"Selamat datang, Tuan Muda," sambut Yanto—sopir keluarga Raharja.
Pria itu berlalu menuju mobil yang sudah siap. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Sudah lebih sepuluh tahun dia tinggal di luar negeri. Hari ini sang papa memintanya untuk datang, entah apa yang diinginkan dari dirinya.
"Sepuluh tahun, telah banyak merubah keadaan kota ini. Lumayan bagus," gumam pria tadi yang bernama Abraham.
"Sepuluh tahun itu sudah cukup lama, Tuan. Sudah pasti banyak yang berubah," sahut Yanto.
"Ya, Pak Yanto benar, tapi kenapa Pak Yanto tidak berubah? Masih saja jadi sopir di keluarga itu. Apa ada yang berubah dari keluarga itu?"
"Maksud, Tuan, apa? Saya tidak mengerti."
"Pak Yanto, masih tetap sama seperti dulu, pura-pura bodoh," ucap Abraham tanpa mau menjelaskan pertanyaan sebelumnya.
Pria itu yakin jika sopirnya sangat mengerti apa yang dia ucapkan, hanya saja Yanto pura-pura tidak mengerti. Biarkan saja, Abraham juga ingin tahu apa yang diinginkan orang tuanya kali ini. Dia tidak ingin terlalu lama tinggal di kota ini, kota yang membuat pria itu jenuh akan tekanan yang didapatkannya dari papa dan mama.
Tidak berapa lama, akhirnya mobil yang mereka tumpangi sampai juga di halaman rumah keluarga Raharja. Abraham segera turun dan memasuki rumah. Mengenai kopernya biar menjadi urusan Pak Yanto. Dia juga tidak membawa banyak barang.
"Selamat datang putraku! Mama merindukanmu!" seru Syakila—mama Abraham.
"Baik, Mama sendiri apa kabar?" tanya Abraham sambil memeluk mamanya.
"Mama baik, apalagi bisa melihatmu lagi secara langsung membuat Mama semakin baik."
Abraham tersenyum menanggapinya. Selama ini hanya mama dan adik perempuannya yang selalu menanyakan kabar dan menghubunginya. Keluarga yang lain tidak pernah sekali pun. Itu bukan masalah yang besar bagi pria itu, nyatanya dia baik-baik saja dan tidak kekurangan apa pun.
"Duduklah, ada yang perlu Papa bicarakan," ucap Handi—papa Abraham.
"Pa, biarkan Abraham istirahat dulu, dia juga pasti masih lelah," sela Syakila.
"Tidak apa-apa, Ma. Aku juga ingin tahu apa alasan papa memintaku datang ke sini."
Syakila menghela napas dan mengajak putra sulungnya untuk duduk di sofa. Abraham bisa melihat raut wajah mamanya yang tiba-tiba berubah sedih. Dia yakin, pasti ada sesuatu yang besar telah terjadi.
"Saudara kembarmu diracuni orang. Hingga detik ini kami tidak tahu siapa pelakunya," ucap Handi membuat Abraham terkejut.
"Bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah selama ini Papa memberikan penjagaan yang sangat ketat? Sekarang bagaimana keadaan Ibrahim?"
Tidak ada seorang pun yang memberitahunya soal kabar ini. Di media juga tidak ada berita ini padahal setiap apa pun yang terjadi di keluarga ini, pasti akan langsung masuk berita gosip. Meski mereka bukan dari kalangan artis, tetapi keluarga itu termasuk pengusaha terkenal.
"Itu yang tidak kami mengerti. Papa sudah menyewa detektif dan orang yang bisa dipercaya, tapi tetap tidak menunjukkan tanda-tandanya. Dokter mengatakan jika Ibrahim diracuni, tapi mereka tidak tahu racun jenis apa yang digunakan hingga membuat Ibrahim seperti ini," ujar Handi.
Syakila meneteskan air mata. Dia sudah menahannya dari tadi karena ingin menjaga perasaan Abraham. Akan tetapi, wanita itu tetaplah seorang ibu yang tidak akan tega melihat putranya menderita. Apalagi mendengar kembali cerita Ibrahim, itu seperti membuka luka yang sudah dia coba obati.
