"Akhir-akhir ini kenapa kau ngelamun terus? Sikap mu jadi aneh belakangan ini. Kau enggak kenapa-kenapa kan?" Damar ditanya oleh temannya.
"Enggak. Cuma agak sedikit capek aja. Banyak beban pikiran soalnya kan aku pertama kali ikut olimpiade juga. Jadi ya mungkin kelihatan kayak yang kau bilang. Sebenarnya enggak ada apa-apa kok," Damar bohong. Aslinya ia capek memikirkan kedua orangtuanya yang selalu sibuk akhir-akhir ini tapi ia tak ingin ada orang lain tahu. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Orangtuanya seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
Meja makan tak pernah utuh diisi satu keluarga. Tak ada kehangatan seperti dahulu lagi. Rasanya hidup ini adalah hanya kehampaan. Damar jadi rindu masa-masa itu.
Mengenai olimpiade, dia tahun ini bakal mengikutinya. Sebenarnya dia malas, tapi ya setidaknya bisa mengurangi beban pikirannya. Saat mendaftar hanya itu saja yang ada dipikirannya. Untung saja lolos kualifikasi, setidaknya ia akan sibuk untuk beberapa saat.
"Oh gitu. Kalau ada masalah bilang aja ke aku. Pasti bakal ku bantu kok," setelah mendengar jawaban dari Damar ia berkata.
"Nanti kita pulang sekolah jalan-jalan yok sekalian nonton konser," Damar berusaha mengalihkan pembicaraan
"Ok," Jawab temannya dengan santai.
"Sekarang kita ke kantin. Laper banget aku," Damar segera melangkah pergi setelah berkata begitu.
***
"Berita panggilan untuk siswa bernama Damar untuk segera ke kantor. Sekali lagi, Berita panggilan untuk...."
Mendengar suara seorang guru lewat pengeras suara itu rasanya sangat malas sekali Damar untuk mengikuti perintah yang disampaikan kepadanya. Baru saja ia menyendok makanan yang dipesan . Siswa peserta olimpiade ternyata benar-benar sibuk sekali.
"Dipanggil tuh kau ke kantor," kata teman disebelahnya.
"Nanti aja lah. Orang baru makan juga. Laper tau aku," dengan seenaknya Damar berkata.
"Jangan gitu. Kali aja penting."
"Ya udahlah," dengan terpaksa akhirnya ia segera menuju ke kantor.
***
"Ada apa pak?" Damar yang sudah berada di kantor segera bertanya pada guru yang bersangkutan.
"Nanti pulang sekolah kita belajar ya. Biar persiapannya lebih matang nanti ," kata gurunya itu .
Mendengarnya Damar malas sekali, nanti ia ingin nonton konser musik yang ia tunggu dari dua bulan yang lalu. Soalnya yang mengisi acaranya adalah grup band yang ia gemari. Pingin sekali ia berkata kotor. Tapi enggan ia lakukan. Ia malas mendapat masalah.
"Hmmmm, gimana kau besok aja pak? Hari ini ada acara dirumah. Jadi aku enggak bisa. Kalau besok aku pasti bisa," Daripada berkata kotor, ia lebih memilih berbohong. Lagipula ia sudah terbiasa berbohong akhir-akhir ini . Terutama sekali masalah perasaannya yang sedang kesepian walaupun ada banyak orang disekitarnya.
"Kan bisa enggak ikut . Lagian Olimpiade akan dilaksanakan dua Minggu lagi. Itu tinggal sebentar lagi lho."
"Aku tahu. Tapi memang benar-benar enggak bisa . Maaf ya pak."
"Ya udah. Tapi janji ya besok ," gurunya akhirnya mengalah atau lebih tepatnya kalah dari Damar.
"Siap pak. Ada lagi yang mau dibicarakan pak mumpung aku masih disini?" dalam hati rasanya senang juga bisa menang .
"Enggak ada."
"Ya udah. Aku pergi duluan ya pak," setelah pamitan, Damar langsung pergi menuju ke kantin. Ia ingin menghabiskan makanan yang baru beberapa suap ia makan.
***
Pulang, akhirnya bel berbunyi juga juga. Yang ditunggu akhirnya tiba. Damar segera melajukan kendaraannya menuju ketempat yang ia ingin tuju sedari awal. Ia tidak sendirian, ada temannya yang menemani.
