Sean terbangun dari tidurnya kala ia mencium sedapnya aroma daging panggang yang baru saja di masak.
Dia berguling di tempat tidurnya, seraya menarik selimut hangat miliknya, menutupi bahunya, dan membenamkan kepalanya ke bantal yang terbuat dari sutra lembut berwarna putih.
Dia merasa sangat nyaman, santai, seolah dia ingin berbaring di tempat tidurnya untuk waktu yang lama.
Namun kemudian sekonyong-konyongnya, mimpi semalam yang telah ia lalui membanjiri ingatannya.
Mimpi buruk datang melanda kala seekor monster mengerikan yang lebih mirip tirrano saurus Rex lengkap dengan ukuran yang sangat besar dan mengerikan mengejarnya.
Seolah mimpi tersebut menjadi nyata. Sean tidak bisa membayangkan semua mimpi ini. Mimpi yang mengerikan bahkan jauh lebih seram dari pada film horor dan thriller.
Jantungnya berdegup kencang, keringat pun ikut membanjiri keningnya.
Kegelisahan demi kegelisahan ia rasakan. Monster yang mengejarnya terlihat sangat buas dengan gigi tajam bak belati, kuku sekeras martil dan rupa yang menyeramkan mencoba menerkamnya dengan girang.
Dalam mimpinya itu, monster raksasa mengejarnya tanpa lelah. Ia mengejar Sean penuh kegirangan di wajahnya yang mengerikan itu, kemana pun Sean berlari melangkahkan kakinya. Mungkin jika dia adalah manusia, dia akan tersenyum licik untuk menerkam Sean.
Bahkan Sean pun tak tahu dari mana makhluk besar itu muncul dalam mimpinya lalu tiba-tiba mengejarnya.
Hingga akhirnya Sean pun merasakan sesuatu di tubuhnya.
Ia merasa bahwa tubuhnya mulai kelelahan dan kehabisan tenaga dengan nafas yang tersengal-sengal yang hampir saja ia tak bisa merasakan nikmatnya udara segar yang berhembus.
Sesuatu yang benar-benar mendesak ini, tak bisa membuat Sean mampu bergerak leluasa hingga akhirnya ia merasa tubuhnya mulai kelelahan. Dan dirinya terjatuh pingsan tak sadarkan diri di sebuah pohon yang begitu besar dari pohon lainnya.
Seperti pohon bonsai raksasa, pohon yang nampak dengan sengaja menonjolkan batangnya yang besar dari batang lainnya.
Siapa pun yang melihatnya akan merasa sedikit terkesan.
Namun sebelum matanya yang indah itu terpejam, samar-samar seseorang menghampirinya dan memberikan sesuatu tepat di tangannya. Seolah mengisyaratkan suatu permintaan pada dirinya.
Ia meninggalkan sebuah tongkat yang terbuat dari besi alumunium ringan dengan hiasan bunga teratai di ujung tongkat yang besarnya hampir menyamai jari telunjuknya.
Namun sayang Sean tak merasakan maupun mengingat apapun setelah mimpi itu, lebih tepatnya ketika dia pingsan di bawah pohon besar itu. Mimpi ini bahkan bertemu dengan orang itu benar-benar misterius. Itulah yang Sean rasakan.
Yang terjadi dalam mimpinya semalam usai ia bertemu dengan sosok misterius yang telah memberikannya tongkat kecil hanyalah seberkas ingatan kecil.
Tapi tetap saja yang masih teringat dalam otaknya adalah, "Jaga tongkat ini dengan baik-baik." Itulah pesan yang terakhir sebelum mimpi itu berakhir tak bahagia.
Selanjutnya pun Sean tak tahu apa yang terjadi padanya. Sean ingin bertanya apa yang terjadi berikutnya.
Apakah hewan itu memakannya atau malah menyelamatkannya. Namun dia tidak tahu harus bertanya pada siapa.
Sean tak tahu. Ibu, Ayah dan dirinya jelas ia tahu mimpi itu membawanya dalam fantasi yang penuh ketakutan. Apalagi sudah membawa kedua orangtuanya masuk dalam arus kengerian ini.
