri. Di antara bersaudara, dia satu-satunya yang belum menikah dan ngotot mau tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya dalam kondisinya yang difabel," Gita menjelaskan panjang lebar agar Hani tidak mengurungkan keputusannya untuk bertemu laki-laki difabel dan keluarganya beberapa hari yang akan datang.
"Selain alasan kakak mau kuliah ke luar negeri, alasan apalagi yang membuat kakak tidak mau dijodohkan dengannya?" tanya Hani ingin tahu, sembari memastikan.
"Han, aku tidak pernah membayangkan akan punya seorang suami yang hidupnya bergantung di atas kursi roda. Ya meskipun dia kaya dan reputasi keluarganya sangat baik, tapi membayangkannya saja aku tidak sanggup,"
Hani mengangguk, iya dia sudah bisa menebak apa jawaban Gita. Hani sudah mengenal Gita luar dalam. Meski dia seorang adik, selama ini Hani lebih banyak mengalah, dan kali ini ia harus mengalah dengan menyetujui untuk bertemu laki-laki itu dan keluarganya. Selanjutnya ia tinggal berdoa semoga laki-laki itu mau menolak perjodohan karena yang semula ingin dijodohkan dengannya kini perempuan lain yang disodorkan untuknya.
***
Keluarga Rudiyanto dan putranya sudah lebih dulu tiba di sebuah restoran tempat mereka janjian bertemu dengan kedua orang tua Hani. Ternyata benar yang dikatakan Gita, laki-laki yang hendak dijodohkan dengannya itu adalah seorang difabel yang menggunakan kursi roda.
Rudiyanto dan istrinya senang bertemu dengan kedua orang tua Hani, namun raut muka mereka berubah total saat pertemuan kedua, mereka justru membawa perempuan lain. Seorang gadis berhijab dengan riasan sederhana, bukan Gita.
Setelah kedua keluarga saling bersalaman begitu juga dengan Hani dan putra mereka, pertanyaan pertama dari Rudiyanto adalah, "nak Gita di mana?"
"Dia sedang ada urusan. Alhamdulillah setelah pertemuan kita minggu kemarin itu, sorenya pengumuman beasiswa LPDP keluar, dan Gita dinyatakan lulus untuk melanjutkan S2 nya di Amerika," jawab ayah Hani tampak antusias dan bangga.
Rudiyanto dan istrinya turut merasa senang atas pencapaian Gita. Hani diam-diam melirik ke arah putra pak Rudiyanto, raut wajahnya biasa saja, seperti tidak tertarik dengan pembahasan kedua orang tua mereka.
"Ini pasti nak Hani kan," lanjut Rudiyanto saat memperhatikan Hani lebih seksama.
Hani tersenyum ramah, dan menggangguk sopan.
"Wah, wah, tidak kalah cantik dari Gita. Sangat santun mengenakan hijab," puji istri Rudiyanto.
"Terima kasih tante," jawab Hani yang kemudian melirik ke arah putra Rudiyanto. Pandangan keduanya bertabrakan. Hani terkejut dan menjadi salah tingkah karena tatapan laki-laki itu tajam kepadanya.
"Nak Hani, kenalkan ini anak saya namanya Farhan," sahut Rudiyanto mengenalkan keduanya, ketika mendapati Hani dan putranya saling bertatapan sejenak.
Hani tersenyum sebentar ke arah Farhan yang hanya menatapnya datar saja, Hani merasa lelaki itu menatapnya sambil menilainya dalam hati.
Kedua orang tua Hani sepakat, untuk tidak lama-lama, sebelum mereka memesan menu makan siang, mereka menyampaikan langsung saja apa yang sebenarnya terjadi.
"Begini Rudi, kami mau jujur dan tidak akan mengulur-ulur waktu bila kita selesai bersantap siang. Kami memohon maaf sebelumnya," ucap ayah Hani sambil memandangi istrinya dan Hani bergantian. "Anak saya Gita, tidak bisa melanjutkan perjodohan ini, anda tahu sendiri kalau Gita lulus mendapatkan beasiswa ke luar negeri, kalau dia menikah pendidikannya bisa terhambat," jelas ayah Hani meski sejujurnya ia tidak enakan menolak lamaran dari sahabat lamanya itu.
