Rara dipukuli oleh Gandi menggunakan sabuk kulitnya. Gandi meradang, karena larangannya tidak digubris, agar Rara tidak bekerja lagi di klinik tempat praktik Mantri Wahyu.
Gandi tahu, Wahyu bukan hanya teman Rara saat SD, tapi dia mantan pacar Rara ketika di SMA.
“Udah Nak ... udah,” seru Bu Sugeti yang berusaha menghentikan amukan mantunya.
“Ini anakmu yang katanya lugu, baik dan anak rumahan. Ya, dia memang anak rumahan yang hobinya menjadi simpanan pria yang hidung belang!” teriak gandi dengan mencengkeram belakang rambut Rara, sehingga kepala Rara ke tarik sampai mendongak.
“Sudah, Nak. Ud ...,”
“Bunda, Nenek ...!” ucapan Bu Sugeti terpotong saat Azkya dan Azka masuk rumah. Mereka habis bermain ditemani Lena, tantenya.
Bu Sugeti tergopoh-gopoh menghampiri kedua cucunya. Wanita berusia 47 tahun itu segera membawa cucu kembarnya ke kamar hendak mempersiapkan mandi. Meskipun perasaan waswas menghinggapi, takut kemarahan Gandi pada Rara terdengar oleh kedua cucunya.
“Nenek, Bunda mana?” tanya Azkya yang kini berusia 4 tahun.
“Bunda, ada.” Bu Sugeti menjawab seperlunya.
“Ke mana? Aku gak lihat,” lanjut Azkya kembali.
“Ada itu, sedang beres-beres di kamar.”
“Eh, Azky!” seru Bu Sugeti hendak menghentikan cucunya yang berlari menuju kamar Rara.
“Bunda!” Azkya membuka pintu kamar yang tertutup.
“Azky, ayo mandi dulu,” ucap Bu Sugeti yang sudah berada di belakang Azkya, tapi kemudian dia berdiam mematung melihat pemandangan di dalam kamar.
Bu Sugeti melihat putrinya sedang tidur dengan tubuhnya tertutup selimut, kemudian Gandi ada di sampingnya seolah-olah sedang merawat Rara yang sakit.
“Ayah, Bunda kenapa?” tanya Azkya yang kini sudah berada di samping Gandi.
“Tidak apa-apa, Nak. Bunda hanya kelelahan. Butuh istirahat,” jawab Gandi yang tak memperlihatkan karakter seramnya sama sekali. Tidak nampak seperti orang yang baru saja marah besar.
“Bunda ...,” ucap Azkya mendekati Rara.
“Azky, mandi dulu sana sama nenek. Jangan dulu ganggu Bunda, ya.”
Azkya menurut apa kata Ayahnya. Dia percaya saja, sebab memang melihat wajah ibunya yang kelihatan kusam seperti orang sakit dan ayahnya sangat perhatian sekali. Hingga Azkya percaya bahwa ibunya sedang sakit. Setelah itu, Azkya segera ke luar kamar, menghampiri sang Nenek yang sudah menunggunya di dekat pintu kamar, untuk mandi.
Sreet ...!
Seketika Gandi membuka selimut yang menutupi seluruh tubuh Rara. “Tutup pintunya dan kunci!” perintah Gandi dengan mata nyalang.
Rara tergopoh-gopoh bangkit kemudian beranjak dari tempat tidurnya. Menuju pintu dan menutupnya, tak lupa mengunci. Namun saat hendak berbalik....
“Agh ... emm, aku, tak bisa... napas, Mas,” seru Rara dengan tersengal dan putus-putus.
Gandi yang sudah berada di belakang Rara langsung memeluknya erat dari belakang. Dengan kepalanya yang menyusup di ceruk leher Rara kemudian bergerilya ke seluruh leher dan menyesap sesukanya. Mungkin lebih tepatnya itu bukan sebuah pelukan, tapi sebuah terkaman yang sangat kuat.
Tangan kekar Gandi yang melingkar di tubuh Rara, hingga kedua tangan Rara terimpit membuat dadanya sesak untuk bernafas. Rara berusaha lepas, setidaknya melonggarkan pelukan Gandi. Dia merasa risi dengan perlakuan suaminya yang seperti hewan buas, entah berapa tanda merah yang sudah tertoreh di leher Rara, akibat kebuasan Gandi.
Seketika Gandi membalikkan tubuh Rara dan didorongnya hingga tersedak ke pintu. Kini wajah Rara dan Gandi berhadapan dengan jarak sangat dekat. Tangan Gandi mencengkeram dagu Rara hingga sedikit terangkat, kemudian tepat di wajah istrinya, gandi berkata.
“Apa kamu bilang? Sesak? Lalu dengan mantanmu itu? Setiap malam pulang dengan mobil, bahkan hingga dibukakan pintu. Sudah seberapa jauh permainanmu dengannya, hah?! Tidak mungkin dia sebaik itu, jika kau tidak memberikan tubuhmu sebagai imbalan!” ucap Gandi dengan nada penuh bentakan dan teriakan.
Rara hanya bisa memejamkan matanya, menahan teriakan yang tidak begitu keras, tapi dengan penekanan yang sangat dalam.
“Dan ... aku adalah suamimu, berhak atas seluruh tubuhmu, emm...!” ucap Gandi, dilanjutkan menyantap bibir yang ada di depannya. Tangannya mencengkeram apa saja bagian tubuh Rara yang bisa membuatnya puas. Seluruh badan Rara benar-benar terasa perih dan sakit.
Sungguh Gandi tak dapat diredam amarahnya, diajak bicara baik-baik pun tidak bisa. Kemarahan terlontar dengan suara mendesis mengerikan, karena kemarahannya ditahan, sedikit berbisik, agar tidak terdengar anak-anak mereka.
Didorongnya Rara ke ranjang, dengkul Rara terpentok kayu ranjang, rasanya ngilu sekali. Karena kasurnya bukan kasur busa yang tebal dan empuk, yang mampu menutupi kayu ranjang.