Konser berjalan sangat meriah. Ia bahkan sesekali ikut bernyanyi . Sebenarnya ia tak biasa bernyanyi ditempat umum karena ia merasa suaranya sumbang. Tapi saat itu ia sedang terbawa suasana, jadi ya tanpa sadar ia melakukan hal yang jarang ia lakukan.
Bernyanyi dikamar mandi rasanya lebih menyenangkan . Karena ia tak perlu khawatir ada orang yang mendengar karena suaranya tercampur dengan suara air yang mengalir deras. Hal itu membuat rasa percaya dirinya jadi meningkat .
"Enggak nyesel kan ikut aku?" katanya kepada temannya itu.
"Enggak . Tadi seru banget . Keren banget dah pokoknya. Aku malah senang bisa ikut kau," jawab temannya dengan ekspresi yang penuh semangat .
"Lain kali aku diajak lah kalau ada konser ginian" lanjutnya.
"Kau enggak apa-apa pulang telat gini?" Damar mengantisipasi sesuatu.
"Aku dah bilang tadi bakal pulang terlambat. Kata mereka enggak masalah. Kalau kau?" Setelah menjawab, temannya itu balik bertanya.
"Aku....... Enggak apa-apa kok. Orangtuaku bakal maklum . Lagian orangtuaku juga tahu kalau aku ikut olimpiade. Jadi mereka bakal maklum," Damar berbohong lagi. Bahkan orangtuanya tidak tahu kalau dia ikut olimpiade. Pulang pagi pun mereka tak peduli. Yang mereka pedulikan hanya urusan mereka sendiri. Damar bahkan sudah muak dengan alasan mereka yang selalu mengatasnamakan kesibukan mereka. Ia mulai benci dengan sikap orangtuanya. Ia tak ingin berbohong terus-menerus. Tapi baginya menceritakan keadaan orangtuanya saat ini adalah aib baginya. Ia tak ingin dikasihani hanya karena masalahnya itu.
"Iyalah. Enak banget ya jadi kamu. Pinter tanpa harus belajar. Pasti orangtuamu bangga punya anak kayak kau. Enggak kayak aku, belajar enggak pinter-pinter," suatu sanjungan yang nampak ironi bagi Damar.
"Semua orang hebat di bidang masing-masing. Mungkin kamu juga nanti bisa hebat di bidang yang tepat. Jangan menyerah. Kalau kau menyerah semua akan sia-sia," Damar sok bijak berkata begitu. Sebenarnya dalam hati ia ingin berkata yang sebenarnya. Tapi prinsip tetap prinsip, bagaimanapun ia tak mau melanggar apa yang jadi prinsipnya. Baginya, hal itulah yang paling penting di hidupnya .
"Kira-kira aku hebat di bidang apa ya? Kayaknya enggak ada bidang yang ku bisa . Aku jadi minder sama kau kadang."
"Ngapain sih iri. Sama-sama makan nasi juga. Kecuali kalau aku makannya beling baru kau boleh iri sama aku," lagi-lagi Damar berkata begitu. Perkataan yang seperti ironi baginya. Ia sebenarnya juga selalu merasa iri dengan orang lain. Terutama sekali saat melihat keluarga yang sedang berkumpul . Ingin sekali ia seperti itu, kalau saja orangtuanya tidak sibuk. Walaupun ia sendiri tak tahu mereka semua sibuk melakukan apa.
"Iya sih. Yang kau bilang benar. Aku enggak seharusnya iri. Tapi ya kenapa ya rasa itu selalu muncul?" Temannya membenarkan apa yang diucapkan Damar tadi .
"Kalau kau sendiri pernah enggak ngiri sama orang lain?" Temannya itu kembali bertanya .
"Hmmmm, ngapain juga aku ngiri sama orang lain. Semuanya sudah ada porsinya masing-masing. Segalanya sudah diatur. Jadi untuk apa ada rasa iri? Rasa iri hanya membuat dada semakin sesak saja. Dah lah, daripada ngomongin ginian terus mending kita makan. Aku yang traktir ," Damar sebenarnya tidak terlalu lapar. Tapi ia tak ingin membahas hal semacam itu lebih jauh lagi.
