NovelToon NovelToon

KISAH-KISAH HOROR ANAK KOS

#1 Telepon Tengah Malam

Jogja, menjelang akhir 90-an.

Aku sebenarnya ragu dengan rumah kos yang saat ini aku tinggali, biarpun besar dan dekat dengan kampus tapi.

Kesan pertama, muram dan kurang terawat. Mungkin karena pohon besar itu, yang meninggalkan daun-daunnya berserakan di halaman bangunan yang luas. Lapisan cat berwarna krem pada sebagian dinding bangunan telah berlumut, sebagian lagi mengelupas. Angka empat pada penanda nomor rumah di pilar pintu gerbang terhuyung miring.

Tapi apa daya, bisnis Papa mengalami kesulitan sejak enam bulan lalu membuatku kini harus meninggalkan nyamannya kamar mewah di asrama putri yang sebelumnya kutempati. Mama sudah tak sanggup meneruskan membayar sewanya. Bahkan, aku masih cukup beruntung tetap bisa meneruskan kuliah. Dengan berhemat sana sini tentunya.Dan sampailah aku disini.

"Cari siapa, Mbak?"

Seorang nenek tua tiba-tiba menyapa mengejutkanku. Perawakannya pendek dan gempal, dengan rambut beruban yang digelung. Sinar matanya teduh bersahabat. Mengingatkanku pada Mbok Dar, pembantu di rumah yang sudah ikut keluarga kami sejak Papa masih remaja.

"Mbak, cari sia-?"

Aku tergagap menjawab, "Ma-maaf, Bu. Apa betul ini kos-kosan Bu Santi?"

"Iya. Betul, Mbak. Ada apa ya?" jawabnya sopan lalu terbungkuk-bungkuk membuka kunci gerbang.

"Saya anak temannya Bu Santi. Kemaren ibu saya sudah nelpon kalau saya mau kesini"

"Oh. Ayo mari masuk, Mbak. Kebetulan Bu Santi ada"

"Mbak, siapa namanya? Biar Mbok kasih tau ke Ibu." lanjutnya setelah mengunci gerbang kembali.

"Saya Feli, kalau Nenek..?" Kuulurkan tangan. hendak menjabatnya. Dia menatap tanganku, kemudian beralih ke wajahku. Sekilas kulihat keraguan di dirinya.

"Eh. Maaf, Mbak. Tangan Mbok Jum kotor. Ayo, mari Mbok antar ke dalam". Dia menampik halus jabatan tanganku.Kusampirkan tasku di bahu, melangkah memasuki halaman mengikuti Mbok Jum melewatipohon besar tadi. Beberapa helai daun kering berjatuhan di rambut dan bajuku.

Dan dari dekat, penampilan rumah ini semakin membuatku ragu. Bangunan rumah dua lantai bergaya klasik, atau mungkin memang sudah berumur. Balkon besar di lantai dua menjorok ke depan ditopang dua pilar dengan profil garis-garis vertikal diakhiri lengkungan melingkar di ujungnya, bewarna kusam.

Di lantai dasar, jendela kaca besar berornamen mengapit pintu depan berdaun ganda yang tak kalah besarnya. Langit-langit teras terkelupas dan berlubang di beberapa tempat, tanda tak terawat.

Mama kok punya temen yang rumahnya serem gini ya?

Mbok Jum membuka salah satu daun pintu depan dan mempersilahkanku masuk "Silahkan, Mbak"

Wooww...gilaa..

Berbeda sekali dengan kondisi bagian luar rumah, di dalam tampak bersih dan cukup mewah. Lantai terasso berwarna krem kekuningan mendominasi luas ruangan yang menurutku ruang utama, ditambah perpaduan meja besar dan kursi kayu dengan guci-guci berukuran setinggi pinggang, menghilangkan kesan burukku tadi.

Ada satu benda yang membuatku tertegun, jam lonceng besar di sudut ruangan, mirip seperti di rumah Opa.

"Ada siapa, Mbok?" suara seorang wanita setengah baya mengejutkanku, diikuti langkahnya menuruni tangga oval di sisi ruangan utama.

"Ini, Bu. Yang kemaren Ibu berpesan mau ada tamu yang dateng" jawab Mbok Jum.

Wanita itu merapihkan kimono tidurnya, melihatku dan tersenyum. Dia menatapku beberapa saat, membuatku salah tingkah.

"Kamu Feli ya..? Ingat nggak sama Tante?" la melangkah menjabat tanganku erat.

"Eh..iya, Tante. Saya Feli"

"Dulu sekali, kamu pernah kesini sama Mama Papamu. Waktu kamu masih kecil. Masa nggak ingat?" Kucoba mengingat-ingat, tapi tak menemukan sedikit pun memori itu.

"Mmm..maaf, Tante. Aku nggak inget" jawabku kemudian. Dia kembali tersenyum. Digamitnya lenganku dan menyuruhku duduk di sofa.

"Ya udah, nggak papa. Gimana Mama, sehat?"

"Sehat, Tante" "Kalau Papa?"

"Baik juga"

"Syukurlah semua baik. Papa masih usaha kontraktor?" lanjutnya.

"Mmm..masih, Tante. Tapi kantornya udah tutup, sekarang Papa ngantor di rumah" jawabku muram.

Kekacauan politik dan tragedi bulan Mei lalu benar-benar memukul usaha yang telah dirintis Papa sejak muda. Satu demi satu asetnya harus dijual untuk menutupi kerugian beberapa proyeknya yang ikut terkena imbas kerusuhan.

Bagaimana tidak, para pemilik perusahaan klien Papa banyak yang lari keluar negeri bahkan ada yang menjadi korban kerusuhan, sedangkan upah tukang dan hutang Bank tetap harus dilunasi.

Dia menghela nafas sejenak, mungkin tahu kekurangnyamananku menjawab. Aku yakin Mama juga sudah menceritakan keadaan kami kepadanya.

Tak terasa satu minggu sudah aku tinggal di sini. Tak disangka, di dalam rumah ini ada sepuluh kamar yang dikoskan, terletak di belakang bangunan rumah utama terpisahkan oleh dapur. Dan semua kamar kosnya terisi penuh. Karena pertemanannya dengan Mama, Tante Santi memberikan potongan harga khusus buatku untuk tinggal di kos itu.

Beruntungnya lagi, kamar yang kutempati terletak paling dekat dengan dapur atau bangunan utama. Penghuni kamar sebelah, berurutan ke kanan, Lia, Devi, Mita dan Maria. Sedangkan di deretan seberang, ada Fay dan Rita yang kukenal, tiga lainnya jarang pulang ke kos.

Dari kesemuanya, Lia dan Fay yang paling akrab denganku karena kami sepantaran. Mereka yang membantuku merapikan barang-barang di kamar saat hari pindahan, sehari setelah kedatanganku pertama kali di rumah Tante Santi ini.

Melalui cerita mereka, kutahu Tante Santi tinggal dan mengelola kos ini dibantu Mbok Jum yang sudah lama bekerja padanya. Untuk urusan mencuci pakaian, ada tukang cuci yang setiap hari datang pagi dan pulang setelah lewat tengah hari.

"Tante Santi tuh udah lama ditinggal mati suaminya, anaknya ada dua. Sudah berkeluarga semua, tinggal di Surabaya dan Medan" cerita Lia suatu saat.

"Tapi dia udah tenang hidupnya, warisan suaminya banyak. Makanya dia bisa punya banyak kos-kosan. Ada empat lagi selain di sini, belum lagi ruko yang dikontrakin"

"Wah, hebat ya" jawabku.

"Memangnya Mama kamu nggak pernah cerita

tentang Tante Santi?" Fay ikut nimbrung. "Enggak tuh, Mama cuma bilang ada temen Mama yang punya kos-kosan" jawabku, tak ingin mereka bertanya lebih jauh hubungan Mama dengan Tante Santi, apalagi alasanku sebenarnya pindah kesini.

"Pokoknya kamu bakal betah deh disini. Tante orangnya nggak bawel, yang penting jam sepuluh malem udah nggak boleh ada tamu. Jam sebelas kalau malem minggu" lanjut Fay.

"Iya, Fel, ini aja kita dikasih duplikat kunci gerbang sama pintu depan kan. Biar kalau kita pulang pacaran kemaleman masih bisa masuk, kaya si Fay tuh. lya kan, Fay. Hahahaha...". Lia tertawa terbahak-bahak.

"Enak aja. Kamu tuh yang suka menyelundupkan Mas mu ke kamar" tangkis Fay bengis.