Dengan kasar Gandi melucuti semua pakaian Rara yang sebenarnya sudah tak jelas bentuknya akibat kekerasan tadi. Rara berontak mencoba melindungi diri dari kekalap suaminya.
“Mas ... tolong, sakit... hikz, hikz. Aku bisa melayanimu, tapi tidak begini...,” Rara mengiba pada suaminya.
“Bagaimana rasanya saat Mantri itu yang menikmati tubuhmu, hah?! Enak bukan? Emm...,” Gandi dengan buas melu mat bibir Rara yang sudah lecet-lecet sebenarnya.
Rara pasrah saja dengan perilaku suaminya, menangis, memohon pun percuma saja. Suara suara jahanam yang keluar dari mulut Gandi, membuat Rara semakin pilu dan menjijikkan berada dalam kuasa Gandi. Amarah, birahi, semuanya tumpah pada tubuh kecil dan tak berdaya yang kini berada dalam kukungan Gandi.
Apa yang Rara rasakan mungkin lebih dari sekedar pemaksaan, mungkin seperti ini rasanya diper ko sa. Itu bayangan Rara. Setiap bagian tubuh Rara dijamah tanpa belas kasih. Hal-hal yang tidak layak dilakukan, kali ini Gandi lakukan sebebasnya. Mungkin seperti film-film biru bule, yang ganas dan tanpa batas dalam hubungan intim.
“Ah ... ternyata dengan sedikit kekerasan, sensasinya sungguh memuaskan. Terima kasih sayang,” ucap Gandi yang berbisik di samping telinga Rara.
Gandi pergi ke kamar mandi dengan meninggalkan tubuh polos Rara begitu saja. Bibirnya tersenyum puas, seumur hidupnya baru kali ini mendapatkan kepuasan dengan menyiksa saat melampiaskan nafsunya.
Rasa pedih den sakit-sakit sedikit, justru itulah sensasinya, tanpa mengindahkan aturan berhubungan yang layak. Sesekali jadi hewan, tak apa. Itu pikir Gandi.
“Ibu ... hiks... hiks ...,” rintih Rara yang meringkuk lemah di atas ranjang yang jelas sekali basah di mana-mana.
Sprei berwarna biru, membuat jelas noda tercecer di sana. Bukan hanya basah dari cairan Gandi, tapi juga dari keringat mereka berdua yang beda cerita.
Rara jelas berkeringat karena menahan sakit dan perlawanan menghadapi kekerasan gandi dan tenaga suaminya yang sangat besar.
Sedangkan Gandi, banjir keringat kepuasan. Beberapa kali gandi melepaskan dan diulang lagi tanpa jeda. Semakin Rara merintih kesakitan, semangat sensasinya naik dan mampu memancing Gandi melakukan dengan gaya ekstrim tanpa aturan, yang penting fantasinya kali ini bisa tersalurkan.
**#
“Rara! Nak ... astaghfirullah ... Nduk! Kamu kenapa? Allahu Akbar,” jeritan Bu Sugeti memenuhi isi kamar Rara.
Ibu mana yang bisa biasa saja melihat anaknya seperti hewan, bertubuh polos tanpa pelindung sedikit pun.
Seprei yang kusut tak jelas bentuknya, hingga menyingkap. Pakaian yang bercecer tidak karuan, saat lampu dinyalakan, tubuh Rara yang gemetar seperti kedinginan. Tubuh polos meringkuk tanpa benang sehelai pun, membuat malu yang melihat. Apalagi Rara yang mengalami, apa yang dirasakan? Entahlah ...
Saat itu malam sudah pukul 21:00 WIB. Gandi entah ke mana. Setelah mandi, dia langsung pergi tanpa melihat sama sekali keadaan istrinya. Apalagi berniat menutupi tubuh polos istrinya yang tak berdaya.
Bu Sugeti mengangkat putrinya yang benar-benar lemas agar bisa duduk. Ditutupnya kain pada tubuh putrinya itu, lalu dipeluknya seraya dirapikan rambut yang menutupi wajah Rara.
“Lena ...! Len ...! Bawakan air minum bangat buat mbakmu!” seru Bu Sugeti.
Lena yang berada di dapur, mendengar teriakan ibunya. Dia langsung ke kamar Rara, seraya membawa pesanan ibunya.
“Astagfirullah ... Mbak Rara. Kenapa ini Bu...?” Lena ikut histeris. Melihat Rara sangat lemas. Dia menyalakan lampu ponselnya, karena ruangan tidak begitu jelas dengan penerangan hanya lampu kuning lima Watt.
Lena mengamati sekitar kamar dan tentu saja kasur yang sangat menarik perhatian, karena begitu berantakan.
“Bu ...! Astaghfirullah ini darah apa? Mba Rara, mbak ...,” seru Lena yang melihat bercak darah yang bukan hanya sedikit.
Perlahan Bu Sugeti dan Lena membuka kain yang menutupi tubuh Rara, niatnya untuk melihat keadaan Rara yang sebenarnya. Mereka benat benar terkejut, lagi-lagi seperti tertusuk ulu hati melihat apa yang menimpa Rara.
“Bangsat kau Gandi!” teriak Lena.
“Hust ... udah, udah ...,” tegur Bu Sugeti. Rasa sakitnya tentu lebih pedih dari Lena. Namun, dia tak ingin memancing tetangga datang dengan histeris Lena yang mengumpat kakak iparnya.
Lena dan Bu Sugeti merawat Rara, setalah tubuh Rara terlihat lebih baik, dia dipindahkan di kamar ibunya. Bu Sugeti pikir, kamar itu tak seharusnya ditempati Rara terlebih dahulu. Takutnya menyisakan ketraumaan.
**#
Empat hari kemudian Rara terlihat lebih baik.
“Mau ke mana kamu nduk?” tanya Bu Sugeti yang melihat Rara sudah berpakaian rapi, dengan tas selendang seperti biasanya.
“Ke rumah Pak Haji Dadan Bu, aku sudah terlalu lama libur,” sahut Rara yang langsung menyodorkan tangan pada ibunya, untuk berpamitan.
“Tapi Nak, ibu takut ada apa-apa. Kamu kan ....” Bu Sugeti cemas.