Sean tiba-tiba meloncat dari kamar tidur, kala terlintas wajah Ibu di kepalanya. Dia mulai menyadarkan diri dari bayang-bayang mimpi buruk semalam yang tengah membanjiri ingatannya pagi itu.
"Ibu!" Sean memekik khawatir pada sang ibu.
Sean bergegas keluar dari kamarnya dengan cekatan demi memastikan apakah ibunya baik-baik saja atau tidak. Namun ia tak sengaja menjatuhkan sesuatu dari meja lampu tidurnya.
Tring....
Sebuah benda mirip-/ mirip dengan yang ada dalam mimpinya, terjatuh di bawah ranjang tidur dan dengan rasa ingin tahu ia pun mengambil benda yang ia jatuhkan itu.
Sean melihatnya seksama seraya tergopoh kaget.
"Apa ini benar-benar nyata?" Tanya Sean pada dirinya sendiri. Dirinya mulai sadar pada mimpi buruk itu. "Apa aku masih bermimpi?"
Kemudian matanya melirik baju yang ia kenakan dalam mimpinya itu. Baju itu kini tergeletak di keranjang dalam keadaan basah.
"Tidak mungkin jika ini nyata?" Sean sekali lagi bertanya pada dirinya sendiri karena tak percaya bahwa mimpi semalam adalah nyata.
Mimpi adalah mimpi, dan ia tak akan berfikir terlalu jauh tentang mimpi aneh itu.
Mimpi yang hanya akan membuat ketakutan untuk remaja seusianya.
Ia teringat pada sang ibu dan ayah. Ia khawatir jika kedua orang tuanya terjadi sesuatu yang tak pernah ia harapkan.
Oleh karena itu ia bergegas menuju ke kamar orang tuanya. Ia membuka kamar itu. Dan ya, yang tampak hanya sebuah kamar kosong yang rapi dengan kedua kaca jendela terbuka lebar. Bahkan sprei tidur orang tuanya sudah terpasang rapi mengencang di segala sisi.
"Kerapian khas Ibunya," Pikir Sean sambil tersenyum.
Hanya sebuah kamar yang terawat dengan sempurna yang ia dapati di pagi hari ini.
Tiba-tiba ia mendengar suara seseorang dari lantai utama rumahnya.
Suara seseorang sedang sibuk dengan wajan yang sangat berisik. Di tambah aroma sedap masakan daging panggang yang menyeruak di hidungnya.
Ia berfikir bahwa itu adalah Ibunya.
"Ibu baik-baik saja, dia sudah kembali?" gumam Sean.
Sean kemudian membalikan badan lalu berderap menuruni anak tangga, hingga dua mata anak tangga ia langkahi.
Ia melesat dengan cepat menuju ke dapur tempat sumber suara yang telah menarik perhatiannya.
"Ibu... Ibu sudah kembali?" tanya Sean khawatir, cemas bahkan sedikit was-was.
lalu ia kaget, kali ini sang Ayah ternyata sudah duduk di meja makan menyantapi sarapan pagi .
Sedangkan sang ibu terlihat sibuk kesana kemari membawa makanan.
"Kamu sudah bangun?" Tanya sang Ibu saat melihat Sean menghampiri keduanya.
"Iya," Sean menjawab dengan senang.
"Kapan Ayah dan Ibu tiba di rumah?" tanya Sean kembali seraya menarik kursi lalu menduduki nya.
"Ayah dan Ibu baru saja datang pagi ini. Dan ya karena kita tidak bertemu selama sebulan ini, maka apapun yang kamu mau akan ayah turuti. Dan juga ayah dalam waktu senggang saat hari libur sekolah mu tiba. Oleh karena itu Ayah ingin membawa kalian liburan ke pulau yang sangat indah yang belum pernah kita kunjungi sebelumnya!" Ayah Sean menyahut pertanyaan anaknya dengan bahasa yang amat santai. "Bagaimana, apa kalian setuju?" Lanjut sang Ayah minta pendapat kepada Ibu dan anak itu.
"Yeah! Itu ide yang lumayan bagus. lagi pula kita sudah lama tidak melakukan liburan," sahut Sean. "Apa Ibu setuju Bu, pada rencana ini?" Sean ikut meminta pendapat sang Ibu. Entah apa yang akan di ucapkan dari mulut sang Ibu, Sean ingin mendengarnya.
