Aku mulai kesulitan bernafas, lututku lemas dan keringat membanjiri tubuhku. Kuseka keringat yang menghalangi pandanganku dengan handuk yang sudah kusediakan dan mulai memperlambat kecepatan untuk berjalan selama lima menit, aku hanya sanggup bertahan 10 menit untuk berlari dan kemudian menyerah. Ini akibatnya jika malas berolahraga, badan jadi lemas padahal sudah melakukan pemanasan selama 10 menit.
Aku menatap sekeliling gymnasium yang sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang melakukan angkat beban disana dan satu orang yang sedang berlari tidak jauh dariku. Aku meminum air yang kubawa dari rumah dan menyampirkan handuk di bahuku. Aku harus tetap sehat dan bugar karena aku tidak mau terkena penyakit darah tinggi, kolesterol, diabetes atau penyakit apapun itu akibat pola makanku yang tidak sehat. Akhir-akhir ini aku lebih sering makan mie instan karena terlalu malas keluar rumah untuk mencari makan ketika terlalu sibuk mengetik naskah hingga pilihan satu-satunya saat lapar yaitu memasak mie instan atau delivery makanan siap saji yang bisa membuat orang obesitas.
Ponselku bergetar, senyumku begitu lebar ketika menatap siapa yang menelponku, sampai-sampai orang yang sedang berlari tidak jauh dariku menatapku. Aku terlalu gembira untuk menghiraukan tatapannya.
“NITA,” sapaku heboh.
Ups. Orang itu menatapku lagi.
“Halo Riana. Apa kabar? lama nggak ketemu,” suara Nita terdengar indah di ujung sana.
“Baik Ta, I miss you so much,” tak sengaja aku melihat orang itu mengurangi kecepatannya dan mulai berjalan, alisnya naik hingga kerambut ketika mendengar perkataanku.
“Lo kebiasaan deh, nanti di kira orang kita lesnian!” seru Nita.
“Biarin ta, gue beneran kangen. Lo kapan main kesini?” orang itu turun dari treatmill dan minum air yang dibawanya. Aku risi di tatap seperti itu jadi kuputuskan untuk pergi menuju lokerku.
“Nantilah saat liburan. Elo lagi ngapain?”
“Gue habis lari ta. Capek” jawabku sambil membuka pintu loker dan mengambil baju ganti.
“Tumben olahraga, elo lagi di alun-alun ya?”
“Biar sehatlah ta. Gue lagi di gym nih, kapan-kapan kita nge-gym bareng ya.”
“Yakin? Perasaan waktu gue ajak olahraga di gym, elo selalu punya alasan untuk mangkir? Kenapa jadi rajin begini sih?” ejek Nita.
“Orang kan bisa berubah ta!” seruku sambil menyeka peluh di keningku “gue pengen hidup sehat.”
“Elo pengen hidup sehat tapi kebiasaan lo makan mie instan tiap hari itu nggak berubah, sama aja bo’ong.”
“Elo pasti kaget liat gue yang sekarang, gue makan sayur tiap hari loh,” ucapku bangga.
“Balita juga makan sayur elo aja yang telat,” ejek Nita.
“Udah ah yang penting sekarang gue berusaha untuk sehat biar tua nanti nggak penyakitan”
“Akhirnya sohib gue berubah juga, gue seneng banget elo memutuskan untuk merawat tubuh lo. Nanti ya saat libur sekolah gue akan ngusul lo ke Jogja”
“Asiiikk! Di tunggu ya beb, muaach” aku memberikan ciuman jauh ke Nita.
“Iiuuuh jijik banget gue dengernya, sadar woy gue cewek dan udah punya pacar” teriak Nita.
“Hahaha” aku tertawa mendengar reaksi Nita.
“Udah ya ngomong sama lo kayak ngomong sama orang gila, gue nelpon cuma mau ngasih tahu minggu depan gue main ke Jogja”
“Yes yes yes” teriakku sambil loncat-loncat untung tak ada orang di sekitarku, seandainya ada yang melihat, aku bakalan di cap gila beneran dan patut di masukan ke rumah sakit jiwa untuk di pelihara.
Nita tertawa “Lo begitu senangnya ya denger gue mau ke Jogya?”
“Gue udah nggak sabar ta mau cerita, gue stress banget nih ngadepin nyokap. Gue kira begitu keluar dari rumah hidup gue nggak di atur lagi, eh malah lebih parah Ta” keluhku.