Abraham tidak tahu harus berkata apa. Meski dia tidak begitu dekat dengan saudara kembarnya, tetap saja di dalam hatinya pria itu merasa ada yang sakit. Abraham seperti merasakan apa yang saudaranya rasakan. Pantas saja akhir-akhir ini perasaannya tidak tenang. Mungkin ini yang dinamakan ikatan batin.
"Lalu, apa yang Papa inginkan dariku?" tanya Abraham dengan sedikit was-was.
"Papa ingin kamu menggantikan posisi Ibrahim sampai kita tahu siapa pelakunya dan meminta obat penawarnya!"
"Maksud, Papa, apa?"
"Kamu harus menjadi Ibrahim. Melakukan semua kegiatannya dan menjalin hubungan dengan siapa pun yang dekat dengannya. Termasuk tunangannya. Pelakunya tidak akan tinggal diam saat melihat Ibrahim baik-baik saja dan kamu harus menemukannya."
"Apa! Pa, apa itu tidak keterlaluan? Bagaimana jika orang-orang tahu kalau aku bukan Ibrahim?"
"Itulah kenapa kamu aku panggil ke sini. Kamu harus belajar menjadi Ibrahim dan mengenali siapa saja orang di sekitarnya."
Abraham mengusap wajahnya kasar. Dia tidak menyangka jika sang papa memiliki pemikiran seperti itu. Pria itu yakin akan sangat sulit menjadi pribadi Ibrahim karena mereka memiliki karakter yang bertolak belakang.
Menolak permintaan papanya pun terasa percuma karena Handi bukan orang yang bisa diajak negosiasi. Apa pun perintah pria itu harus terlaksana. Akhirnya Abraham pun pasrah dan terpaksa menunda kembali ke luar negeri.
"Bagaimana jika orang itu mencelakai ku juga? Apa Papa tidak memikirkannya juga?" tanya Abraham dengan suara lirih.
"Kamu lebih kuat dari Ibrahim. Kamu pasti bisa melewatinya."
Abraham tertawa sumbang. Tidakkah papanya tahu jika dia juga manusia biasa yang bisa saja lebih parah dari pada saudara kembarnya? Akan tetapi, pria itu terlalu malas untuk berdebat. Biarlah kali ini dia mengalah untuk keluarganya.
"Baiklah, kalau memang itu sudah menjadi keputusan Papa. Aku akan berusaha untuk melakukan yang terbaik," ucap Abraham pada akhirnya. "Bolehkah aku melihat keadaan Ibrahim?"
Handi mengangguk dan berkata, "Mamamu yang akan mengantar. Besok akan ada Romi yang datang memberitahumu apa yang harus kamu lakukan dan menunjukkan siapa saja yang dekat dengan Ibrahim."
"Iya, Pa."
Handi memberi kode pada istrinya untuk membawa Abraham untuk melihat keadaan Ibrahim. Sejujurnya dia tidak tega melihat putranya harus melakukan semua ini, tetapi memang ini jalan satu-satunya agar dia tahu, siapa musuh dibalik selimut itu.
Syakila membawa putranya ke lantai tiga, di mana ruangan Ibrahim tertidur. Sudah satu bulan putranya seperti ini, tidak bergerak sama sekali. Abraham yang melihat saudaranya tidak berdaya pun merasa sedih. Dulu mereka sering bertengkar merebutkan apa pun dan berakhir dia yang harus mengalah.
"Beginilah keadaannya. Sudah satu bulan dia terbaring, tapi tidak ada sedikit pun kemajuan. Dokter sudah menyerah dengan keadaannya, tapi papamu yang bersikeras bahwa dia baik-baik saja. Itulah kenapa Ibrahim berada di sini. Papamu merasa aman jika menjalani pengobatan Ibrahim di rumah," ujar Syakila sambil memandangi wajah putranya yang tertidur itu.
"Mama harus kuat. Apa pun yang akan terjadi, aku akan berusaha mencari pelakunya dan menemukan obat untuk Ibrahim."
Syakila tersenyum dan mengangguk. Dia juga ingin tahu siapa pelakunya. Wanita itu bersumpah tidak akan pernah memaafkan orang itu, apa pun alasannya.
.
.
.