Ibu hanya tersenyum sedikit sambil mengangguk menandakan setuju. Tanpa kata-kata apapun, padahal Sean sangat menantikan ucapan pendapat sang ibu.
Sean nampak terlihat senang meskipun Ibunya tak memberikan jawaban yang memuaskan. Baginya kebahagiaannya sungguh lengkap kala kedua orang tuanya akhir pekan ini pulang ke rumah dan akan membawanya liburan ke pulau yang sangat istimewa.
Ia tak bisa membayangkan seperti apa pulau itu. Indah, eksotis, atau sunsetnya yang memanjakan mata.
Entahlah, dirinya hanya ingin menikmati akhir liburan sekolahnya yang panjang nanti. Namun bukan besok perjalanan itu dilakukan, tetapi setelah Sean libur sekolah.
Dimana hari itu adalah hari kebebasan bagi seluruh murid sekolah menengah di Amerika.
Dirinya pun berharap kedua orangtuanya tak begitu sibuk dengan pekerjaan.
Sehingga mereka bisa melewati hari liburan yang menyenangkan.
Bersenang-senang dengan gerusan air pantai, bersepeda mengitari kaki gunung, menikmati pemandangan yang hijau bahkan memancing bersama sang ayah di danau, itulah yang sudah terbayang di dalam otaknya.
Benar-benar ide brilian, menurut Sean.
SEAN
Pagi itu istimewa untuk Sean. Karena sang Ibu membuatkannya sarapan. Apalagi sang Ayah juga kembali ke rumah setelah hampir satu kabisat ia belum jumpa putra satu-satunya itu.
Pekerjaan yang banyak dan kesibukan kedua orangtuanya membuat keluarga ini jarang bertemu, khususnya sang ibu hanya bisa kembali ke rumah seminggu sekali.
Beruntung bagi Sean karena keluarganya ini tetap harmonis dan intim meskipun sibuk oleh deadline. Entah mengapa kedua orang tuanya begitu semangat dalam bekerja, seolah mereka menjadikannya pasangan hidup masing-masing.
"Apa kau sudah sangat lapar?" tanya sang Ibu sambil tersenyum kecil.
"Iya Ibu," jawab Sean. "Apa Ibu memasak daging goreng pagi ini?" Sean agak girang penuh antusias . Dia amat rindu akan kelezatan masakan sang ibu.
"Tentu saja!" timpal Ibunya. "Ibu tahu pasti putra Ibu sangat merindukan masakan Ibu yang super nikmat ini," jawab Ibunya sambil mengelus-elus rambut putranya dengan belaian kasih sayang dan penuh perhatian hangat.
"Sayang! ayo di makan sarapannya. Jangan terlalu banyak membaca berita yang tak penting," kali ini Ibunya menyela kegiatan suaminya yang terlihat sangat sibuk membolak balikan koran. Entah apa yang ia baca pada koran itu dengan sangat serius. Sampai-sampai bola matanya tak bisa lepas dari majalah berita yang bagi Ibu Sean tak ada gunanya bahkan sampah yang sebentar lagi akan di masukan kedalam karung rongsokan. Tatapan wajah yang amat serius membuat pria berkemeja putih itu mengabaikan putranya sendiri.
"Baiklah," jawab Ayah Sean mengalah usai dirinya di tegur sang istri yang begitu pendendam pada koran sampah yang ada di tangannya. "Aku berhenti Sekarang."
Sang ibu mulai menuangkan makanan kedalam piring anak dan Ayah itu. Ibu menuangkan piring kedua kesayangannya itu dengan roti panggang, telur dan daging goreng bahkan tak lupa ia menambahkan sedikit salad kedalam piring seputih kapas itu.
"Apakah kau menuangkan MSG kedalam masakan mu?" tanya sang ayah pada ibu Sean setelah mencicipi masakannya. Pria cerewet, mungkin dia ahli dalam mencibir.
"Ayolah sayang, mana mungkin aku menambahkan racun kedalam masakan suami ku!" ucap Ibu berkelakar dengan candaan kecil. "Kau pun tahu itu."
