NovelToon NovelToon

PUTIH ABU-ABU

BAB 1

Di sebuah bandara di kota kecil, dua remaja itu masih memeluk kedua orang tua mereka dengan erat seolah gak mau meninggalkan mereka dan daerah kelahiran mereka, tapi keadaan memaksa mereka harus pergi.

Luncuran air mata mengalir deras dari gadis remaja yag terisak tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang disekitarnya yang memperhatikannya, sementara adiknya, remaja laki-laki berumur 13 tahun lebih bisa mengontrol emosinya walaupun raut wajahnya begitu sedih, sedangkan laki-laki berumur 29 tahun yang merupakan kakak tertua kedua remaja tersebut hanya berdiri mematung menyaksikan adegan yang menguras emosi antara dua adiknya dan orang tuanya.

"kami akan menjemput kalian kalau keadaannya sudah memungkinkan” ucap wanita paruh baya berusaha menenangkan kedua anaknya.

Dua remaja itu hanya mengangguk singkat, berat rasanya meninggalkan kedua orang tua mereka apalagi ketika kondisi ekonomi kedua orang tua mereka tengah tidak stabil.

Sementara laki-laki setengah baya yang merupakan bapak kedua remaja tersebut hanya mengelus lembut kepala anak perempuanya sambil bibirnya melantunkan nasehat yang ditujukan kepada dua anakanya, "Ingat, kalian jangan nakal diJakarta, jangan sering keluyuran, dan nurut sama Agus kakak kalian dan yang paling penting jangan tinggalkan sholat”

Dua remaja tersebut kembali hanya bisa mengangguk sebagai sebuah pertanda mereka mengerti, "Terutama kamu Juli.” lanjut laki-laki tersebut sambil memandang anak perempuan satu-satunya, “Kamu perempuan, jangan terlalu sering keluyuran seperti di Mataram, kamu sering nonton di telivisikan kalau tingkat kejahatan di Jakarta tinggi sekali.”

Remaja perempuan yang dipanggil Juli tersebut sudah dari tadi menunggu namanya disebut secara khusus mengingat terkadang dia beberapa kali secara diem-diem sering keluyuran tanpa pamit dan menyebabkan kedua orang tuanya kelimpungan dengan ulahnya, mengingat kelakuannya gadis remaja tersebut semakin sesenggukan mengingat mungkin setelah jauh dari kedua orang tuanya gak ada lagi yang bakalan bersusah-susah mengkhawatirkannya.

“Juli janji ayah tidak akan macam-macam di Jakarta, Juli akan jadi anak yang baik dan penurut sama kak Agus.” janji Juli dengan lelehan air mata.

Laki-laki setengah baya tersebut memeluk anak gadisnya seolah gak mau berpisah, meskipun tegas dalam mendidik anak-anaknya tapi dia begitu menyayangi anak-anaknya terutama anak gadisnya yang bernama Juli.

Ketika suara petugas bandara mengumumkan kebarangkatan pesawat yang akan ditumpangi kedua remaja plus saudara tertuanya diumumkan melalui pengeras suara, lagi-lagi kembali Juli menubruk wanita paruh baya yang sekarang berdiri didepannya, terisak dalam pelukan ibunya, sumpah, dia sangat berpisah dengan orang tuanya.

"Sudahlah nak, jangan menangis lagi, kitakan tidak berpisah selamanya, nanti ibu dan ayah kalau ada rezeki akan datang menjenguk kalian di Jakarta."

Juli mengangguk mengerti.

***

Sementara itu, disebuah kamar yang cukup luas, seonggok tubuh manusia tergeletak tidak bergerak sama sekali diatas tempat tidur empuk nan nyaman, memang sisa hujan deras yang mengguyur ibu kota Jakarta semalam merupakan sebuah kombinasi yang pas untuk membuat tidur nyenyak dimana nyawa dibawa pergi dunia mimpi yang indah dan enggan untuk kembali ke dunia nyata, tidak ada tanda-tanda pemuda yang terbungkus selimut tebal sampai batas leher tersebut akan bangun, sampai ketika suara nyaring yang sangat berisik membuatnya mengumpat.