Bantal melayang ke wajahnya dilanjutkan bantal gulingku yang innocent jadi korban lemparan.

"Sssstt...Gila Lu ya. Ngomong pake Toa sekalian". Lia sewot. Jangan-jangan sakit nih bocah berdua...

"Oh ya, ada satu yang perlu kamu tau. Kamu liat di meja deket pintu dapur ada telepon kan? Nah, udah jadi tugas yang kamarnya terdekat yang menjawab kalau ada telepon.". Lia dan Fay tersenyum penuh arti..

"Lho, emang ada aturan gitu ya?"

"Ada, dong. Apalagi kamu anak baru. Hihihi.." "Nggak gitu juga, sih. Maksudnya kalau telepon bunyi, kamarmu kan paling deket, jadi paling keberisikan. Mau nggak mau kamu mesti angkat" jelas Fay lagi.

Aku hanya bisa manggut-manggut pasrah.

********

Malam itu.

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Aku hampir terjatuh dari kasurku, saking kencangnya bunyi dering telepon itu. Ternyata benar ucapan Lia dan Fay tadi. Melirik jam di dinding. Buset, jam duabelas, siapa sih malem-malem gini telpon..?

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Kututup kepalaku memakai bantal, berharap Lia, Fay atau siapa saja anak kos yang lain mau mengangkat telepon itu. Setelah beberapa deringan, bunyi telepon itu berhenti, kembali keheningan yang terdengar.

Fiuuuhhh...

Namun belum sempat menarik selimut untuk meneruskan tidur, tiba-tiba suara itu kembali...

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Damn! Bunyi lagi...

Dengan malas-malasan aku turun dari kasur, membuka kunci pintu dan melangkah keluar kamar. Suasana sepi sekali diluar.

Kriing...

Langsung kuangkat telepon itu.

"Halo..."

Hanya hening yang terdengar.

"Haloo..." kutinggikan suaraku kesal. Masih

tanpa jawaban. "Haloo...mau cari siapa?! Jangan main-main

ya...!!" bentakku membanting gagang telepon.

Keesokan harinya,

"Fay, semalem denger nggak ada yang nelpon tengah malem?" tanyaku saat kami mengantri kamar mandi.

"Nggak denger sih, teler aku habis ngerjain tugas. Nggak tau kalau si Lia tuh" "Jangan tanya aku, aku lagi mimpi dinner sama

Ari Sihasale" jawab Lia, duduk sambil ngupil.Aneh, padahal sekencang itu kok nggak ada yang denger. Tapi, ah, bodoh amat..

Malam berikutnya.

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Kembali bunyi dering telepon itu terdengar lagi. Parah, ada telpon lagi jam segini. Paling-paling orang ngerjain aja kaya kemaren.

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

"Haloo..." sapaku ketus.

"Halo, selamat malam" terdengar jawaban dari seberang, suara berat seorang pria.

"Maaf, mau bicara dengan siapa ya?"

"Hhhh...Lastri ada....hhh?" pria itu bertanya dengan ******* berat.

"Lastri? Lastri siapa yaa..? Kayanya nggak ada yang namanya Lastri disini" jawabku.

"Hhh.. Lastri ada...hhh" pria itu mengulang pertanyaannya, dengan intonasi persis sama.

"Maaf Pak, Mas. Di sini nggak ada yang namanya Lastri"

Tuuuttttttt....

Sambungan telepon terputus.

"Sakit..!" ucapku gusar sambil meletakkan kembali gagang telepon di tempatnya.

*******

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Ini tengah malam ketiga berturut-turut aku mendengar dering telepon itu.

Seharian tadi aku sibuk sekali di kampus dan baru pulang ke kos menjelang larut malam. Aku sampai lupa hendak bertanya pada Fay dan Lia apakah ada penghuni kos yang bernama Lastri.

"Halo...". Kembali suara pria kemarin terdengar di speaker telepon yang menempel di telingaku.

"Halo, selamat malam" ucapnya lagi.

"Malam pak, yang kemaren cari Lastri yaa?"

jawabku cepat.

"Hhh...Lastri ada..hhh?"

"Maaf, Pak. Lastri yang mana ya, Pak? Mungkin Bapak salah sambung?"

"Hhh...Lastri ada...hhh?" Aneh banget nih orang, nanya diulang-ulang.

Baru saja aku hendak menjawab dengan penuh kekesalanku, tiba-tiba di sudut mataku terlihat seorang gadis berdiri di belakangku. Aku sampai melompat saking terkejutnya.

Entah sejak kapan dan dari mana ia berdiri disitu. Gadis cantik berambut panjang itu memakai setelan kaos putih dan celana panjang berbahan kain. la tersenyum padaku.

"Kaget ya?" tanyanya.

"Eh. Sedikit, Mbak". Otakku berpikir keras siapa gadis ini.

"Itu yang telpon cari siapa?"

"Katanya sih, dia cari yang namanya Lastri, Mbak. Mmm, Mbak anak kos sini juga?"

"Aku Lastri, kamarku yang ujung itu" ia menunjuk kamar di ujung, salah satu kamar yang penghuninya belum pernah kutemui.

Wah, kebetulan..

"Oh, mbak Lastri..?! Kebetulan. Ini, Mbak. Silahkan" aku menyorongkan gagang telepon padanya. Namun ia hanya berdiri diam tak menyambut gagang telepon itu.

"Yaah. Udah mati teleponnya, Mbak" seruku

setelah terdengar suara Tuuutt di speaker telepon.

Saat berbalik badan setelah meletakkan gagang telepon, Mbak Lastri sudah berlalu. Hanya kulihat punggungnya saat dia membuka pintu sebelum. masuk ke kamarnya.

Aneh...nggak nanya nggak apa, langsung masuk kamar lagi.Perasaanku mulai tidak enak.

**********

Syukurlah, keesokan harinya dan hari-hari berikutnya, dering telepon di waktu tengah malam itu tidak terdengar lagi.

Hingga pada suatu malam...

"Fel, harpitnas besok ikut aku pulang, yuk. Ke Purwokerto" ajak Fay sore itu. Baru saja aku hendak membuka mulut, Lia menyela "Ikut aku aja, deket. Ke Semarang doang"

"Harpitnas", hari kejepit nasional, hari yang disukai sebagian besar orang karena berarti ada tambahan hari libur. Termasuk juga bagi Dynamic Duo ini, Fay dan Lia. Kenapa aku namai mereka begitu? Sebab mereka dinamis sekali alias tidak bisa diam. Kalah deh bola bekel.

"Mmm, gimana ya? Aku lagi banyak tugas anak anak yang belum diperiksa nih"

Padahal itu hanya dalihku saja. Uang kiriman dari Mama hanya pas-pasan untuk membayar kos dan makan dengan menu standar selama sebulan, kadang kurang. Untunglah mulai semester lalu aku terpilih menjadi Asisten Tugas di kampus, uang sakunya lumayan untuk tambahan jajan.

"Iya deh, yang Asisteenn..." sindir Fay.

Aku hanya tersenyum, pahit sebenarnya. "Kamu yakin nggak mau ikut? Atau jangan-jangan kamu mau pulang juga ke Jakarta?" tambah Lia.

"Pulang Jakarta? Tanggung lah cuma libur tiga hari, capek di jalan"

"Naik pesawat kali. Naik bis ya tua di jalan, Lu". Lucu juga mendengar Lia mengucapkan kata tadi dengan logat Semarangnya, apalagi kalau Fay yang bicara.

"Aku ora bali, nang kene wae"

"Yakin? Sendirian Iho di kos-an, yang lain biasanya pada pulang juga kalau libur agak panjang gini" "Iya, Tante juga suka pergi nengok cucunya.Paling Mbok Jum yang stand by" lanjut Lia.

"Ya udah kalau gitu, ntar kamu pegang kunci kamarku aja, nonton tivi di kamar daripada bete sendirian" kata Fay lagi.

"Iya bener, Fel. Daripada kamu nonton tivi di dalem rumah Tante, serem sendirian. Apalagi pas enak-enak nonton, jam loncengnya bunyi.. Doong..doong..doong. Hiiii..." seru Lia bergidik menirukan suara dentang lonceng jam di ruang utama.

"Iya, iyaa. Makasih ya sobat-sobatku yang paling bawel, eh, baik"

"Atau...hmm, aku tau! Kamu mau nge-date ya? Siapa, Fel? Ayo kenalin". Fay menggodaku diiringi tawa Lia.

"Sorry ya. Nggak ada waktu yaa buat cowok. Wek.." kujulurkan lidah ke mereka.