Rudiyanto tertawa sesaat, "Amran, kamu tidak perlu takut. Mungkin Farhan dan Gita ini sudah berjodoh, dalam waktu dekat ini Farhan juga akan lanjut kuliah S2 nya di Amerika. Kalau mereka menikah, mereka bisa berangkat sama-sama kuliah di sana nantinya,"
Ayah dan ibu Hani saling berpandangan sesaat tak tahu bagaimana harus menjelaskannya.
"Rudi, sebenarnya, Gita menolak perjodohan ini," ayah Hani akhirnya berterus terang kepada bakal besannya itu.
"Kenapa?" Raut Rudiyanto seketika berubah. "Apa karena kondisi Farhan yang difabel?"
Hani melirik Farhan tampak biasa saja seakan tidak ingin peduli, dan berharap pertemuan ini segera berlalu.
Kedua orang tua Hani terdiam. Bingung harus melontarkan alasan yang bagaimana lagi.
"Maaf om, tante, dan Farhan, kakak saya menolak perjodohan ini karena dia ingin fokus dengan kuliahnya di Amerika, sama sekali bukan karena kondisi Farhan," Hani bantu menjelaskan.
Suasana berubah hening. Hani melihat Rudiyanto dan istrinya tampak legowo.
"Baiklah tidak apa-apa, ini bukan hinaan bagi kami ataupun bagi anak saya,"
"Rudi jangan berkata begitu, kita ini sudah seperti keluarga. Mungkin ini yang terbaik bagi Gita dan juga nak Farhan," sahut ayah Hani. "Bagaimana dengan adiknya Gita? Mungkin saja kalian berubah pikiran ingin menjodohkannya dengan Farhan?" Ayah Hani menawarkan sembari berbasa-basi, ayah Hani sempat berpikir mereka pasti menolak sebab sejak awal hanya Gita yang begitu diinginkan Rudi sahabatnya untuk dijadikan menantu.
Rudiyanto dan istrinya saling berpandangan sejenak kemudian menatap Hani lekat-lekat.
"Kira-kira nak Hani mau menerima kondisi Farhan yang seperti ini?" tanya istri Rudiyanto sedikit khawatir.
"Sa, saya menurut saja tante apa mau ayah sama ibu," jawab Hani sedikit ragu.
"Tentu saja kami setuju, apa bedanya Hani dengan Gita, mereka saudara," sahut ayah Hani berusaha terlihat menghargai.
"Farhan bagaimana dengan kamu?" tanya mama Farhan kepada putranya. Sejak tadi Farhan belum berbicara sama sekali, padahal dalam pertemuan ini dialah pokok keputusannya.
"Saya setuju dengan Hani, om, tante," jawab Farhan tanpa berpikir panjang.
Hani terkejut, sejak dari rumah ia berdoa semoga laki-laki itu menolak dijodohkan dengannya. Karena sejak awal niat keluarganya adalah kepada Gita.
"Nak Farhan serius?" tanya ayah Hani seperti tidak percaya.
"Iya om, saya setuju saja jika harus menikah dengan Hani dan batal menikah dengan Gita," jelas Farhan sambil melirik sesaat arloji di tangan kirinya.
"Farhan, kamu yakin nak?" tanya Rudiyanto kepada putranya.
"Iya pa. Mungkin seharusnya papa menanyakan itu kepada Hani, apa dia betul-betul yakin mau menikah dengan saya dan menerima kondisi saya yang cacat," sahut Farhan sambil memandangi Hani yang terlihat seperti meremas-remas jemarinya dari balik meja.
Hani sempat diam sejenak. Ia sempat berpikir ingin meminta waktu sehari sampai tiga hari untuk memikirkan soal keputusan ini, perjodohan yang dialihkan kepadanya.
Semuanya diam menunggu apa jawaban final dari Hani.
"Sepertinya Hani tidak mau pa," ujar Farhan dengan tatapannya yang dingin kepada Hani.
"Hani, ya atau tidak nak?" tanya ayahnya pelan.
Hani menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan kedua matanya dan menghembuskannya pelan lalu berkata, "Bismillahirrahmanirrahim, iya ayah, ibu, Hani terima perjodohan ini, seperti yang Hani bilang di awal tadi, kalau ayah sama ibu setuju Hani mengikut saja,"
Kedua orang tua Farhan mengucap syukur, akhirnya usaha mereka untuk mencarikan jodoh bagi Farhan membuahkan hasil.
