Seika Pov
Aku benci persahabatan, aku benci dengan orang sok akrab denganku. Karena nyatanya, orang yang sudah aku anggap sahabat, bahkan aku anggap saudaraku sendiri, tega melemparkan aku ke lumpur yang sangat menjijikkan.
Karena dia, aku dihakimi seenak jidat oleh sekelompok orang pemeras uang. Karena dia, hutangku menumpuk dan terpaksa menikah dengan aki-aki mesum mata keranjang demi melunasi hutangku.
Mulut memang tiada tanding tajamnya. Aku berjanji, tidak akan mengenal dekat orang asing lagi. Apalagi, bekas brandalan seperti dia. Bodoh! Sangat bodoh aku menaruh kepercayaan yang begitu besar kepadanya.
Dan ini, awal kisah tragisku ...
Sore itu ... aku baru saja sampai di kampung halamanku. Aku disambut hangat oleh Ayahku. Ya, hanya Ayahku. Karena Ibuku, telah tiada satu tahun yang lalu karena terkena diabetes. Aku berjuang seorang diri untuk menghidupi Ayahku yang sakit-sakitan semenjak Ibuku tiada, dan menyekolahkan Adikku yang baru beranjak sekolah menengah.
Hujan deras mengguyur kampung kelahiranku. Hawa dingin menusuk hingga tulangku. Beralas kasur tipis dan selimut seadanya, aku meringkuk menghayati hawa dingin yang tengah menggerogoti tubuhku.
Hingga suara ponsel berdering memaksaku untuk bangun dan mangangkat telepon.
"Iya, Sha. Ada apa?"
"...."
"Hah! Yang benar kamu?!"
"...."
"Oke, besok aku kembali ke sana. Jangan panik, aku yakin semua akan baik-baik saja, oke!"
"...."
"Sama-sama, Risha sayang. Kalau gitu, aku lanjut tidur lagi, ya. Ngantuk,"
"...."
"Bye ..."
Aku menyentak nafasku kasar. Risha ini, sahabat yang aku temui di jalanan ketika aku pulang kerja.
Ngomong-ngomong soal kerja, aku bekerja di sebuah toko bangunan terbesar di kota Jakarta. Namanya Orland Mart. Di sana, aku bekerja sebagai karyawan biasa. Tapi gajiku lumayan tinggi, tiga juta lima ratus ribu rupiah untuk sekelas tamatan sekolah menengah pertama, sangat lumayan, bukan?
Keesokan paginya, aku benar kembali ke Jakarta demi menemui sahabatku--Risha Aprillia. Aku meninggalkan uang untuk pegangan Ayah. Meski sedikit, aku tetap bangga karena itu hasil kerja kerasku. Yang penting cukup untuk kebutuhan Ayah dan Aninda Athari-adikku selama kurang lebih dua minggu.
Aku hanya mampu menaiki bus kelas ekonomi karena uangku sisa sedikit sekali. Aku harus beririt-ria supaya cukup sampai aku gajian lagi.
Sesampainya di Jakarta, aku dijemput oleh teman kerjaku, Rosania Clayse menggunakan motor matic miliknya. Dia adalah kasir di Orland Mart.
"Ros, maaf merepotkanmu," ucapku tak enak hati karena pasti Rosania menungguku lama.
"Kek sama siapa aja, lu. Dah, skuy kita balik kosan. Si Mayang udan kelaperan lagaknya. Pake acara nitip soto betawi segala," Ros membantuku membawa kardus di tanganku yang isinya kripik singkong dan kripik pisang kesukaan aku dan Mayang.
"Sekali lagi, makasih ya, Ros. Kamu benar-benar teman yang paling mengerti aku," aku memeluk Ros dengan perasaan haru. Jarang sekali di kota metropolitan ini mencari pemuda atau pemudi yang baik hati dan tulus sejati, seperti Rosania, Mayang, dan ah, yang satu itu udah nggak masuk daftar lagi.
Lima belas menit kemudian, aku sampai di kosan kami. Mayang menyambutku dengan tawa girangnya. Apalagi kalau bukan demi kripik kesukaannya.
"Wah! Ini pasti krupuk pesanan aku!" seru Mayang girang. Ia menyambar kardus yang masih berada di tanganku.
Aku tergelak mendengar celotehan Mayang ini.
"Keripik, woy! Keripik! Krupuk mulu ah lu nyebutnya. Norak, lu. Seika yang orang ndeso aja nggak norak-norak amat," sergah Rosa sebal. Aku semakin tergelak oleh tingkah kedua teman unikku. Satu yang aku rasakan ... aku merasa, tidak sendiri. Aku punya teman dan sahabat yang sangat mengerti aku, meski aku berasal dari kampung.