Besoknya, pagi-pagi sekali mereka sudah memesan taksi ke terminal. Agak siangan, Lia, Devi, Maria dan lainnya pun menyusul satu persatu pergi dari kos ini.

Hanya tinggal Mbok Jum yang terakhir kulihat sedang menyapu halaman depan. Tante Santi? Sudah dua atau tiga hari ini tidak tampak di rumah, mungkin pergi menengok cucunya atau mengontrol kos-kosan lainnya.

Sendirian di kos keseringan itu membuatku bosan. Komik Lucky Luke kesayangan sampai kucel bolak balik Aku membacanya.

Aku melangkah masuk ke rumah utama, maksudnya hendak mengobrol dengan Mbok Jum, kondisinya sepi sekali di dalam. Kudekati pintu kamarnya yang terletak di dekat tangga. Baru saja hendak kuketuk, terdengar halus suara dengkuran dari dalam kamar.

Komplit..!!

Akhirnya, untuk mengusir galau, dan lapar karena belum makan siang, aku meluncur ke supermarket Mirota yang terletak hanya tiga ratus meteran dari kos. Masih terjangkau dengan berjalan kaki.

Setelah menghabiskan seporsi lotek plus bakwan di warung dekat supermarket itu, kuhabiskan waktu menjelajah naik turun lantai satu dan lantai dua supermarket, sampai-sampai Bapak Satpam yang berjaga beberapa kali menatapku waspada, bahasa halus dari curiga.

Tumben sekali, biasanya ada saja wajah para mahasiswa satu kampus yang beredar di tempat ini, tetapi hari ini tidak satu pun kutemui. Mungkin semuanya pulang kampung menikmati libur Harpitnas.

Kelelahan, setelah arloji menunjukkan jam tujuh malam, aku pun melangkah pulang sambil menenteng sebungkus pecel telur dari warung pecel lele langganan.

Saking seringnya aku membeli makanan di situ, si Mas penjualnya sampai hafal sekali padaku. Begitu menunjukkan hidung di warungnya, dia akan langsung berteriak ke Mas satunya, tukang menggoreng.

"Di, pecel telur siji. Sego siji setengah. Karo tempe tahu. Garing. Bungkus yoo.." Dan aku cuma bisa tersipu dilihat sekian banyak mahasiswa yang makan di warung itu. Cewek mungiltapi makannya banyak, mungkin begitu yang ada di benak mereka.

Aku berjalan pulang, melangkah santai di trotoar yang ramai lalu lalang pejalan kaki dan juga warung tenda pedagang makanan. Satu dua warung dipenuhi pembeli yang duduk berjubel bahkan ada yang makan sambil berdiri, sementara beberapa warung lainnya lengang menampakkan wajah penjual yang penuh harap pembeli.

"Mampir, Mbak.." sapa salah seorang dari

mereka.

"Sampun, Mas" kujawab sembari tersenyum tipis. Kutunjukkan bungkusan kantong kresek berisi pecel telur tadi.

"Nambah Mbak, sekarang bayar besok gratis Mbak" goda temannya disahuti tawa penjual dari warung sebelah. Aku hanya menggeleng sopan dan berlalu.

"Ceweek..!!". Kali ini suara memanggil dengan maksud menggoda terdengar saat aku melewati kumpulan pembeli angkringan yang duduk lesehan di bidang trotoar.

Huh, kalau rame gitu berani manggil-manggil. Coba sendiri. Kalau udah gini, nyesel juga mutusin si kutu kupret. Gitu-gitu Nando berguna juga buat anter jemput.

Tak terasa, sampai juga langkahku di depan gerbang rumah kos yang remang, hanya diterangi lampu taman yang hidup segan mati tak mau. Kubuka gembok yang mengunci gerbang itu sambil mengarahkan pandangan ke halaman.

Pernah kutanya ke Mbok Jum kenapa bagian luar rumah seperti kurang terawat, Mbok Jum hanya terkekeh. "Mbok ngga tau, Mbak. Tugas Mbok Cuma dalem rumah dan kos belakang" Kemudian hari kudengar dari cerita Lia yang paling lama kos di antara kami bertiga, konon dulu suami Tante Santi sangat rajin berkebun dan merawat halaman depan itu. Dan dia meninggal mendadak terkena serangan jantung saat sedang menyiram tanaman. Mungkin hal itu yang menyebabkan Tante Santi nyaris tidak mau merawat bagian depan rumah terlebih halamannya.

Gelap. Dahan pohon besar itu seakan bergerak melambai. Pemandangan sehari-hari yang kulewati saat pulang dari kampus, kali ini menimbulkan perasaan aneh di hatiku.

Aku berjalan cepat melewati halaman, membuka kunci pintu depan lalu menghambur masuk ke dalam. Lega sekali melihat cahaya lampu terang benderang di dalam. "Mbok, Mbok.."

Kuhampiri pintu kamarnya yang tertutup. Dari sela-sela lubang angin di atas kusen, terlihat terang di dalam kamar.

Tok..tok..tok..!

Kuketuk pintunya berkali-kali.

"Mbok, Mbok.."

Baru jam setengah delapan Mbok Jum udah tidur? Duh, sepi amat ya. Nyesel juga nggak ikut Fay atau Lia. Mana laper lagi...

Sebentar kemudian kuhentikan usahaku memanggil Mbok Jum. Aku bergeser ke dapur mengambil piring dan sendok lalu membuka pintu penghubung ke kos dan masuk ke kamarku. Rasa lapar begitu menderu hingga kuputuskan menyantap makan malamku sesegera mungkin.

Perpaduan nasi porsi jumbo, telur dadar, sambal tomat dan lalapan daun kemangi, kusantap dengan lahap hingga licin tandas. Memang nikmatnya tak terkira menikmati makanan saat sedang lapar laparnya.

Saat kembali ke dapur mencuci piring di wastafel, kulirik ke ruang utama yang masih tidak ada tanda kehidupan. Hanya bunyi detak jarum jam yang terdengar dan sesekali suara kendaraan melintas di jalan depan sana. Selesai mencuci, kukeringkan tanganku di handuk yang tergantung di pegangan kulkas dua pintu di sebelah meja dapur.

Mataku tertuju pada kertas yang menempel pada magnet di pintu kulkas.

Tertulis disitu :

Feli, Tante cari kamu ngga ada.

Mbok Jum Tante ajak beres2 ke kos Timoho ya. Besok juga pulang.

Jaga rumah baik-baik.

Note: awas dilarang bawa cowok masuk (terutama kalau jelek)

(Tante)"Kalau ganteng boleh dong, Tan.." celetukku gemas, bercampur ngeri. Waduh..mati aku. Bener-bener sendirian malam ini.

Buru-buru aku berlari masuk ke kamar, namun baru saja tubuhku menyentuh kasur, aku teringat sesuatu.

Tadi Fay nitip kuncinya kan ya. Mendingan di kamar dia deh, begadang nonton tivi.

Lalu tak terasa jam di dinding kamar Fay sudah menunjukkan waktu hampir tengah malam. Semula kukira aku bisa begadang menonton televisi, namun acara demi acara di saluran televisi yang tayang, tak ada satu pun yang menarik bagiku.

Tiba-tiba,

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Waduh, bunyi lagi tuh telpon. Pasti orang itu lagi. Males banget. Kututup kepalaku di bawah bantal. Kali ini aku bertekad, tidak akan keluar menjawab telepon itu.

Toh, tidak ada anak kos lain.

Hening sejenak.

Kemudian kembali bunyi dering telepon itu terdengar meneror telinga...

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Masa bodo..bunyi aja terus. Dengan sikap masa bodoh aku meneruskan. menonton televisi, tak kupedulikan lagi telepon yang terus menerus berdering.

Kriing...

Kriiing...

Klek !!

Terdengar suara gagang telepon diangkat. Jantungku seakan berhenti sesaat.

Hah, siapa itu? Mbok Jum ? Tante Santi?

Segera kukecilkan volume televisi dan memasang telinga. Lamat-lamat terdengar suara perempuan berbicara. Jelas bukan suara Mbok Jum atau Tante Santi, namun aku juga tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan.

Pikiranku berkecamuk, terisi lintasan adegan film horor yang pernah kutonton silih berganti. Bulu kudukku meremang berdiri dalam ketakutan yang teramat sangat.

Kusembunyikan seluruh tubuh dan kepalaku kedalam selimut milik Fay. Kedua telinga kusumpal dengan jari dan berbaring meringkuk. Kubaca doa sebisanya. Dan suara perempuan yang berbicara di telepon itu masih terdengar biarpun lirih.

