Di temaramnya sinar rembulan di malam hari, terdengar denting piano mengalun indah di sebuah rumah megah yang terlihat suram, hampa dan sunyi duduklah gadis cantik dengan jemari lentiknya menari-nari di atas tuts piano, liriknya begitu indah dan menyayat hati, mengungkapkan kesedihannya.
Tiba-tiba gadis itu berhenti dan menggerakkan kursi rodanya kebelakang suaranya menggema di antara sepinya malam. "Mbak antar aku ke kamar!" perintahnya pada perawatnya yang bernama Sari yang segera menghampiri Nona Mudanya. "Baik, Nona. Mari saya antar ke kamar Anda!"
Perawat itu mendorong kursi roda milik Majikannya dan membawa ke dalam kamar.
"Mbak, apakah keadaanku akan sangat menyedikan seperti ini, sepanjang hidupku?" Pelan suara Dianta mengeluh. Sambil terus mendorong kursi roda, Sari menjawab, "Tidak, Nona. Anda akan bisa berjalan kembali dan bisa melihat kembali. Asal, Nona rajin melakukan terapi."
"Mungkin aku bisa berjalan lagi tapi entah, apakah aku bisa melihat lagi Mbak, aku tidak tau, Dokter sudah menyerah," kata Dianta sambil menghela nafas.
"Jangan menyerah, Nona! Tuan dan nyoya, akan berusaha untuk menyembuhkan Anda, mereka menunggu keputusan Anda untuk berobat keluar negeri," jawab Sari.
"Nona, kita sudah sampai ayo saya bantu!" katanya sambil membatu Nona Mudanya berbaring di ranjangnya, "Tidurlah, Nona! Esok hari akan lebih cerah," pesannya sambil merentangkan selimut ke tubuh majikan itu.
"Trimakasih, Mbak," kata Dianta tersenyum pada Sari.
"Sama-sama, Nona." Sari pun beranjak pergi dari kamar majikanya, setelah menutup tirai dan pintu kamar dengan pelan.
Malam semakin larut. Namun, kantuk tak kunjung mengusik hati serta pikiran Dianta, sayup-sayup terngiang suara yang begitu dia kenal. 'An, Dengarkan Aku mencintaimu! Andai waktu membuatku terpisah denganmu. aku akan berlari padamu. Aku Akan pulang untuk mu. Pulang ke padamu, kau dengar, An!'
"Heemmmm!" Dianta bergumam berusaha menghilangkan bayangan indah masa lalunya yang berakhir tragis dan tak mau pergi.
Dianta mencoba memejamkan matanya , 'Fif, aku akan selalu menunggumu walau aku takut bertemu denganmu dalam keadaan seperti ini. Ya Allah, patut kah aku mengeluh sepanjang malam dan setiap hariku, tentu tidak bukan? Baiklah, Dianta. Mari kita jalani hidup dengan bahagia dan ceria!' katanya dalam hati menyemangati dirinya sendiri.
Malam semakin larut dan Dianta pun mulai terlelap, dengan meninggalkan kegundahan hatinya, berharap hari esok akan lebih baik dari hari ini.
Di tempat yang berbeda, seseorang pemuda larut dalam arsiran kuas di atas kanvas lukisannya. Dia selalu meluangkan waktu, untuk menyelesaikan lukisan setelah pulang kuliah, hingga larut malam. Dia tak pernah tau siapa gadis yang dia lukis. Ingatannya hanya sebatas raut wajah itu. Dia tak pernah bisa mengingat apa yang terjadi setelah terbangun dari komanya setahun yang lalu, keluarganya membawanya ke Singapura, setelah dia kembali sehat. tok!tok!tok! Terdengar bunyi ketukan pintu dari luar.
"Sayang, sudah larut malam, kau harus istirahat!" Terdengar suara wanita di balik pintu.
"Iya, Bu. Aku akan segera tidur!' jawab lelaki itu. Diapun meletakan kuasnya di meja dan menutup kanvasnya dengan kain putih lalu beranjak membaringkan tubuhnya di ranjang. Masih terdengar sayup-sayup suara Ibunya di balik pintu, lalu suara langkah yang menjauh. "Selamat tidur sayang!"
Lelaki yang berbaring di ranjang itu tak kunjung memejamkan matanya. Dia berusaha mengingat siapa gadis itu, yang telah banyak dilukisnya dan berjajar terpasang di tembok kamarnya, dengan berbagai sudut serta berbagai model dalam satu tahun ini. Ia telah menyelesaikan banyak lukisan dengan model yang sama, dia selalu bertanya kepada orang tuanya, siapa gadis itu? tapi mereka menjawab tidak tau. otaknya terasa lelah berusaha mengingat. Namun ... tak menemukan ingatan apapun.
Ingatannya terbatas ketika Dantai duduk di bangku SMP, tapi kenapa gadis ini yang selalu hadir di mimpi malamnya. Begitu lelah dia berfikir, hingga akhirnya terlelap dalam pekatnya malam.
Di pagi buta Dantai terbangun, setelah bermimpi lagi seorang gadis yang sama persis di lukisannya. Gadis itu berjalan mundur sambil melihat dirinya yang berada di taman, dengan hamparan bunga-bunga yang indah. Lalu gadis itu mengatakan sesuatu tetapi tak terdengar olehnya. Dia berbalik lalu berlari dan menghilang entah kemana. Dantai mencarinya sambil berteriak, sekencang-kencangnya. Namun, gadis itu tidak kembali. Dantai terbangun dengan nafas terengah-engah dan duduk di ranjang mencoba mengatur nafasnya, kemudian bangkit berjalan masuk ke dalam kamar mandi, dia membasahi tubuhnya dibawah guyuran shower. Sambil mencoba mengingat sesuatu yang terperangkap entah kemana.