“Ya udah ceritanya nanti aja, anak-anak udah nungguin dari tadi” potong Nita.
“Siap Ibu guru, gue juga mau mandi. Gerah banget”
“Oke see you next time ya”
“See you” aku meletakkan ponsel di loker dan langsung ngacir ke ruang ganti untuk menukar tank top dan celana yoga yang aku pakai dengan celana jins dan kemeja yang sudah aku siapkan. Aku memasukkan Hair Dryer, pakaian kotor, ponsel dan skincare kedalam tas kemudian bersiap-siap untuk pulang. Rencananya hari ini mau ke gramedia untuk mencari referensi dan browsing internet, sebelum itu aku harus mampir dulu ke kos untuk mengeluarkan cucian kotor dari tas dan menaruhnya di keranjang pakaian kotor.
Aku menstarter scoopy merahku dan mulai melaju di jalan raya menuju kos. Aku selalu menikmati berkendara, jarang-jarangkan bisa mengendarai sepeda motor seperti ini tanpa omelan nyonya besar. Saat menatap kaca spion yang ada di kiri-kanan untuk memastikan tidak ada motor tepat di belakangku, tiba-tiba saja ada motor Honda CBR berwarna merah melaju di belakangku. Sepuluh detik yang lalu motor itu tidak ada, kenapa tiba-tiba menempel dan mengikutiku?
Aku menambah kecepatan dan mulai meliuk-liuk di jalan raya yang lumayan lenggang, walaupun sudah mengebut seperti orang gila tetap saja motor itu bisa mengimbangi kecepatanku yang bisa membuat kecelakaan beruntun. Teriakan, caci maki, sumpah serapah—apapun sebutannya--mengiringi saat aku menyelip diantara mobil dan motor yang melaju. Ketika aku berbelok ke jalan kecil, motor itu juga ikut berbelok terus membuntutiku sampai di depan kos.
Aku segera memarkir si merah di bagasi dan melepas helm yang aku kenakan, motor itu berhenti tepat di depan pagar. Si pengendara masih betah duduk di atas motor Honda CBR yang sepertinya memiliki harga lebih mahal dari si merah. Aku menatap si pengendara yang mengenakan helm full face. Laki-laki itu melepas helm kemudian menyisiri rambutnya yang berantakan dengan tangan akibat helm yang dia kenakan.
Lho inikan…
Laki-laki yang ada di gym tadi! Ngapain dia membuntutiku ke kos?
“Ada yang bisa saya bantu?” aku mendekati laki-laki itu dan mengamati penampilannya. Pakaiannya kasual dengan jins, jaket kulit berwarna hitam dan sepatu pantofel. Apa dia seumuran denganku ya atau malah lebih muda dari ku, gayanya itu loh seperti anak kuliahan.
“Halo! Mbak tinggal di sini ya?” ditanya kok balik nanya, gimana sih?
“Mas sengaja ya mengikuti saya?” tanyaku curiga.
Laki-laki itu tertawa “Mbak jangan menatap saya seperti itu, kesannya saya menguntit mbak lagi”
“Lho emang begitu kan? Kalo bukan penguntit apa namanya?” kataku sarkas.
Laki-laki itu malah tertawa terbahak-bahak “Saya bukan penguntit mbak, saya mengikuti mbak cuma mau mengembalikan ini” laki-laki itu menunjukan gantungan kunci Doraemon yang sering aku bawa kemana-mana.
“Lho itukan punya saya, Mas yang mencuri kunci kamar saya ya?” tuduhku dan berusaha merebut kunci itu dari tangannya. Tapi dengan gesit laki-laki itu berkelit dan menyembunyikan kembali kunci itu di saku celananya.
“Bukan! saya bukan pencuri, saya cuma menemukan kunci itu tergeletak di depan pintu ruang ganti” bantah laki-laki itu.
Aku cuma manggut-manggut mendengarkan penjelasan laki-laki itu sambil melirik saku celana laki-laki itu.
“Lain kali hati-hati, untung saya yang menemukannya kalau orang lain bisa-bisa mbak sudah nangis bombay” laki-laki itu tidak marah sudah aku tuduh pencuri, malah sempat-sempatnya dia melawak.
“Siapa yang nangis bombay, palingan saya cuma perlu manggil tukang kunci saja” aku berusaha tidak tertawa saat mendengar istilahnya tapi yang terdengar malah gerutuan.
Laki-laki itu cuma menganggukkan kepalanya “Mbak! Saya boleh kasih saran?”