“Tenang aja Bu, aku sudah baik kok. Tidak akan ada apa-apa. Aku pamit ya Bu,” ucap Rara kemudian ke luar rumah.
**#
Sementara itu saat di toko Pak Haji Dadan, Rara seperti biasa melakukan pekerjaan seperti hari-hari sebelumnya. Namun, saat toko sedang sepi, sekitar pukul satu siang, Rara dipanggil haji Dadan untuk ke belakang.
Toko tersebut satu bangunan sama rumah dan saat ini Rara ke area rumah Pak Haji Dadan. Rupanya dia diminta untuk mengoleskan minyak angin ke punggung Pak Dadan. Rara sebenarnya menolak, sudah berkali-kali bahkan.
“Nanti nunggu Ibu saja, Pak. Saya takut fitnah, tidak ada siapa-siapa lagi di sini,” ucap Rara menjaga diri.
“Tidak apa, kan ada cctv. Aku yang memintanya.” Pak Haji Dadan tetap memaksa.
Akhirnya Rara mengikuti apa kata Pak Haji, dia kasihan juga, takutnya Pak Haji benar-benar sedang tidak enak badan dan butuh dioleskan minyak angin tersebut.
Brak!
“Hei ... sedang apa kalian?” ternyata kedua istri haji Dadan datang.
Kedua istri yang baru pulang belanja, menggebrak pintu hingga Rara terkaget dan menjatuhkan botol minyak angin yang dipegangnya.
Rara menoleh, begitu pun Pak Haji yang kemudian tergesa memakai pakaiannya.
“Begini ya kelakuan kalian di belakangku! Sudah berapa lama, hah?” cecar salah satu istri.
“Ini salah paham Bu, sungguh, kami tidak melakukan apapun,” bela Rara yang sudah gemetar .
Namun, pembelaan Rara tak berarti apa-apa, parahnya lagi Pak Haji tidak bicara apa pun, apalagi mencoba menjelaskan kejadian sebenarnya.
Rara terus memohon untuk tidak dihukum, karena kedua istri Pak Haji sepakat untuk Rara diarak keliling kampung.
“Ibu bisa lihat CCTV, kami tidak melakukan apa pun,” pinta Rara.
“Ok, aku yakin kau pasti bersalah!” Istri Haji Dadan yang satu membuka ponselnya yang terhubung pada CCTV.
Sedangkan istri satunya sudah memegang tangan Rara yang digenggam di belakang tubuhnya seperti tawanan.
“Kau bisa lihat dengan jelas, apa yang suamiku tunjukkan. Jika tidak menggodanya, tidak mungkin suamiku akan keenakan seperti itu,” seru sang istri.
Rara terperanjat, ekspresi apa? Perasaan dia tidak melakukan apa pun yang lebih dari hanya sekedar mengoleskan minyak angin.
“I-itu, saya tidak tahu Bu. Saya bersumpah, demi Allah hanya mengoleskan minyak urut pada Pak Haji,” bela Rara kembali.
“Iya, itu menurutmu. Tapi tanganmu nakal, jarimu gatal. Kalau sekedar mengoleskan, tidak mungkin suamiku sampai segitunya,” teriak sang istri kembali.
“Pokoknya aku tidak mau tahu” sang istri yang memegangi tangan Rara, menarik Rara dengan paksa.
Rara yang tak ada persiapan apa pun, hampir terjatuh karena tarikan yang kuat. Tanpa alas kaki, Rara ikut ke mana majikannya pergi. Jarak rumah Pak haji dan rumah Rara cukup dekat, mungkin kalau dihitung rumah, berjarak sekitar 20 bangunan.
Karena sedang terbakar nafsu, kedua istri haji Dadan yang biasanya anti jalan, kini berjalan dengan cepat, menuju rumah Rara. Warga kampung yang melihat kejadian itu menghampiri dan bertanya pada kedua istri Haji Dadan.
Sambil berjalan, mereka merumpi apa yang terjadi, tentunya dengan bumbu fitnahan dan cerita yang dilebih-lebihkan agar meyakinkan bahwa Rara memang benar bersalah dan layak di usir dari kampung itu.
Semakin lama para pendukung semakin banyak, sudah seperti demo. Teriakan dan iringan hiruk pikuk, bahkan jeritan Rara yang memohon pada kedua istrinya Pak Haji, tak terdengar sama sekali.
Dalam iringan itu tak ada Pak Haji Dadan, sungguh orang tua tidak bertanggung jawab. Ini adalah kesalahan dirinya yang memanfaatkan situasi, tapi malah Rara yang terkena imbas dari otak mesum pria tua yang pengecut itu.
Haji Dadan sengaja menjebak Rara. Karena beberapa kali dia sering meminta Rara untuk menjadi istri ketiganya, ditolak terus. Inilah akibatnya....
**#
Brugh!
Rara didorong oleh istri Pak Haji, saat sampai di teras rumahnya.
Bu Sugeti yang sedang ada di dalam rumah, terkejut dengan keramaian di depan rumahnya. Kemudian langsung berlari ke depan rumah bersama kedua cucunya yang mengekor.
“Ya Allah ... ada apa ini? Nduk ... apa yang terjadi?!” Bu Sugeti histeris dan meraih Rara agar berdiri.
Rara menggeleng dan memeluk ibunya. Dia menangis tersedu, tubuhnya sebenarnya masih sakit bekas penganiayaan Gandi dan kini terasa semakin sakit, ditambah lagi mental yang dipermalukan di depan warga. Sungguh membuat Rara berasa ingin mengakhiri hidupnya.
“Usir dia dari kampung ini, usir...!” seru warga yang tidak memberikan kesempatan pada Bu Sugeti untuk meminta penjelasan.
Bahkan RT di sana pun hanya diam, mencoba menenangkan warga, tapi kewalahan. Padahal sudah dibantu dua orang hansip.
“Maaf Bu Denis, ada apa ini. Apa yang anak saya lakukan hingga seperti ini?” tanya Bu Sugeti sambil menangkupkan kedua tangan di depan istri haji Dadan.