Setelah satu jam di kamar mandi, Dantai keluar hanya dengan balutan handuk yang dililitkan di pinggang. Dia membuka lemari mengambil sarung dan baju koko lalu memakainya. Di lihatnya jam dinding tepat di atas tempat tidurnya, masih jam tiga dini hari. Dantai menggelar sajadahnya lalu mulai menunaikan sholat tahajud, setelah selesai dia berdoa memohon di pertemukan dengan gadis itu. Walau otaknya tak pernah bisa mengingatnya. Dia memohon agar hatinya mengenali gadis itu, saat dia bertemu dengannya. Setelah itu dia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an sambil menunggu adzan subuh.
Ketika adzan subuh sudah selesai di kumandangkan, Dantai melaksanakan sholat subuh, Dia memohon kembali kepada sang pencipta yang Maha Pengasih, untuk dipertemukan gadis yang menghiasi mimpi-mimpinya, dan selalu memberikan debaran di dalam hatinya. Ketika dia memandang seraut wajah di dalam lukisan itu, Hatinya terasa hampa, dingin dan beku tak ada warna di dalamnya. Seolah telah di bawah pergi oleh gadis itu. Dantai sudah mengenakan kemeja lengan pendek dan celana jins yang membalut tubuhnya, berjalan menuruni tangga menuju meja makan. Di sana telah duduk Salva adiknya, Bu Ira dan Pak Harlan, menunggu Dantai untuk bergabung bersama mereka.
"Nak, sini duduklah! Kita sarapan dulu," kata Pak Harlan tersenyum pada Putranya itu. Dantai pun duduk kursi dekat Pak Harlan. Bu Ira mengambilkan setangkup roti tawar yang di isi dengan daging asap, selada dan keju meletakanya di atas piring kecil lalu menaruhnya di meja depan Dantai yang sedang duduk.
Dantai mengambil roti itu kemudian memakannya hingga habis.
Setelah itu, meminum segelas air putih serta membersihkan sisa makanan di sudut bibirnya dengan tisu, lalu ia mencium tangan kedua orang tua nya, kemudian berpamitan untuk berangkat kuliah, begitu pula Salva yang melanjutkan SMUnya di Singapore.
Dantai beranjak dari tempat duduknya dan berjalan cepat serta masuk ke dalam mobilnya. Salva mengikuti di belakang Kakaknya sambil berlari mengejarnya, karena tertinggal cukup jauh. Dantai memasang sabuk pengamannya, sambil menunggu adiknya, Setelah di pastikan adiknya masuk dan duduk di sebelahnya. Dantai pun mulai menjalankannya dengan kecepatan sedang.
Flashback
Dianta Anta Bela gadis berusia 17 tahun mempunyai banyak prestasi dari mulai bermusik, olahraga, dan prestasi akademik lainnya. Dia mempunyai hobi balapan, dalam kesehariannya dia berpenampilan tomboi. Namun, ketika dia sudah berada di atas panggung dengan memainkan pianonya, dia berubah anggun layaknya seperti seorang pianis terkenal seperti ibunya.
Sedari kecil dia sudah biasa memainkan alat musik piano. Ayahnya seorang pengusaha sukses di Jakarta dan berbagai negara lainnya. Dia baru pindah kemarin dari Jakarta ke Surabaya ikut neneknya karena sesuatu hal yang di rahasiakan dari neneknya.
Hari ini adalah hari pertama dia masuk sekolah yang baru. Pagi-pagi dia sudah bersiap mengenakan pakaian seragamnya, dengan rambut yang di kuncir kebelakang tidak lupa dengan topi hitamnya bertengger manis di kepalanya, sambil bersiul dia berjalan menuruni tangga menuju ruang makan.
Dia melihat Neneknya sudah duduk didepan meja makan menunggunya. Dia berlari menghampiri neneknya, lalu mencium pipi neneknya dari belakang.
"Pagi, Nenek," sapa Anta riang, neneknya menoleh sambil tersenyum pada Cucunya. Dianta mengambil tempat duduk di sebelah neneknya dan mengambil roti berisikan selai stoberi kesukaannya, memakannya dengan lahap lalu meminum susu coklatnya dengan tergesa-gesa.
"Maaf, Nenek. Aku harus berangkat sekarang, takut terlambat, mana kunci mobilnya, Nek?"
"Jangan berangkat sendiri, An! Biar diantar pak man! kau belum tau tempat sekolahmu," perintah neneknya.
"Aku sudah tau jalan, Nek. Bukankah aku sering kemari dan sering jalan-jalan, bersama teman pembalap ku," jawabnya.
"Baik jangan ngebut! Mobil itu sudah tua, kalau kau ajak ngebut, bisa bengek tuh, mobil," kata neneknya menasihati cucunya, sambil menyerahkan kunci mobil pada Anta.
Anta mengacungkan jempolnya dan menarik punggung tangan neneknya lalu mencium dengan takzim.
"Aku berangkat, Nek!" serunya sambil melangkah keluar rumah, terlihat mobil sudah berada di halaman dan di sebelahnya Pak Man berdiri, sedang menunggu Anta.
"Tidak usah di antar, Pak Man. Aku berangkat sendiri," serunya pada Pak Man.