Orang tua Farhan cukup senang kepada Hani, karena gadis itu sangat santun dalam bertindak dan bertutur kata serta begitu sederhana. Mereka berharap Farhan mendapatkan istri yang akan merawatnya dengan baik dan tulus.
Ayah dan ibu Hani juga merasa lega, karena tidak ada rasa tersinggung dari sahabat mereka karena perjodohan yang semula dengan Gita beralih kepada Hani. Namun Ibu Hani merasa perlu membicarakan ini kembali kepada putrinya.
"Maaf saya harus segera pergi, tiga puluh menit lagi saya ada meeting," sahut Farhan tiba-tiba.
"Farhan, makan siang dulu nak," cegah mamanya.
"Farhan bisa makan siang di kantor ma. Farhan pamit dulu, assalamu'alaikum" dengan kursi roda Farhan berlalu pergi meninggalkan restoran.
"Waalaikumussalam," jawab semuanya yang terpaku menatap kepergiannya.
Hani tak lepas menatap calon suaminya itu yang kemudian menghilang dari balik pintu restoran.
Bersambung...
Pernikahan Hani dan Farhan disepakati akan digelar cepat sebelum keberangkatan Gita ataupun Farhan ke Amerika untuk menempuh studi S2 di sana. Gita cukup senang saat tahu kalau Farhan juga akan melanjutkan studi di negeri Paman Sam maka otomatis Hani akan ikut ke Amerika juga sebagai istrinya.
Hani baru saja selesai dirias dengan make up yang tampak natural dan hijab dalam balutan baju adat Sunda. Hani tampak gugup, sesekali ia meremas pelan jemarinya. Sang ibu melihat gelagatnya yang tak biasa saat sedang melintas depan ruang rias. Ia masuk dan menghampiri putri bungsunya itu duduk di sampingnya dan mengelus pundaknya.
"Kenapa nak?" tanya sang ibu dengan lembut.
"Bu, aku. Aku...," Hani terbata, seakan tak sanggup berkata-kata bahwa sebentar lagi ia akan benar-benar menjadi istri dari Farhan lelaki yang baru dikenalnya.
"Nak, sebenarnya kamu bisa mengambil keputusan kalau ingin menolak. Keluarga Rudiyanto tentu tidak akan tersinggung,"
"Bu, Hani tidak menolak saat itu karena Hani tidak mau menyakiti perasaan Farhan bu. Hani tidak tahu bu, Hani tidak bisa bilang tidak waktu itu," Hani semakin gusar.
"Sudah nak! Tenangkan pikiranmu. Terlambat untuk menyesal sekarang, beberapa menit lagi kamu akan menjadi seorang istri, nak Farhan dan keluarganya sudah datang. Mereka sudah menunggumu,"
"Ibu serius?" Hani semakin gugup.
"Bismillah nak. In Syaa Allah ini yang terbaik untuk kamu dan juga nak Farhan. Ingat pesan ibu, kamu harus jadi istri yang penurut dan berbakti sama suamimu,"
"In Syaa Allah bu," pipi Hani memerah meski tersamarkan dibalik riasannya. Ia berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh dan merusak riasannya di hari pernikahannya. Hari yang sakral baginya. Saat berjalan didampingi ibunya menuju ke tempat ijab qobul, dalam hati Hani berdoa berharap agar pernikahannya berkah dan hanya terjadi sekali seumur hidupnya.
Pelan-pelan Hani duduk di samping Farhan yang sudah rapi dengan setelan baju adat Sundanya. Namun Farhan sedikit pun tak melirik Hani yang pagi itu tampak berbeda karena riasannya. Prosesi ijab qobul pun dimulai. Tanpa hambatan, Farhan dengan lancar dan fasih mengucapkan ijab qobul kepada wali nikah Hani yaitu ayahnya sendiri.
"Saya terima nikahnya Hanifah Ayu Lestari binti Amran Abdullah dengan mas kawin satu set perhiasan emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai,"
"Sah!" Teriak saksi dan beberapa orang keluarga dari kedua belah pihak.
Semuanya mengucapkan alhamdulilah serta melangitkan doa-doa yang indah agar pernikahan keduanya sakinah, mawaddah dan warahmah. Setelah itu Hani mencium tangan Farhan untuk pertama kalinya sebagai seorang istri.