"Setan alass, siapa yang berani-beraninya mengganggu tidur gue, awas saja kalau ngebangunin gue kalau gak penting, gue pastikan bakalan nendang sik penggangu sampai tartarus, (Tartarus adalah lubang neraka paling dalam menurut cerita versi percy jakson.)

Masih enggan membuka matanya, dengan meraba-raba sik pemuda yang merupakan Ari sik tokoh utama dalam kisah ini mencoba mencari ponselnya yang merupakan sumber keributan. Dengan mata memicing dia menggeser simbol telpon berwarna hijau.

"Bosss, lo udah otw atau gimana, kami tunggu ditempat biasa oke." terdengar suara cempreng menghiasi gendang telinga Ari begitu Ari menempelkan tuh ponsel ditelinganya.

"Hmmm." karna ngantuk berat, Ari tidak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh Acux salah satu kronco setia Ari, dia hanya berhmmm doank.

"Boss, oo bos, lo masih hidupkan, lo dengar suara indah guekan." cecar Acux mulai curiga kalau Ari masih terlelap.

"Bosss, bos Ari, nyebut bos."

"Apaan sieh lo, pakai nyuruh bos nyebut segala lagi, lo fikir dia tengah emosi." terdengar suara Aceng menimpali, salah satu sahabat dekat  Ari juga.

"Berisikkk." bentak Ari, "Kenapa lo nelpon gue, cepat katakan, kalau gak penting siap-siap aja lo berdua gue kirim ke UGD karna mengganggu mimpi indah gue."

"Astaga naga." Aceng merebut ponsel dari telinga Acux,  "Jangan bilang lo lupa kalau hari ini kita akan menghadiri acara pernikahan ibu guru kita tercinta."

"Ohhh shittt." umpat Ari begitu ingat kalau hari ini dia dan geng elit SMA PERTIWI berencana menghadiri pernikahan bu Dewi, dia bergegas bangun dan berlari ke arah kamar mandi tanpa memutus sambungan.

"Ya Tuhan boss, ibu Dewi bisa nangis darah kalau tahu lo lupain acara sakralnya."

"Bawell lo." tandas Ari mematikan sambungan dan langsung menyalakan shower untuk mandi kilat.

****

BAB 2

"Ya Allah Tuhanku." lengking Acux melebarkan mata sipitnya begitu melihat penampilan Ari begitu dia tiba ditempat teman-temannya menunggu, teman-temannya yang lain juga tidak kalah kagetnya dengan Acux melihat penampilan Ari.

"Bos kita mau ke nikahannya bu Dewi, bukan mau malak." gimana gak dikomenin, mau kondangan pakaiannya kayak preman perempatan lampu merah, jaket jeans, celana jeans sobek sobek dibagian lutut, tambah lagi jajaran tindikan di telinganya yang benar-benar mencerminkan kalau dirinya adalah anak berandalan mutlak, ya memang mereka juga bernampilan seperti Ari juga sieh, tapi yah syukurnya mereka masih dibilang manusia normal karna bisa berpakaian sesuai dengan situasi dan keadaan.

"Bacot lo, yang pentingkan gue pakai baju, gak telanjang." sewot Ari mendengar protes Acux.

Sedetik kemudian, Ari yang baru memperhatikan penampilan teman-temannya langsung ngakak, "Ha ha ha."

"Lhaa, ketawa dia." jelas saja mereka heran melihat Ari tertawa.

"Pakai batik lo."

"Iyalah, masak mau pakai seragam sekolah." balas Dio.

"Lagian lo pada, kenapa pakai batik segala, kalian udah kayak bapak lurah aja." komennya melihat semua teman-temanya berpakaian rapi jali dan mengenakan batik.