"Aku pikir kau akan melakukannya!" sang ayah kembali berulah dengan ekspresi sewot setengah alisnya ia naikan ke atas. Baginya sangat menyebalkan jika harus berurusan dengan MSG. "Bisa saja kau lupa," katanya pelan.
Ibu Sean hanya melihat kedua orang yang terkasihnya itu makan. Putra dan suaminya makan lahap penuh dengan gairah.
"Habiskan sarapannya, lalu siap-siap berangkat sekolah. Ibu sudah menyetrika pakaian sekolah mu tadi," ucap Ibu pada Sean.
"Bagaimana sekolah mu? apa kau baik-baik saja?" tanya Ayah, dia menyela. "Tak terjadi apapun bukan, di sekolah mu akhir-akhir ini?"
"Tentu saja Yah," jawab Sean. "Tak ada masalah apapun di sekolah ku. Bahkan aku merasa sangat senang," ujar Sean polos.
"Kalau begitu habiskan sarapan mu, Ayah akan berangkat lebih dulu," lanjut Ayahnya seraya meninggalkan meja makan. "Kau akan di antarkan oleh Ibu mu," di t
tiga mata anak tangga, dia berteriak.
Ayahnya berlalu meninggalkan putranya sendirian bersama sang istri yang kebetulan juga hari itu sedang libur.
Hingga yang tertinggal di dapur pada pagi hari itu hanyalah Sean dan Ibunya.
Sean memandang Ibunya dalam-dalam.
Entah mengapa ingatan semalam membuatnya khawatir.
Mimpi semalam, mimpi yang ia lihat. Sebuah mimpi, seekor monster yang mengerikan, yang membunuh Ibu dan Ayahnya tanpa nurani.
monster yang begitu buas dan rakus itu menyumpal habis Ibunya kedalam mulutnya yang lebar itu. Sungguh menjijikan dan tak menggairahkan untuk disaksikan.
Tak terasa Sean terhanyut dalam lamunan pagi.
"Ibu!" ucap Sean ragu-ragu.
"Iya sayang, ada apa?"
"Apakah Ibu khawatir pada Sean?" Sean bertanya. "Maksud ku- aku... Apakah Ibu beberapa hari ini tidak mengalami kejadian apapun?"
Mula-mula Ibunya tak paham pada ucapan Sean. Ibunya memasang ekspresi wajah heran dan penasaran, namun ia menjawab apa adanya.
"Tentu saja Ibu tak mengalami kejadian apapun. Dan ibu sangat mengkhawatirkan kamu. Kenapa kau bertanya seperti itu. Apa kau sakit?" tanya Ibu. Lalu, sesaat kemudian, Ibunya menempelkan tangannya pada kening putranya itu. kini ia mulai khawatir pada remaja itu. "Oh aku pikir kamu sakit, ternyata kamu baik-baik saja," ucap Ibunya lega. "Hampir saja kamu membuat Ibu berhenti bernafas." Tukas Ibu Sean sekali lagi lega sambil menghirup udara dalam-dalam.
"Aku baik-baik saja, bahkan aku sehat!"
Kemudian Sean baru sadar, bahwa selama ini selama tinggal di rumahnya yang begitu besar ini, hampir semua ornamen hingga furniture rumahnya memiliki stempel bunga teratai.
Ia baru sadar bahwa piring, serta perkakas yang selama ini memiliki stempel bunga teratai itu ada kemiripan yang sama dengan tongkat yang ia dapatkan dari mimpinya semalam.
Mimpi yang nyata.
Mimpi yang belum pernah ia temui dalam tidurnya .
Bahkan sebelumnya ia tak pernah berfikir bahwa akan bermimpi melihat kedua orang tuanya meninggal. Mimpi yang amat brutal dan sadis.
Mimpi yang benar-benar mengerikan menurut Sean.
"Apa ibu tahu makna dari benda ini?"
Sean menunjukan simbol bunga teratai itu pada Ibunya, seraya melontarkan pertanyaan penuh rasa ingin tahu. "Apa ibu tahu siapa pemiliknya?"
Sang Ibu terdiam sejenak, pikirnya tak tahu kata apa yang harus ia ucapkan pada sean. Namun sebuah ide yang tak begitu buruk menghampiri otak Ibunya, berlalu lalang seperti sinyalir diafragma. Lalu...