***
Di dalam kamar sebuah hotel bintang lima tempat digelarnya ijab qobul dan resepsi pernikahan sehari semalam, Hani tampak kelelahan duduk di atas ranjang pengantin yang ditaburi kelopak bunga mawar merah serta wawangian yang menenangkan. Hani memandangi seluruh sudut kamar itu, pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka dan melihat Farhan keluar dengan kursi rodanya, suaminya itu sudah berganti pakaian dengan setelan piyama.
Hani bertanya-tanya bagaimana bisa Farhan mengganti sendiri pakaiannya di kamar mandi, mengingat kondisinya yang terbatas. Mungkin ia sudah terbiasa melakukannya sendiri tanpa harus meminta bantuan orang lain, pikir Hani.
Hani betul-betul tersadarkan, sekejap mata ia sudah menjadi istri Farhan. Air matanya menetes pelan dan dilihat langsung oleh suaminya.
"Kenapa? Kamu menyesal nikah sama aku?" tanya Farhan yang menuju ke arah tempat tidur.
Hani tak menjawab ia diam sambil membelakangi Farhan.
"Atau kamu malu, melihat ekspresi teman-teman kamu yang menatap aku duduk di kursi ini dan kamu berdiri tinggi saat salaman dengan tamu tadi?"
Hani bangkit dan berdiri berhadapan Farhan, "saya mau ganti baju dulu," gumamnya sambil menyeka titik air matanya dan duduk di depan cermin lalu melepaskan satu per satu aksesoris yang melekat di kepalanya.
Dari cermin, Hani melihat bagaimana mudahnya Farhan memindahkan dirinya sendiri dari kursi roda naik ke atas tempat tidur. Jika Farhan butuh bantuan, tentu Hani tidak akan keberatan untuk membantu. Tapi Farhan terlihat santai saja, atau dia gengsi meminta tolong?
Lima tahun yang lalu Farhan kecelakaan saat mengendarai sendiri mobilnya sepulang dari wisuda S1. Saat sadar dari koma selama beberapa hari, ia harus menerima kenyataan bahwa tubuhnya mulai dari pinggang hingga kedua kakinya mengalami kelumpuhan dan mati rasa. Ia sempat drop selama setahun, tak mau keluar kamar dan selalu marah-marah tidak jelas.
Pada tahun kedua, ia mulai tidak rutin menjalani fisioterapi dengan alasan sibuk menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan sebagai manajer di perusahaan papanya. Farhan tak bisa secepatnya melepaskan dirinya bergantung dari kursi roda dalam aktifitasnya sehari-hari. Ia lebih memilih berkerja dan terus bekerja, hanya itu yang mampu mengalihkan pikirannya dari perasaan minder karena kondisinya yang kini difabel.
Hingga saat ini Farhan sudah tidak pernah mau menjalani fisioterapi lagi yang baginya tidak membuahkan hasil apa-apa. Farhan merasa pelan-pelan ia sudah mulai ikhlas dengan kondisinya, entah sementara atau mungkin selamanya ia takkan bisa berlari dan berjalan dengan kedua kakinya.
Cerita itu yang didengar Hani dari mama Farhan beberapa hari sebelum pernikahan mereka digelar.
"Aku lelah, aku akan tidur duluan," suara Farhan tiba-tiba membuyarkan Hani yang tenggelam dalam pikirannya menyelami kondisi Farhan. Sebelum meletakkan kepalanya di bantal, Farhan berkata "kalau keberatan, kamu boleh tidur di sofa, atau di mana saja," katanya tak peduli.
Hani menoleh menatap Farhan, ia tak menyangka suaminya akan berkata begitu di malam pertama mereka.
"Kamu tidak mau tidur di sofa? Aku tidak bisa tidur sofa, aku difabel dan kamu harus mengalah," Farhan kemudian meletakkan kepalanya di atas bantal lalu memejamkan mata.
"Sebagai istrimu, tentu aku akan tidur di tempat tidur yang sama denganmu," ujar Hani yang juga memilih acuh kemudian melanjutkan aktifitasnya melepaskan aksesoris dan menghapus riasan di wajahnya. Farhan terlihat tidak peduli dan melanjutkan tidurnya.