Aceng menimpali, "Dimana-mana kalau ke kondangan nikahan bos pakai batik agar sopan, ya kali kayak bos, kalau bu Dewi lihat penampilan bos seperti ini bisa kena jewer tuh telinga."

"Udah ah, jangan ngomentarin penampilan gue mulu, mending cabut sekarang."

"Gak bisa donk boss." tahan Sapto, "Lo juga kudu pakai batik kayak kita agar gak bikin malu di hari sakralnya ibu guru kita tercinta."

Ari berdecak kesal, "Masalahnya gue gak punya baju batik kayak lo bodoh, isi lemari gue full oleh baju kaos."

"O oo, gak perlu khawatir, itu gunanya gue disini sebagai fashion designer lo." Aceng menyahut.

"Gak enak firasat gue, emang apa yang lo mau lakuin."

"Tadaaa." Aceng mengambil paperbag berwarna putih dan menunjukkan pada Ari, sebelum Ari sempat bertanya, tanpa diminta Aceng menjelaskan, "Ini baju bokap gue, dia dengan suka rela minjemin buat lo."

Ari langsung menolak mentah-mentah, "Kagak mau gue, enak saja lo nyuruh gue pakai baju bapak lo, bisa-bisa bau gue kayak bapak lo, bau tembakau."

"Lo harus mau donk bos, bu Dewi bisa-bisa tidak ngelulusin kita kalau penampilan lo kayak gitu." ujar Anton.

"Heh Babi, apa hubungannya pakaian gue dengan tidak lulus."

"Akhh sik bos banyak bacotnya, cuss ganti, ntar keburu makanan dipesta bu Dewi keburu habis lagi." Acux yang sudah tidak sabar menarik Ari untuk mengganti pakaiannya, yah memang begitu tuh kalau punya teman doyan makan, diotaknya hanya mikirin makan doank.

Dan yah Ari akhirnya mau tidak mau terpaksa menuruti keinginan teman-temannya.

"Sialan, penampilan gue beneran kayak pak Lurah lagi." Ari merutuk begitu melihat penampilannya dalam balutan batik, dia merasa gak nyaman karna terbiasa menggunakan jeans dan kaos, agak pengap gitu rasanya.

Semua mata teman-temannya langsung tertuju pada Ari begitu dia selesai mengganti pakaiannya ditemani oleh Acux.

"Hahaha." teman-teman Ari langsung ngakak begitu melihat penampilan Ari.

"Babi, gue malah ditertawain." kesal Ari dalam hati.

"Anjirr, beneran sakit perut gue." Sueb sampai memegang perutnya melihat penampilan Ari yang biasanya berantakan, kini sangat rapi dengan rambut licin mengkilat, pokoknya kayak bukan Ari banget.

"Habis berapa botol tuh minyak rambut dipakaiin Acux." ledek Dio.

"Lo cocok deh kalau nyalon sebagai lurah tahun depan Ri, secara wajah lo berubah drastis kayak bapak-bapak."

"Mau mati lo." bentak Ari dengan mata melotot karna dirinya dijadikan bahan lelucon.

Satu kalimat itu langsung membuat teman-temannya sadar untuk menutup mulut mereka, mereka bisa melihat ketua geng mereka tengah menahan kekesalan karna ledekan mereka.

"Mmm, bagaimana kalau kita berangkat sekarang, agar kita tidak ketinggalan pestanya." Aceng mengusulkan supaya tidak panjang urusannya.

"Ah iya lo benar Ceng, mending kita berangkat sekarang, ntar keburu makanannya keburu dihabiskan oleh tamu lainnya." ini sik gentong emang tiap detik yang difikirin cuma makanan doank, gak heran tuh badannya isinya lemak semua.

"Dasarr lo, fikiran lo makan mulu." sahut yang lainnya

"Kalau gak makan mati."

"Icha mana." tanya Ari menyadari salah satu pasukannya tidak ada.

"Lo kayak gak tahu aja, sejak pacaran dengan Aslan kemana-mana selalu bersama tuh anak." jelas Aceng, "Tadi dia nelpon katanya dia berangkat duluan sama Aslan."