Pagi-pagi sekali, tidur Abraham terusik dengan suara berisik dari depan kamarnya. Suara teriakan disertai gedoran membuat pria itu mendengus kesal. Dia sangat tahu siapa pemilik suara itu. Terpaksa Abraham turun dari ranjang untuk membukanya jika tidak, maka orang itu tidak akan berhenti.
"Kakak!" teriak Serina—adik Abraham—saat Abraham membuka pintu.
Gadis itu segera memeluk kakaknya, membuat Abraham mendengus kesal karena istirahatnya diganggu. Pria itu masih ingin istirahat sebelum melakukan tugas yang diberikan ayahnya.
"Kamu ganggu saja. Aku mau istirahat, sudah sana!"
"Ih, Kakak kok gitu, aku tuh masih kangen sama Kakak," ucap Serina sambil cemberut.
"Sudah nggak usah lebay, sana pergi kuliah."
Serina mencebikkan bibirnya kesal. Kakaknya yang satu ini memang selalu dingin, tidak seperti Ibrahim yang hangat. Akan tetapi, gadis itu lebih menyayangi Abraham yang selalu mau melakukan apa pun untuknya.
"Dipanggil Mama tuh, kita sarapan bersama," ucap Serina dengan ketus dan berlalu meninggalkan kakaknya.
Abraham menggelengkan kepalanya. Sepertinya mulai hari ini hidupnya tidak akan tenang, penuh dengan aturan. Tidak seperti saat dirinya di luar negeri, selalu bebas. Pria itu terpaksa menuruti keinginan mamanya untuk sarapan bersama. Dia tidak ingin membuat wanita yang disayanginya itu sedih.
Setelah selesai membersihkan diri, Abraham pergi ke ruang makan. Di sana sudah ada keluarganya dan seorang pria yang berdiri di belakang papanya.
"Abra, ayo, sini! Kita sarapan dulu!" ajak Syakila.
"Mulai hari ini, panggil dia Ibra. Kalian sudah tahu itu, kan?" tegur Handi.
Semua orang mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka tahu jika Handi bukan orang yang bisa dibantah. Semua yang ada di rumah ini harus menuruti perintahnya, suka atau tidak suka.
"Ibra, ini adalah Romi. Mulai hari ini dia yang akan menjadi asistenmu. Dia juga nanti yang akan memberitahu semua kegiatan Ibra dan siapa saja orang terdekatnya."
Abraham menatap Romi dan diangguki oleh pria itu. "Apa aku juga harus bekerja seperti Ibra?"
"Sudah aku katakan. Kamu akan melakukan semua kegiatan Ibrahim sebelumnya."
"Bagaimana jika aku tidak berhasil menemukan pelakunya dan Ibra masih terbaring di atas ranjang seperti itu. Apa selamanya aku harus menjadi Ibra?"
Semua orang menatap Handi, menunggu pria itu buka suara. Hingga beberapa menit, dia mengatakan sesuatu yang membuat semua orang terkejut. Bukankah itu sama saja membunuh jiwa Abraham secara perlahan?
"Jika memang itu yang harus dilakukan, kenapa tidak?"
"Pa, aku juga punya kehidupan di luar negeri. Aku tidak bisa selamanya tinggal di sini!"
"Maka kamu harus berusaha menemukan pelakunya. Lagi pula dunia tidak tahu jika aku memiliki anak kembar. Orang tahunya aku hanya memiliki satu anak laki-laki dan satu perempuan jadi tidak masalah jika kamu menjadi Ibra."
"Itu karena Papa tidak pernah mengakuiku sebagai anak."
"Kamu sendiri yang memilih tinggal di luar negeri, sekarang kamu malah menyalahkan Papa!"
"Sudah, sebaiknya kita sarapan dulu. Tidak baik berdebat di meja makan," sela Syakila. "Romi, ayo, kamu ikut sarapan juga!"
"Tidak usah, Nyonya. Saya sudah sarapan," tolak Romi yang sedari tadi hanya diam.
Abraham mengusap wajahnya kasar. Hilang sudah selera makannya. Pria itu memiliki bisnis yang besar di luar negeri tanpa orang tuanya ketahui. Selama ini semua orang hanya mengetahui jika dia bekerja di perusahaan orang lain. Nyatanya itu adalah perusahaan sendiri.