"Yah Ibu pikir ini sudah lama sekali, dan Ibu tak mengingat apapun tentang simbol ini,- hampir lupa."
Keadaan menjadi begitu ambigu dan hening.
Sean berpikir bahwa bukan itu jawaban yang ingin ia dapatkan dari Ibunya.
Dan dirinya merasa bahwa memang ibunya tak tahu apa-apa. Tak menyembunyikan apapun darinya.
"Lihatlah!! Sekarang sudah pukul tujuh lewat dua puluh menit. Lima belas menit lagi Ibu tunggu di bawah," Ibu menegur Sean sambil matanya melirik kearah jam yang menempel di tangan kirinya.
Ibu mencoba mengingatkan Sean dan memintanya segera bergegas berangkat sekolah.
Entah kali ke berapa ini sang ibu mengantarkan Sean berangkat sekolah.
Lima belas kali? Tidak tiga puluh lima kali?
Ah entahlah. Pikiran Sean di buat bekerja ekstra akan hal ini.
Sean dipaksa mengingat dengan keras kapan terakhir kalinya sang Ibu mengantarkan Sean ke sekolah.
...
Sean Leander, ya itulah nama remaja berusia enam belas tahun ini. Ia merupakan siswa jenius yang tak begitu menyukai belajar.
Berada dalam lingkungan packer coligiate school, kota New York. Mungkin satu-satunya orang Asia dia sekolahnya itu.
Pintar, memang dia berbakat dalam hal ilmu pengetahuan. Semua temannya mengakui kejeniusannya, bahkan meraih predikat hampir Summa cum laude. Namun ia pun merasa heran bagaimana bisa ia meraih nilai sempurna dalam semua mata pelajaran sementara ia sendiri tak pernah belajar.
Tak peduli seberapa keras ia memikirkannya, tetap saja jawaban akan misteri dirinya pun tak kunjung ia dapatkan.
Apakah dirinya alien?
Ataukah dirinya seorang malaikat yang memiliki kekuatan supranatural?
Sean selalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Seperti apakah dia? Bagaimana orang lain melihatnya?
Sean selalu ingin tahu jawaban itu.
MITOS
"Hallo anak-anak," sapa Professor Sekolah menengah atas Packer Coligiate School. Sambil menutup kembali pintu kelas yang ia buka tadi, dia berjalan menuju meja kerjanya.
Ia berjalan menuju meja guru, dengan menenteng buku-buku yang saling bertumpuk tebal di tangan kirinya, sedangkan bahu kanannya menyelendangi tas hitam yang isinya pun tak tahu apa?
Guru sekolah satu ini terlihat nampak lusuh dengan pakaian kemeja kotak-kotak berwarna putih dengan aksen garis hitam. Setiap kali mengajar ia tak pernah melupakan sapaan paginya. Kepala botak pelontos tengah, selalu menggunakan kaca mata yang langsung di kalungkan di lehernya ini, datang dengan wajah penuh intrik.
"Pagi Mr. Franklin," jawab seluruh murid dengan nada santai.
Mereka duduk dengan rapi dan semuanya siap hendak mendengarkan apa yang akan Mr. Franklin katakan.
Badan besar serta perut yang menonjol bulat Mr. Franklin, memang menjadi pembeda bagi guru pada umumnya.
Bahkan pria gemuk ini bisa di ditebak dari jauh kala melihat postur tubuhnya yang obesity.
"Anak-anak," dengan ekspresi nampak mengecewakan Mr. Franklin mencoba berbicara sesuatu yang nampaknya serius.
Mr. Franklin kemudian menghela nafas dalam-dalam.
Dan dia siap untuk bicara. "Sebelum akhir semester ini, aku ingin kalian melakukan diskusi dan penelitian tentang materi terbaru," Mr. Franklin berbicara dengan santai, meninggalkan tatapan intriknya tadi.
"Dalam konteks secara luas, aku ingin kalian mengemukakan penjabaran secara detail tentang SARANJANA.
Apakah kalian pernah mendengar nama ini?" tanya Mr. Franklin pada semua murid.
Semuanya nampak tak tahu dan hanya menggelengkan kepala.