"Baiklah, Nona. Hati-hati di jalan," jawab Pak Man dengan sopan lalu berjalan ke kebun belakang rumah, meneruskan pekerjaan sebagai tukang kebun. Pak Man adalah tukang kebun dan supir Neneknya Anta, istrinya yang bernama mbok Ija satu-satunya asisten rumah tangga Nenek.
Anta pun masuk kedalam mobil dan menjalankannya dengan kecepatan sedang, menuju sekolahnya.
Dia menyalakan tape mobilnya untuk membunuh rasa sepinya.15 menit kemudian, dia sampai di pelataran parkir sekolah SMUN favorit Surabaya itu.
Anta turun dari mobilnya dan berjalan menyusuri lorong jalan menuju kelas XII IPA 2 suasana sudah mulai ramai. Terlihat berlalu lalang murid yang baru datang ke sekolah.Tiba -tiba terdengar suara bas dari belakang.
"Dianta Anta Bela tunggu di ruangan Bapak dulu, nanti masuk kelas bersama!" seru Pak Iwan sambil berjalan mendahului Anta. Anta mengikuti langkah kaki Pak Iwan, menuju keruangan kepala sekolah, dia duduk di sofa ruang tamu kepala sekolah, sambil menunggu bel berbunyi. Tak lama kemudian bel berbunyi Pak Iwan bergegas masuk ke kelas XII IPA 2 bersama Anta.
"Assalamualaikum, pagi anak-anak kita kedatangan murid baru dari Jakarta, silakan Anta perkenalkan dirimu," kata pak Iwan tegas
"Assalamualaikum, pagi teman-teman kenalkan namaku Dianta Anta Bela, kalian cukup panggil Anta saja," kata Anta sambil tersenyum.
Beberapa siswa ada yang menanggapi dengan berbagai macam pertanyaan, ada yang hanya menjadi pendengar sejati dari awal Anta memperkenalkan dirinya sampai akhirnya Pak Iwan menyuruhnya duduk.
"Baiklah Anta silakan duduk di sebelah Bela. Hari ini pak Dirka tidak bisa hadir karena sakit, beliau memberikan tugas matematika pada kalian, segera kerjakan dan kumpulkan hari ini, jangan ramai! Rudi, nanti kau kumpulkan pekerjaan teman mu!" perintah Pak Iwan.
Rudi menganggukkan kepalanya, lalu Pak Iwan melangkah keluar kelas XII IPA 2. Ruangan tampak lenggang, Anta pun mulai mengerjakan tugasnya,15 menit kemudian di menoleh ke Bela.
"Bel, aku sudah selesai, kau pinjam? Apa ku kumpulkan ke Rudi? Jangan lupa! kalau sudah selesai kumpulkan buku ku juga, jangan habis manis sepah di buang.
Aku mau keluar kelas, mau melihat-lihat sekeliling sekolah, tapi nanti, kalau Pak Iwan masuk dan tanya aku, bilang saja aku lagi ke toilet, bagaimana?" bisik Anta tersenyum sambil menggerakan alis matanya.
Dengan riangnya Bella mengangguk, meraih buku Anta sambil menggerakan telapak tangannya memberi kode agar Anta segera pergi. Anta dengan ringannya melangkahkan kakinya keluar kelas.
Tiba-tiba Rudi berteriak,"Hoi ... mau kemana kau!? SELESAIKAN TUGASMU DULU!"
"Aku sudah selesai, kalau mau pinjam silakan saja, tapi jangan gaduh nanti Pak Iwan kesini, kau harus tanggung jawab, Rud!" jawab Anta santai.
"Ok! Kau boleh pergi," kata Rudi sambil berlari ke bangku Bella untuk menyalin jawaban Anta, lalu berpesan kepada teman-temannya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke bibir.
"suuuuut! gantian jangan gaduh! nanti malah kena hukuman loh ...."
Anta sudah di luar kelas, menyusuri jalan setapak, menuju taman belakang sekolah. Awalnya dia hanya menuruti kakinya melangkah, hingga membawa ke kebun belakang sekolah.
Tak tau ini kebun siapa, karena kebun ini di batasi dengan pagar besi, Anta melihat ada berapa pohon mangga, sudah berbuah lebat dan mulai banyak yang matang, serta aneka bunga disekelilingnya, sifat jahilnya timbul dia mulai memanjat pagar tersebut, tak lama kemudian, dia sudah berada di area kebun itu.
Matanya terbuka lebar, melihat mangga-mangga yang bergelantungan, dengan riangnya dia memanjat pohon mangga. Begitu sampai di atas, dia mencari dahan yang kuat untuk bisa duduk.
Anta berada di dahan yang besar, sambil menghadap buah-buah mangga, yang didekatnya, sebagian telah masak.
Dia mengambil satu buah mangga yang sudah matang dan memakannya di tempat, lalu membuang biji mangga kearah belakang. Tanpa disadari ada orang lain, yang berada di kebun tersebut.
Dia adalah Afif Bayu Dantai siswa kelas XII IPA 1.
Dia adalah siswa berprestasi dari non akademik dan akademik di sekolahnya. Dia pemain inti basket, ketua band sekolah, banyak penghargaan yang dia dapatkan dari basket, musik, melukis, matematika hingga science.
Dari kecil dia sudah pandai melukis, di usia masih 17 tahun dia sudah bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah dari lukisannya.