Aku menatap laki-laki itu menyelipkan tangannya kembali kedalam saku celana dan mengambil kunci itu kemudian melempar-lempar kunci yang ada ditangannya “Saran apa ya?”
“Mbak kalo bicara bisa kan nggak ketus begitu, saya kan jadi ngeri” laki-laki itu pura-pura takut “Tatapan mbak juga seperti mengintrogasi pencuri”
Aku tertawa “Kapan saya begitu?”
“Barusan”
“Oh maaf kalo mas merasa kurang nyaman” Aku tersenyum manis, saking manisnya bisa bikin aku muntah.
“kamu juga nggak usah sok manis, nggak cocok” balas laki-laki itu sambil tertawa “Oh ya kita belum berkenalan namaku Haris Pratama, nggak apa-apa ya kalo kita berbicara santai” Haris mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Riana, aku juga ngerasa kayak lagi sidang skripsi” aku ikut tertawa dan bersalaman dengannya. Wow tangannya halus sekali seperti tangan perempuan, kuku-kukunya juga bersih dan lentik. Sepertinya dia sering manicure ke salon, aku jadi malu dengan kondisi tanganku sendiri yang kasar dan lupa memotong kuku.
“Jangan sampe hilang lagi,” Haris menyerahkan kunci itu ke tanganku “Aku boleh minta tolong?”
Haris menjatuhkan kunci itu di telapak tanganku “Minta tolong apa?” begitu kunci itu ada di tanganku, aku segera menyembunyikannya di balik punggung.
“Kalau berkendara jangan ngebut-ngebutan, tadi itu hampir aja terjadi kecelakaan, kamu nekat sih nyelip bus, sudah tahu busnya nggak mau ngasih jalan masih aja ngotot”. Aku cuma nyengir kuda kena omelannya.
“Salah siapa ya?” sindirku “Aku begitu gara-gara kamu juga kali. Dasar penguntit!”
“Sudah kubilang, aku bukan penguntit” sanggah Haris sambil melotot dan bertolak pinggang.
“Hahaha bercanda, gitu aja marah”
“Dasar!” Haris menoyor kepalaku “Aku balik dulu” Haris memasang helmnya kembali dan menstarter motor mahalnya yang bersuara merdu itu.
“Makasih ya, hati-hati di jalan”
“Sampai jumpa lagi” Haris mengendarai motornya sambil melambaikan satu tangan. Aku menatap kepergiannya hingga dia berbelok di tikungan.
Aku menghembuskan nafas, untung kunci kamarku tidak hilang. Aku memungut tas yang ada di lantai dan membuka pintu depan dengan kunci yang nyaris hilang itu lalu menuju kamarku yang terletak dilantai dua. Aku membuka pintu kamar dan cepat-cepat mengeluarkan pakaian kotor dan meletakkannya di keranjang.
Aku melirik jam tangan, wah gawat sudah jam dua. Mungkin karena kelamaan ngobrol sama penguntit tampan itu hingga aku tidak sadar telah membuang begitu banyak waktu. Aku mengunci pintu kamar dan berlari menuruni tangga sambil memasang ransel di punggung. Aku harus cepat-cepat pergi kalau tidak mau pulang kemalaman karena terlalu asik mencari buku.
Aku berdiri di depan lemari makanan, menatap tumpukan bungkus mie instan dan bermacam-macam snack. Apa yang harus kulakukan dengan makanan-makanan ini? Kalau sampai Nita melihat pemandangan ini, habislah aku. Bisa-bisa Nita ngamuk dan dia bakalan menstok wortel sebagai cemilanku selama sebulan. Yup, besok Nita akan berkunjung ke kosanku seperti janjinya tempo hari dan aku harus menyingkirkan barang haram ini dari TKP. SEGERA.
Aku mengambil bungkusan mie favoritku, tanggal kadaluarsanya masih lama sekitar 6 bulan lagi, tapi kalo dibuang kan sayang. Snack ini juga tanggal kadaluarsanya masih lama. Aku membuka kulkas dan meneliti isinya. Ada berbagai macam minuman soda berbagai merek dengan kemasan 1500 ml.