Beberapa saat kemudian suara perempuan itu tak terdengar lagi, hening.

Aku menahan nafas menunggu, menajamkan pendengaran.

Tetap hening.

Baru saja hendak menghembuskan nafas lega, terdengar suara lain. Suara tangis merintih dan Membuatku semakin ketakutan. meringkuk menyayat. menggigil

Namun entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba hatiku terdorong untuk mencari tahu sumber suara itu. Perlahan kukeluarkan tubuh dari balik selimut kemudian mengendap turun dari tempat tidur tanpa mengeluarkan sedikitpun suara.

Kudekati jendela disamping pintu, kugeser sedikit sekali gorden yang tertutup untuk mengintip.

Dan...

Tiba-tiba wajah seorang perempuan muncul mendekat di balik kaca jendela. Tepat di titik dimana aku mengintip.

Aku melompat ke belakang seketika. Jantungku berdebar kencang, sementara lututku terasa lemas tak bertenaga.

Wajah cantik itu, terlihat pucat dengan raut memelas. Aku pernah melihatnya.

Mbak Lastri !!!

Tok..

Tok..

Tok...

Terdengar bunyi ketukan pintu.

"Tolong...tolong..." rintih perempuan di luar kamar, disambung sesenggukan tangis.

Aku terduduk ketakutan di sudut kamar. Nyaliku lenyap seketika. Kututup mukaku dengan kedua telapak tangan.

Tok..tok..tok..

Kriiing...kriiing..kriing...

Tok..tok..tok..

Kriing..kriing..kriing..

Bunyi ketukan di pintu semakin keras ditingkahi dering telepon tanpa henti.

"Tolong..tolong..". Tiba-tiba suara itu terdengar jelas dan dekat.

Di sebelah telingaku..!!

Kugerakkan jari tengah dan telunjuk, membentuk sedikit celah untuk mengintip.

"Toloong...." rintihnya, menampakkan wajah pucatnya. Hanya berjarak sejengkal dariku.

Kemudian pandanganku gelap

×××××

#2 LASTRI

Jogja, awal 90-an.

And I'll be your lover, your lover And I'll be your best friend, oh I'll be your friend I'll be there when you're needing me, when you need me.

I'll be your everything, your everything

I'll be your everything

I'll be all that you want and all that you need I'll be your everything

I'll give you all that I have, my love, my life, and me

I'll be your everything

Suara lembut Tommy Page terdengar mengalun sendu dari radio kecil di meja, menemaniku menyetrika baju kering yang sudah menumpuk beberapa hari di pagi itu.

Kutunggu sampai Refrain lagi dan "berduet"

dengannya, "I'll be your everything

I'll be all that you want and all that you need

I'll be your everything I'll give you all that I have, my love, my life, and me

I'll be your everything.."

"Lastriii....Wooiii, berisik kali pagi-pagi gini ah" Wajah kusut Mbak Tio menyembul di ambang pintu kamarnya. Kaos abu-abu penuh noda bekas coretan tinta rapido, "seragam" yang selalu ia pakai kalau begadang menggambar bangunan, menambah kekusutannya.

"Eh, sorry Mbak. Memang kedengeran ya?".

Kusunggingkan senyum termanisku.

Seluruh penghuni kos sini tidak ada yang berani macam-macam kepada yang namanya Mbak Tio ini.. Mahasiswi semester sepuluh jurusan Arsitektur, asli Medan, penghuni senior di kos Tante Santi yang kuhuni setahun belakangan.

"Galak orangnya" kata si Kristin padaku di awal aku masuk. Tapi tidak menurutku.

Memang dia suka bicara dengan nada tinggi dan terkesan tidak sabaran, tapi sebenarnya dia baik sekali terutama padaku, mungkin karena aku hanya setahun dibawahnya. Tak jarang dia mentraktirku makan malam, biasanya kalau honor pekerjaan sampingan menggambarnya cair.

Sesekali kami berbincang sampai larut malam di kamarnya, terutama tentang pacar-pacar kami dan juga cowok ganteng lain tentunya.

Sebelumnya aku kos tiga tahun di Mrican tapi terpaksa ikut pindah seiring kepindahan kampus jurusanku, Ekonomi, ke dekat kos ini..

"Ah kau ini..ya kedengaran lah. Mana baru tidur pun aku" "Bagus pun suara kau..tapi lebih bagus lagi kalau tak nyanyi" disambung tawanya terbahak-bahak. "Ha..ha..haa..". Aku manyun.

"Mbak, hari ini nggak ada bimbingan?" Sama sepertiku, Mbak Tio juga sedang menyusun skripsi.

"Nggak ada, dosen pembimbingku lagi turun

ngontrol KKN" jawabnya sambil berjalan ke dapur. "Kau mau bikin kopi nggak, Las?"

"Nggak, Mbak. Sayang ya, tinggal dikit kan, Mbak?"

"Heh, apanya? Masih kok kopinya.." "Bukan..itu lho skripsinya."

"Ooh. Kau pun, ngomong kau sambung sambung" gerutunya dari balik dinding dapur yang berbatasan dengan meja tempatku menyetrika.

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Telepon di meja tengah ruangan selasar antara deretan kamar kos berbunyi nyaring.

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Tanggung, dikit lagi nyetrikanya. Paling juga nyariin si Erin.

Kriing...

"Laas. Angkat lah dulu, tanggung nih" teriak Mbak Tio.

"Iya bentar, Mbak. Aku juga tanggung" jawabku bangkit dengan enggan mencabut kabel setrikaan.

"Haloo.."

"Halo, Mbak. Erin-nya ada" jawab suara cowok di seberang.

Tuh kaan.

"Gustav ya? Bentar..."

"Erin...Eriiinn ! Telpoonnn...!!" teriakku menengok ke arah kamar deretan ketiga atau tengah, sejajar dengan meja telepon.

"Bentaar.." jawab Erin dari dalam kamar. Sekejap kemudian, seorang gadis cantik berwajah Indo keluar dari kamar lalu mengambil gagang telepon yang kuletakkan di meja dan berbicara dengan yang mencarinya tadi.

Erin, kami kadang menyebutnya "si bungsu". Selain karena dia paling yunior di kos, paling muda karena baru semester dua, sikapnya juga paling ceria dan manja, mudah akrab dengan orang lain. Tak butuh waktu lama kami se-kos jatuh hati padanya. Ya itu, menganggapnya adik bungsu kami.

"Sekilas mirip Phoebe Coates ya" ujar Yanto, teman kuliahku, sambil melongo saat sedang bertamu di kos dan si Erin menyapaku sebelum ia melintas masuk.

"Hehe. Cantik ya, Papanya bule" jawabku. "Dah punya pacar belum" nadanya berharap.

"Banyak.."

"Hahaha..penonton kecewa" ledekku.

Aku jadi ingat saat pertama kali bertemu dia beberapa bulan lalu. Malam sudah larut sekali sepulang dari mengumpulkan bahan skripsi, kulihat sosok gadis yang tak kukenal sedang berdiri menelepon. Saat didekati, dia berbalik dan setengah melompat terkejut melihatku.

"Kaget ya?" tanyaku.

"Dikit Mbak" jawabnya masih dengan wajah terpana.

Aku tersenyum.

"Itu telpon nyari siapa?"

"Katanya sih nyari Lastri, Mbak. Maaf, Mbak kos

disini juga?" "Aku Lastri, kamarku yang ujung itu" menunjuk

kamarku yang berada paling ujung dalam. "Oh, ini Mbak Lastri ya. Ini Mbak, silahkan" dia

menyorongkan gagang telepon padaku.

"Terima kasih ya" kuterima gagang telepon yang diserahkannya. Ternyata Mas Leon, tunanganku, dia ingin memastikan aku sudah sampai di kos karena tadi tidak sempat mengantarku pulang, ada pekerjaan di proyek yang tidak bisa ditinggal katanya.

Kami sudah merencanakan pernikahan kami, nanti setelah aku menyelesaikan studi.

Aku kembali ke meja setrikaan tadi, mengambil baju yang sudah rapi dan memasukkannya ke lemari dalam kamarku. Mbak Tio sudah duduk di depan kamarnya menyeruput kopi.

"Nih Las, aku bikin sekalian teh buatmu, sayang kali aku masak air banyak tadi" "Makasih. Tumben banget, hujan deras ntar

kayanya nih" kuambil gelas berisi teh di depannya. "Bajigur iik, asem tenan. Bagus dah dibikinin"

umpatnya.