Hari ini dia tidak masuk sekolah, karena lelah habis bertanding basket kemarin mewakili sekolahnya. Dia duduk di kebun belakang rumahnya, sambil menyelesaikan lukisan pesanan teman ayahnya.Tiba-tiba saja biji mangga melayang menghantam lukisannya yang baru setengah jadi itu. Dia terkejut berdiri dari duduknya membalikan badannya.
Dia melihat seorang gadis berseragam SMU, duduk membelakanginya dengan nyaman, di dahan pohon mangga sambil makan, sesekali membuang biji mangga di segala arah.
Dengan kesal dia berteriak, "Oii ... maling turun kau!"
Anta menoleh kebelakang mengerutkan dahinya sambil menoleh ke kiri dan ke kanan. "Siapa yang maling ha!?"
Lelaki itu memutar matanya jengah sambil berkata , "Kau, siapa lagi tidak ada orang lain disini selain aku dan kau.
Anta mulai terpancing emosinya, dengan lincahnya dia turun melewati dahan-dahan pohon mangga, tak lupa sebagian mangga yang di petik di lemparkan di rerumputan. Tak lama kemudian dia sudah sampai di bawah.
Dengan berkacak pinggang, menghardik sambil menghampiri lelaki itu, "Hai kau juga ada di sini, berarti kau juga maling, bukan hanya aku saja, lagi pula kebun ini milik sekolah, jadi mangga itu milik umum."
"Cek ... cek ... kau bilang aku maling juga, kau bilang ini kebun sekolah, dan kau bilang, mangga itu milik umum, sejak kapan kebunku jadi kebun sekolah, hah!?" jawabnya dengan senyum sinisnya, menatap Anta dengan tajam.
"Glek!" Anta menelan ludahnya sendiri, tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia melotot melihat lukisan yang indah itu, telah terkotori dengan biji mangga, yang masih menempel di kanvas.
"Maaf, maafkan aku membuat lukisanmu rusak," kata Anta dengan tulus, sambil menangkupkan tangannya di depan dada.
"Kau tau lukisan itu tiga hari lagi akan di ambil. Itu artinya aku harus membuat ulang dari awal, biji mangga mu itu tepat di tengah lukisanku, kau sungguh ceroboh, kau masuk begitu saja dan membuat masalah," kata lelaki itu dengan lemah, sambil memerosotkan tubuhnya ke bawah dan duduk di atas rerumputan.
Anta ikut duduk di bawah, sambil berkata menyesali perbuatannya "Maafkan aku, karena aku lukisan mu rusak, akan ku beli lukisan mu itu.
Namaku Dianta Anta Bela, aku baru pindah dari Jakarta dan baru masuk hari ini, aku anak XII IPA 2, panggil aku Anta saja!" Anta mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
"Namaku Afif Bayu Dantai, kau bisa panggil aku Dantai, aku anak IPA 1. Mengenai lukisan itu ambil saja, kau tak akan mampu untuk membeli lukisan ku, karena harganya ratusan juta." Dia mengambil kanvas lukisannya dan di berikan pada Anta, kemudian dia membereskan alat lukisnya, membawa masuk kedalam rumahnya. Anta mengikuti langkah kaki Datai, tiba-tiba Datai berhenti, membuat Anta membentur punggung lelaki itu.
Tanpa menoleh dia berkata, "Bawah mangga-mangga itu kedalam dan buatkan aku jus mangga juga, mulai hari ini kau harus menemaniku melukis, untuk membayar kecerobohan mu itu!"
"cek," Anta berdecak "aku bawah pakai apa coba? Aku membawa lukisan mu juga."
"Pakai rok bawahan mu atau baju atasan mu itu!"jawab Datai acuh.
"Aaaah! Kau ini, apa kau tak punyak tempat untuk menampung manga-mangga itu? baju ku 'kan kotor, aku ikut ke dalam yaa, mengambil wadah untuk mangga itu," jawabnya terus mengikuti Datai, yang masuk melalui pintu dapur.
"Hai, Den sama siapa?," tegur Bik Mirna melihat Tuan Mudanya bersama seorang gadis.
"Sama pencuri mangga bik," jawab Datai santai.
"Enak aja aku sudah ketahuan, masih kau bilang pencuri mangga," jawab Anta sambil mengambil mangkok besar, lalu berlari ke kebun, memunguti mangga-manga itu dan menaruh kedalam mangkok lalu berlari menuju dapur, dengan cekatan mengupasnya, lalu di potong kecil ditaruh di piring kemudian, dia membuat jus ditaruhnya di teko kaca, setelah semua selesai, diletakan dalam baki dan dibawanya ke kamar Datai.
Sebelumnya dia bertanya pada Bik Mirna ,"Bik, di mana kamar Afif?"
"Tuan Dantai, Non? Di lantai atas Non, depan tangga." jawab Bik Mirna
"Ok! Bik," jawab Anta berjalan menuju kamar Datai dengan membawa baki berisi potongan dan jus mangga. Tak lama kemudian terdengar kaki menggedor pintu kamar Dantai.
Dengan malas Dantai beranjak dari tempat tidurnya dan membuka pintu sambil mencaci gadis itu
"Kau ini pencuri yang tidak punya sopan santun, menggedor kamar pria seenaknya saja, itu kenapa dibawah kesini? harusnya kau taruh di meja makan!"
"Lah ... tadi katanya kamu mintak jus, lagi pula kau juga bukan tuan rumah yang ramah, ada tamu malah di tinggal tidur Fif-Fif," jawab Anta sambil meletakan baki di atas meja dekat sofa, lalu dia duduk di sofa sambil, melayangkan pandangannya di seluruh ruangan.