(Ndeso : pedesaan)
"Oh ya, maaf aku nggak bisa lama-lama di kosan. Aku ada janji sama Risha. Dia kayanya lagi ada masalah,"
Kompak, kedua temanku memutar bola mata mereka jengah.
"Kamu nggak capek dimanfaatin si Risha mulu, Sei. Aku heran sama kamu," sungut Mayang tak terima.
"Dia sahabatku, May. Mana mungkin aku membiarkan dia dalam masalah," aku menatap mereka sendu. Ada gurat kekecewaan di wajah mereka karena pasti, aku yang tidak pernah mau menjauhi Risha.
"Harusnya, hari libur ini kita have fun sama-sama, Sei. Sesuai rencana kita kemarin, kan? Dan udah berapa kali kamu gagalin rencana kita cuma demi Risha si brandalan itu. Aku kecewa sama kamu, Sei," lirih Mayang dengan mata berkaca-kaca.
"Bener kata Mayang. Gua juga kecewa sama lu, Sei. Gue bela-belain jemput lu sampai lupa beliin soto betawi si Mayang, demi bisa weekend-an sama lu, Sei. Lu kek nggak nganggep kita-kita sahabat, deh," sahut Rosa memberenggut kesal.
"Maaf, aku nggak bisa ngebiarin Risha dalam masalah besar. Tapi aku janji, ini yang terakhir kalinya aku bantuin Risha." aku merentangkan tanganku dan merengkuh pundak Mayang yang disusul oleh rengkuhan Rosa di belakang Mayang.
"Kita sayang sama lu, Sei. Kita nggak mau lu dimanfaatin terus sama Risha atas dasar persahabatan. Sahabat itu, saling melengkapi, saling menyayangi, dan saling menghargai. Bukan manfaatin yang lemah gini."
Aku janji akan menyelesaikan masalah Risha, dan mencoba untuk abai segala tentang Risha. Mungkin kalian memang benar, Risha bukan sahabat yang baik. batinku risau.
Aku baru saja sampai ke tempat tongkrongan Risha. Dan langsung aku disambut hangat oleh gadis berkulit kusam dan berpakaian urakan. Ya, Risha adalah anak punk. Tapi aku sangat menyayanginya, karena aku begitu tersentuh ketika dia menceritakan kisah hidupnya.
Katanya, dia anak yatim piatu sejak berusia enam tahun dan diasuh oleh Bibinya. Tapi setelah menginjak usia tujuh belas tahun, dia hendak dijual ke tempat perda*angan wanita. Beruntung dia berhasil melarikan diri dan bertemu dengan salah satu anggota punk di jalan. Lalu, dia bergabung dan saat ini dia sudah menjadi ketua di kelompoknya.
"Seika! Ah, aku sangat merindukanmu!" seru Risha lalu memelukku erat. Bau tak sedap dari tubuh Risha sudah hal biasa bagiku. Aku berpegang pada prinsip tidak membeda-bedakan teman, bagaimanapun keadaannya.
"Iya, aku juga," balasku, lalu melepas pelukan kami.
"Bagaimana dengan masalahmu?" tanyaku tak mau berbasa-basi.
Terlihat Risha menghela nafasnya kasar dan raut wajahnya berubah sendu.
"Aku dituduh mencuri ponsel mahal milik seorang preman pasar, Sei. Padahal, aku tidak mencuri sama sekali," ungkap Risha.
"Lalu?" aku masih menyimak kelanjutan ceritanya agar aku paham, inti dari masalahnya.
"Aku harus mengembalikan ponselnya yang hilang, lalu mengambil pilihan dibawa ke kantor polisi atau membayar denda,"
Aku menyentak nafasku kasar mendengar perkataan Risha. Lagi-lagi uang yang jadi masalah. Hampir setiap bulan aku harus merogoh uang untuk sahabat nakalku ini.
"Baiklah, antar aku ke orang itu. Aku akan mencoba bernegoisasi," pungkasku.
Singkat cerita, aku dan Risha berangkat menuju pasar yang menjadi tempat pemalakan preman yang dimaksud Risha, dengan menaiki angkot.
Ada rasa takut yang hinggap dalam benakku kala mengingat orang yang akan aku hadapi ini seorang preman.
Dan sebenarnya, aku pun merasa ada yang janggal dengan Risha. Dia ketua anak punk, tapi kenapa menyelesaikan masalah seperti ini saja harus memanggilku? Bukankah anak buahnya banyak dan mereka semua tahan banting?