Sedang asyik-asyiknya kami mengobrol dan

bercanda, tiba-tiba,

Ting Tong...

Ting Tong..

Bunyi bel rumah mengejutkan kami berdua, Erin sudah menghilang masuk ke kamar mandi. Terdengar bunyi jebar-jebur siraman air. "Mbak Lastri, ada Mas Leon.." terdengar suara

Mbok Jum dari dalam rumah utama.

Mas Leon? Udah hampir jam sepuluh kok kesini?

"Ya Mbok, sebentar" jawabku dan beranjak ke kamar mengganti piyama pink-ku dengan setelan kaos dan celana selutut. Mbak Tio pun beringsut masuk lagi ke kamarnya.

Melintasi ruangan rumah utama lalu membuka pintu depan, di teras, sudah duduk di sana sesosok pria berseragam bertubuh tinggi tegap, berkulit agak gelap terbakar matahari, Mas Leon.

Dia bangkit menyongsong aku yang berjalan menyambutnya. Diciumnya lembut keningku seraya memeluk erat tubuhku. "Hai Mas, tumben kesini jam segini, nggak telat

ke proyek?" tanyaku setelah kami duduk di kursi

tamu teras.

"Nggak papa, semalem kan ngecor sampai hampir subuh. Agak siangan lah berangkatnya"

"Lastri dah sarapan belom? Nyobain warung lotek deket Mirota situ yuk" lanjutnya mengajakku.

"Ayo. Tapi aku belom mandi nih, ganti baju doang tadi."

"Pantesan dari tadi ada bau asem gimana gitu..." godanya.

"Tapi suka kan?" jawabku manja disambut tangannya mengacak-ngacak rambutku. Sesaat kemudian mobil Katana-nya meluncur membawa kami berdua.

Saat kembali ke kos, Mas Leon ikut turun mengantarku sampai pintu depan rumah. Bersamaan dengan itu, pintu depan terbuka. Erin muncul bersama Sinta, kamarnya bersebelahan denganku dan dia yang mengajak Erin kos di tempat ini. Sepertinya mereka hendak berangkat kuliah. siang.

"Mbak Lastri, Mas Leon..pagi-pagi udah pacaran nih ceritanya" sapa Erin..

"Pagi? Udah siang ini. Hehehe.." jawab Mas Leon terkekeh.

"Mau pada kuliah ya?" tanyaku. "Iya Mbak, kuliah jam satu ntar. Biar nyantai

berangkat sekarang" Sinta menjawab.

"Ikut sekalian yuk, kan searah kampus sama.

proyek"

"Ngga enak ah, Mas. Ngrepotin" "Halah. Kaya sama siapa aja, Rin. Udah gak papa, sekalian Mas Leon mau jalan nih" dukungku. Setelah saling berpandangan sejenak, Erin dan Sinta mengangguk mau.

"Ya udah, ayo masuk semua. Aku berangkat ya, Las". Mas Leon mengecup keningku lagi dan bergegas ke mobilnya, lalu Katana itu melaju seiring lambaian tanganku.

**********

Tiga bulan terakhir ini aku sangat sibuk dengan skripsiku. Waktu habis untuk menyebar kuesioner, melakukan wawancara dengan responden, mengolah data yang telah dikumpulkan dan juga bertemu dosen pembimbing.

Biarpun begitu, selalu kuusahakan sering menelpon Mas Leon dan sebisa mungkin kuluangkan waktu di malam minggu atau hari minggu untuknya. Namun, Mas Leon tak kalah sibuk, sering sekali harus lembur di proyek.

"Ngejar deadline nih, Las. Sorry ya, nggak bisa ngapel" katanya di telepon. "Iya nggak papa, Mas. Kalau besok minggu gimana? Nonton, yuk" jawabku maklum.

"Mmm. Kayanya ngga bisa, Las. Besok juga masuk"

"Kalau Senen, kan ada nomat"

"Apalagi Senen, ribet"

"Oh gitu, ya udah. Mas baik-baik ya. Jaga

kesehatan" "Iya. Kamu juga. Udah ya, aku buru-buru nih"

"Ya Mas. Daah. I love you.."

"Love you too.."

Klek. Tuuttt. Telepon terputus.

Beberapa kali seperti itu yang terjadi setiap kami berbicara di telepon.

Lalu kuperhatikan, saat akhirnya kami bisa bertemu pun sikapnya pun tidak sehangat biasanya. Tapi aku berpikir positif. Mungkin karena memang kami sama-sama sibuk. Dia dengan pekerjaannya dan aku dengan skripsiku.

"Door !!!" Aku tersadar dari lamunanku.

"Mbak Ayu.."

"Ngelamun wae. Itu kuesioner mau mbok apake..? Berantakan di kasur kaya gitu" ucap Mbak Ayu, penghuni kamar seberang, dengan bahasa campuran Jawa dan Indonesia. Lalu ia melangkah masuk kamarku.

Mbak Ayu masih memiliki hubungan saudara dengan Tante Santi pemilik kos, dan dipercaya sebagai wakil Tante Santi untuk urusan kos-kosan seperti pembayaran kos atau jika ada yang harus diperbaiki.

"Jarene sibuk, malah ngelamun"

"Hehehe. Ngaso sebentar, Mbak. Puyeng"

Dia mengambil posisi duduk di ujung kasur dekat pintu. "Iya, podo hee. Aku juga"

"Ngomong-ngomong, Si Leon kok ra tau ketok? Pindah luar Jawa opo?" sambungnya.

"Ora Mbak, masih di sini aja kok"

"Lha kok ra tau teko mrene? Lagi musuhan opo?" "Ora Mbak, apik-apik wae kok" jawabku.

"Lagi podo-podo sibuk wae, Mbak"

"Ooh, yo wis. Ta pikir ono opo. Tapi coba kamu

tanya dia, jangan-jangan ada ganjelan❞

"Maksud Mbak opo?"

"Wong lanang kuwi angel-angel gampang. Kadang di depan diem baik-baik aja, belum tentu di pikirannya lho"

"Sayang ho nek sampe lepas. Ngganteng, mapan, pinter.." pujinya dengan mata berbinar. "lih, Mbak ini. Apa sih? Jangan-jangan Mbak Ayu

naksir po piye? Huuhh.." Aku pura-pura merajuk. Dia tertawa tebahak-bahak. "Yo wis, diterusin kerjaane. Aku turu awan sek" ucapnya sambil bangkit dari duduknya dan berlalu keluar.

"Lho Mbak, jarene sibuk juga..kok malah turu awan?" godaku.

"Gampang, ben digarapke Gito wae" jawabnya menyebutkan nama pacarnya.

"Dasaarr..."

Pembicaraan dengan Mbak Ayu tadi membuatku gelisah. Dan aku tersadar sudah tiga hari tidak berkomunikasi dengan Mas Leon. Kangen juga sama dia. Aku telpon dulu deh, daripada nggak tenang ngerjain skripsi.

Setelah berganti baju sekadarnya, aku keluar menuju Wartel yang hanya berjarak tiga rumah dari kos. Aku masuk ke bilik wartel dan memencet nomor telepon kantor Mas Leon, seperti biasanya. Setelah beberapa nada panggil, teleponku diangkat.

"Halo selamat sore"

suara seorang pria menjawab.

"Selamat sore Pak. Maaf bisa bicara dengan Pak Leon?"

"Pak Leon? Sebentar ya Mbak" jawabnya. Kutunggu beberapa saat.

"Halo Mbak, Pak Leon nya nggak masuk hari ini" Aku terkejut "Nggak masuk? Kenapa katanya Pak?"

"Kurang tau Mbak"

Lalu terdengar suara wanita di belakang pria itu.

"Nyari siapa? Pak Leon? Sakit"

"Oh, sakit katanya Mbak" pria itu meneruskan. Aku tambah terkejut saat itu. "Oh gitu, terima kasih ya Pak"

Tanpa pikir panjang aku berlari kembali ke kos, buru-buru berganti baju dan meminjam sepeda motor Mbak Ayu.

"Mau kemana, Las?" menyerahkan kunci dan STNK.

"Ke kontrakan Mas Leon, kata kantornya dia

sakit"

"Lho, dia sakit nggak bilang ke kamu ya?"

"Justru itu, Mbak...aku takut sakitnya parah"

"Mau ditemenin nggak?" "Nggak usah, Mbak, terima kasih. Aku pinjem dulu ya, Mbak.."