“Tanya saja sama dia, mengapa suamiku yang digoda. Seperti tidak ada lelaki lain yang bisa memuaskan nafsunya. Dia tidak lihat apa? Suamiku udah tua untuk melayani wanita gatel seperti dia. Jangan hanya demi uang, sampe rela menjual diri pada suami orang, sungguh hina, cuih ...!” seru sang istri yang bernama Denis.
“Mungkin ini salah paham Bu, anak saya tidak seperti itu. Saya yakin,” ucap Bu Sugeti memohon untuk mempertimbangkan tuduhan yang mungkin saja memang hanya fitnah.
“Ada buktinya Bu! Pokoknya aku gak mau tahu, dua puluh empat jam, kalian harus tidak ada di kampung ini,” ucap Bu Denis kembali kemudian berbalik arah dan pergi.
Sedangkan istri yang satunya, melemparkan tas milik Rara yang tadi tertinggal dan dibawakan oleh pesuruh ke sana. Para warga hendak melempari Rara dengan batu kerikil yang ada di hadapan mereka, untung saja Pak RT dan kedua hansip bisa menenangkan.
Akhirnya para warga Bubar, tinggal Pak RT dan dua orang hansip yang akan bicara dengan baik pada Bu Sugeti.
Setelah berbincang cukup lama, Pak RT memutuskan agar Rara tidak ada di kampung ini untuk sementara waktu. Tidak perlu satu keluarga. Pak RT yakin, ini semua karena masih panas permasalahannya. Nanti dia akan bertanggungjawab pada warga, akan menjelaskan bahwa permasalahan harus jelas, bukan main usir.
“Woi ... pe la cur ...!”
Bruk!
Seseorang yang sedari jauh sudah berteriak-teriak, dan memukul pintu dengan keras saat sudah sampai rumah, langsung menjambak rambut Rara dan berkata di wajah Rara dengan teriakan yang memekakkan telinga.
“Tak hentinya kau membuat malu?! Mulai hari ini, kau bukan lagi istriku. Aku menceraikanmu saat ini juga!” teriak Gandi tepat di depan wajah Rara. Tangan yang menjambak rambut Rara dihempas dengan kasar. Lalu Gandi pergi lagi entah ke mana.
Rara terkejut, syok dan entah apa lagi yang bisa digambarkan untuk situasinya saat ini.
Setelah sedikit perbincangan lagi dengan Pak RT, tentang keputusan Rara untuk keluar sementara dari kampung ini, kemudian Pak RT dan kedua hansip itu pamit.
Tak lama Lena datang pulang dari kerja. Lagi-lagi dia terkejut mendapati keadaan kakaknya yang sedang tersedu, kepalanya terbenam di pangkuan ibunya. Sedangkan kedua keponakan kembarnya hanya melihat saling berpelukan, tidak mengerti apa pun.
#**
Saat malam tiba, situasi di dalam rumah Sugeti sudah cukup tenang. Bahkan Lena sudah mengetahui cerita yang sebenarnya dari sang ibu.
“Iya, Lena setuju kalau Mbak Rara mau ke kota. Lena tahu, Mbak Retno orangnya baik, pasti mbak Retno akan bantu mbak Rara dalam situasi seperti ini,” ucap Lena.
“Ibu juga berharap pada Retno, hanya dia satu-satunya yang dapat menolong Rara. Kita mau pindah ke mana lagi. Semenjak ayahmu meninggal, sanak saudara seakan jauh, dan tak peduli pada kita. Tapi kita jangan dulu cerita apa apa pada Retno. Tidak enak rasanya,” ujar Bu Sugeti.
Saat perbincangan itu, ponsel Rara berbunyi beberapa kali. Namun, saat Lena mau mengambilnya, deringan ponsel berhenti. Tak berapa lama, sebuah pesan masuk di ponsel Rara dan Lena membacanya.
“Dari siapa, Nduk?” tanya Bu Sugeti yang melihat Lena terbengong saat setelah membaca pesan dari ponsel Rara.
“Ini Bu, istrinya Pak Mantri,” singkat Lena sambil menyerahkan.
Bersambung...
Bu Sugeti meraih ponsel itu dan membaca isi pesan. Sama halnya dengan Lena, Bu Sugeti langsung terdiam. Mungkin jika hanya sekedar memberitahukan bahwa Rara tidak diperbolehkan lagi bekerja di sana, itu tak membuat Lena dan Bu Sugeti sampai terbengong.
Isi pesan dari istrinya Pak Mantri, disertai cacian dan merendahkan Rara.
***
Keesokan Harinya. Rara memaksakan diri berangkat ke Jakarta, setelah semalam sempat berbincang dengan Retno melalui sambungan telepon.
“Bunda, nanti pulang bawa boneta buat atki, ya?” pinta Azkya yang masih berada di gendongan Rara.
“Ok, InsyaAllah Bunda akan bawa boneka kesukaan Azka. Em ... Boneka Memey ya?” balas Rara, yang sebenarnya selalu ingin tertawa kalau anaknya selalu meminta boneka Memey, salah satu karakter yang ada di film kartun, Upin Ipin.
Mengapa tidak yang lain, seperti pada umumnya anak lain suka pada boneka Upin ipin, bear, mini apalagi Azkya kan anak cowok.
“Kalau aku bunda, mau mobilan truk yang ekornya tiga, yah,” pinta Azka, yang ada digendong tantenya, Lena, adik Rara.
“Baiklah Azka, anak bunda yang ganteng, nanti bunda beliin truk yang paling kuat,” ucap Rara sambil mencubit hidung bangir Azka.
Truk ekor tiga yang Azkya maksud adalah, truk gandeng, tetapi karena masih kecil, Azka tidak tahu nama truk yang sebenarnya.
“Bu, Lena, aku pamit ya. Maaf, ngerepotin kalian untuk jaga anak-anak. Kalau ada apa-apa langsung telepon saja,” pamit Rara kemudian mencium tangan Bu Sugeti lalu memeluknya.