Beberapa saat kemudian, angkot yang kami tumpangi berhenti di depan pasar tradisional, tak jauh dari letak tempat tongkrongan Risha dan kawan-kawannya. Setelah aku membayar jasa angkot, aku segera menyusul langkah kaki Risha yang sudah meninggalkanku begitu saja.
Tepat di sebuah gang sempit yang berada di belakang pasar, terlihat sekitar lima orang yang kuduga merekalah premannya.
"Wah, akhirnya datang juga lu, Bocah!" seru salah seorang preman berambut gondrong.
"Bang, ini teman yang akan bertanggung jawab atas kesalahanku,"
Deg.
Aku merasa dihempaskan ke dalam angin ****** beliung kala mendengar pernyataan Risha.
"M-maksud kamu, aku yang bertanggung jawab?" tanyaku masih belum percaya.
"Ya iyalah, Sei. Terus siapa lagi?" decak Risha sebal.
"Tapi aku nggak ada uang sekarang, Rish. Dan juga, aku hanya membantu. Bukan bertanggung jawab," protesku.
"Tapi aku nggak mau digilir sama mereka, Sei. Aku nggak mau punyaku longgar gara-gara diterjang terong bengkak milik mereka," rengek Risha ketakutan.
Aku terdiam sejenak. Setelah itu, aku mendekati preman yang berambut gondrong. Lalu aku berkata. "Berapa yang harus Risha bayar, Bang?" tanyaku ketus.
"Dua puluh juta. Lu ada duit, hah?" tanyanya dengan nada mengejek.
"Beri aku waktu tiga hari, maka aku akan segera membayar denda sahabatku," tawarku mencoba bernegoisasi.
Kelima preman itu tampak berdiskusi. Dan selanjutnya, preman bertubuh paling kekar dan paling hitam menghampiriku, lalu berkata. "Baik, tiga hari saja. Aku akan menggilir sahabatmu kalau sampai kau bohong," ucap preman itu dengan nada sarkas dan penuh penekanan.
Nyaliku ciut seketika. Keringat dingin meluncur bebas keluar dari dahiku. Aku hanya mengangguk menyetujui kesepakatan yang telah dibuat. Bagaimanapun juga, aku nggak tega kalau sampai Risha digilir oleh orang-orang jorok seperti mereka. Ya ... meskipun Risha sendiri sedikit jorok, sih.
Tapi tidak, dia sahabatku. Meskipun kesal, aku menyayanginya.
Setelah acara tawar-menawar beres, aku mengajak Risha langsung pulang. Tapi sebelumnya, aku mengantar Risha terlebih dahulu.
Selama dalam perjalanan, aku tak bosan memberi pencerahan kepada sahabatku.
"Aku mohon, ini terakhir kalinya kamu berbuat ulah. Aku nggak mau tahu, pokoknya kalau sampai kamu berulah lagi, aku nggak mau bantuin kamu. Udah cukup kamu menyusahkan aku. Kalau cuma tenaga, okelah. Tapi kalau selalu dengan uang, gajiku pas-pasan, Sha. Untuk kebutuhanku, untuk jatah Ayah dan Anin, belum untuk membayar setiap masalah yang kamu buat. Aku capek, Sha," keluhku hampir menangis. Risha menatapku jengah, entah apa yang membuat dia seperti masa bodoh denganku.
Apa karena dia tak tulus berteman denganku, atau karena dia yang bosan aku ceramahi.
"Dua puluh juta, Sha. Uang dari mana aku, hah? Pokoknya, kamu harus ikut usaha cari uang separuhnya. Kalau kamu nggak dapat, terserah kamu. Paham?" ucapku sedikit memberi ketegasan kepada Risha yang tengah menunduk tajam sembari memainkan jemarinya.
"Kamu nggak tahu kerjaan aku, Sei? Aku cuma ngamen, sepuluh juta uang dari mana? Orang ... sehari cuman dapet uang lima puluh ribu, itu pun maksimal. Kalau ngutang, siapa yang percaya? Aku cuma anak punk, Sei ... nggak bakalan ada yang percaya sama aku," lirih Risha membuatku terenyuh. Ya ... kelemahanku adalah tidak bisa melihat orang kesulitan.
Aku menghela nafasku kasar. Sejurus kemudian, aku menatap Risha lekat.
"Kalau begitu, do'akan aku berhasil. Aku akan mencoba minjam uang ke Juragan Ali," sekilas aku melihat raut wajah Risha berbinar, sekilas saja setelah itu dia seperti memasang wajah sedih lagi.