Tidak ingin membuat mamanya bersedih, Abraham memulai sarapannya dengan enggan. Dia harus bekerja keras untuk menemukan pelakunya. Pria itu tidak bisa bergerak sendiri, pasti akan membutuhkan waktu lama. Abraham akan meminta anak buahnya untuk datang dan membantu. Dia percaya mereka pasti dapat menemukan pelakunya dengan cepat. Seperti pekerjaan sebelum-sebelumnya.
Setelah selesai sarapan, Abraham memasuki ruang kerja Ibrahim. Romi mengikutinya dan menjelaskan apa saja pekerjaan Ibra dan orang-orang di sekitarnya, termasuk jajaran direksi di perusahaan. Asisten itu menjelaskan jika selama ini atasannya itu cukup dekat dengan semua bawahannya.
Banyak sekali yang harus diingat oleh Abraham, hingga dia mengangkat telapak tangannya saat Romi masih menjelaskan semuanya. Pria itu semakin pusing mendengar asistennya menjelaskan satu persatu.
"Sebaiknya kamu ikut ke mana pun aku pergi. Saat ada orang yang ingin mendekatiku, kamu bisiki aku saja siapa mereka. Itu lebih mudah daripada aku menghafal wajah dan nama orang sebanyak ini."
"Baik, Tuan. Anda hanya perlu mengingat wanita ini." Romi memperlihatkan sebuah foto dan berkas. "Dia adalah tunangan Anda. Semua data-datanya ada di sini."
"Tunanganku? Geli sekali mendengarnya," gumam Abraham.
Dia sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan dengan serius. Memang pria itu sering bergonta-ganti pacar, tetapi itu hanya untuk hiburan saja. Abraham juga tidak pernah melakukan hubungan terlarang, dia tidak suka s*x bebas. Selama pacaran pun hanya sebatas ciuman saja.
"Salwa Al Farizy, nama yang bagus." Abraham hanya membaca namanya tanpa mau tahu tentang gadis itu. Baginya tugas ini hanya sementara, jadi semua itu tidaklah penting baginya.
"Tuan, sebaiknya kita segera ke kantor. Sudah satu bulan Anda tidak datang. Banyak yang berspekulasi mengenai Anda."
"Memang apa yang mereka bicarakan tentang Ibra?"
"Ada yang berasumsi jika Tuan besar telah memberhentikan Anda. Ada juga yang mengatakan Anda kabur dari rumah karena tidak tahan dengan tekanan Tuan besar."
Abraham tertawa mendengar jawaban dari asistennya. Sepertinya semua orang sangat tahu tabiat Handi. Romi yang melihat itu pun merasa aneh karena baginya itu bukanlah hal yang lucu.
"Baiklah, ayo kita pergi." Abraham berjalan lebih dulu diikuti Romi di belakangnya.
Mereka menaiki mobil yang disopiri Pak Yanto. Selama perjalanan Romi memberikan berkas pada Abraham untuk bahan meeting nanti siang. Asisten itu tahunya jika atasan barunya hanyalah karyawan biasa karena itu dia memberikan berkas untuk dipelajari. Romi tidak tahu jika Abraham sangat hebat dalam berbisnis.
Romi sedari tadi melirik ke arah atasannya lewat kaca spion di depannya. Dia melihat Abraham sama sekali tidak tertarik untuk membaca berkas yang pria itu berikan. Romi sangat takut jika meeting akan berantakan. Proyek ini sangat penting bagi perusahaan.
Begitu sampai di depan perusahaan, Abraham segera turun dari mobil diikuti asistennya. Romi berjalan sangat dekat dengan atasannya, takut jika ada seseorang yang menegur mereka. Benar saja saat akan memasuki lift seorang pria paruh baya menegur Abraham.
"Pria yang datang dari arah kiri yang tersenyum pada kita namanya, Pak Bima. Dia direktur keuangan," bisik Romi.
"Apa kabar, Pak Bima," sapa Pak Bima dengan mengulurkan tangannya.
"Baik."
Bima menyernyitkan keningnya karena merasa aneh dengan sapaan Ibra. Biasanya atasannya ini akan bicara panjang lebar. Entah itu menanyakan tentang perusahaan atau masalah pribadi.
.
.
.