Sebuah ide terlintas di kepalaku. Segera kuambil beberapa kardus dari samping lemari dan menyusun makanan dan minuman itu ke dalam kardus. tiga buah kardus tidak cukup untuk menampung makanan dan minuman itu. Aku mengambil spidol dan kertas dari lemari dan menuliskan SILAHKAN AMBIL SEPERLUNYA. GRATIS dengan huruf besar. Aku bawa kardus-kardus itu ke dapur umum dan meletakkannya di atas meja makan, siapa tahu ada yang mengalami sindrom ‘kanker’ dan makanan ini masih bisa berguna. Maklum anak kos kan emang begitu, makanan tanggal tua ya mie instan.
Karena penghuni kulkas yang lama sudah aku singkirkan, sekarang waktunya mengisi dengan penghuni baru yang lebih sehat. Aku langsung mengganti Hotpant dengan celana jins dan melapisi baju kaus yang kukenakan dengan cardigan berwarna nude.
Sudah sekitar satu jam aku mengelilingi hypermart sambil mendorong troli. Aku menatap catatan yang sudah penuh dengan coretan. Yakult sudah, yogurt sudah, C1000 sudah, buavita mangga sudah, selada, paprika, sawi putih juga sudah, yang belum hanya buah-buahan. Aku segera berjalan ketempat buah-buahan berada. ketika sedang memilih buah melon, aku merasa bahuku di tepuk dari belakang. Aku menoleh dan hampir saja menjatuhkan melon yang aku pegang. Dibelakangku berdiri seorang pria yang juga membawa troli berisi sayuran hijau dan buah, dia mengenakan kemeja yang sudah dilipat hingga ke siku dan celana jins warna hitam.
“Hai,” Haris melongokkan kepalanya ke troliku, menatap belanjaanku yang saking banyaknya bisa memberi makan warga satu kota.
Aku mengelus dadaku “Kamu suka banget ya bikin orang jantungan,” omelku.
Haris cuma nyengir “Maaf deh, dari tadi aku panggil-panggil kamu nggak dengar juga.” Haris berdiri di sampingku dan memilih-milih buah melon kemudian meletakkan buah melon itu di trolinya “Kamu apa kabar?”
Aku memasukkan buah melon yang sudah kupilih ke troli, “Aku baik-baik saja.” Aku mengamati Haris yang lagi memilih buah mangga “Yang waktu itu… makasih ya,” kalo di pikir-pikir lagi tingkahku waktu itu menyebalkan sekali.
“Makasih buat…?” Haris berbalik dan menatapku.
“Sudah mengembalikan kunci kamarku.”
““Sama-sama.” Haris tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya, “Senang bertemu denganmu di sini,” kemudian dia berlalu menjauhiku sambil mendorong trolinya. Aku hanya menatap punggung Haris yang menjauhiku. Ya sudahlah….
Aku mengambil buah strawberry lalu memasukkannya ke troli kemudian membayar belanjaanku di kasir. Sesampainya di rumah, aku segera membongkar belanjaanku kemudian menempatkannya di kulkas dan sebagian lagi aku letakkan di lemari. Sayup-sayup aku mendengar getaran ponsel yang ada di dalam tas.
Aku menatap nomor tak dikenal yang beberapa hari ini selalu menghubungiku. Nomor yang sama juga mengirimiku pesan whatsApp beberapa minggu yang lalu. Orang ini tidak akan pernah berhenti menghubungiku kalau tidak diangkat.
“Halo” jawabku setelah si dia bernyanyi-nyanyi sepuas hati.
“Halo sayang”
SAYANG! Aku menatap layar ponsel dengan keheranan. Baru kali ini aku dipanggil ‘sayang’ dengan orang yang tidak kukenal.
“Ini siapa ya?” tanyaku penasaran.
“Aku Rudi! Masa sudah lupa sih dengan tunangan sendiri” ucapnya dengan nada sok akrab.
TUNANGAN. Gila nih orang! Punya tunangan aja nggak, ngaku-ngaku sebagai tunanganku. “Maaf ya kayaknya salah sambung” ketika aku ingin mematikan telpon itu, tiba-tiba orang itu berseru.
“Ini nomornya Riana kan? Anaknya pak Anwar Rahardja!” Dari mana dia tahu namaku?
“Iya dengan saya sendiri” aku duduk di atas kasur sambil bersedekap.
“Berarti nggak salah sambung dong. Gimana sayang suka kalungnya?”
“Bentar dulu, perasaan saya nggak pernah tunangan tuh, sejak kapan saya punya tunangan?” seruku jengkel.
“Sejak mama kamu menjodohkan kita”
OH MY GOD! Apa yang sudah mama lakukan? Berusaha menjodohkanku dengan si kampret ini? Dengan orang yang tidak kukenal pula? Mama sudah gila.