"Assalamu"alaikum," Damar segera masuk ke dalam rumah setelah mengucap salam. Rasanya ia ingin langsung tidur saja begitu sampai kamar. Kasur memang punya daya tarik yang begitu kuat . Apalagi saat sedang lelah, daya tariknya semakin kuat.
Sebenarnya ia malas pulang ke rumah. Tak ada kehangatan yang didapatnya lagi dari orangtuanya. Di rumah, yang setia menemaninya hanyalah seorang pembantu yang sudah terlihat setengah baya. Hanya dia orang yang bisa diajak mengobrol saat ia merasa kesepian.
Damar membanting dirinya di kasur yang terlihat cukup empuk untuk ditiduri. Rasa capek yang menyeruak hari ini ternyata belum mampu membuatnya tertidur. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
Pikirannya menerawang saat keluarganya masih harmonis. Saat-saat indah itu rasanya sudah lama sekali terasa. Hari-hari yang dirindukan itu, apakah akan terulang kembali ya? Sebuah pertanyaan terlintas di otaknya. Walaupun mustahil sekali untuk saat ini , namun ia berharap akan tiba saatnya semua akan kembali seperti semula. Keyakinan itu menguatkan menguatkan dirinya untuk tidak berbuat sesuatu yang aneh-aneh.
"Pasti orangtuamu bangga punya anak seperti kamu."
Sebuah pernyataan yang benar-benar tidak ingin dia dengar dari semua orang. Dia tahu bahwa itu adalah sebuah pujian. Tapi ia merasa orangtuanya bahkan sama sekali tidak bangga padanya. Bahkan mereka tidak tahu kalau anaknya ikut olimpiade mewakili kabupaten.
Olimpiade yang akan digelar adalah olimpiade antar kabupaten setelah sebelumnya lolos ditingkat kecamatan. Sudah sebentar lagi olimpiade itu digelar, tapi ia malas sekali belajar. Menurutnya mempersiapkan segalanya takkan mengubah apapun juga. Tak ada kata pujian yang keluar dari mulut orang yang ia harapkan.
"Makannya udah siap. Hari ini bibi masak makan kesukaanmu," setelah terdengar ketukan pintu. Suara seorang wanita terdengar dari balik pintu kamar itu.
Ia segera keluar. Benar saja , dimeja makan telah tersaji makanan favoritnya. Walaupun ia berpikir untuk tidak makan malam tadi, melihatnya saja sudah menggugah selera . Banyak pikiran belum tentu tidak bisa makan, bahkan terkadang ada orang yang nafsu makannya berkali-kali lipat saat sedang lapar.
***
I Love You Damar, jangan pasang muka murung terus. Aku jadi sedih ngelihatnya.
From penggemarmu
Begitulah isi secarik kertas yang ada di tasnya. Saat membuka tasnya untuk menyiapkan buku yang akan dipakai esok hari ia baru sadar ada kertas itu didalamnya. Yang membuat ia penasaran adalah tak ada nama orang yang menaruh kertas itu. Ia hanya bisa menduga-duga siapa orang yang mengaku sebagai penggemarnya walaupun ia merasa bukan orang yang pantas untuk digemari.
Belakangan ini memang terlihat ada beberapa gadis mencoba mendekatinya. Kepopulerannya meningkat setelah ia berhasil memenangkan olimpiade kecamatan tempo hari. Mungkin satu dari mereka yang melakukannya.
Dari semuanya yang paling terlihat adalah Nadila , seorang gadis yang selalu ceria dan optimis. Ia selalu berusaha sekeras mungkin melakukan apapun demi tujuannya tercapai. Tapi tidak menutup kemungkinan gadis lain yang menaruh sepucuk kertas untuknya .
Tak peduli siapapun dia. Yang jelas dia adalah orang selalu memperhatikannya. Ah, ia berharap bisa membuang wajah murungnya itu. Ia bertekad untuk melakukannya.
Ia senang, punya teman dan penggemar yang selalu perhatian olehnya. Sesuatu yang tak ia dapat saat berada dirumahnya. Baginya mereka adalah motivasinya untuk terus hidup.