"Kamu yakin?" tanyanya membalas tatapanku.
"Do'akan aku saja."
Angkot berhenti, aku menatap punggung Risha yang baru saja turun dari angkot dan tentunya, aku yang membayar uang jasa angkotnya.
"Entah mengapa, aku merasa kamu memang tidak tulus kepadaku. Aku melihat raut wajahmu berbinar ketika aku berkata akan meminjam uang ke juragan Ali. Bukannya cemas, malah kamu seperti bahagia aku akan dalam bahaya." aku mendongakkan wajahku, demi mencegah air mata yang sudah menganak sungai di ujung mataku.
Ali Suprapto, biasa dipanggil Juragan Ali. Dia pemilik gudang beras, minyak, dan gula yang lumayan sudah masuk urutan nomor lima terbesar di Jakarta. Dia berusia lima puluh lima tahun dan memiliki empat orang istri, serta tujuh orang anak. Dia terkenal akan kesombongan dan kemesumannya.
Istri kedua sampai keempat ia dapatkan dari hasil kecurangannya kepada orang bawah. Ada yang karena tak sanggup membayar hutang, ada yang melakukan kecerobohan saat bekerja di gudang, dan ada yang memang mengincar hartanya. Istri pertamanya menderita stroke dan hanya duduk di kursi roda.
Aku bertekad untuk meminjam uang kepadanya dan menguatkan tekadku demi sahabatku. Apapun hasilnya, yang penting aku usaha, kan?
Jika pinjam ke Orland Mart, aku tak berani. Karena konon katanya, pemilik Orland Mart ini pelit. Aku sudah ciut nyali jika rumor yang beredar sudah seperti itu.
Hari ini, aku sudah mulai kembali bekerja setelah dua hari izin libur. Dan seperti biasa, aku berangkat pukul 8 pagi berboncengan dengan Rosa. Sedangkan Mayang, dia biasa diantar jemput oleh pacarnya.
Sesampainya di Orland Mart, pikiranku tak fokus sama sekali. Aku terus memikirkan nasib uang 20juta itu. Bahkan ketika putra Tuan Orland melewatiku, aku tak sempat memberinya hormat atau menyapanya.
"Hmmm ..." dia berdehem kepadaku. Aku terjingkat kaget menyadari dia sudah menatapku dengan sorot mata sendu. Entah mengapa, lima kali bertemu dengannya, aku tidak pernah melihat keangkuhan dan kearoganan darinya. Hanya sorot mata sendu yang selalu nampak.
"M-maaf, Tuan. Saya-"
"Fokus bekerja. Jangan banyak melamun," potongnya cepat dan lalu segera berlalu meninggalkanku yang masih menunduk.
Aku menghela nafasku kasar dan meraup oksigen sebanyak-banyaknya, berharap rasa sesak di dada ini segera hilang. Acap kali mengingat uang itu, aku selalu resah.
Hingga sore menjelang, waktu pulang tiba. Aku mengatakan kepada Rosa bahwa aku hendak pergi ke juragan Ali. Rosa dan Mayang hendak menemaniku, tapi aku tak ingin membawa mereka masuk ke dalam permasalahanku.
Ketika mereka tahu masalahku, mereka menyalahkan aku bahkan memarahiku habis-habisan. Aku hanya mampu bungkam tak berani menjawab, karena memang itu kenyataannya. Aku lemah, aku bodoh, dan aku gegabah, kata mereka. Melihatku yang tidak berdaya, akhirnya mereka memelukku dan memberi kekuatan. Mereka juga menanggung kebutuhanku selama satu bulan ini. Ah ... mereka ini benar-benar teman ter-endulitahku.
Sesampainya di depan gudang milik juragan Ali, aku menguatkan mentalku terlebih dahulu. Setelah puas bertapa di depan gudang itu, aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam gudang dengan sejuta rasa. Orang yang kucari pun nampak tengah duduk di meja kasir sambil menghitung uang yang menumpuk di mejanya.
"Permisi, juragan Ali," sapaku ramah setengah takut.
"Ah, kau ... Seika?" tanyanya kaget dan menatapku penuh arti.
"Ya, saya Seika," jawabku menunduk.
"Mau beli beras lagi? Bukannya kemarin baru beli si Mayang itu?" mendadak jantungku serasa mau copot mendengar pertanyaan laki-laki tua itu. Seketika kata demi kata yang ku susun sedemikian rupa, terhapus bersamaan dengan pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
"A-anu ... Juragan, Sa-saya boleh meminjam uang?" fiuh ... lega rasanya bisa mengutarakan niatku ini.