“Maaf ya pak! saya tidak kenal dengan yang namanya Rudi” Hardikku “Dan jangan hubungi saya lagi” aku langsung memutuskan sambungan telepon dan memblock nomor tersebut.
“GILAAAAAA” teriakku prustasi sambil meninju-ninju bantal yang ada di sampingku.
Bahkan untuk masalah jodoh pun mama sudah mengaturnya. Aku bukan boneka yang bisa seenaknya diatur. Mama benar-benar keterlaluan. Aku segera menghubungi mama dan diangkat pada dering kelima.
“Halo Dek”
“Apa yang sudah mama lakukan?” teriakku prustasi.
“Emang apa yang sudah mama lakukan sampai kamu marah-marah?” tanya mama bingung.
“Mama menjodohkanku dengan laki-laki yang bernama Rudi itu!”
“Ooohh Rudi sudah menghubungimu ya” suara mama terdengar senang “Rudi itu sungguh menantu idaman, Dek. Orangnya baik, punya pekerjaan, tampan pula. Apa lagi yang kamu cari? Mama setuju banget kamu nikah sama dia”
“Ma aku nggak kenal dengan orang itu” teriakku prustasi.
“Adek! Rudi itu anaknya tante Wida, kamu sudah pernah ketemu sama dia”
WHAAAT
Rudi… Rudi yang itu… si brengsek yang banyak pacarnya itu… mama emang sudah gila mau menyerahkan anaknya ke siluman buaya.
“Mama jangan macam-macam ya! kalo mama masih nekat mau menjodohkanku dengan orang itu, mama akan mendapatiku mati gantung diri di kamar kos” ancamku dan langsung menutup telpon itu dengan ganas.
...****...
Bunyi ringtone membangunkanku dari tidur lelap. Aku mencari-cari ponsel yang ternyata berada di bawah bantal. Siapa yang berani menelponku pagi-pagi begini? Aku menekan warna hijau pada layar dan membiarkan si penelpon berbicara sendiri sesuka hatinya.
“RIANA BUKAIN PINTU GUE DI BAWAH,” teriak si penelpon yang tak tahu diri itu.
Aku baru menempelkan HP ke telinga saat orang itu berteriak-teriak gak jelas dan menjawab dengan suara lirih “Halo.”
“Bangun tukang tidur. Ini sudah jam berapa hah?”
“Ini siapa?” bisikku dengan mata terpejam dan kesadaran yang masih di awang-awang.
“Yaelah WOI BANGUNNN. KEBO BANGET SIH,” teriak si penelpon di telingaku “GUE DIBAWAH! BANGUN SEKARANG JUGA KALO GAK MAU GUE RUSUH DI KOSAN LO!” Aku menatap layar ponsel dengan sebelah mata dan langsung terduduk begitu melihat Nita yang menelpon.
“Tunggu bentar,” jawabku panik. Saking paniknya, aku sampai terjatuh dari tempat tidur lalu buru-buru kekamar mandi untuk gosok gigi dan mencuci muka. Tidak sampai lima menit aku keluar dari kamar mandi dan buru-buru mengganti hotpantku dengan celana training kemudian menyambar gantungan kunci yang ada di atas meja dan setengah berlari menuruni tangga dengan terpincang-pincang karena kakiku baru saja mencium kaki meja. Sampai di depan pintu aku disambut dengan plototan mata Nita, aku cuma nyengir saat melihat sobatku ini bertolak pinggang sambil menenteng tas menginapnya.
“Jam segini lo baru bangun, nanti rezeki lo di patok ayam baru tahu rasa.”
“Yaelah Ta sebelum ayam itu matok rezeki gue, gue kali yang makan ayam itu duluan.”
“Pinter banget lo ngeles,” Nita menatap wajah bangun tidurku jijik “Iiuuhhh iler lo masih nempel!”
Aku mengusap sudut bibirku pura-pura mengelap inner beautyku dan mengusapkannya ke lengan Nita.
“Hiiiii Jijik hii… hii…” Nita menggosok-gosok lengannya yang baru saja ku sentuh “Hoeek Pengen muntah gue.”
“Hahaha,” aku tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut. Tingkah Nita lucu sekali. tampangnya itu loh sungguh tak tertahankan.