Dengan kecepatan tinggi kubawa motor Grand milik Mbak Ayu meliuk-liuk diantara kendaraan lain. Tak kupedulikan klakson mereka, hanya satu yang kupikirkan, sampai ke tempat Mas Leon.

Sesampainya di kontrakan Mas Leon, kuparkir motor di halaman dan mengetuk pintu depan.

Tok..tok..tok...

Pintu terbuka. Mas Felix, teman satu kontrakan Mas Leon, menyembulkan kepalanya.

"Lho, Lastri?!" sapanya kaget. Sikapnya aneh, tak seperti biasanya jika aku dan Mas Leon di kontrakan itu.

"Mas Leon ada, Mas? Kata kantor dia sakit" "Eeh..eeh.." dia terbata-bata menjawab.

Aku jadi geregetan. Kudorong pintu itu hingga Mas Felix terdorong ke belakang. Aku berlari menuju kamar Mas Leon di belakang. Kubuka pintunya yang tidak terkunci. Dan seperti petir menyambar tubuhku saat itu....

"Mas Leon..?!" "Erin..?!"

"Kaliaan...?!"

Rasanya bagai langit runtuh menimpaku. Aku berbalik badan dan berlari keluar. Benar-benar tak kupercaya telah menyaksikan orang yang akan menjadi suamiku berduaan dengan gadis yang telah kami anggap saudara.

Entah sejak kapan mereka menjalin hubungan terlarang itu. Mas Leon berlari berusaha mencegahku pergi.

"Las..Lastrii..tunggu.." Kutepis keras tangannya yang memegang bahuku. Tak sudi aku melihat mukanya. Pandanganku kabur, air mataku mengucur deras tak tertahan.

Kulewati Mas Felix yang hanya berdiri terdiam. Lalu kudengar ia berteriak pada Mas Leon. "Apa aku bilang coba? Kejadian kan!"

"Diem kamu, Lix. Nggak usah ikut campur.."

Aku berbalik sejenak, kutatap wajah Mas Leon penuh kemarahan. Kulepas cincin pertunangan dari jariku dan dilemparkan ke tubuhnya.

"Terlalu kamu, Mas..!!" teriakku.

"Mbak..Mbaak Lastriii..maafin Erin, Mbak..." tiba tiba Erin berlari menyusulku. Dia memelukku erat dari belakang, berusaha menahanku menaiki motor. Kugerakkan seluruh tubuh melepaskan pelukannya hingga ia jatuh terduduk di tanah. Ngga sudi aku kamu sentuh. Jijik aku.

Dan saat itu kurasakan nyeri menusuk dadaku. Tapi kuabaikan dan terus melajukan motor kembali ke kos.

"Lastri. Kamu kenapa..?" tanya Mbak Ayu saat aku masuk ke kos. Mbak Tio dan Sinta ikut menatapku bertanya-tanya.

"Nggak papa, Mbak. Ini saya kembaliin kuncinya. Terima kasih ya, Mbak" jawabku tersedu kemudian menghambur masuk ke kamar, mengunci pintu dan menangis di tempat tidur. Tak kupedulikan mereka yang mencoba mengetuk pintu dan memanggil namaku.

"Las..Lastrii. Buka dong. Kamu kenapa..?" tanya Mbak Ayu dan Mbak Tio beberapa kali.

Entah berapa lama aku menangis. Mas Leon, Tega sekali kamu Mas. Tiga tahun sudah kita lewati bersama. Dan cincin tunangan ini sudah 6 bulan aku pakai.

Sebentar lagi aku lulus Mas. Dan kita nikah, seperti janji kamu ke aku. Aku kurang apa sih Mas?

Kita pacaran dari kamu masih kuliah, belum punya apa-apa. Apa sayangku belum cukup, perhatianku belum cukup.Atau kamu memang maunya cewek yang secantik Erin buat jadi istrimu? Kamu lupa semua kenangan kita? Kamu lupa semua janji kita?

Semua kenangan tentang kami, perasaan cinta dan benci, rasa terkhianati, semua berkecamuk dalam hatiku. Kembali kurasakan nyeri di dada menusuk-nusuk.

Aku merangkak turun dari tempat tidurku.

Gelap. Kuraba dinding mencari saklar dan menyalakan lampu kamar. Di luar kamar masih terang dan kudengar banyak orang yang berbicara.

"Gila kamu ya, Rin. Tega-teganya kamu sama Lastri..!!!" suara Mbak Ayu yang biasanya lembut terdengar keras sekali. Lalu kudengar suara tangisan Erin, mengucap

terbata-bata. "..iy..aa Mbaak. E..riin sa..laah.."

"E..rriin mii..taa..maa..aaaff.."

"Jangan minta maaf ke kita, nggak ada gunanya. Ke Lastri tuh. Kalau aku yang digituin, udah aku bejeg-bejeg kamu.." jawab Mbak Ayu geram.

"Kau itu Erin...kayak pagar makan tanaman. Kurang baik apa itu si Lastri sama kau. Calonnya kau embat pula..!!"

"Udah, Mbak..cukup" aku keluar dari kamar.

Erin menghambur mencoba memelukku, tak henti-hentinya bibirnya berkata maaf memohon. ampun.

"Aku dah nggak tau mau ngomong apa, Rin. Aku juga nggak tau sekarang gimana perasaanku" "Sudahlah, mungkin memang Mas Leon bukan jodohku" Dan tangisku kembali tak terbendung. Kurasakan beberapa tangan menopang dan memapahku ke kursi. Erin bersimpuh di depanku. Sekilas kulihat Mbok Jum berdiri di pintu dapur menyaksikan kegaduhan yang terjadi.

Kutatap Erin lagi, kebencian yang memuncak mendorongku ingin sekali melakukan hal terburuk padanya. Tapi sesuatu dalam diriku mencegahnya. Lama aku terdiam.

"Sabar ya, Las. Sabar.." Mbak Ayu mengelus

ngelus pundakku. "Iya Mbak. Sabar.." Sinta turut meneteskan air mata. Rasa nyeri datang lagi. Kutarik nafas dalam-dalam

dan menghembuskannya perlahan..

"Iya, aku udah nggak papa" Dan malam itu aku tidur ditemani Mbak Tio.

"Biar kalau kau mau macam-macam ada yang megangin" begitu katanya.

Besoknya, kudengar dari Mbak Ayu, pagi-pagi sekali Erin keluar dari kos kami. Tante Santi yang mendapat laporan dari Mbok Jum mengusirnya. Tapi kurasa tidak diusirpun dia akan keluar sendiri.

Hari demi hari penuh kesedihan pun harus kulalui. Namun aku tetap bertahan.

Belakangan aku tahu dari cerita Mbak Tio, bahwa Mas Leon berkali-kali datang ke kos tetapi anak-anak kos dan Mbok Jum kompak mengatakan padanya kalau aku tidak ada.

Begitu juga saat dia meneleponku.

Untungnya kegiatanku di kampus boleh dibilang sudah tidak ada, hanya meyusun skripsi di kos, sehingga aku tak perlu menghindari Mas Leon jika dia mencariku di kampus.

Dan akhirnya sepertinya dia berhenti mencariku. Syukurlah, karena aku juga sudah bertekad akan menata hatiku perlahan. Akan sangat sulit untukku jika dia masih berada di dekatku.

Kukira semua akan berjalan baik. Hingga malam itu....

Long weekend karena tanggal merah jatuh di hari Jumat. Aku hanya tinggal bertiga di kos bersama Mbok Jum dan Sinta. Penghuni kos lain pulang kampung atau pergi berlibur.

Aku enggan sekali pulang ke Madiun tempat asalku, aku malas mencari-cari alasan jika Bapak dan Ibu menanyakan kabar Mas Leon.

"Lho, kok pulang sendiri? Leon-nya mana?" pasti begitu pertanyaan mereka.

Entah ya, kalau mereka sudah tahu sendiri dari Mas Leon.

Sinta, setahuku tinggal di Solo, tapi dia memang jarang pulang kampung karena orangtua nya pengusaha yang sama-sama sibuk. "Males aku Mbak, pulang juga ketemunya sopir sama pembantu tok" ucapnya suatu kali.

Sudah hampir lewat tengah malam, aku sedang menonton televisi di ruang rumah utama ditemani Mbok Jum yang duduk terkantuk-kantuk. Sinta tidak kelihatan keluar dari kamarnya sejak makan malam tadi, sepertinya ia sudah terlelap ke alam mimpi. Tiba-tiba,

Kriing... Kriiing...

Kriing...

Telepon kos berdering kencang.

"Mbok, Mbok Jum..." panggilku, berharap dia bangun dan mengangkat telepon itu.