Romi yang melihat itu pun segera mengajak Pak Bima berbincang, hingga lift terbuka dan Romi pun pamit lebih dulu. Pria itu tidak ingin penyamaran Abraham terbongkar. Dia juga ingin tahu siapa yang sudah melakukan ini pada atasannya.
"Apa dia orang yang dekat dengan Ibra?" tanya Abraham saat berada di dalam lift.
"Iya, Tuan. Terkadang Tuan Ibra pergi makan siang berdua bersama dengannya."
"Berdua saja? Kamu tidak ikut?"
"Tidak, Tuan. Tuan Ibra bilang, dia ingin berbincang santai dengan Pak Bima jadi, beliau melarang saya ikut."
"Apa papa tahu jika Ibra sering bersantai dengan mereka?"
"Tidak, Tuan. Tuan Ibra melarang saya mengatakannya karena itu hanya obrolan biasa saja."
"Kenapa kamu menurutinya? Bisa saja, kan, orang yang mencelakainya itu Pak Bima."
Romi terdiam, dia tidak memikirkan sejauh itu. Selama ini Ibra baik-baik saja jadi dia tidak pernah memikirkannya. Atasannya juga terlihat bahagia setelah pergi.
"Saya hanya kasihan pada Tuan Ibra yang hidupnya selalu dikekang. Dia tidak bisa melakukan apa pun sesuka hatinya. Namun, saat dia bilang ingin bersantai dengan pegawai kantor, saya tidak mempermasalahkannya karena saya yakin para pegawai tidak ada yang berani menyakitinya. Tuan Ibra juga kembali dengan wajah bahagianya. Saya tidak tega jika harus menghancurkan kebahagiaannya."
Abraham menganggukkan kepalanya. Handi sepertinya melewatkan poin ini. Dia juga perlu menyelidiki setiap pegawai yang dekat dengan Ibra dan yang sering pergi bersama. Pria itu akan menunggu saat pegawai mengajak pergi bersama.
"Apa kamu tahu ke mana mereka biasa pergi?"
"Tidak, Tuan," jawab Romi dengan menundukkan kepalanya.
Dia merasa menjadi bawahan yang tidak berguna di depan Abraham. Semua pertanyaan pria itu seperti tengah memojokkannya. Apa atasan barunya ini mencurigainya? Romi memang pantas untuk dicurigai. Tuan Handi juga sebelumnya sudah memeriksanya. Namun, dia tidak menemukan bukti apa pun.
Akhirnya mereka sampai di lantai ruangan Ibra. Tampak seorang wanita dengan pakaian seksi duduk di depan ruangan. Dia berdiri saat melihat atasannya datang.
"Namanya Sisca, dia asisten Anda juga," bisik Romi.
"Selamat pagi, Pak," sapa Sisca dengan tersenyum.
"Hemm."
Abraham dan Romi memasuki ruangan diikuti Sisca di belakangnya. Wanita itu berdiri di depan meja sambil melirik ke arah atasannya dan Romi.
"Maaf, Pak. Jadwal Anda hari ini adalah jam sepuluh ada meeting dengan para direksi dan saat jam makan siang ada pertemuan dengan Tuan Anton Al Farizy."
Abraham hanya diam, akhirnya Romi yang bersuara. "Sisca, panggil dua OB untuk memindahkan mejaku ke ruangan ini. Aku ada pekerjaan penting dengan Tuan Ibra jadi, kami harus sering berkomunikasi. Akan lebih efisien jika kami satu ruangan."
Meskipun merasa aneh, tetapi Sisca mengangguk saja. Dia melirik atasannya dan lagi-lagi pria itu hanya fokus pada kertas di depannya. Wanita itu membuang napas dengan pelan kemudian pamit.
"Saya undur diri, Tuan."
Sisca kembali ke mejanya dan menghubungi pantry untuk mengirim dua OB ke ruangan direktur. Tidak berapa lama, dua orang laki-laki berada di depannya. Wanita itu membawa mereka ke ruangan direktur, selanjutnya Romi yang memberi perintah.
'Kenapa tiba-tiba Romi meminta satu ruangan dengan Tuan Ibra? Apa Romi sudah mengetahui sesuatu?' tanya Sisca dalam hati. Dia sedikit was-was, takut jika memang apa yang dikhawatirkannya terjadi. Bisa-bisa dia kehilangan uangnya.