"Oh baguslah kalau gitu, ayok cabut."

****

Rombongan anak-anak itu tiba digedung tempat bu Dewi melangsungkan pernikahan sekaligus tempat berlangsungnya resepsi pernikahan, dilihat dari gedung dan dekorasinya pesta pernikahan bu Dewi tergolong mewah.

Icha yang tengah dalam antrian untuk mengucapkan selamat pada bu Dewi melambai ke arah teman-temannya yang baru tiba.

"Akhirnya, setelah sekian purnama, ada juga yang mau sama bu Dewi." komen Rio melihat bu Dewi dan suaminya yang tengah menyalami para tamu di pelaminan, "Semoga suaminya tahan sama bu Dewi yang suka marah-marah dan semoga saja suami bu Dewi tidak kena serangan jantung dini."

"Amiennn." anak-anak itu kompak mengaminkan doa Dio.

"Ehh, naik yuk." ajak Aceng begitu melihat antrian tinggal sedikit.

"Lo semua duluan deh, gue mau ngisi perut gue dulu."

Acux yang bersiap ke meja prasman terpaksa membatalkan niatnya karna Ari menarik kerah bajunya dari belakang, "Salaman dulu Babi, tuh makanan gak bakalan habis."

"Ahh lo boss, mengganggu kebahagian saja." ujar Acux pasrah mengikuti teman-temannya kepelaminan.

Bu Dewi kaget dan terharu secara bersamaan melihat kedatangan anak didiknya, anak-anak yang selalu membuat ulah dan selalu membuatnya naik darah itu tersenyum ikut bahagia dengan kebahagiannya, bu Dewi sampai menitikkan air matanya karna tidak menyangka, anak-anak badung ini ternyata datang untuk mengucapkan selamat dihari bahagianya.

"Anak buahmu Wik." suaminya berbisik.

"Iya mas."

"Selamat ya pak." Sapto yang paling depan menyalami suami bu Dewi dan kemudian beralih menyalami bu Dewi dengan senyum menggoda, "Wiehhh bu Dewi, makin cantik aja gila, pangling saya bu." Sapto menjilat.

"Kamu bisa saja Sapto." bu Dewi bersemu.

Aceng yang ada dibelakang Sapto menyahut, "Saya patah hati lo bu begitu mengetahui ibu akan menikah, padahal saya sudah lama memendam rasa sama ibu."

"Kamu ini." bu Dewi mencubit lengan Aceng gemes, "Pasalnya, anak muridnya yang satu ini selalu saja menggodanya.

"Ampun bu, sakit." Aceng mengaduh, "Akhh ibu, udah nikah masih saja galak."

Bu Dewi melotot yang membuat Aceng buru-buru kabur dari pelaminan.

Suami bu Dewi tersenyum geli melihat tingkah anak murid istrinya.

Acux meraih tangan bu Dewi dan menciumnya, "Selamat ya bu Dewi."

Bu Dewi menepuh bahu Acux, "Terimakasih ya Acux, ibu terharu, ternyata kalian mau datang ke pesta pernikahan ibu."

"Semoga malam pertamanya lancar bu, saya belikan obat kuat untuk suami ibu sebagai hadiah pernikahan." bisik Acux yang membuat ibu Dewi yang tadinya kalem kembali melotot, memang ya dua anak muridnya itu selalu saja membuat tensi darahnya naik.

Acux buru-buru pergi, melihat gelagat bahaya yang ada didepan mata.

Giliran Ari yang terakhir menyalami bu Dewi, "Semoga langgeng pak Indro, bu Dewi, semoga cepat diberikan momongan." doa Ari tulus pada pasangan pengantin yang tengah berbahagia tersebut.

"Terimakasih." jawab suami bu Dewi.