“Nak ... Ibu nitip, jaga pergaulan di kota. Semoga keberuntungan, keselamatan dan berkah Allah selalu menyertaimu. Kejadian di sini, semoga tak kau alami di kota. Ibu pikir orang kota pasti lebih luas pandangannya, Ibu harap kau menemukan bahagia di sana,” pesan ibunya Rara penuh khawatir pada anak sulungnya ini.
“Iya Bu, InsyaAllah, Rara akan jaga diri dengan baik. Tolong bantu doakan Rara ya Bu,” ucap Rara sambil berderai air mata dalam pelukan ibunya.
“Lena, maafin mbak ya, nitip anak-anak. Sekolah yang bener, kalau kurang biaya apa pun, cepet-cepet bilang mbak,” ucap Rara setelah melepas pelukan dari ibunya.
“Iya Mbak. Mbak Rara tenang saja, aku bisa kok buat ngurus mereka. InsyaAllah semuanya pasti lancar,” balas Lena, yang kini menjadi siswa SMA kelas 11 dan nyambi kerja paruh waktu.
“Bunda, boleh minta satu lagi nggak?” tanya Azkya.
“Iya, boleh sayang.”
“Azkya minta Ayah. Kata Nina, nanti kalau mau masuk SD, harus punya Ayah. Soalnya nanti ditanyakan sama Bu Guru.”
Seketika Rara terdiam, dia paham maksud putranya, padahal sebenarnya tidak seperti itu jika masuk ke SD kelak. Namun, Rara mengiyakan saja permintaan putranya agar bisa tenang melepas dirinya pergi.
Setelah Rara berpamitan pada keluarganya, dia naik ojek online yang sudah dipesannya. Di sepanjang jalan perkampungan, para penduduk yang biasa bergunjing tentang Rara, kali ini pun tak ada bedanya. Ada yang menduga Rara pergi memenuhi panggilan om-om, ada juga yang katanya dapat job besar di kota.
Hari masih pagi, sekitar pukul enam, tetapi itulah kebiasaan penduduk di sana. Pagi-pagi sekali pun, sudah ada yang kumpul – kumpul tetangga.
**#
“Ret, aku udah sampe terminal Nih, terus naik apa?” tanya Rara, lewat sambungan telepon.
“Kamu naik angkot aja, yang warna ijo. Kernetnya bakal teriak-teriak, perumahan kafe,” balas Retno.
“Oh iya tuh, aku lihat. Oh ya, berapa ongkosnya?” tanya Rara balik.
“Kasih aja goceng. Udah ya, aku masih kerja nih, takut ketahuan pegang HP lama-lama. Nanti kalau udah sampe di depan perum, ada Pak Satpam. Tunggu aja di sana,” balas Retno lagi kemudian menutup panggilan.
**#
Pukul empat sore, Rara sampai di depan perumahan kafe. Pak satpamnya sangat ramah, Rara jadi tidak takut menunggu Retno cukup lama.
“Eh, sorry ya lama. Abis belanja, hehe,” ucap Retno saat baru sampai, dia juga turun dari angkot ternyata.
Retno dan Rara masuk komplek, jalan cukup jauh. Harus melalui dua blok A dan B terlebih dahulu.
Sampai di rumah Retno, mereka berbincang sambil istirahat dan makan.
“Tapi Ra, aku udah ngomong sama mas Hendra, manajerku. Si Bos yang mau kita temuin, masih di Luar Negeri, mungkin bulan depan baru pulang,” jelas Retno.
“Yah ... aku keburu kehabisan bekal,” sahut Rara bernada murung.
“Udah sih, santai aja, kaya sama siap aja sih kamu,” ucap Rara menyenggol lengan Rara.
**#
Sambil menunggu waktu calon bosnya pulang dari luar negri, Rara mengisi waktu dengan membuka profil perusahaan yang akan dia tempati untuk kerja.
“Oh ... jadi ini perusahaan tekstil tapi bagian kantornya. Namanya Pak Dahlan, lajang matang yang memutuskan tidak menikah. Hah? Kok aneh?” gumam Rara.
##*
Dua Minggu sudah kegiatan Rara hanya makan, tidur dan bantu beberapa kerjaan kecil di rumah kontrakan Retno. Dia sudah tidak enak sebenarnya, merepotkan sahabatnya terus.
“Besok aku coba ke pertokoan aja deh, kali aja ada lowongan. Mungkin bukan rejeki kerja di perusahaan gede itu,” batin Rara saat sore hari sambil masak, menunggu Retno pulang kerja.
“Rara ...! Ra ...!” seru seorang wanita yang sangat Rara kenal.
Rara segera menyusul ke depan,”Ada apa sih Ret, teriak-teriak gtu?” tanya Rara.
“Kamu beruntung, besok kita ke perusahaan BT. Kata Mas Hendra, Pak Dahlan udah pulang semalam.” Retno sangat gembira menyampaikan kabar itu.
“Hah BT?”
“Iya, Bonafit Tekstil.”
“Wah ... serius? Alhamdulillah ... terima kasih Retno ...,” ucap Rara memeluk sahabatnya.
**#
Keesokan harinya kedua sahabat itu sudah bersiap untuk ke perusahaan Bonafit Tekstil. Rara yang akan interview, tapi Retno tak kalah antusias dan senang pagi itu.
**#
Saat sampai di perusahaan Bonafit Tekstil.
“Ret, Bosnya sepagi ini udah meeting?” tanya Rara yang kini sedang duduk pada sofa di area dekat ruang resepsionis.
“Entalah, aku kan gak ngerti banget tentang bosnya. Namanya aja baru tahu sekarang. Mungkin dia orang disiplin banget kali,” respons Retno menduga-duga.
“Kok aku jadi deg-degan ya? Takut gak bisa menyesuaikan gitu, bangunannya aja segede ini,” ucap Retno sambil menoleh ke kanan kiri hingga sesekali menelisik ke arah tangga dan kadang teralihkan oleh suara lift berbunyi. Rara melihat beberapa karyawan yang sudah sibuk hilir mudik sepagi ini, pukul 07:30.
Dua jam mereka menunggu Pak Dahlan tiba, tapi tak kunjung juga terlihat.