Nita berjalan menaiki tangga sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal. aku tertawa dan menyusulnya “Gue cuma bercanda, lo tenang aja tangan gue sudah steril kok, sudah cuci muka dan gosok gigi juga, mandi aja yang belum,” aku merangkul bahunya.
“Jangan rangkul-rangkul jijik tahu, terakhir gue nelpon tingkah lo kayak pasangan lesbi gue,” Nita menepis tanganku.
Kami sampai di depan pintu kamarku dan aku membuka pintu kamar “Gue masih normal kali Ta, jangan menyebalkan deh,” untung keadaan lorong kamar sepi jadi aku bisa menggoda Nita sedikit. “Dalam rangka apa nih elo mampir ke kos gue yang sederhana ini?” aku masuk ke kamar dan menutup pintu ketika Nita sudah ikut masuk dan duduk di kasur.
“Kan sudah gue bilang pengen ketemu lo.”
“Iya gue tahu tapikan elo kerja Ta, jangan bilang elo bolos kerja karena gak tahan dengan keluh kesah gue?” aku mengambil dua gelas di rak piring kemudian meletakkannya di meja belajar lalu mengambil jus di dalam kulkas dan menuangkannya ke gelas untuk kami berdua.
“Geer banget sih, gue kan perlu refresing juga dari rutinitas yang melelahkan itu, kebetulan banget anak-anak libur semester genap,” Nita menerima gelas yang aku berikan dan meminumnya.
“Oooohh kirain elo bolos kerja” aku duduk di samping Nita dan ikut meminum jus yang aku tuang tadi.
“Kamar lo bagus juga” Nita menatap ke sekeliling kamar “Pinter lo milih kos, kirain lo nggak bisa ngapa-ngapain.”
“Lo ngeremehin gue ya,” aku menatap Nita nyureng.
“Santai sis bukannya gue ngeremehin, gue kira lo nggak berani keluar dari rumah nyokap lo.”
“Kalo gue nggak berani, gue nggak bakalan ada disini say,” aku meletakkan gelas di nakas samping tempat tidur, Nita tersenyum dengan perubahan nada suaraku.
“Gue salut sama lo berani mengambil keputusan besar dan memulai semuanya dari awal lagi. Terus gimana nasib naskah lo?” Nita berdiri dan berjalan kearah lemari buku yang ada di samping meja belajar.
“Semuanya lancar beberapa naskah gue sudah terbit dan sekarang gue lagi menyusun naskah baru.”
“Bangga gue, lo sukses bisa membuktikan sama tante bahwa lo bisa mandiri dan mempunyai duit sendiri,” Nita menghadap ke lemari buku dan menelusuri buku-buku koleksiku “Mana buku-buku lo gue pengen… ASTAGA!” teriak Nita sambil membekap tangannya yang tidak memegang gelas “Sejak kapan lo membaca buku…?” buru-buru Nita meletakkan gelas di meja belajar “Tunggu… buku apa ini?” Nita mengambil salah satu buku yang ada di lemari dan menelitinya.
“Ohh itu buku pengembangan diri,” aku menjawab dengan santai.
“Setahu gue, lo demennya dengan buku-buku novel. Kenapa tiba-tiba pindah haluan?” Nita menatapku sambil mengacungkan buku berjudul 21 wasiat Steve Jobs di depan wajahku.
“Coba lo duduk di sini dulu,” aku menarik tangannya agar Nita duduk kembali di sampingku “Gue belum cerita ya rencana gue kedepan ya?”
“Yap elo hutang penjelasan sama gue.”
“tapi sebelum gue cerita, kita makan dulu yuk gue laper banget nih,” aku memegang perutku yang berbunyi.
Nita tertawa ketika melihat wajahku yang memelas “Yaelah, dikirain apa, mau gue masakin sesuatu?”
Aku mengangguk antusias “Gimana kalo spaghetti? Gue punya bahannya.”
“Okey gue perlu pembuktian?” Nita bangkit dari kasur dan berjalan kearah kulkas yang ngomong-ngomong isinya sudah aku isi ulang. Tapi tiba-tiba saja Nita berbalik menghadapku sambil bertolak pinggang dan melotot “Mandi sekarang juga kalo nggak mau jatah spaghetti lo gue habisin!” perintahnya.
Aku cuma nyengir kuda menatap Nita si tukang perintah kemudian mengambil handuk bersih dari lemari. Tetapi sebelum ke kamar mandi aku mendekati Nita dari belakang dan memeluknya.