Bu Dewi tersenyum haru, bukan karna doa Ari, melainkan melihat penampilan Ari, "Nah kayak gini donk Ari, kamu terlihat tampan mengenakan batik seperti ini, rambut kamu juga disisir rapi, seneng saya lihatnya."

"Busettt, gue dibilang tampan." ingin rasanya Ari tertawa.

"Wahh, udah sejak dulu bu, ibu saja yang tidak sadar, ternyata ibu Dewi lebih bisa melihat dengan jelas kalau tidak pakai kaca mata."

"Kamu ini, selalu saja ngejawab."

Ari terkekeh, "Bu, saya fikir ibu cintanya sama Doni."

"Jangan sembarangan Ari, Doni itu hanya teman." ibu Dewi melirik suaminya dengan rasa tidak enak karna ucapan ngasal Ari, takut dia kalau suami yang baru dinikahinya ini salah paham.

"Padahal gantengan Doni kemana-mana lho bu, atau Doni ya yang gak suka sama ibu, ibu frustasi kemudian memutuskan menikah dengan laki-laki."

"Ariii." geram bu Dewii.

"Hehe bercanda bu, bercanda, bercanda pak." Ari menenangkan suami bu Dewi yang terlihat agak kesal mendengar kata-kata Ari.

Sebelum pulang, mereka semuanya bersua foto dengan bu Dewi sebagai kenang-kenangan.

****

BAB 3

Juli, nama panggilan gadis yang baru beranjak remaja itu, satu minggu kemarin dia baru merayakan ulang tahunnya yang ke 16, gadis remaja tersebut tidak henti-hantinya mengagumi kota jakarta, mulai dari kepadatan lalu lintasnya, gedung-gedung pencakar langitnya yang menjulang tinggi, deretan pertokoan yang berjajar sepanjang jalan yang dilewatinya, para pedagang kaki lima yang menjajakan jualannya dipinggir jalan, sedetikpun dia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela mobil yang terbuka menyaksikan kerlap kerlip kehidupan metropolis kota jakarta yang dulu hanya disaksikannya lewat televisi. 

Meskipun berasal dari kota kecil, Juli bukanlah gadis kampungan atau gadis katrok yang jauh dari peradaban, tapi tetap saja menyaksikan secara langsung hal-hal yang dulunya hanya dilihat melalui media televisi membuatnya tidak bisa menahan decak kekagumannya.

Gak berbeda jauh dengan Juli, April adik Juli, cowok tanggung yang baru duduk dikelas VIII SMP itu juga melakukan hal yang sama dengan Juli sang kakak, sorot matanya berbinar-binar disepanjang jalan yang mereka lewati, bibirnya terus bergumam mengagumi ibu kota negara Indonesia itu.

Sedangkan duduk dibelakang kemudi, Agustus yang biasanya dipanggil Agus, kakak tertua dua remaja tersebut hanya memaklumi kelakuan kedua adiknya yang untuk pertama kalinya baru menginjakkan kakinya di ibu kota, salah satu kota tersibuk dindonesia.

“Seperti ini Jakarta dimalam hari, keren ya." ungkap April takjub.

“Emang sieh kita berasal dari kota kecil Pril, tapi jangan kelihatan noraknyalah, malu-maluin.” Juli melayangkan ledekannya. 

“Heran gue sama lo, kerjaan lo komentar mulu, kenapa lo gak jadi komentator bola aja.”

Juli sudah akan membalas namun Agus keburu menengahi.

“Sudah-sudah hentikan, kalian sudah sebesar ini masih saja suka saling ledek.”

Dan dua saudara yang sudah mirip Tom and Jerry dalam versi nyata itu bungkam untuk sesaat.