"Siapa yang tamu hah? Siapa pula itu Fif?" tanyanya sambil mengambil gelas yang sudah di isi dengan jus dan meneguknya cepat lalu mencomot irisan mangga, kemudian memakannya. Dia duduk disebelah gadis itu, sambil terus mendesaknya kesamping, seolah-olah sudah tidak ada tempat duduk lagi.
"kau ini kenapa mendesak ku? itu tempat masih banyak loh ... lagi pula namamu kan Afif Bayu, iya, 'kan? jadi ku panggil nama depan mu dari pada ku panggil, Tai ... Tai ... jadi mending, Fif, 'kan?" jawab Anta sambil menatap malas ke pria itu.
"Ha ... ha ... ha ... Anta kau balik saja ke kelas, aku lelah, aku mau tidur." kata Dantai bangkit dari duduknya dan merebahkan tubuhnya ke ranjang.
Dia memiringkan tubuhnya ke arah Anta," Lagi pula apa kau tidak takut padaku? Aku ini tetap laki-laki loh, An. Walau masih kelas XII aku sudah bisa membuat mu ... hemm ... " sambungnya sambil memejamkan matanya, tak lama terdengar dengkuran halus dari bibir pria itu.
"Dasar tuan rumah tak punya adab! ada tamu di tinggal tidur begitu saja," gumam Anta pada diri sendiri, lalu dia melihat jam tangannya jam 11.00 tepat. Dia terkejut tenyata dia telah lama meninggalkan kelas. Buru-buru dia meminum jusnya dan keluar dari kamar Dantai.
Dia berlari menuju dapur sambil berteriak kepada Bik Mirna, "Bik, saya balik ke kelas ya, bilang sama Afif, saya langsung pulang. Dia tidur bik." Anta terus berlari tanpa menunggu jawaban bik Mirna.
Bik Mirna geleng-geleng kepala, melihat tingkah laku gadis itu sambil bergumam ,"Siapa ya nama gadis temannya tuan Dantai tadi?"
Beberapa menit kemudian Anta sudah di depan pintu kelasnya. tok! tok! tok! Anta mengetuk pintu tak lama kemudian suara dari dalam terdengar
"masuk!"
Anta masuk di sambut dengan tatapan tajam guru fisikanya, pak Kusno, "Dari mana kamu, baru masuk kelas jam segini?"
"Dari toilet Pak, maaf perut saya sakit,
Pak," jawab Anta sekenanya sambil menunduk.
"Baik, kerjakan soal yang ada di papan tulis itu! Kalau benar kau baru boleh duduk!" perintah Pak Kusno.
Anta mengangguk lalu dikerjakannya soal di papan tulis tersebut, dengan cepat ,"Sudah Pak, apa saya boleh duduk?" tanyanya.
"Ya sudah kau boleh duduk, jangan diulangi lagi!" nasehat Pak Kusno, lalu beliau melanjutkan kembali menerangkan materinya.
Anta mengangguk dan bejalan kembali ke tempat duduk dengan ceria, menyunggingkan senyum ke teman sebangkunya.
"Gila kau Anta! Kemana saja kau? Empat jam kau meninggalkan kelas, kau murid baru jangan macam-macam! Aku tadi di tanyai Pak Iwan sampai keringat dingin," bisik Bella.
Anta serius mengikuti pelajaran selanjutnya. Tak terasa sudah jam 13.30, terdengar bel tanda pulang berbunyi. Bu Susi guru seni budaya, mengakhiri pelajarannya lalu di ikuti doa bersama. Setelah itu beliau keluar kelas, diikuti siswa-siswinya.
Anta menenteng tas punggungnya berjalan ke masjid sekolah, mengambil wudhu lalu sholat dhuhur terlebih dahulu. Selesai sholat berjalan ke area parkir mobilnya lalu menjalankan pergi dengan kecepatan sedang menuju rumah neneknya.
Adzan dhuhur berkumandang, Dantai mengerjapkan matanya berulang kali lalu melihat sekeliling kamarnya tak ada Anta. keningnya berkerut mulai ingat bahwa tadi dia tidak sendiri.
"Heeem, kemana gadis itu?"
Dengan malas dia beranjak dari ranjangnya berjalan ke kamar mandi mengambil wudhu. setelah ia keluar, pandangan matanya tertuju pada baki yang ada di meja.
"Iss, jorok sekali dia!"
Datai mengalihkan pandangannya dan melanjutkan niatnya untuk sholat dhuhur. Setelah sholat dia membersihkan mejanya, membawa baki berisi piring, teko dan gelas yang sudah kotor ke dapur. Di sana ia bertemu bik Mirna yang sedang membuat makan siang.
"Bik, Anta sudah balik ke kelas?" tanyanya pada bik Mirna
"Ooo, namanya non Anta toh, Den. sudah, Den," jawab bik Mirna
"Bik, makan siang ku tolong antar ke kamarku ya Bik. Aku mau kerjakan pesanan Pak Surya, mana harus ulang dari awal lagi karena gadis itu," gerutu Datai melangkahkan kakinya dengan malas kembali ke kamar.
"Oooalah, Den. Begitu to ceritanya. baik Den, beres! Jangan lupa bonus buat bibi ya, Den!" jawab bik Mirna sambil tertawa. Dantai mengacung ibu jarinya tanpa menoleh kebelakang berlalu dari pandangan Bik Mirna.