Namun ternyata ia sudah terlelap. Ah, paling Sinta yang ngangkat.

Biarin aja.Tetapi, sekian lama berlalu....

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Telepon itu tetap berdering tiada henti. Dengan ogah-ogahan aku bangkit dari sofa tempat ku duduk.

Terpaksa, daripada berisik.

Pokoknya, kalau Mas Leon, aku tutup.

"Halo.." tak ada yang menjawab, hanya suara ruang kosong yang terdengar. "Halo...cari siapa ya?"

"Hhhhh...Maafin aku Lastri.." suaranya pelan dan berat, tapi aku mengenali suara siapa.

Mas Leon !!

Aku sudah akan menutup telepon berkata lagi saat dia

"Jangan tutup, Lastri..hhhhh" "Aku minta maaf. Hhhh...Aku tau aku salah.. Hhhh...Aku khilaf"

"Hhhh...Aku tau kamu sakit hati..hhhh..dan benci sekali sama aku"

"Aku...hhhh...cuma mau minta maaf" Dia berhenti sejenak.

"Hhhh...aku nggak akan ganggu kamu lagi..hhhh" "Hhhh..baik-baik yaa...Aku sayang kamu"

Klek.

Tuuuuttttt...

Air mataku tiba-tiba kembali menetes.

Sejujurnya jauh dalam hatiku masih tersimpan rasa sayang padanya. Kenangan-kenangan indah kami langsung terputar ulang di kepalaku. Ingin sekali rasanya tadi ku mengucap "Ya, Mas. Aku maafin"

Entah jika nanti luka hati ini telah kering, mungkin aku akan ucapkan itu, Mas.

Kembali ke ruangan utama, aku matikan televisi dan kembali ke kamar setelah membangunkan Mbok Jum supaya tidur di kamarnya. Dan aku langsung terlelap.

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Dering telepon itu kembali membangunkanku.

Mas Leon...?

Bergegas keluar kamar, kuangkat lagi telepon itu.

"Halo.."

"Halo, selamat malam. Maaf ini dengan Mbak siapa ya?" terdengar suara pria berbicara, dengan latar belakang sirene, entah ambulan atau mobil polisi.

"Lho, Bapak mau cari siapa nelpon kesini?" "Maaf Mbak, betul Mbaknya ini Mbak Lastri, saudara atau temannya Mas Leon?"

"Iya, saya Lastri. Saya temannya Leon. Maaf, ada apa ya, Pak" perasaanku tidak karuan, masih terlalu sakit hati kalau aku menjawab tunangannya.

"Oh, begini, Mbak...Ini saya temukan nomer telepon ini di balik kartu nama di dompetnya. Makanya saya hubungi Mbak"

Deg..! Jantungku berdebar kencang.

"Lho, memang Mas Leon nya di mana, Pak?"

"Mmm, begini, Mbak. Mohon maaf, yang tabah ya, Mbak" "Lho..lhoo...kenapa, Pak?"

Dadaku mulai nyeri lagi.

"Teman Mbak kecelakaan"

"Haahh..?!?

"Kecelakaan dimana, Pak? Keadaannya gimana, Pak?" Nyeri itu semakin menusuk.

Aku kehilangan keseimbangan. Kucoba sekuat tenaga berpegangan meja supaya tidak terjatuh.

"Maaf, Mbak, teman anda sudah tidak tertolong"

Mas Leon..!!! Pandanganku gelap seketika. Badanku terjatuh keras ke lantai. Aku tak bisa bernafas. Nyeri yang menusuk dadaku tak tertahankan lagi..

"Tolong...tolong..." teriakku tanpa suara yang keluar dari mulutku.

"Tolong..."

Samar sekali kulihat pintu kamar Sinta terbuka. Dia berteriak-teriak berlari menghampiriku. Memeluk tubuhku di pangkuannya. Kulihat mulutnya memanggil-manggil namaku, tetapi aku tak mendengar apa-apa.

"Tolong...." Kemudian gelap.

***********

#3 TABIR YANG TERUNGKAP

Aku terbangun, kusadari posisiku ada di lantai.

Kutengok sekeliling, aku masih di kamar Fay. Sinar matahari mengintip dari sela-sela ventilasi di atas pintu dan jendela, menyilaukan mataku. Wah, mengerikan sekali mimpi tadi. Kuraba wajah dan sekujur tubuhku. Kutepuk-tepuk pipiku.

Syukur Ya Tuhan, aku masih hidup.

Satu hal yang langsung membuatku tersentak. Mbak Lastri..!!

Buru-buru aku bangkit dan membuka pintu. Terang sinar matahari yang menembus sebidang genteng kaca di atas selasar kos memaksa mataku terpicing.

Kemudian kuarahkan pandangan ke kamar di ujung kanan, berbatasan dengan dinding belakang bangunan kos kami, dimana terakhir kulihat Mbak Lastri masuk kamar itu. Kembali bulu kudukku merinding, teringat

mimpi semalam.

Wajah hantu wanita yang mirip sekali dengan Mbak Lastri, atau mungkin samarannya, menatap dengan pandangan memelas, mendekat dan mendekat.

Hanya mengucap "Tolong..." berkali-kali. Untung udah siang.

Tiba-tiba,

Kriiing...Kriiing....Kriiingg..

"Damn!" terlepas dari mulutku. Jarang sekali aku mengumpat seperti itu. Dengan takut-takut aku mengangkat gagang telepon.

"Halo..."

"Halo. Feli, ya?"

Ah, Tante Santi.

"Eh, Tante? iya, ini Feli" jawabku lega.

"Kamu kemana aja dari tadi? Tante telpon dari jam tujuh tadi nggak ada yang ngangkat" Kulirik jam dinding di dekat meja telepon. Buset, dah jam sepuluh..!!

"Oh ya? Beneran, Tante?"

"Masa Tante bohong. Kamu begadang ya semalem" "I-lya Tan, film di tv bagus banget" aku berbohong.

"Tante masih di Timoho. Mbok Jum udah sampai belum ya? Tadi Tante suruh duluan, kasian kamu sendirian" tanyanya.

"Di kosan sih ngga ada kayanya, Tan. Nggak tau ya kalau di rumah" jawabku.

"Coba kamu kedalam, kalau ketemu dia, Tante titip pesan. Denger baik-baik, jangan sampai lupa" "Ya Tante. Pesan apa?" Aku menyeret kursi dan duduk, menyimak pesan Tante Santi.

"Nih, ntar bilangin Mbok Jum. Bilang disuruh Tante ambil bungkusan warna ijo di kamar ujung, seberang kamar Maria. Terus suruh bawa keatas, taruh depan kamar Tante.".

"Tadi lupa mau ngomong soalnya" lanjutnya. Kamar ujung...seberang kamar Maria. Lho, itu kamar Mbak Lastri..?!

"Fel..denger ngga?" tanyaTante

"I-lya, Tante. Denger.."

"Tapi, Tante.."

"Tapi apa?"

"Memang nggak dikunci kamarnya?" lanjutku.

"Mbok Jum punya kuncinya kok"

"Orangnya nggak papa tuh, Tan?" "Orangnya? Ya nggak papa lah, kan udah tugasnya Mbok Jum" suara Tante mulai tidak sabar.

"Bukan, Tan, bukan Mbok Jum.."

"Lha terus..?"

"Itu..yang punya kamar emang nggak marah?"

"Yang punya kamar? Maksud kamu apa sih,

Fel..?"

"Maksud aku, Mbak Lastri nya emang nggak marah kalau Mbok Jum masuk-masuk kamar nggak ijin dulu?

"Siapa, Fel..? Coba ulangi.." suara meninggi.

"Mbak Lastri, Tante..." jawabku.

Dan dari nada suaranya aku mulai mencium sesuatu yang tidak beres. "Kamu kok tau Mbak Lastri? Siapa yang cerita?

Mbok Jum?" "Feli ketemu orangnya, Tan, minggu lalu"

"Ming-minggu lalu..? Kamu..kamu jangan bercanda ya Feli?" kudengar suara Tante bergetar.

Deg..! Dadaku semakin berdebar.

"Enggak, Tante, aku nggak bercanda. Malem malem aku ketemu dia. Memang kenapa kok Tante ngga percaya?" Tante terdiam beberapa saat. Kudengar dia menghela nafas dan berucap pelan.

"Hmmhh, ya udah. Tante titip pesen gitu aja ya buat Mbok Jum. Nanti kamu bisa tanya Mbok Jum deh"

"Udah ya, kamu baik-baik sama Mbok Jum disitu. Besok Tante akan pulang pagi-pagi"

Telepon pun ditutup.