"Mau berapa memangnya kamu?" tanyanya enteng.
"Dua puluh juta, Juragan," jawabku takut.
"Boleh, tapi ... kamu tahu sendiri syaratnya, kan?" dia mengangkat alisnya dan menatapku mesum. Jijik aku melihatnya.
"Syarat? Oh, iya. Saya akan melunasi hutang saya secepat mungkin. Saya janji," balasku cepat.
"Bukan. Dua puluh juta bukan angka yang sedikit, Darling. Kamu harus menjadi istriku selama satu tahun, melayaniku layaknya empat istriku yang lain. Eh, bukan empat, tapi tiga. Yang satu udah angkatan mau mati dia," ucapnya menyeringai licik. Senyumnya sangat menjijikkan. Aku? Aku gemetar ketakutan, bimbang. Aku tidak mau menikah dengan kakek-kakek seperti dia. Meskipun aku jelek, setidaknya aku mau suami seperti babang tamvan yang lagi viral sekarang.
"Kalau begitu, saya cari pinjaman lain dulu, Juragan. Kalau dapat ya tidak jadi pinjam Juragan, kalau nggak dapat saya ke sini lagi," sekuat tenaga aku berusaha menetralkan otak dan bibirku agar tidak terlihat ketakutan. Bisa bangga dia kalau tahu aku ketakutan.
"Baiklah, karena kamu cantik aku setuju. Pikirkan baik-baik, kalau kamu menjadi istriku, kamu akan aku beri uang banyak, mobil bagus, skincare mahal, dan baju branded. Pikirkan itu," tawarnya sambil memperlihatkan uangnya yang segepok.
"Baik, Juragan. Saya permisi dulu kalau gitu," pamitku.
"Hati-hati, Darling Seksiku." sahutnya dengan wajah yang ugh ... menyebalkan.
Aku berlari sampai kosan, berharap aku dapat mengurai rasa sesakku di sela nafasku yang tersengal. Aku menyeka keringatku menggunakan tisu harga seribuan yang selalu aku bawa tiap aku kerja.
"Tuhan ... apa yang harus aku lakukan?" keluhku sambil membuka pintu kamarku.
"Sei, sudah balik lu?" tanya Rosa tiba-tiba membuatku terjingkat kaget.
"Nggak lihat aku sudah di sini?" sungutku.
"Yaelah ... sewot amat. Kenapa? Nggak dapet BLT dari pemerintah, hah?" tanyanya yang sontak membuatku tertawa karenanya. Ah ... penghiburku.
"Ros, masa aku mau minjam uang 20juta syaratnya harus jadi istri selama satu tahun?" curhatku. Rosa terbelalak tak menyangka.
"No, big No, Sei! Jangan sudi jadi istri kelima si tua bangkotan itu. Kamu tuh cantik dan masih perawan, lho. Eh, ya kalau masih perawan sih," ucapnya, dia mengaduh kesakitan karena aku menyentil mulut tak beradab itu.
"Enak aja nggak perawan. Aku masih rapet, singset, dan seret, Bestie," ujarku tak terima.
"Bener? Boleh aku coba?" Aku bergidik ngeri mendengar pertanyaan Rosa. Aku segera berlari masuk ke kamar sedangkan Rosa mengejarku sambil tertawa.
"Ijinkan aku mencicipi keperawananmu, Gadis Ndeso, ho! ho! ho!" seru Rosa semakin membuatku tertawa dan bahkan tak sanggup lagi untuk berlari.
"WOY! Main kejar-kejaran kok nggak ajak-ajak!" pekik Mayang dengan suara khasnya yang mampu membuat siapapun orang yang mendengar sakit telinga.
"WOY! Lu juga bisa nggak, nggak teriak-teriak kaya kuntilanak kebelet kencing!" seru Rosa tak kalah melengking. Aku menutup telingaku dengan kedua tanganku karena berdengung.
"DIAM! Kalian ini, sudah malam bukannya tidur malah asik antri minyak goreng, lagi mahal ngerti nggak!" seru Ibu Kos tiba-tiba nongol, membuat aku, Rosa, dan Mayang terdiam seribu bahasa.
Kalau Ibu Kos sudah mengeluarkan suaranya, kami lebih memilih pura-pura tidak dengar. Karena, tiap kali kami sedang bersenda gurau seperti tadi, dia melerai tapi hikmahnya adalah curahan hatinya atau masalah hidupnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!