Rara semakin dag-dig-dug, jangan-jangan bukan rezekinya. Awal melamar kerja tidak selancar yang dibayangkan.
Hampir pukul dua belas, Pak Dahlan tiba di kantor. Rara tiba-tiba menyenggol lengan Retno yang sedang asik bermain game di ponselnya.
“Eh-eh, lihat. Itu mungkin Pak Bosnya. Beda penampilannya,” bisik Rara dengan tatapan tak lepas dari sosok pria matang, berpenampilan necis, bahkan aroma parfumnya saja sampai tercium di mana tempat Rara dan Retno duduk. Padahal jarak sofa tempat tunggu ke pintu masuk kantor cukup jauh beberapa meter.
“Hem? Bisa jadi,” respons Retno sambil melongo. “Bosnya yang mana, ya?” lanjut Retno, dia melihat dua pria ganteng yang menyilaukan pandangannya.
“Mana ku tahu,” dengan polosnya Rara merespons.
Bola mata Retno dan Rara tak henti mengikuti arah langkah dua CEO yang baru datang itu, hingga pintu lift tertutup, kedua sahabat itu masih belum berkedip. Hingga panggilan petugas resepsionis tak dihiraukan oleh Retno dan Rara.
Dari mana mereka tahu bahwa dua pria bercahaya itu adalah CEO? Pemikiran polos mereka. Ya, mereka menebak kalau pria di sebuah perusahaan besar dengan pakaian jas keren, wajah bercahaya ganteng, aroma parfum segar, jalan cool dan elegan, sudah pasti itu adalah CEO. Ditambah ada cowok bertubuh kekar di dekatnya, sudah pasti itu bodyguard CEO.
“Mba ....” Sekali lagi petugas resepsionis memanggil Rara dan Retno.
“Eh, i-iya mba.” Rento dan Rara tersentak berbarengan.
“Mba ... Itu Pak Dahlan sudah datang, silakan naik ke lantai enam, di sana nanti ada sekretaris Wulan yang membantu mbak,” ucap resepsionis dengan senyum merasa aneh.
Rento dan Rara serentak berdiri dari duduknya. Mereka benar-benar tremor, itu bahasa gaulnya zaman sekarang. Kalau lihat cowok ganteng. Namun, saat mau memasuki lift, ponsel Retno berdering, dia pun langsung menerimanya.
“I-iya Pak, segera,” ucap Retno membalas obrolan dari seberang ponselnya.
“Eh, Ra. Aku duluan ya. Si bos memintaku segera masuk. Dah ....” Retno langsung pergi dan sempat melambaikan tangan perpisahan pada Rara.
“Eh, Ret?!” Panggilan Rara untuk Retno sia-sia saja.
“Terus, aku harus gimana? Mana gedungnya gede banget. Kalau nyasar?” batin Rara sambil perlahan melangkahkan kakinya masuk lift.
Beruntung saat Rara masuk lift, ada seseorang masuk juga. Sebenarnya Rara tahu cara kerja lift, walau dia belum pernah menggunakannya.
Dia tahu dari film-film korea yang sering ia tonton dan pernah juga ke swalayan yang ada di kampungnya. Namun, dia takut untuk naik lift, naik eskalator saja masih sering kesandung. Akan tetapi kali ini harus memberanikan diri naik lift, karena terbayang akan lama dan cape banget menuju lantai enam, tempat ruangan CEO itu.
Rara mengamati orang yang satu lift dengannya, dia memijit angka tiga, itu berarti dia naik ke lantai tiga. Setelah orang itu ke luar, Rara memijit angka tiga. Rara pikir dia akan naik tiga lantai lagi setelah di lantai tiga, jadi di lantai enam. Padahal seharusnya langsung pijit angka enam.
Rara ke luar dari lift, setelah sampai sesuai angka lantai yang ia tekan. Rara sedikit gugup, tapi demi dirinya dapat kerja, dia memberanikan diri bertanya pada seseorang yang dia lihat.
“Em ... Mas, maaf. Ruangan Pak Bos, di mana ya?” tanya Rara dengan sedikit membungkukkan badan.
“Ruang Pak Presdir? Naik tiga lantai lagi.” Maksudnya, tiga lantai lagi itu adalah lantai enam. Tapi jawaban orang tersebut bikin Rara bingung.
“Em, maaf Mas. Tadi saya sudah tekan angka tiga, dari lantai bawah. Kemudian saya tekan lagi angka tiga, itukan sudah sampai di lantai enam, ya? Kalau saya tekan angka tiga lagi, berarti ruangan Pak Bos ada di lantai sembilan?”
Karyawan yang ditanyai Rara itu, seketika memandang wanita mungil yang ada di hadapannya itu? Pikirnya, wanita dari mana? Serepot itu memahami cara naik lift.
Karyawan itu tarik napas dalam, kemudian menghembuskan secara kasar, “Mbak, sekarang anda naik lift lagi aja, terus tekan angka enam. Ingat ya ... langsung saja angka enam,” jelas karyawan itu dengan penuh penekanan di akhir kalimat.
“Oh, gitu. Terima kasih ya Mas. Semoga kebaikan Mas dibalas Allah Subhanahuwata Ala. Permisi mas,” ucap Rara segera pergi tanpa menghiraukan wajah heran karyawan tersebut.
“Hadeuh... makhluk dari mana dia?” gumam karyawan tersebut.
**#
Akhirnya Rara sampai di lantai enam, tapi saat hendak ke luar lift, dia berpapasan dengan seorang pria berpakaian jas hitam, bersih dan rapi, berdasi garis hitam biru ada salur warna emasnya. Aroma tubuhnya membuat Rara kehilangan akal, masih beruntung tidak langsung amnesia.
Rara yang hendak ke luar, sedangkan pria tersebut hendak masuk lift, sehingga saling geser kanan kiri, mencoba membuka jalan masing-masing. Alhasil mereka seperti sedang menari sorong kanan sorong kiri.