Semua anak didiknya saling lempar pertanyaan, berharap bahwa salah satu murid tahu sesuatu tentang apa yang di sebutkan oleh Professor sejarah ini.
"Sean! apa kau tahu sesuatu tentang SARANJANA?" tanya Mr. Franklin pada Sean. Ia berharap Sean tahu sesuatu atas apa yang ia tanyakan.
Dan Sean hanya menggeleng tak tahu?
"Mm.... Aku tak begitu yakin tahu sesuatu tentang itu. Dan,- ya, aku juga baru mendengarnya dari anda Pak!" jawab Sean bingung.
Jawaban Sean sungguh tak bisa memuaskan Mr. Franklin, dengan raut wajah kecewa ia tak bisa melontarkan pertanyaan apapun lagi pada murid andalannya itu.
"Edward! kau tahu sesuatu tentang SARANJANA?" Mr. Franklin mengalihkan pertanyaan nya pada Edward teman sebangku Sean.
"Aku... Aku juga tak yakin tahu banyak tentang hal itu. Aku sungguh meminta maaf karena tak tahu itu pak." Jawab Edward dengan dada yang dag dig dug gugup.
Edward pun juga tak tahu apapun tentang SARANJANA sama halnya dengan Sean.
Lagi dan lagi Mr. Franklin menghela nafas panjang. Ia tak habis pikir mengapa banyak diantara mereka yang tak tahu SARANJANA.
"Baiklah aku akan memberikan deskripsi saranjana. Kalian dengarkan dengan baik-baik," Mr. Franklin pun menceritakan saranjana secara detail.
Ia pun memulai kisah saranjana dengan sebuah kalimat yang begitu puitis.
selama itu pula semua murid duduk dengan perhatian penuh .
Terdiam dan tak bersuara, demi mendengarkan alunan suara yang serak basah tak karuan menjelaskan keindahan saranjana.
Dirinya pandai membuat para muridnya terhanyut dalam fantasi dan imajinasi fiktif yang luar biasa terdengar seperti nyata dan amat nyata.
Takjub, bingung, lega; semua murid mempercayai setiap kata yang di ucapkan oleh Mr. Franklin, dan di setiap kata itu semua murid meyakini kebenarannya.
"Aku ingin kalian menjelaskan tentang kota tersembunyi ini. Seperti apa kehidupan disana, makanan mereka dan kecanggihan apa yang mereka miliki?" Mr. Franklin mulai memancing emosi rasa ingin tahu para murid-muridnya.
"Aku juga ingin kalian menyelesaikannya dalam bentuk laporan tertulis serta tidak menunda pengumpulan modul." Tambah Mr. Franklin.
Anak-anak murid kelas itu mulai penasaran akan kelanjutan cerita tentang SARANJANA.
mereka berharap akan tahu lebih dalam lagi tentang kota itu?
Kota canggih.
Berbudaya.
Indah.
Kota menakjubkan.
Itulah yang terbesit dalam pikiran anak-anak didikan Mr. Franklin dengan wajah polos dan lugu.
"Ini adalah libur panjang, maka aku hanya mengucapkan selamat liburan panjang. Semoga hari kalian menyenangkan anak-anak."
Mr.frank kemudian beranjak dari mejanya.
Ia mengakhiri kelas seraya mengucapkan hari merdeka bagi pelajar di seluruh Amerika.
Seperti yang di ketahui sekolah menengah di Amerika bisa melihat evaluasi nilai belajar para siswa melalui gadget .
Ya amerika memang menerapkan home access agar semua orang tua murid tahu perkembangan belajar anak-anak mereka.
Semuanya telah meninggalkan kelas, hingga bangunan bergaya Eropa itu kosong tanpa sisa. Tak ada murid yang berada lagi di dalam kelas.
"Kau tahu apa itu saranjana?" tanya Edward pada Sean seraya merangkulnya.
Kedua sahabat itu berjalan seirama di jalan setapak sekolah.
"Entahlah! kurasa kota itu hanya mitos."
Sean tak begitu tertarik pada hal itu.
"Aku sangat kecewa!"
Edward kembali berulah.
Kini ia memasang wajah memelas dengan mata berkaca-kaca.