Di kamar, Dantai mulai memasang kanvas baru pada alat lukisnya sambil sesekali melirik lukisannya yang telah rusak teronggok di sofa. Dia menghela nafas Panjang di raihnya handphonenya, tidak ada panggilan dari Ayah atau Ibunya.
'Orang tua sibuk dengan mempersiapkan masa depan anaknya. Anak sibuk memperjuangkan masa depannya sendiri, lalu bagaimana jika anak sudah menggenggam masa depan sendiri? Apa beliau berdua tidak ingin meluangkan waktu untuk kami berdua? memberi warna pada keluarga ini. Sungguh memang ada harga yang harus di bayar untuk sebuah kesuksesan yaitu waktu untuk bersama keluarga.' Dantai bicara dalam hatinya, dia mengerti dulu keluarganya tidak hidup seperti ini karena bakat melukisnya lah yang mengangkat derajat orang tuanya hingga seperti ini.
Dantai mulai mencorat-coret kuas di kanvas yang kosong menuangkan ide dan bakatnya di sana.
tok! tok! tok!
Suara ketukan di luar pintu kamarnya.
"Masuk! Bik," perintah Datai
Bik Mirna masuk ke kamar Tuan Mudanya meletakan baki berisi makanan dan minuman di meja.
"Makan dulu, Den. Jangan sampai telat makan nanti bibi di marahi tuan dan nyonya ,"Kata bik Mirna lalu meninggalkan kamar Dantai setelah meletakkan makanan dan minuman tuan mudanya di meja. Dantai hanya mengangguk lalu beranjak dari duduknya menuju ke meja dekat sofa, dia duduk di sofa dan mulai makan dengan tenang.
Krieett!
Suara pintu terbuka dari luar di ikuti suara cempreng seorang gadis menggema di seluruh ruangan.
"Assalamualaikum, kak Dantai. Salva pulang."
Gadis manis berseragam sekolah SMP masuk begitu saja di kamar Dantai. lalu dia duduk di sofa dan menatap kakaknya sambil tersenyum.
"Ayah dan ibu belum telpon?" tanyanya sambil mengambil lauk di piring kakaknya.
Dantai memukul punggung tangan adiknya dengan pelan sambil menatap tajam pada adiknya itu.
"Maaf." Salva terkekeh melihat expresi wajah kakaknya. Hingga tiba- tiba matanya melotot menyorot pada lukisan kakaknya yang rusak.
"Ini kenapa kak?" tanya Salva
"Di timpuk orang dengan biji mangga," jawab Dantai.
"Kok bisa?" tanya Salva ingin tahu.
Dantai hanya mengangkat bahunya saja sambil menyodorkan baki yang berisi bekas makannya.
"Taruh dapur, ganti baju, sholat dan makan! Ayah sama ibu masih sibuk, nanti juga telpon. Kalau tidak, coba nanti malam telpon yaa. Kakak mau kerjakan pesanan Pak Surya," Salva mengangguk dan pergi dari kamar itu. Dantai juga mulai sibuk melanjutkan lukisannya.
...----------------...
Di tempat yang berbeda, Anta sudah sampai di halaman rumah neneknya. terlihat dari dalam mobil, sebuah mobil sport warna merah terparkir di halaman luas neneknya, dia keluar dari mobil langsung menghampiri mobil merah itu.
"Wow ... mobilku sudah datang! Asik ... Asik!," teriaknya gembira sambil meloncat-loncat riang, berjalan cepat lalu melompat dan berjalan cepat lagi ke dalam rumah. Hingga bertemu Neneknya di ruang makan yang sibuk menata menu makan siang di meja makan. Neneknya tersenyum melihat kegembiraan cucunya.
Karena anak semata wayang serta prestasi yang gemilang lah membuat orang tua Anta tak bisa menolak keinginan anaknya, begitu pula sang Nenek.
"Anta ganti bajumu! lalu segera turun kebawah! kita makan siang bersama," perintah Nenek pada cucunya.
Setelah makan siang Anta bersantai di dalam kamarnya sambil sibuk membalas pesan teman pembalapnya di Surabaya maupun di Jakarta. Begitu pula Datai larut dengan kesibukannya melukis. Dia hanya istirahat untuk sholat dan makan.
...----------------...
Waktu seolah berjalan cepat tak terasa jam menunjukan pukul sepuluh malam. Dantai merenggangkan persendiannya, beranjak dari duduknya berjalan ke kamar tidur adiknya.
Di bukanya pintu perlahan, dihampirinya adiknya dan di usap kepalanya, membenahi selimutnya. Dantai duduk di sofa tempat tidur adiknya sambil melihat Salva terlelap.
'Maafkan Ayah dan Ibu Va, kau tak cukup banyak waktu untuk bergelayut manja pada Ayah dan Ibu lebih lama. Akan ku gantikan peran mereka memberikan kasih sayang padamu,' gumam Datai dalam hati.
Ayah Dantai sudah dua tahun berada di Singapura. Membangun bisnis bersama temannya. Satu tahun kemudian ibunya menyusul ke sana untuk mendampingi suaminya. Sebenarnya Ibunya ingin menunggu Dantai dan Salva lulus, baru menyusul suaminya ke sana akan tetapi tenaganya dibutuhkan di sana. Ibu Dantai sangat piawai dalam mengelola keuangan. Perhitungannya pun selalu tepat. Satu bulan sekali ibunya pulang ke indonesia dan tinggal selama dua atau tiga hari di rumah kemudian kembali ke Singapura.