Pria berpakaian necis itu adalah Purba, relasi Pak Dahlan. Lebih tepatnya posisi Purba berada di atas jabatan Pak Dahlan. Karena Purba menjabat presiden direktur di kantor pusat. Mungkin jika mertuanya telah tiada, perusahaan itu akan menjadi miliknya. Kantor pusat bernama Bonafit Tekstil Center.
Kini Purba diam di posisinya, berdiri mematung dengan badan tegap, tatapan wajah ke depan, dengan satu tangan masuk ke dalam saku celananya, menunggu wanita yang ada di hadapannya itu lewat terlebih dahulu. Namun, sungguh di luar ekpektasi, Rara pun ikut diam tepat di hadapan Purba, dengan tujuan yang sama. Yaitu, memberi jalan agar Purba lewat terlebih dahulu.
Kesabaran Purba tak dapat ditunda lagi, dia menatap Rara dengan bola mata sedikit gerakan kepala, meminta Rara untuk geser ke kanan, yang leluasa ruangnya.
Rara paham akan isyarat dari Purba, dengan segera Rara bergeser, tapi dengan tatapan masih fokus pada wajah gagah Purba. Dengan tertawa lirih sok akrab, Rara mengucapkan permisi dengan badan sedikit membungkuk.
Setelah keluar dari area lift, Rara sesekali menoleh ke belakang. Baru pertama kali dia melihat orang ganteng sedekat itu. Mungkin kalau dengan artis, tak ada bedanya wajah tampan CEO tadi.
**#
“Pak Dahlan, tolong segera diperbaiki lift khusus staf!” perintah Purba melalui ponselnya, setelah ke luar dari lift dan kini berada di lantai dasar, menuju rumah. Karena istrinya menelpon terus agar dia segera pulang.
**#
Rara mengetuk pintu Ruangan CEO, yang sebelumnya diberitahukan ruangan yang mana oleh sekretaris di sana.
“Masuk!” seru seseorang dari dalam.
Rara masuk dengan badan sedikit gemetar. Terlebih saat melihat Pria matang berkharisma itu melihat jam yang berada di tangannya. Kemudian sorot mata tajamnya beralih menelisik keberadaan Rara. Menandakan bahwa Rara datang tidak sesuai jadwal.
#**
“Wulan, interview anak kecil ini. Laporannya saya tunggu,” ucap Pak Dahlan, setelah memperhatikan Rara dari atas sampai bawah tubuh mungilnya.
Rara ingin menjawab, tapi lidahnya kelu, tenggorokannya tercekat. Namun, dongkol sekali rasanya dibilang anak kecil.
Wulan mengajak Rara pada sofa yang masih satu ruangan di sana.
Selama kurang lebih 30 menit, interview berlangsung. Tidak terlalu serius memang, bahwa yang terutama adalah kejujuran dan beruntungnya Rara melamar atas rekomendasi orang kepercayaan teman Pak Dahlan. Sudah pasti interview dan aturan lamaran lainnya hanya formalitas.
Wulan menyerahkan laporan hasil interview pada Pak Dahlan.
“Baiklah, langsung kerja hari ini juga,” ucap Pak Dahlan dengan raut muka datar.
‘Ya ampun ... sayang sekali, cakep-cakep papan tulis, datar dan kaku. Bisa gitu, manggil nama dulu, basa-basi, buat siapa dia bicara.’ Batin Rara yang masih terbengong pandangannya pada Pak Bos.
Hingga Wulan menyenggol Rara, barulah dia tersadar. Untung Pak Dahlan tidak menyimak tingkah Rara. Setelah memutuskan Rara diterima kerja, Pak Dahlan sibuk dengan ponselnya.
Rara beranjak dari tempatnya, dia akan menuju ruangan kerjanya ditemani Wulan, sekretaris pribadi Pak Dahlan. Namun, tiba-tiba ...
“Dan ... satu lagi. Kalau ada yang mau dibicarakan, sampaikan pada Wulan, atau langsung padaku. Jangan dalam hati,” seru Pak Dahlan menambahkan.
Rara kemudian menelan ludah sedikit terkejut, ‘Apa Pak Bos, bisa membaca pikiran orang ya? Bisa denger suara hati, gitu? Apa semua CEO bisa main tebak-tebakan hati gini? Kaya di film-film korea, kaya di novel-novel,’ batin Rara yang kini berdiri mematung, membelakangi meja Dahlan, hendak ke luar ruangan.
“Wulan, jika ada karyawan yang tidak bersedia mengikuti aturan perusahaan, langsung keluarkan saja, tanpa pesangon. Sekali pun dia baru masuk,” seru Pak Dahlan kembali, yang saat ini matanya fokus pada layar komputer.
‘Eh ... sial. Dia menyindirku?’ batin Rara lagi.
“Em, Wulan, ayo!” Seketika Rara menarik tangan Wulan. Bergegas meninggalkan ruangan Pak Bos. Dia tidak ingin jika baru saja masuk langsung dipecat.
Setelah Rara dan Wulan keluar ruangan, “Ahahaha ...! Hendra ... Hendra, bisa aja kau cari wanita lugu,” seru Dahlan sambil memukul-mukul mejanya saking menikmati gelak tawanya.
Rupanya Dahlan sedan melakukan panggilan video Dengan Hendra, bosnya Retno. Itulah yang dicari, sosok Rara yang polos, mau disuruh apa saja demi dapat pekerjaan, terutama yang penting digaji.
Dahlan menceritakan lucunya melakukan interview pada Rara. Tanpa banyak pertanyaan, palanga-plongo dan iya-iya saja, yang hanya mampu keluar dari reaksi Rara.
**#
Hari pertama kerja, Rara diminta Wulan untuk membuatkan kopi racikan untuk Pak Dahlan. Di ruangan itu juga ada Sora, partner Rara nantinya.
“Nah gitu caranya, di sini gak pake kopi instan, udah sana berikan ke Pak Dahlan,” ucap Sora.
Rara dengan sedikit gemetar, kembali ke ruangan Pak Dahlan.
“Pak, ini kopinya,” ucap Rara setelah mengetuk pintu, langsung masuk.
Rara bingung mau ditaruh di mana kopinya. Dia melihat Pak Dahlan sedang berdiri melihat beberapa file di rak. Rara tepat berdiri di belakang bosnya itu.