***
Pagi, sebuah sinar baru telah muncul di hati Damar. Hari ini ia ingin membawa bekal karena ia sudah janji akan melakukan persiapan untuk olimpiade. Sepertinya akan sore sekali dia pulang. Memilih untuk makan diluar juga rasanya malas sekali.
Ia sarapan sendiri. Orangtuanya nampaknya kompak untuk tidak pulang semalam. Sebenarnya ada rasa kesepian juga. Tapi ia sedikit mulai terbiasa .
Ia segera berangkat setelah menerima bekal dari pembantunya. Bekal hari ini ikan sarden berkolaborasi dengan tahu. Rasanya sudah dipastikan tidak ada duanya.
Saat sampai didepan pintu, ibunya baru pulang dengan wajah kusut tanpa mengucap sepatah katapun. Melihatnya , Damar jadi sedih. Tapi bagaimanapun juga, ia tak bisa memprotes yang baru saja terjadi.
Apa saja yang diucapkan pasti akan dibantah dengan berbagai alasan. Jika kalah pasti ibunya akan mengatakan hal-hal yang tidak ingin ia dengar. Lebih baik segera berangkat sekolah saja daripada terlambat nantinya.
***
Tiba dikelas ia langsung diberi kabar Nadila hari ini sedang sakit sehingga tidak berangkat. Ada rasa kecewa saat mengetahuinya karena ia ingin menanyakan tentang kertas yang ada di tasnya. Lagipula ia juga merasa malu jika harus menanyakannya secara langsung. Biar semuanya terjawab seiring waktu berjalan.
Pelajaran pertama dimulai , guru bahasa Indonesia yang seharusnya masuk kali ini sedang berhalangan. Usut punya usut, ia izin karena karena sedang menemani istrinya yang akan melahirkan. Tugas yang diberikan oleh seorang guru yang masuk adalah membuat cerita pendek. Walaupun pintar, namun ia merasa kesulitan saat harus merangkai kata-kata.
Yang membuatnya semakin tertekan sebenarnya adalah saat ia mendengar bahwa minimal cerita yang dibuat sekitar satu lembar. Membayangkannya saja rasanya kepalanya ingin meledak. Temanya bebas, Damar semakin bingung. Beberapa temannya terdengar mengeluh saat mengetahui tugas itu. Ingin rasanya ikutan, tapi cukup di hati saja ia keluhannya itu tersimpan.
Ia melihat kearah Chandra. Nampak sekali ia senang mendapat tugas demikian. Dia setahu Damar memang punya ketertarikan di bidang itu. Ingin rasanya melihat tugasnya Chandra, tapi enggan ia lakukan. Terutama sekali melihat siswa lainnya nampak tidak ada yang meninggalkan bangku masing-masing.
Setengah jam berlalu, dia baru mendapat beberapa paragraf. Itupun otaknya sudah bekerja sangat maksimal. Memang, setiap manusia pintar di bidang masing-masing.
Pada akhirnya Damar menyerah juga. Hingga jam pelajaran usai, ia hanya dapat menyelesaikan setengahnya saja. Dia tak peduli mau berapapun nilainya nanti. Yang penting ia telah berusaha sebaik mungkin.
Jam istirahat datang. Ingin rasanya ia pergi ke kantin untuk sekedar membeli cemilan, tapi ia malas sekali untuk pergi ke sana. Mau nitip juga malas. Jadilah ia sendiri dikelas tanpa cemilan apapun . Dikelas ia mengeluarkan buku catatan yang berisi rumus-rumus yang tidak dimengerti oleh orang-orang dengan kecerdasan biasa saja. Ia mempersiapkan diri soalnya biasanya latihan untuk olimpiade mengambil soal dari ujian nasional yang rumit sekali.
Diawalnya Damar juga pusing melihat rumus-rumus yang bertebaran sangat banyak . Diawalnya ia merasa tidak akan mampu menguasai semua rumus itu. Otaknya yang sangat gemilang saat menghitung membuat sesuatu yang mustahil menjadi kenyataan. Walaupun begitu , ia sangat kepayahan saat berhadapan dengan bidang seni dan bahasa.
Mulai nanti ia akan berusaha bersungguh-sungguh demi orang-orang yang menaruh perhatian besar kepadanya. Ia berjanji akan memberikan yang terbaik apapun hasilnya nanti. Olimpiade matematika, entah kenapa Damar sangat optimis bisa menaklukkannya dengan mudah.