Masing-masing nama 3 bersaudara itu sesuai dengan nama bulan kelahiran mereka, Juli yang lahir dibulan Juli diberi nama Juliansari Amarta, sedangkan April yang jelas lahir pada bulan April dengan nama panjang April Nizam Rahadi, dan Agus, kakak tertua kedua remaja tersebut yang lahir dibulan agustus diberi nama Agustus Hardiansyah, ketika ayah dan ibu mereka ditanya kenapa ngasih anak-anak mereka dengan nama bulan dalam penanggalan masehi, jawabnya simpel aja “Agar tidak lupa dengan bulan kelahiran anak-anak mereka.” ya mungkin mereka sadar semakin bertambah umur membuat daya ingat semakin berkurang, sehingga ketika mereka pikun beneran mereka tidak lupa dengan bulan kelahiran dan ulang tahun anak mereka.

Sudah satu minggu Juli dan April di Jakarta, selama seminggu itu kerja mereka cuma berdiam diri dirumah Agus tanpa melakukan kegiatan apapun, kerjaan mereka kalau gak makan, ya tidur, sebuah kombinasi yang membuat remaja seperti mereka udah pasti jenuh.

Sedangkan Agus, laki-laki lajang itu sibuk bekerja, saking sibuknya Agus belum sempat mengajak adiknya jalan-jalan melihat keindahan kota Jakarta, dan untuk pertama kalinya dalam satu minggu ini Agus pulang cepat dari kantor, sehingga meskipun lelah dia yang merasa bersalah sama kedua adiknya karna selama satu minggu ini mengabaikan mereka, makanya begitu pulang dia mengajak adiknya jalan-jalan sekaligus untuk membelikan adiknya perlengkapan sekolah karna beberapa hari lagi adik-adiknya sudah akan masuk sekolah mengikuti tahu ajaran baru, dan Agus telah mendaftarkan masing-masing adiknya disekolah yang memiliki kualitas yang bagus.

Juli dan April sih sebenarnya dua tipe remaja yang gak bisa berdiam diri, mereka cendrung aktif dan bukan tipe anak rumahan, tapi karna berhubung mereka gak tau seluk beluk kota Jakarta dan seandainyapun nekat menjelajah kota Jakarta mereka takut tersesat, jadinya mau gak mau dan dengan sangat terpaksa mereka harus ngedekam dirumah Agus dengan rasa jenuh tingkat tinggi, makanya ketika diajak Agus untuk jalan-jalan sekaligus untuk membeli perlengkapan sekolah mereka yang tahun ini juli memasuki bangku SMA sedangkan april duduk dibangku kelas delapa SMP, ajakan Agus begitu disambut antusias oleh keduanya dengan suka cita, dan disinilah mereka bertiga sekarang, tiga bersaudara yang duduk didalam satu buah mobil yang melaju bersama mobil lainnya membelah kepadatan jalan raya ibu kota Jakarta yang penuh polusi.

Juli, gadis itu sebenarnya sering mengalami gejala morning sickness jika naik segala jenis mahluk bernama mobil, pesawat dan kapal laut, tapi rasa bahagianya ternyata mampu untuk pertama kalinya  mengusir morning sicknessnya, dia juga dengan antusias menelan dua antimo sekaligus saking antusiasnya sebelum berangkat.

“Kak, kita kemana nieh.?” Juli bertanya setelah tadi sempat bungkam.

“Kita ke mall aja ya, kita cari perlengkapan sekolah kalian terlebih dahulu, setelah itu terserah deh kalau kalian mau nonton atau makan atau muter-muter keliling Jakarta juga boleh.” pokoknya hari ini Agus memanjakan adiknya sebagai penebus rasa bersalahnya karna selama satu minggu ini sibuk bekerja dan mengabaikan adik-adiknya.

“Ye asyikk.” Juli bertepuk tangan kegirangan mendengar usulan kakaknya.

Sebenarnya, jalan-jalan ke mall, nonton ataupun nongkrong di kafe sambil makan-makan bukanlah hal baru buat Juli karna di Mataram dia bukanlah anak lugu atau anak rumahan yang hanya berdiam diri di rumah, dia bersama gengnya biasanya sering menghabiskan waktunya baik itu hanya untuk jalan-jalan di mall hanya sekedar untuk cuci mata sambil cari kecengan, nongkrong di kafe ataupun juga nonton rame-rame, tapi yang membuatnya antusias kali ini tentu saja karna ini Jakarta, kota yang sering disaksikannya lewat film atau televisi, kota dengan tingkat kepadatan penduduk terparah di Indonesia, kota dengan tingkat kriminalitas tinggi di Indonesia, tapi hal tersebut seolah tidak mengusik benak juli.