"Mbak.." Aku hampir terjatuh dari kursi.

Kutengok ke belakang, Mbok Jum tiba-tiba sudah berdiri di dekatku.

"Haduh, Mbok..jantungan aku, Mbok"

"Maaf, Mbak. Mbok pikir Mbak Feli denger

Mbok masuk sini" jawabnya.

"Ya udah nggak papa. Mbok Jum kapan dateng? Kok aku nggak tau?"

"Barusan aja, Mbak. Tadi terus langsung ke atas beresin kamar Ibu"

"Oh, pantes"

"Eh Mbok, ada pesan dari Tante, katanya suruh ambil bungkusan warna ijo di kamar ujung"

"Oooh, kamar ujung. Iya, Mbak, makasih. Mbok ambil kunci dulu" dia hendak berbalik badan.

"Eh, tunggu, Mbok..emangnya orangnya nggak marah Mbok masuk-masuk gitu?"

Dia menatapku dengan pandangan bingung kemudian menoleh ke arah kamar itu, dan kembali menatapku.

"Mbak Feli ngomong apa sih?"

"Iya, emang Mbak Lastri nggak marah?" Mata Mbok Jum terbelalak dan alisnya terangkat, kelihatan sekali dia terkejut.

"Mbak Lastri?"

"Mbak Feli denger dari siapa tentang Mbak Lastri" tanyanya lagi.

"Ini Mbok sama aja sama Tante deh nanyanya.." "Aku ketemu kok sama dia"

Matanya kembali terbelalak, mundur selangkah. "Mbak Feli yang bener ah...jangan nakut-nakutin.." "Nggak baik bercandain orang udah nggak ada.."

Deg lagi...!! Firasatku semakin tidak enak.

"Maksudnya..?"

"Itu..Mbak..Mbak Lastri kan udah nggak ada, udah meninggal." jawabnya berbisik pelan sekali.

"Kena serangan jantung"

Apa..?!

"Meninggal..?!"

"Iya, udah lama sih kejadiannya. Tujuh tahunan yang lalu." "Itu memang dulu kamarnya, dan habis dia nggak ada ditempatin orangnya ganti-ganti terus ngga ada yang betah."

"Terus..?"

"Udah tiga tahunan kosong"

"Tapi..kata Lia, semua kamar penuh. Cuma memang ada kamar yang orangnya jarang pulang ke kos" "Iya, itu Ibu yang suruh Mbok bilang begitu, biar nggak pada takut.."

Berarti... Hantu wanita itu...yang mirip Mbak Lastri itu...Beneran..!!

Mbak Lastri....

"Ya udah, Mbak, nggak usah dipikirin. Mbok ambil kunci dulu ya.." dan ia berlalu ke dapur.

Tinggal aku berdiri sendiri di depan meja telepon. Antara takut dan penasaran, kutengok kembali kamar ujung itu. Gorden kamar itu tiba-tiba bergerak. Terlihat sesosok bayangan di dalam.

"Mbook...Mbok Juummm !!!" Aku berlari secepat kilat ke dapur, masuk ke rumah utama. "Ada apa to Mbak teriak-teriak?" dia menjawab dari pertengahan tangga. "Mbok ngambil kunci sampe hampir jatuh ini.." Aku merapat ke tubuhnya, menggigil ketakutan.

"Takut, Mbok...takuutt..." "Takut kenapa, Mbak? Jangan bikin Mbok serem gini..."

"Itu Mbok, barusan aku liat gorden kamar itu gerak, terus keliatan ada bayangan di dalem..."

"Yang bener, Mbak? Duh, Mbok jadi ikut merinding ini.." Kini kedua tanganku semakin rapat memegang lengannya. Lalu dia mengajakku duduk di sofa depan televisi tempat kami anak kos biasa bercengkrama dengan Tante Santi sambil menonton TV. "Takut, Mbok...kok jadi serem gini sih di sini, Mbok.." aku meratap.

"Udah, Mbak, jangan mikir gitu. Mungkin Mbak salah liat, kan bisa. Habis tadi Mbok kasih tau itu.." jelasnya perlahan.

"Lagian siang-siang gini mana ada hantu sih.." "Iya sih, Mbok. Mungkin ya.." Seorang temanku pernah bilang kalau seseorang bisa saja mengalami halusinasi saat berada dalam kondisi tertekan atau berada dalam suasana baru yang asing baginya. Apakah mungkin saat ini aku mengalami hal itu? Aku jadi ragu pada kewarasanku sendiri.

"Mbok, ceritain dong, dulu itu gimana?" lanjutku.

"Cerita apa, Mbak?"

"Itu..Mbak Lastri.."

Dia menatapku dalam. "Yakin mau Mbok ceritain?". Aku mengangguk. Rasa penasaran ini harus dituntaskan. Setelah menghela nafas sejenak, selanjutnya.

"Dulu tahun sembilan satuan, Mbak Lastri itu kos disini sampe hampir lulus, terakhir dia sedang proses skripsi. Anaknya cantik dan baik, ramah lagi. Dia punya tunangan namanya Mas Leon, udah kerja waktu itu. Orangnya tinggi gagah, hitam manis gitu. Bentar lagi mereka mau nikah, nunggu Mbak Lastri lulus". Mata Mbok Jum terlihat berkaca-kaca.

"Terus, waktu itu, disini juga ada anak kos yang cantik, kaya bule, namanya Erin. Masih tingkat satu kalau ga salah. Anaknya lincah dan ceria gitu, cepet akrab sama orang. Kesayangan Mbak-Mbak yang lain di kos ini"

"Terus, Mbok.."

"Nggak tau gimana, waktu Mbak Lastri ke kontrakan Mas Leon, dia kepergok lagi selingkuh sama si Erin ini. Uuh..heboh banget waktu itu pokoknya"

"Duh, kasian banget yaa.."

"Iya, Mbok aja ikutan nangis ngeliat Mbak Lastri digituin. Temen-temennya apalagi, udah dihajar si Erin itu" mau

"Terus, Mbok.."

"Habis itu, ya udah putus mereka. Mbak Lastri nggak mau ditemuin Mas Leon lagi, nerima telpon aja ngga mau"

"Oh, habis itu Mbak Lastri sakit, Mbok?"

"Mbok kurang tau juga sih. Tapi puncaknya pas malam itu, kalau nggak salah seminggu atau dua minggu habis kejadian yang tadi itu..." Mbok Jum merenung lagi.

Aku turut terdiam, dapat kubayangkan perasaan yang dialami Mbak Lastri.

"Malem itu, Mbok denger Sinta teriak-teriak" "Sinta? Siapa itu, Mbok?"

"Anak kos juga, kamarnya dulu di kamar Mbak Fay itu. Dia teriak-teriak minta tolong, sampai kedengeran dari kamar Mbok"

"Memang yang lain pada kemana?"

"Waktu itu kaya sekarang ini, anak kos pada pulang liburan, tinggal bertiga di sini. Mbok, Sinta sama Mbak Lastri"

"Terus..terus...?"

"Mbok buka pintu dapur, ngeliat ke kos, si Sinta lagi meluk Mbak Lastri di lantai. Mbak Lastri nya udah ngga bergerak, mukanya pucat sekali"

"Mbok langsung lari keluar, minta tolong ke wartel sebelah itu"

"Mas mas yang di wartel pada lari kesini, ada juga yang nelpon ambulan. Tapi sampe sini Mbak Lastri udah ngga tertolong"

"Duh, kasian banget ya Mbak Lastri" "Iya, tragis banget, habis itu Mbok tau Mas Leon juga meninggal"

"Hah.!? Meninggal juga?". Aku semakin merinding.

"Iya, ada yang nelpon kesini ngabarin. Polisi."

"Katanya tadi sempet nelpon Mbak Lastri, terus keputus gitu telponnya. Kalau kata Sinta, mungkin ya pas waktunya dia denger suara orang jatuh, dia buka pintu ternyata Mbak Lastri" Aku rasanya ingin menangis sejadi-jadinya. Pindah kos, satu-satunya yang kuinginkan. Lalu aku teringat, Mama udah bayar kos ini enam bulan dengan sisa-sisa tabungannya.. Kasihan sekali jika uang tadi kusia-siakan. Aku sendiri tak memiliki uang lebih, pasti tidak cukup untuk membayar kos di tempat lain. Dan aku hanya bisa sesenggukan di pelukan Mbok Jum.

*******

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!