“Pak, ini kopinya taruh di mana?” tanya Rara menunggu jawaban bosnya.
Pak Bos itu merespons tanpa menoleh, “Taruh aja sana, argh... kamu!”
Prak...!
Gelas kopi tumpah terkena tangan Pak Bos yang hendak menunjukkan letak di mana kopi harus di simpan.
“Eh, ma-maaf Pak,” seru Rara sambil sigap menaruh nampan di lantai, kemudian memegang tangan bosnya ditiup tiup.
“Gimana sih? Kerja gak becus! Loh ... kamu?” saat bos itu memperhatikan siap karyawan itu, dia terkejut.
“Eh, tuan. Em ... bapak yang tadi? Aduuh ... ampun Pak, sumpah gak sengaja,” seru Rara, memejamkan karena takut dan refleks menaruh kepalanya di dada Purba, seperti posisi memeluk, sambil masih menggenggam tangan purba di masih ditiup tiup.
Rara tidak menyangka bahwa bos itu adalah Purba. Ke mana Pak Dahlan?
Brak ...!
Seorang wanita yang tergesa-gesa masuk, berhenti sejenak saat melihat pemandangan di depannya. Wajahnya berubah merah dengan sorot mata tajam, segera menghampiri Rara dan ....
Bersambung...!
“Wanita ****** ...! Minggir kamu!” seru Mona menyingkirkan Rara, dia adalah istri Purba.
“Ah ... hsst, huft...,” Rara kesakitan, mengusap-usap kepala kemudian sikutnya, karena dijambak oleh Mona. Kemudian sikutnya yang terkena sudut meja juga terasa ngilu.
“Jadi ini alasan kamu berangkat pagi? Bahkan mengabaikan istri dan calom bayimu ini?!” teriak Mona pada Purba.
Rara yang menyaksikan kemarahan wanita di hadapan, semakin ketakutan. Lebih-lebih takut kalau dirinya kena marah wanita itu dan Purba pun akan marah padanya.
Dia tidak ingin terkena pelampiasan pasangan yang sepertinya sudah berselisih dari rumah.
“Aku tidak mau tahu, tebus semua kesalahanmu,” seru Mona sambil menarik tangan Purba.
“Lepas!” seru Purba.
Mona yang sudah berbalik hendak menuju pintu keluar, menoleh terkejut. Tak menyangka suaminya menepis tangan dan menentang seperti itu.
“Kamu tidak apa-apa? Ayo,” ucap Purba yang membantu Rara untuk berdiri.
Mona terkejut dengan perlakuan Purba pada karyawan itu. Tak menyangka sama sekali.
“Kamu tega Mas! Hanya demi wanita ini? Argh ...!” seru Mona mendorong Purba.
Purba tak terima kali ini Mona berlebihan, “Tahan emosimu, Ma. Ini kantor;”
“Aku tahu ini kantor, dan hari ini juga aku tahu, kantor ini berubah jadi tempat mesum.” Mona berteriak dengan emosi.
“Mama, jaga ucapan kamu! Malu sama orang-orang,” cegah Purba, sambil tangannya sibuk menghindari pukulan – pukulan kecil dari tangan Mona.
Rara masih terbengong, mungkin syok, melihat adegan pertengkaran yang dia tidak mengerti sama sekali dan dirinya dibawa-bawa pula.
“Dan kamu, wanita murahan, lihat baik-baik wajahku! Kamu tidak dapat bersaing denganku, wanita kampung!” Mona mendorong Rara yang hampir terjengkang, untungnya Purba sigap menarik tangan Rara.
Rara melihat situasi sepertinya berpihak padanya, dia tak rela direndahkan oleh wanita jadi-jadian yang tak tahu asal usulnya dari mana. Ditepisnya tangan Purba yang masih memegang lengannya.
“Hey Nyonya, Nyonya petir! Wajahmu memang cantik, mana tahu semuanya plastik, pantas aja Pak Bos tidak tidak begitu tertarik,” ledek Rara, ngena banget langsung menusuk hati Nyoba Bosnya.
“Apa ...?! Nyonya petir kamu bilang? Kamu berani melawanku, hah? Papaku pemilik perusahaan ini, aku pastikan hari ini juga kamu, di-pe-cat,” teriak Mona yang sepertinya seakan menerkam, berteriaktepat di depan wajah Rara.
“Kenapa tidak? Kita sama-sama manusia, bedanya kamu gila, asal tuduh sembarangan. Woy ...! Tanya dulu kan bisa. Aku gak ada urusan sama Papamu.” Rara tak kalah garangnya dari Mona.
“Aarggh,.. sialan kamu! Aku ini istri bosmu. Eh ... rasain ini, eh ... ergh ...,” Mona menjambak rambut Rara lagi, kini dengan kedua tangannya dan akhirnya kedua wanita itu duel saling adu jambak.
“Aku karyawan yang harus dihargai, tanpa aku kalian bukan bos!” teriak Rara di sela pergulatan dengan Mona.
Purba malah tertawa lirih melihat mereka, begitu pun Bizar, mereka tak menyangka karyawan baru akan seberank itu pada istri bos.
“Dan aku Nyonya bosmu, tak menginginkan karywa pe la cur, sepertimu,” kini giliran Mona yang membalas hinaan Rara.
Purba bingung harus masuk kapan ke dalam perkelahian kedua wanita itu, untuk memisahkan. Berkali-kali mencoba untuk memisahkan, malah kena sikut.
Begitu pun Bizar malah canggung, yang satu Nyonya bosnya, salah pegang bisa bahaya. Yang satu wanita baru kenal dan kelihatan galak, bisa berabe kalau tambah meradang. Bizar pikir, lebih enak berkelahi langsung dengan beberapa preman, daripada harus berurusan dengan wanita yang sedang marah, serba salah.
Di luar ruangan para karyawan sudah banyak berkumpul dari balik kaca, mereka terpancing karena mendengar keributan.
Beberapa ocehan dan asumsi mereka saling menduga.
Bersambung..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!