Hani segera masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa sepasang piyama yang sudah disediakan. Di dalam kamar mandi ia melihat pakaian adat Sunda yang tadi dikenakan Farhan berserakan di lantai. Hani mengambilnya satu per satu dan meletakkannya di atas wastafel.
Hani memandangi wajahnya di cermin kemudian pelan-pelan melepaskan hijabnya, sambil teringat pesan ibunya bahwa ia harus jadi istri yang penurut dan berbakti kepada suaminya, meski pernikahan ini tidak didasari cinta tapi keinginan tulus kedua orang tua mereka.
Malam itu Hani berjanji akan menjadi istri yang baik bagi Farhan, merawat dan melayaninya dengan sepenuh hati. Usai berganti baju menggunakan piyama, Hani keluar dari kamar mandi dalam keadaan tanpa mengenakan hijab, rambut hitam panjangnya pun sudah ia sisir rapi dan tergerai indah. Tapi Farhan sudah tertidur pulas miring ke kiri ke arah ujung tempat tidur. Hani sempat kecewa, suaminya tak melihat sosoknya untuk pertama kalinya tanpa menggunakan hijab.
Hani meletakkan dengan rapi lipatan baju adat yang tadi dikenakannya dan juga yang dikenakan Farhan di atas meja rias. Pelan-pelan ia melangkah naik ke tempat tidur takut mengganggu Farhan yang tertidur pulas. Hani kemudian merebahkan tubuhnya dan menarik pelan ujung selimut yang juga digunakan Farhan menutupi setengah tubuhnya.
Hani sempat memandang lama ke arah punggung Farhan yang berbaring miring membelakanginya. Tapi kemudian Hani memilih untuk tidur miring ke arah kanan, menghadap ke ujung tempat tidur dan mulai memejamkan mata.
Farhan terjaga pada jam 3 pagi. Ia tidur telentang, kemudian melihat Hani yang tidur memunggunginya dalam keadaan tanpa mengenakan hijab. Farhan terkejut melihat Hani yang membalik badan dan tidur dalam posisi telentang juga. Ia kemudian memejamkan matanya dan pura-pura tidur.
Hani membuka mata dan melirik jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 03.15 pagi, ia segera bangun, meregangkan badan sebentar, kemudian melirik ke arah Farhan yang terlihat masih tertidur.
Hani turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Diam-diam Farhan mengamati dari balik akting tidurnya. Ia melihat istrinya setelah dari kamar mandi, mengambil mukena dan sajadah lalu melaksanakan shalat tahajud yang ditutup dengan shalat witir.
Tiba-tiba Farhan merasa malu, selama hidupnya apa ia juga rutin melaksanakan shalat malam?
Malam itu berlalu tanpa ada apa-apa. Farhan memang sejak awal sudah memutuskan tidak akan menyentuh Hani sedikit pun meski gadis itu sudah menjadi istrinya, dan Hani pun tidak akan meminta duluan apa yang semestinya dilakukan oleh suami istri bila di dalam kamar.
Usai sholat, Hani berdoa meminta diberikan yang terbaik bagi pernikahannya dengan Farhan, ia memohon kepada Allah agar menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka sehingga mereka bisa saling menyayangi dan mengasihi layaknya suami-istri pada umumnya.
Bersambung ...
Hani menatap dari balik kaca mobil pada sebuah rumah yang berdesain menarik dan tampak luas dengan halaman yang hijau dan rindang.
"Ini rumah kamu sendiri?" tanya Hani sambil melirik Farhan di sampingnya.
"Iya," jawab Farhan singkat.
Sopir pribadi Farhan membukakan pintu dan sudah menyiapkan kursi roda.
"Sini biar kubantu," Hani menawari saat melihat Farhan berusaha sendiri memindahkan tubuhnya ke atas kursi rodanya.
"Tidak perlu. Ada pak Cecep yang akan membantu. Kamu turun saja sendiri, ambil kopermu di bagasi dan bawa masuk ke rumah," Farhan tampak tidak peduli.
Dengan sedikit bantuan pak Cecep, Farhan sudah duduk di atas kursi rodanya dan segera membawa dirinya masuk ke dalam rumah melewati jalur khusus kursi roda.
Hani sempat kecewa dengan perlakuan dingin suaminya yang tak mau menerima bantuannya sama sekali. Namun Hani berusaha untuk sabar, ia berharap suatu hari Farhan akan memperlakukannya selayaknya seorang istri.