"Mengapa? apa aku telah menyakiti mu?" Sean penasaran pada sahabatnya yang nampak sangat menjiwai perannya sebagai seorang yang mudah menyerah dan kecewa yang begitu mendalam.
"Tentu saja? kau telah membuat kepercayaan ku pada kota itu (saranjana) lenyap seketika. Kau telah menghancurkan imajinasi ku pada kota ajaib itu." Edward terlatih dalam hal ini.
"Apa kau tahu?" Sean menatapi wajah sahabatnya dengan serius.
"Di dunia ini mitos bisa saja nyata terjadi dan sebaliknya. Semua bisa terjadi jika kau yakin itu ada. Jadi kurasa? ya kali ini aku harus percaya pada mu," Sean meyakinkan wajah lugu sahabatnya itu.
"Benarkah! jadi kini kau setuju bahwa kota itu benar-benar nyata?" Edward kali ini tersenyum bahagia, matanya berkaca-kaca bagai anak kucing yang mengiba.
" Ya tentu saja!! aku setuju pada mu, setuju pada pemikiran mu yang konyol itu." Sean kembali menghancurkan imajinasi Edward.
Sekali lagi ia melukai pikiran fantasi Edward pada kota saranjana yang terkenal misterius itu.
"Sudahlah, aku tak ingin membahas kota ini. lagi pula masih banyak waktu untuk menulis naskah presentasi tentang kota ini." Sean mengalihkan pembicaraan mereka berharap bahwa sahabatnya tak memasang wajah iba.
"Hei..."
Edward terlihat menampakan ekspresi wajah bahagia. Ia telah melupakan kekecewaannya tadi.
"Liburan kali ini kau ingin kemana?" Edward penasaran pada agenda liburan Sean .
" Aku!"
Sean berupaya konsisten menutupi agenda liburannya pada Edward.
"Mungkin hanya menghabiskan waktu liburan di rumah dan mungkin saja aku akan belajar sepanjang waktu!" Sean menjawab dengan wajah dan ekspresi datar seolah-olah ia tak menyembunyikan apapun tentang rencana liburannya pada Edward.
Kali ini Edward tak mempercayai ucapan Sean .
Ia tahu bahwa Sean ahli dalam menyembunyikan ekspresi yang datar.
Bahkan aktor sekelas Tom Holland pun mungkin tak akan tahu ada apa dibalik wajah Sean.
Wajah tampannya.
Ekspresi nya.
Semua nampak nyata bahwa Sean seorang psikopat yang handal.
"Sejak kapan kau jadi anak rumahan?" Edward memancing rasa ingin tahunya pada sean.
"Bukankah setiap kali liburan kau akan pergi ke Hawaii, seperti liburan sebelum-sebelumnya." Edward kali ini membuat Sean terpojok dan kaku .
Sungguh pemikiran yang cerdas, pikir Sean begitu.
"Hei, sejak kapan kau mulai tertarik pada agenda liburan ku. Apa kau penguntit? aku tak percaya jika kau melakukannya." Sean mengalihkan pembicaraan.
Bahkan ia tak ingin menceritakan apapun tentang liburannya pada Edward .
Sepanjang perjalanan kedua remaja ini berbicara omong kosong yang tak memiliki inti.
Sean lalu mendahului langkahnya.
Ia perlahan berjalan menjauh dari Edward, karena ia tahu Edward adalah teman yang keras kepala.
Dalam otaknya selalu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan konyol.
Pertanyaan yang mengorek kegiatannya dengan cermat.
"Hei! kau belum menjawab ku?"
Edward meneriaki Sean yang melangkah seratus meter di depannya.
Kemudian ia berinisiatif mengejar Sean yang tak terlalu jauh darinya.
"Ayolah kawan!! kau pun sangat merahasiakannya dari ku. Maksud ku perjalanan mu kali ini.
Bahkan aku pun tak berharap liburan sendiri di kota ini." Edward terus saja mengikuti Sean.
Langkah kaki Sean seolah di pasang GLOBAL POSITIONING SYSTEM, sehingga ada sinyal tersendiri bagi Edward untuk mendekati remaja paling menyebalkan itu.
...
BERSAMBUNG..
Mengenal karakter:
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!