Nita tersentak “RIANA APA YANG LO LAKUKAN?” teriaknya dan berusaha menjewerku. Aku berkelit dan menjauhinya sambil tertawa tetapi dia malah melempariku dengan paprika dan bawang bombay yang diambilnya dari kulkas.
∞∞∞
Nita tersentak “RIANA APA YANG LO LAKUKAN?” teriaknya dan berusaha menjewerku. Aku berkelit dan menjauhinya sambil tertawa tetapi dia malah melempariku dengan paprika dan bawang bombay yang diambilnya dari kulkas.
∞∞∞
Sepiring spaghetti sudah tersaji di depanku ketika aku duduk lesehan di samping tempat tidur. kamarku memang tidak memiliki meja makan dan sofa seperti kamarku yang ada di Jakarta. Kamarku sekarang sangat sederhana. Semua aktivitas aku lakukan di dalam kamar baik makan, mandi, tidur maupun kerja. Semua kegiatan kecuali memasak dan mencuci. Fasilitasnya pun cukup lengkap, di sini sudah di sediakan dapur umum yang bisa di gunakan siapa saja dan hanya membayar iuran untuk membayar gas yang kami gunakan. Kos ini juga menyediakan ruangan mencuci jadi tidak perlu khawatir dengan dana untuk deterjen karena sudah di sediakan kecuali kalau ingin menggunakan pewangi pakaian, jadi harus membawa sendiri. Ini sangat menguntungkanku jadi aku tidak perlu memikirkan laundry, selain itu aku juga memiliki kulkas sendiri karena tidak ingin berebut tempat dengan penghuni lain, walaupun kulkas juga termasuk fasilitas yang di sediakan.
Aku menatap Nita yang duduk di depanku sambil menyantap spaghetti buatannya sendiri. aku memilin spaghetti dengan garpu dan mulai menyuap. Aku harus cerita mulai dari mana ya, aku jadi bingung sendiri.
“Gue dijodohkan” kataku setelah berpikir sejenak sambil memilin spaghetti dengan garpu.
“Uhuk… Uhuk… Uhuk…” Nita tersedak dan memukul-mukul dadanya ketika mendengar itu. Aku buru-buru menyodorkan air dan dia langsung meminumnya. “Sebaiknya kita habiskan dulu makanan ini baru lo cerita” ucapnya setelah batuknya berhenti, aku hanya mengangguk sambil menyuap kembali.
Aku tidak bisa menikmati makanan ini, bukan karena masakan Nita tidak enak tapi karena pikiranku yang kemana-mana. Tadi malam setelah aku mematikan telepon secara sepihak mama menelponku balik. Aku masih ingat dengan jelas kata-kata mama tadi malam.
“Mama jangan macam-macam ya! kalo mama masih nekat mau menjodohkanku dengan orang itu, mama akan mendapatiku mati gantung diri di kamar kos” ancamku dan langsung menutup telpon itu dengan ganas.
Aku rebahan di kasur sambil memijit keningku. Walaupun aku sudah keluar dari rumah, mama masih saja memaksakan kehendaknya. Aku sampai tidak bisa berkata-kata, mengapa mama melakukan itu? beberapa saat kemudian HPku bernyanyi-nyanyi kembali, nama MAMA muncul di layar.
Aku berusaha mengatur nafasku yang memburu lalu menggeser warna hijau pada layar “ADEK. Tidak sopan menutup telpon dari orang tua! Kamu mau jadi anak durhaka?” teriak mama di ujung sana.
“Apa lagi ma?”
“Pokoknya mama nggak mau tahu, kamu harus nikah sama Rudi TITIK. Mama nggak mau mendengar alasanmu lagi” kemudian mama memutuskan sambungan telpon. Aku menatap layar HP dengan panik. Bagaimana ini? Aku nggak mau nikah muda, masih banyak yang ingin aku capai, masih banyak yang ingin aku raih. Aku bangkit dari kasur dan berjalan mondar-mandir seperti setrikaan. Ayo berpikir Riana! Kamu harus mencari jawabannya!
Dan tiba-tiba saja aku teringat dengan abang. Bukannya abang kenal dengan bajingan itu? Abang kan patner bisnisnya? Aku segera mengambil ponsel yang ada diatas kasur lalu menghubungi Nomor abang. Mudah-mudahan abang belum tidur. Aku lebih tahan mendengar omelan abang dari pada mama.
“Halo” suara abang terdengar bagaikan malaikat, hanya abang yang bisa menolongku sekarang.