Hani turun dari mobil dan menatap Farhan dan kursi rodanya menghilang dari balik pintu rumah yang baru saja dibukakan oleh pembantu rumah tangga. Hani ke bagian bagasi mobil yang sengaja dibuka dan belum ditutup oleh pak Cecep. Ia mengangkat turun satu per satu dua buah kopernya.
Dengan sigap pak Cecep datang menghampiri dan mengangkat sebuah koper milik Hani.
"Terima kasih pak Cecep," ujar Hani dengan ramah.
"Iya neng. Neng Hani, jangan sedih ya. Tuan Farhan itu aslinya baik banget, tidak jahat kok," pak Cecep berkata dengan logat Sundanya yang kental, seakan tahu bagaimana perasaan Hani karena penolakan langsung dari Farhan saat ia menawarkan bantuan.
"Iya pak, masa saya menuduh suami saya sendiri orang yang jahat,"
"Iya neng. Mari masuk kalau begitu neng," ajak pak Cecep.
Hani kemudian berjalan sambil menarik sebuah kopernya mengikuti pak Cecep yang mengangkut koper lain miliknya masuk ke dalam rumahnya dengan Farhan. Hani bertemu Farhan di ruang tamu yang tampaknya sudah menunggunya sejak tadi.
"Pak Cecep tolong bawa semua koper Hani ke kamarnya," Farhan berpesan sambil melirik Hani tanpa senyuman.
Pak Cecep manggut dan mengambil alih koper Hani yang satu lagi.
"Dan tolong pak jangan berkeliaran di dalam rumah kecuali di dapur bersama bik Lastri," Farhan menambahkan sebelum pak Cecep masuk ke dalam dan menghilang dari ruang tamu.
"Silahkan duduk!" Ucap Farhan saat melihat Hani yang berdiri diam sambil mengamati setiap sudut ruang tamu rumahnya.
Hani duduk di sofa berhadapan dengan Farhan. "Kamar kamu dari sini lurus saja kemudian belok kanan. Aku sudah siapkan semua perlengkapan dalam kamar kamu...,"
"Tunggu! Maksud kamu apa? Kamar kamu?" tanya Hani bingung.
"Apa ada yang kurang jelas? Ya memang kamar buat kamu kan. Apa kamu berpikir di rumah ini kita akan tidur sekamar?" Farhan ingin tertawa keras, namun ditahannya.
"Kita kan suami istri Han," Hani mengingatkan.
"Ya, memang benar. Tapi ingat, kita menikah karena dijodohkan, bukan karena keinginan kita masing-masing," bagi Farhan itu adalah alasan yang kuat untuk tidak menganggap pernikahan ini, meski di mata orang-orang pernikahan mereka sah secara agama maupun hukum negara.
"Kenapa waktu itu kamu bilang kamu setuju untuk dijodohkan sama aku?" tanya Hani tiba-tiba.
"Ini keinginan orang tuaku yang mencoba menjodohkan aku dengan Gita tapi kemudian jadinya malah sama kamu. Kamu tahu aku cacat, orang tuaku takut sebagai anak paling kecil dalam keluarga aku susah mendapatkan jodoh karena kondisiku yang seperti ini, apalagi mereka khawatir dan tidak akan membiarkan aku lanjut kuliah ke Harvard kalau aku tinggal di sana hanya bersama sopir dan pembantu, mereka akan tenang kalau selama di sana aku tinggal bersama seorang istri yang bisa mengurus dan merawatku. Sebelum kamu dan Gita, sudah ada beberapa wanita yang coba dikenalkan mama dan papa padaku, tapi aku menolak," ujar Farhan panjang lebar.
"Kenapa?" tanya Hani penasaran.
"Mereka semua sama saja. Mereka tidak tulus kepadaku, mereka mau karena melihat kekayaan kedua orang tuaku dan juga jabatanku saat ini di perusahaan. Tidak ada yang benar tulus di dunia ini selain kedua orang tuaku,"
Hani diam, seperti mencerna kalimat terakhir Farhan barusan.
"Aku lihat kamu beda dengan mereka. Kamu tidak memandang siapa aku, siapa orang tuaku, kamu setuju karena kamu hanya menuruti mau orang tuamu saja dan juga mau orang tuaku. Sejak awal aku sudah bisa menduga Gita pasti akan menolakku. Aku tahu alasan apa kenapa dia menolakku, karena aku duduk di atas kursi ini,"
Hani masih diam, dugaan Farhan terhadap kakaknya Gita memang benar. Hani tak bisa membelanya.