Dantai kembali ke kamarnya dan meneruskan lukisan hingga pukul 12.00 malam lalu membaringkan tubuhnya ke ranjang.
"Hari yang begitu melelahkan," gumamnya sambil menguap. Matanya sudah tak mampu bertahan hingga akhirnya ia tertidur.
Ditempat berbeda Anta masih sibuk berkirim pesan dengan teman-temanya merencanakan untuk balapan lagi. Putusan sudah di dapat, Anta pun mengakhiri percakapannya. Diletakkannya ponselnya di atas nakas. Ia pun memejamkan matanya memulai mimpi indahnya.
Pagi ini Dantai sudah menaiki sepeda motornya dengan mengenakan seragam sekolahnya dan tas di punggungnya menunggu Adiknya.
"Salva ayo cepat berangkat! Kakak nanti terlambat sekolahmu lebih jauh dari kakak."
"He ... he ... he ... lebih baik kakak lompat pagar saja tiga menit sudah sampai, biar aku diantar pak To," jawab Salva sambil duduk di belakang kakaknya. Dantai memberikan helm ke adiknya.
"Pak To bersihin kebun belakang yang kotor. Cepat pakai helmnya dek, pegangan kakak!"
"Ok! Ayo berangkat Abang ku manis!"
Dantai menjalankan motornya dengan kecepatan sedang menuju sekolah adiknya lalu membelok ke sekolahnya sendiri. Sesampainya di sekolahnya di sambut Rio, Aril dan Gibran.
"Tumben kau bawah motor, biasanya juga jalan kaki, tinggal belok dikit kadang juga loncat," kata Gibran terkekeh.
"Habis ngantar Salva ke sekolah," kata Dantai.
"Emang kemana pak To?" kok gak ngantar Salva?" tanya Aril.
"Bersihin kebun belakang kemarin ada kelelawar betina habisin mangga dan bijinya kemana-mana." jawab Dantai acuh.
"Tau dari mana kau Dan, kalau kelelawarnya betina?" tanya Rio.
"Taulah, jelas begitu." jawab Dantai fokus ke tempat lainnya.
Rio, Aril dan Gibran mengikuti arah pandangan Dantai.
"Woi ... keren!" teriak Rio.
"Cakep bro!" saut Aril.
Terlihat oleh mereka seorang gadis yang keluar dari mobil sport merahnya, dengan gaya yang khas, tas punggung di pundaknya, rambut di ikat kebelakang dengan topi hitamnya.
Dantai turun dari motornya menghampiri gadis itu menghimpitnya hingga ke badan mobil mencengkram kedua tangan Anta kebawah.
"Ooo jadi ini alasan kamu ingin membeli lukisanku yang rusak itu. Karena kau merasa punya uang yang banyak begitu. Dan melempar tanggungjawabmu dengan uang, tanpa menghargai kerja keras seseorang, begitu, 'kan!?" tanya Dantai dengan menatap tajam pada gadis itu. Ketiga temannya terbengong melihat sikap Datai yang sepertinya sudah kenal dan akrab.
"Ti-- tidak bukan begitu Fif. Aku benar-benar merasa bersalah saja, menghargai hasil kerja keras mu. Makanya aku beli lukisan itu." jawab Anta terbata karena terkejut dengan kedatangan Dantai tiba-tiba. Datai masih menatapnya tajam dan mencengkram tangannya kuat hingga Anta merasa panas dikedua pergelangan tangannya.
"Lalu kenapa kamu tidak kembali ke rumahku sepulang sekolah hah!? Aku meminta pertanggungjawabanmu, menemaniku melukis sampai lukisan itu jadi. Bukan uang, kau mengerti Anta!?" Bentak Dantai kesal.
"I-- iya aku mengerti, Tapi lepas dulu tanganmu ini! Sakit, Kau ini kasar sekali Sama wanita! Harus lembut, sayang ... bukan dikasari seperti ini. Bisa saja aku menjatuhkan tubuhmu di tanah dengan cepat. Tapi aku menjaga harga dirimu tampan ...." Anta terkekeh
Dantai hanya memutar bola matanya jengah melihat sikap Anta yang menganggap enteng sebuah permasalahan. Anta melanjutkan kalimatnya setelah melemaskan pergelangan tangan yang telah di lepaskan Dantai.
"Aku itu kemarin bawah mobil. Aku tidak tau rumahmu jika lewat pintu depan. Lalu apakah mobilku di tinggal di sini? Kalau aku lewat pintu belakang bagaimana dengan mobil ku? Aku juga tidak tau nomor ponselmu."
"Ok! Baik, mana ponselmu?" tanya Dantai menyerahkan ponselnya ke Anta dan mengambil ponsel Anta dan menyimpan nomernya di sana begitupun Anta. Dantai menatap Anta dengan Datar.
"Tunggu aku di parkiran sepulang sekolah! Bareng aku ke rumah! kau ikuti motorku!" perintah Dantai sambil melangkah pergi menghampiri temannya yang masih bengong.
"Hai ... bukankah dia murid baru? Bagaimana kau mengenalnya, Dan? Apa jangan-jangan dia itu yang kau sebut kelelawar betina itu?" tanya Gibran menatap temannya itu.
"Ya ... ya ... ya, banyak sekali pertanyaan mu itu, Gib." jawab Dantai dengan tertawa di ikuti ke tiga temannya itu. Mereka berbincang-bincang sambil menuju kelasnya. Sementara Anta yang sudah terbebas dari intimidasi Dantai berjalan berlenggang santai menuju kelasnya.