Jam terus berlalu, perlahan namun pasti jam pulang akhirnya datang juga. Semua murid kecuali Damar pulang. Hari ini ia sudah berjanji kepada gurunya untuk melakukan belajar tambahan . Walaupun akhir-akhir ia jadi sering berbohong, tapi kali ini ia tak ingin ingkar dengan janjinya.
Sebelum belajar ia meminta waktu sebentar untuk istirahat . Ia ingin makan bekalnya dulu. Mengerjakan soal yang menguras pikiran kalau perutnya kosong otaknya seperti tak mau bekerja. Walaupun soal mudah sekalipun. Pernah sekali ia mengalaminya dulu. Semenjak itu ia tak pernah melakukannya lagi.
"Pak, aku udah siap sekarang," setelah selesai makan ia langsung menuju keruangan dimana hanya ada mereka berdua saja.
"Oh ya. Sekarang kita fokus ngerjain soal dulu ya. Nanti kalau udah selesai bilang bapak biar nanti bisa kita bahas bersama," Seorang guru berkacamata tebal berkata lalu memberikan selembar kertas berisi soal-soal yang terlihat mustahil untuk dikerjakan.
Damar segera mengerjakan soal yang ada dihadapannya . Sesekali terlihat ia menggaruk kepala tanda sedang bingung bagaimana cara menyelesaikan soal yang cukup sulit untuknya.
Semangat dirinya terpacu saat melihat ucapan semangat yang ia baca semalam. Pada awalnya ia tak begitu peduli, bahkan ia sempat berencana untuk kalah sebelumnya. Kini ia tak ingin jadi pecundang dengan melakukan hal bodoh sedemikian rupa. Ia akan berusaha semaksimal mungkin.
Dulu awalnya ia cuma iseng saja saat tahu ada pendaftaran olimpiade. Tapi ya memang otak encer, iseng juga bisa lolos olimpiade . Awalnya ditingkat sekolah, kemudian tingkat kecamatan. Dan yang akan dilalui adalah tingkat kabupaten. Saingannya kali ini pasti sangat sulit dibanding yang telah lalu.
Tahun ini sekolah menerapkan sistem yang berbeda untuk menyeleksi siswa yang ikut olimpiade. Biasanya berdasarkan pilihan guru, namun kali ini tidak. Tentu saja siapa berminat untuk ikut saja yang ikut. Kemudian diadakan ujian seleksi. Dari situ terpilih satu orang. Dan orang itu adalah Damar.
Setengah jam lagi, tenggat waktu yang diberikan oleh gurunya untuk mengerjakan soal yang kali ini terfokus pada soal trigonometri. Damar sedikit bernafas lega karena akhirnya ia berhasil mengerjakan soal yang seharusnya dikerjakan oleh anak kuliahan. Masih ada sisa waktu untuk otaknya beristirahat sebentar.
Entah mengapa ia kemudian membayangkan saat ia juara nanti . Pasti ada kebanggaan yang didapat dari orang-orang disekitarnya. Orangtuanya bakal ikut bangga atau tidak ya? Dia sebenarnya terpikirkan hal itu juga. Namun ia tidak ingin memikirkan terlalu jauh. Menurutnya hal itu hanya merusak konsentrasi saja. Ia sebenarnya sayang mereka, namun ia benci sikap mereka yang tak peduli dengannya.
Mungkin yang paling bangga dengannya adalah penggemarnya yang dia tak tahu siapa orangnya. Yang dia tahu hanyalah orang itu selalu memperhatikannya. Dia peduli, Damar rasa itu sudah cukup untuknya .
Di dunia yang ini, apakah ada ya orang sama dengannya? Kadang Damar memikirkan hal itu saat ia hendak tidur. Ia ingin berbagi cerita dengan orang yang sama. Tapi ia tak tahu siapa orang yang sama dengannya.
"Sekarang kita akan akan mulai membahas soal yang tadi kamu kerjakan. Udah selesai semua kan?" Waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal telah benar-benar habis.
"Udah pak."
"Oke, sekarang kita mulai dari nomor satu ya," Pembahasan dimulai, satu demi satu soal mereka bahas .
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!