*****
"Siang ini datanglah ke perusahaan. Kita ada meeting dengan Ibra," ucap Anton pada Salwa—putrinya.
"Kenapa aku harus ikut. Ini pekerjaan papa, tidak ada urusannya denganku," kilah Salwa.
"Kamu itu tunangannya jadi kamu pasti bisa merayu dia agar menerima kerjasama kita! Tidak ada penolakan!"
Anton segera pergi meninggalkan Salwa seorang diri. Gadis itu diam dengan memandangi makanannya. Sudah satu bulan dia tidak bertemu dengan tunangannya sejak kejadian hari itu. Salwa tidak yakin semua akan baik-baik saja saat mereka bertemu nanti.
Papanya akan sangat marah nanti jika tahu dirinya dan Ibra sedang terlibat perselisihan. Akan tetapi, semua murni kesalahan tunangannya. Gadis itu tidak melakukan apa pun. Ingin sekali Salwa memutuskan pertunangan ini, tetapi dia tidak bisa berbuat apa pun. Jika sampai itu dilakukannya, perusahaan Anton akan dalam masalah.
"Non, apa Anda baik-baik saja?" tanya Bik Sumi—ART di rumah ini.
"Baik, Bik. Jangan khawatir," jawab Salwa dengan tersenyum. "Aku ke kamar dulu, ya, Bik."
Salwa pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Bik Sumi. Wanita paruh baya itu memandangi anak majikannya dengan pandangan iba. Dia sangat tahu bagaimana kehidupan gadis itu. Selalu dalam tekanan dan kekangan. Apa pun yang dilakukannya harus atas izin dari sang papa.
Dari kecil hingga kini, Salwa tidak pernah memiliki teman. Setiap kali dia dekat dengan seseorang, baik laki-laki atau perempuan, Anton akan menghukumnya. Dunia gadis itu hanya berputar di rumah dan papanya. Tidak jarang dia mendapat ejekan dari teman-temannya. Namun, itu hanya berlangsung satu hari karena besoknya Anton akan membereskan pelaku tersebut.
Siang hari, Salwa bersiap untuk pergi. Pak Heri—sopir keluarga ini, sudah siap menunggu di depan rumah. Gadis itu segera naik mobil dan pergi ke perusahaan.
"Tadi Tuan Anton berpesan, kalau sebaiknya Nona menunggu di restoran saja," ucap Heri yang diangguki Salwa.
Entah apalagi rencana papanya kali ini. Dia hanya bisa mengikuti saja. Selalu seperti ini, kan! Dia hanya boneka yang bisa digerakkan oleh Anton sesuka hati. Ingin sekali gadis itu lepas dari penjara ini, tetapi papanya tidak akan melepaskannya begitu saja.
Dulu dia juga pernah kabur dari rumah karena sudah tidak tahan dengan perlakuan papanya. Namun, Anton berhasil menemukannya. Pria itu menghukum Salwa dengan mengunci gadis itu di ruang bawah tanah dan tidak memberinya makan selama tiga hari.
Sejak saat itu Salwa selalu melakukan apa pun perintah sang papa. Dia sangat tahu bagaimana kejamnya Anton. Gadis itu juga pernah melihatnya menembak anak buah yang berkhianat dan memberikan tubuhnya pada binatang buas. Sungguh mengerikan sekali, membayangkan saja sudah membuat bulu kuduk merinding.
"Sudah sampai, Non. Tuan Anton sudah memesan ruang privat atas nama Tuan Anton. Anda bisa mengkonfirmasinya," ujar Pak Heri.
"Terima kasih, Pak."
Salwa segera turun dari mobil dan memasuki restoran. Dia menanyakan pada resepsionis mengenai ruangan yang dipesan papanya. Seorang pegawai mengantarkannya ke sebuah ruangan privat. Gadis itu duduk seorang diri dengan memainkan ponselnya.
Tidak berapa lama pintu terbuka, tampak dua orang pria seumuran memasuki ruangan. Salwa hanya menatap sekilas kemudian beralih pada ponselnya lagi. Seperti tidak peduli pada orang yang datang itu.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!