"Sekarang aku ingin tahu apa kamu punya alasan lain kenapa kamu mau menikah sama aku? Aku bisa merasakan orang tuamu sendiri sebenarnya tidak setuju aku menikahi Gita ataupun kamu karena kondisiku ini, tapi demi menghormati papaku sebagai sahabat lamanya, mereka mengiyakan saja, dan kamu menerimanya saja,"
"Kalau kak Gita menolakmu karena kamu duduk di kursi itu, aku justru menerimamu karena kamu duduk di kursi itu,"
Kening Farhan berkerut, "maksud kamu?"
"Aku tidak bisa menolak waktu itu, aku tidak mau perasaan kamu dan orang tuamu tersakiti,"
"Maksudnya, kamu kasihan dengan aku yang lumpuh?" Nada bicara Farhan sedikit menegang.
Hani menatapnya sabar.
"Aku tidak butuh belas kasihan kamu! Asal kamu tahu, hari itu aku berharap kamu menolak dijodohkan sama aku," ungkap Farhan yang sebenarnya.
"Farhan, maksud aku bukan begitu," Hani berusaha membantah. Memang bukan karena rasa belas kasihan, tapi Hani tak tahu bagaimana cara menjelaskannya.
"Lalu apa? Aku tanya sekarang, apa kamu cinta sama aku?"
Bibir Hani serasa tercekat untuk menjawab. Cinta? Apa ia betul mencintai Farhan?
"Tidak kan," Farhan membantah sendiri sebelum Hani menjawab, "Aku juga tidak cinta sama kamu. Di sini posisi kita sama, menikah karena terpaksa. Maka dari itu kita tidak perlu tidur sekamar, kamu tidak perlu repot-repot mengurus semua keperluan aku, masih ada Bik Lastri dan Pak Cecep yang akan membantu, dan juga kita tidak perlu mempertahankan pernikahan ini,"
"Maksud kamu?"
"Kita tidak perlu lama-lama dalam pernikahan ini. Tidak perlu menunggu setahun atau dua tahun, tiga bulan, atau enam bulan kita bisa memutuskan untuk bercerai," jawab Farhan dengan entengnya.
"Farhan, aku nikah sama kamu, bukan untuk main-main. Aku ikhlas menjalani semua ini karena keinginan orang tua kita," Hani bangkit berdiri, Farhan sempat melihat kedua mata istrinya berkaca.
Sebelum tangisnya semakin pecah, Hani berlari masuk ke dalam dan menuju ke kamarnya sesuai dengan petunjuk Farhan tadi.
Hani menumpahkan tangisnya begitu masuk ke dalam kamarnya sendiri. Bukan pernikahan seperti ini yang dia inginkan, walaupun dia dan Farhan tidak saling mencintai tapi mereka sudah menikah atas izin Allah, apakah tidak layak bila mereka menjalani pernikahan dan peran mereka sebagai pasangan suami istri sebagai mana mestinya?
Apa salahnya mencoba meski tidak saling mencintai, di luar sana tentu ada banyak suami istri yang juga menikah tanpa didasari cinta di awalnya.
Pertanyaan Farhan apakah ia mencintainya atau tidak terus terngiang di telinga. Hani belum menjawab ya atau tidak tapi Farhan dengan mudahnya mengakui kalau ia tidak mencintainya juga.
Hani menenangkan dirinya sambil mengucap istighfar dan menyeka pelan bulir air matanya yang jatuh di pipi. Ia bangkit ke arah dua buah kopernya yang tadi dibawakan Pak Cecep.
Ia membuka salah satu koper dan mengeluarkan sebuah bingkai foto 3R, foto pernikahannya dengan Farhan dalam balutan baju adat Sunda. Hani tersenyum memandangi foto itu.
"Aku tidak tahu Farhan, apa aku mencintaimu atau tidak. Tapi pernikahan ini tidak pernah membuatku merasa sedih ataupun menyesal. Aku tidak tahu, Allah punya rencana apa antara aku sama kamu," gumam Hani sambil menyentuh potret wajah Farhan dalam bingkai itu.