“Halo Bang, lagi di mana?”
“Abang lagi di Surabaya, ada apa Dek?” syukurlah abang lagi nggak dirumah.
“Abang aku mau cerita,” suaraku terdengar manja sekali.
“Iya ada apa?”
“Aku nggak ganggu waktu abang kan?” aku meringkuk di atas kasur sambil memeluk lutut.
“Nggak kok kamu nggak ganggu, abang juga lagi di kamar. Kenapa? Kamu perlu uang?” Tiba-tiba saja air mataku mengalir di pipi, “Lho kenapa nangis. Kamu kenapa Dek? Kamu sakit ya,” tanya abang ketika mendengarku terisak.
“Abang aku nggak mau dijodohin, aku nggak mau nikah sekarang,” ucapku di sela-sela tangis.
“Siapa yang mau menjodohkan kamu?” kata abang setelah terdiam cukup lama.
“Mama”
“Sama siapa?”
“Rudi anaknya tante Wida,” aku mendengar abang menyumpah. Jelas abang juga nggak setuju, dia tahu belangnya Rudi yang suka gonta ganti pacar kayak berganti underwear dan si oknum yang bersangkutan juga suka meniduri pacarnya.
“Berhenti nangisnya dong, nanti abang yang akan membujuk mama, kamu tenang saja.”
“Beneran Bang, janji.” Aku lalu duduk dan membersihkan air mata dengan tangan.
“Janji”
“Abang nggak bohong kan?”
“Iya, jangan nangis lagi masa gitu aja kamu nangis sih. Dasar CENGENG,” tuh kan keluar deh mode nyebelinnya.
“Aku nggak cengeng ya, dasar om-om,” gerutuku sambil membersihkan air mata.
“Gitu dong, Adek yang aku kenal itu suka banget marah-marah dan cemberutan. Kalo nangis dan mellow begini bukan Adek sekali,” abang tertawa.
“Abang, si brengsek itu ngirimin aku kalung. Kalungnya di apain nih, dibuang aja ya” lanjutku.
“Kalung yang tempo hari kamu tanyain itu?”
“Iya Kalung yang itu”
“Kirim ke kantor abang saja. Biar abang yang mengembalikan ke yang punya. Abang juga nggak sudi punya adik ipar kayak Rudi yang suka tidur dengan wanita manapun yang ditemuinya”
“Oke Bang”
“Ya sudah kamu tidur gih tadi habis nangis kan, pasti capek”
“ABANG” aku masih mendengar tawanya ketika abang menutup telpon.
Aku meletakkan ponsel di nakas samping tempat tidur kemudian berlalu ke kamar mandi, ketika menatap cermin aku melihat mataku yang memerah. Aku memang jarang sekali menangis, sifatku yang meledak-ledak membuatku jarang menangis. Aku segera mencuci muka dan menggosok gigi, aku sengaja berlama-lama di kamar mandi ketika mendengar ponselku bernyanyi-nyanyi ria. Aku sedang mengeringkan wajah dengan handuk bersih ketika ponselku bernyanyi kembali.
“Ada apa lagi ma?” jawabku setelah 3 panggilan tak terjawab dari mama.
“Tadi Reno nelpon, katanya Rudi itu playboy dan dia nggak sudi punya adik ipar buaya” kata mama masam. Ketahuan banget dari suara mama yang menggerutu, pasti abangku yang paling ganteng itu habis marah-marah sama mama.
YES ucapku tanpa suara.
“Kamu jangan senang dulu dek, walaupun besok pertunangan itu mama batalkan kamu tetap harus menikah”
“Tapi ma bukannya abang juga mau nikah sama mbak Dian. Kenapa aku juga harus nikah?” protesku.
“Kamu memang harus nikah, Dek. Biar kamu bisa bersikap dewasa, tidak egois dan memikirkan dirimu sendiri saja”
“MAMA” teriakku histeris “Aku nggak mau nikah sekarang”
“Nggak sekarang Dek, mama akan membiarkanmu mencari calon sendiri. Tapi ingat! Kalau dalam setahun ini belum juga memperkenalkan calonmu sama mama dan papa, mama yang akan menyeretmu pulang ke Jakarta dan menikahkan kamu dengan pilihan mama. Kamu mengerti!” mama langsung menutup telpon tanpa mendengar protesku.
Sekarang aku bisa menduga, pasti ini akal-akalan mama supaya aku balik ke Jakarta lagi. Dasar nenek sihir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!