"Wah ... wah kau hebat sekali, Dantai. Memanfaatkan keadaan," sahut Rio terkekeh. Mereka sampai di kelas bersamaan dengan bel sekolah berbunyi.
Mereka pun mengikuti pelajaran hingga selesai. Dantai berjalan cepat menuju parkiran.
Terlihat Anta berdiri di depan mobilnya menunggu Dantai. Dantai melihat Anta sekilas, berjalan lalu duduk di motornya. Anta pun sudah siap di belakang kemudi. Mereka pun menjalan kendaraannya masing-masing. Tak lama kemudian sampailah mereka. Dantai turun dari motornya dan Anta keluar dari mobilnya. Dari depan pintu mereka di sambut seorang gadis berusia 14 tahunan.
"Kakak, wah ini siapa? Ayo masuk!," tanya Salva sambil terus bejalan mengitari Anta. Dantai merangkul adiknya mengajaknya masuk ke dalam.
"Teman kakak, kamu sudah makan?" tanya Dantai penuh perhatian.
"Belum, nunggu Kakak" jawab Salva sambil lihat ke kiri dan ke kanan. lalu berjalan mendahului sambil menarik tangan Anta dan mengajaknya duduk di depan meja makan. Dantai pergi ke kamarnya berganti pakaian lalu mengambil salah satu kaosnya dan membawanya turun berjalan keruang makan. Setelah dekat, dia lemparkan kaos tersebut dan tepat mengenai muka Anta.
"Ganti pakaian mu! Habis makan, petikan beberapa buah mangga lalu bikinkan jus seperti kemaren! Itu tugasmu, 'kan?"
"Iiiss, kau ini gak sopan amat, main lempar aja," jawab Anta berlari menuju kamar Dantai menaiki tangga dengan cepat.
"Pacar kakak?," bisik Salva pada kakaknya.
"Bukan,dia yang melempar lukisan kakak dengan biji mangga," saut Datai.
"Apa!? Dia kak!" teriak Salva, matanya membola karena terkejut.
"Salva, pelan kan suaramu. Dia sedang Kakak hukum," bisik Dantai. Adiknya itu mengangguk sambil senyum-senyum. Anta sudah berganti pakaian dengan kaos Dantai yang sedikit kebesaran dan celana pendek di atas lutut yang selalu di pakai di balik roknya kembali duduk di dekat Salva. Dantai melihat sekilas penampilan Anta ketika duduk celananya ketarik ke atas, memperlihatkan paha mulusnya, Dantai mengalihkan pandangannya mengusir hawa panas di wajahnya.
"Ambilkan!"perintah Dantai menyodorkan piringnya. Anta menghela nafas berat membuang kekesalannya.
"Segini?"
Dantai mengangguk. Anta mengambilkan lauknya. Ketika ia tanya, Dantai hanya menjawab dengan mengangguk dan menggeleng. Anta lalu mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Salva berbisik ke telinganya.
"Nama kakak siapa?"
"Anta, panggil saja kak Anta," bisiknya kembali pada Salva.
"Salva, makan. Jangan berisik!" perintah Dantai. Salva nyengir mendengar teriakan Kakaknya menoleh ke Anta dan melanjutkan makanannya. Anta duduk di sofa ruang tamu setelah makan. Dantai duduk sebelah Anta.
"Kenapa masih di sini? Lakukan tugasmu!" bisik Dantai.
"Cek," Anta berdecak, lalu menoleh kearah Dantai, tak sengaja bibir mereka bertemu. Ada guratan merah di wajah mereka. Anta berusaha untuk menormalkan hatinya, bersikap biasa saja begitu pula dengan Dantai.
"Biar turun dulu makanan ku Fif ...! katanya sambil berdiri berjalan ke kebun belakang sambil bersungut-sungut. Dantai mengekorinya di belakang di ikuti juga oleh Salva yang berlari mendahului kakaknya dan mensejajarkan langkah kaki Anta.
Apa Kakak bisa manjat? Tinggi loh," Tanya Salva, Anta mengangguk.
"Apa kakak manjat pagar itu? tanya Salva lagi Anta mengangguk lagi.
"Cek, cek ...," Salva berdecak sambil geleng-geleng kepala lalu menatap jenaka pada Anta. Bik Mirna hanya senyum-senyum melihat tingkah mereka bertiga.
Anta sudah berada di depan pohon mangga. Bersiap-siap mau memanjat, tiba-tiba pak To datang menghampirinya.
"Mau apa, Non? Mau manjat?"
Anta mengangguk. "Biar saya ambilkan, Non," sambung pak To.
"Gak usah pak! Biar dia yang ngambil, jangan kawatir pak! dia itu kelelawar betina tanpa sayap. Gak bakal jatuh dia," jawab Dantai, Anta menyebikkan bibirnya.
"Hi ... hi ... hi ...," Salva terkikik mendengar jawaban kakaknya. Pak To tersenyum lalu pergi membiarkan mereka mengambil mangga sendiri.
Anta sudah nangkring di atas pohon, sedangkan Salva sibuk menunjuk ke sana ke mari sambil berlarian ke sana ke sini menangkap mangga yang di lempar Anta. Anta mengambil mangga yang di tunjuk Salva tak henti- hentinya mulutnya mengunyah mangga sambil melempar biji mangga yang telah habis dimakannya.
Dantai tersenyum melihat keceriaan adiknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!