Hani bangkit berdiri dan menyimpan foto itu di atas sebuah meja kecil dekat lampu samping tempat tidurnya. Hani bertanya-tanya apakah Farhan juga menyimpan foto pernikahan mereka.
Terdengar adzan berkumandang, sudah masuk waktu dzuhur. Hani bergegas mengambil wudhu dan melaksanakan empat rakaat shalat dzuhur. Setelah itu ia akan memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam lemari dan juga menata beberapa barang yang dibawanya.
***
Terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar. Hani menghentikan sejenak aktifitasnya mengeluarkan pakaian dari dalam koper dan menyusunnya rapi ke dalam lemari. Terlihat wajah bik Lastri begitu Hani membuka pintu.
"Makan siang dulu Bu Hani, ditunggu sama tuan di meja makan,"
Hani tidak menyadari kalau sudah masuk waktu makan siang, bila tidak lupa, tentu ia akan terjun ke dapur dan memasak menu makan siang.
"Iya bik, saya segera ke sana,"
Bi Lastri berlalu pergi dengan senyuman. Hani segera duduk di depan cermin, memperbaiki letak jilbabnya, menyeka ujung-ujung matanya yang mungkin saja kelihatan masih ada bekas air mata setelah ia menangis tadi. Tak lupa Hani mengambil parfum dan menyemprotnya sedikit ke bajunya.
Saat sampai di meja makan, Hani melihat Farhan tampak membelakangi meja makan dan sedang sibuk berbicara di ujung telpon. Hani kemudian duduk di kursi, dari yang didengarnya Farhan membicarakan soal pekerjaan di kantornya. Hani mengambil nasi dan meletakkannya di atas piring makan Farhan yang masih kosong. Saat itu Farhan sudah selesai menjawab telpon dan membalik badan dengan kursi rodanya.
Hani sempat terdiam saat tangannya mengisikan nasi ke piring Farhan. Farhan sejujurnya tidak suka tapi kemudian ia mengucapkan terima kasih dan mendekatkan kursi rodanya ke meja makan.
Suasana berubah canggung, Hani mengisi nasi di piringnya dan mengambil lauk pelan-pelan.
"Um, aku minta maaf," ucap Farhan kemudian.
"Minta maaf untuk apa?" tanya Hani sambil memegang sendok dan garpunya.
"Soal yang tadi. Apa aku terlalu keras sama kamu?"
"Tidak apa-apa," Hani tersenyum.
"Tapi apa yang kukatakan tadi sudah menjadi keputusanku. Semoga kamu bisa menjalani pernikahan ini selama enam bulan dan kita bisa mencari alasan yang tepat kenapa enam bulan kemudian kita harus bercerai,"
Hani terdiam. Lalu kemudian ia memandang suaminya dengan lembut.
"Kalau begitu selama enam bulan ini, izinkan aku menjalankan tugasku sebagai istri kamu sebagaimana mestinya,"
"Misalnya bagaimana?" Farhan kurang mengerti.
"Aku sepakat kalau selama enam bulan kita pisah kamar. Tentu kamu tahu bagaimana tugas seorang istri saat suaminya di rumah, memasak, mencuci, mengurusi segala keperluan kamu, dan masih banyak lagi,"
"Kamu tidak perlu repot, bik Lastri sudah melakukan itu sejak aku membangun rumah ini dan mempekerjakannya di sini," Farhan tampak mulai mengalir berbicara dengan Hani, ia sedang memegang sendok dan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya pelan sambil mendengarkan Hani berbicara.
"Jadi, bik Lastri itu istri kamu?" tanya Hani dengan nada menggoda.
Farhan balas menatapnya dengan kening berkerut.
"Karena tugas dia selama ini seperti yang aku sebutkan tadi adalah seperti tugas seorang istri kepada suaminya," Hani berkata dengan nada yang polos dibuat-buat.
Farhan menarik nafas pelan, "baiklah terserah kamu saja. Lakukan apapun yang kamu mau di rumah ini, yang penting aku tidak pernah memaksa ataupun menuntut kamu untuk melakukan tugasmu sebagai seorang istri," Farhan menyerah dan kembali menyantap makan siangnya.
Hani tersenyum menang. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi enam bulan kemudian, Farhan menuruti apa yang menjadi keinginannya sekarang cukup membuatnya bahagia.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!