Setelah puluhan kali membujuk orang tua ataupun kakaknya untuk mengajaknya ke Kakarta ketika musim liburan sekolah tiba dan satupun gak pernah dikabulkan dan eh, ketika gak memiliki minat lagi untuk ke Jakarta, tawaran itu datang tiba-tiba walaupun dalam konteks yang tidak diharapkan Juli dan keluarganya, kedatangan Juli dan April bukanlah semata untuk liburan atau jalan-jala saja, tapi usaha orang tua mereka yang tengah mengalami kemunduran terpaksa harus membuat mereka berdua terdampar disini untuk jangka waktu yang belum ditentukan, Agus kakak tertua kedua remaja tersebut yang belum menikah dan memiliki kehidupan yang bisa dibilang mapan di Jakarta membujuk orang tunya untuk mengambil alih tanggung jawab menyekolahkan kedua adiknya untuk mengurangi beban kedua orang tuanya, walaupun dengan sangat terpaksa orang tua mereka akhirnya mengizinkan mereka untuk pergi ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan disana.

“Akhhh, jangan nonton deh kak." April langsung menolak hal tersebut, "Palingan sik Julet milih filmnya yang melow-melow gitu, nangis bombay gitu kayak film korea." cletuk April protes.

April berkata begitu karna tau banget sifat kakaknya yang cendrung egois karna kalau diajak nonton pasti pilihannyalah yang harus dituruti, April sudah tau kebiasaan kakaknya yang penggemar berat semua yang berbau korea, mulai dari drama korea, boy and girl band korea dan semua hal-hal yang berbau-bau Korea pasti disukai kakaknya, terbukti dengan satu rak full kepingan DVD drama korea dikamar kakaknya ketika masih di Mataram, dan belum lagi majalah-majalah yang isinya membahas mengenai artis-artis Korea, ditambah beberapa bagian dinding kamar kakaknya yang ditempeli poster artis Korea seperti BTS, boy band korea paforit Juli, pokoknya tanya Juli deh artis korea dari A samapi Z dia tau saking gilanya dia akan Korea.

“Ye..biarin aja, ketimbang lo nonton film action, apa bagusnya sih nonton orang saling baku hantem  gitu, gak baik kali anak dibawah umur kayak lo nonton film kayak gitu, ntar lo mraktikin lagi.” Juli membalas gak mau kalah, dia juga sudah menggunakan bahasa gaul anak-anal Jakarta “Lo-gue.” itung-itung sebagai perkenalannya di Jakarta gitu.

“Lo gak ngerti apa-apa, justru itu letak serunya begok, daripada lo nonton drama korea yang gak jelas gitu, nangis-nangis bombay jijay banget deh, belum lagi artis cowoknya yang suka pakai make up, kayak banci.” April gak mau kalah kembali membalas kata-kata Juli dengan pedas.

Walaupun mereka berdua kakak adik, usia yang terpaut hanya dua tahun membuat mereka sering berantem kayak Tom and Jerry dan sering ngomong dengan menyebut nama masing-masing tanpa embel-embel “kak atau adek”.

"Dukk." dari belakang Juli memukul kepala adiknya dengan cukup keras.

"Aduhh, sakit bodoh." April mengumpat, kakaknya satu selalu saja memukulnya.

"Rasain lo, siapa suruh lo gak bisa menjaga bibir jelek lo itu."

“Sudah cukup, kalian ini, gak perlu berantem hanya karna orang yang tidak mengenal kalian, bikin kakak pusing aja."

“Hehehe.” mereka cengar-cengar membenarkan ucapan agus yang benar adanya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!