"Kariin! Ayo bangun!"
Samar-samar terdengar suara seorang perempuan dari balik pintu kamar berusaha membangunkan putrinya yang masih terlelap dibalut selimut. Cahaya matahari sudah masuk menyelinap lewat jendela kamar yang terbuka sedikit, membentuk garis-garis lurus nyaris menembus kelopak mata sang gadis yang masih tertutup.
Suara itu bukan tak terdengar olehnya, namun Karin, gadis usia enam belas tahun itu hanya malas membuka mata, sebab ia pikir ini adalah akhir pekan. Dan hanya di hari inilah dia bisa bebas bangun siang.
Gadis itu terus mempertahankan posisi ter-nikmat versinya, tidur telentang di atas ranjang dengan kedua kaki yang di bentangkan ke arah dua sudut ranjang. Mengabaikan suara ibunya yang terasa mengganggu, mengabaikan kemungkinan ibunya akan merobohkan pintu tersebut dengan ketukannya yang makin kencang.
"Riin.." Panggil ibunya lagi, tapi kali ini dengan suara yang melemah, mungkin lelah.
"Hari ini ada arisan keluarga nak, ayolah bangun antar ibu. Ayah ada urusan dan harus pergi sejak pagi," Ucapnya lagi.
Seketika kedua matanya terbuka lebar saat mendengar kalimat terakhir ibunya. Arisan? Gadis itu merutuk dalam hati sebab tak mampu bertahan waktu mendengar rengekan ibunya yang selalu mampu menggoyahkan iman.
Pada akhir nya ia bangkit dari ranjang yang seolah masih berbisik untuk tetap di sana. Memasang sandal bulu hangatnya, kemudian berjalan malas menghampiri ibu di balik pintu. Ia mendapatinya, sang ibu yang berdiri di ambang pintu dengan wajah memelas.
"Akhirnya anak gadis ibu bangun juga," Ucapnya dengan ekspresi malaikat.
"Bu, aku masih ngantuk. Aku pesenin ojek online aja ya?"
"Ibu maunya kamu yang nganter."
Karin mendengus dalam kejengkelan yang tertahan sebab ia tidak berani menunjukkan di depan ibunya. Sejak beranjak remaja dan mulai memiliki perasaan sentimentil, Karin memang selalu malas jika harus datang ke acara arisan keluarga, kumpul keluarga, silaturahmi keluarga, atau apapun itu yang berpeluang bertemu dengan keluarga besar.
Sebab inti dari acara kumpul-kumpul itu hanyalah diisi oleh para orang tua yang membangga-banggakan anak-anaknya, si ini yang ranking satu, si itu yang dapat juara Olimpiade, si anu yang jadi siswa teladan. Sedangkan dia?
Karin seringkali merasa seperti remah-remah rangginang yang tersisa di sudut-sudut dalam toples. Terlupakan, tak diinginkan. Hingga pada akhirnya terbuang. Meski di samping itu, para sepupunya yang sebagian besar adalah sesama perempuan tak pernah memandang nya sebelah mata. Maka hanya karena itulah sesekali ia masih mau datang sekadar mengantar ibunya. Seperti hari ini.
"Karin?" Lamunannya buyar ketika ibu memanggil sambil mengayunkan tangan di depan wajahnya.
"Masih pagi udah ngelamun!"
"Karin ngantuk bu, beneran."
"Makanya sekarang mandi! Biar seger! Siap-siap, pakai baju yang rapi. Ibu tunggu ya!"
Usai merengek seolah ia telah kembali jadi anak kecil, ibu langsung melenggang pergi meninggalkan anak gadisnya yang masih berdiri mematung di ambang pintu dengan setumpuk rasa malas di atas bahunya.
Karin berbalik, masuk ke kamarnya lagi hendak menuju kamar mandi setelah mengunci pintu kamarnya terlebih dahulu. Ia melepas semua pakaian lalu menyetel kran shower dengan air hangat untuk mengusir rasa kantuk yang masih menggelayuti kedua kelopak matanya.
Ia menghabiskan waktu hampir tiga puluh menit yang terasa seperti hanya sepuluh menit baginya untuk melumuri tubuh dengan sabun-membilas-mencuci muka-menyikat gigi. Ayah dan ibu nya seringkali mengeluhkan lambatnya gerakan gadis itu ketika mandi, namun tentu Karin selalu menganggap nya angin lalu.
Setelah puas mengguyur tubuhnya, ia meraih handuk, keluar dari kamar mandi dan langsung memilih baju yang akan di kenakan. Setelan casual jadi pilihannya. Dengan inner berupa kaos tipis warna hitam, flanel motif kotak-kotak warna biru dan merah serta celana blue jeans membalut tubuhnya dengan sempurna.
Gadis itu mengeringkan rambut yang masih basah dengan hair dryer, sembari memandangi wajahnya dari pantulan cermin. Dialah Karin. Karina Alamanda Iskandar. Yang belakang adalah nama ayahnya, Ahmad Iskandar.
Murid SMU kelas dua, idaman para cowok di sekolah sebab ia memiliki kecantikan di atas rata-rata. Kedua mata elangnya yang nampak tegas nan berkharisma, bentuk hidung yang mancung, dan bibir tipis kemerahan adalah daya tariknya yang menonjol.
Tinggi badannya mencapai seratus tujuh puluh lima centimeter, rambut panjang lurus sepunggung kepirangan yang sering diikat kuncir kuda itu juga menambah pesona yang dimiliki nya. Karin menyukai olahraga basket dan tergabung dalam team basket di sekolahnya.
Gadis itu nyaris tak pernah mendapat juara di kelas, tapi bukan semata-mata karena ia bodoh. Karin hanya menganggap dia kurang beruntung sebab selalu satu kelas dengan murid-murid berotak jenius, dan mendapat juara kelas sungguh persaingan yang berat baginya.
Namun jika suatu saat ia diminta untuk bersaing dengan adu fisik, Karin tentu dengan senang hati meladeni nya.
Ia dilahirkan di keluarga yang memiliki tiga orang anak laki-laki bernama Khalid, Kamil dan Kanaka, membuatnya menjadi satu-satunya anak paling cantik, dicurahkan kasih sayang dari banyak sosok lelaki dalam hidupnya.
"Huuffh.. Ayo semangat Karin!" Ucapnya bagai menyemangati diri sendiri.
Ia keluar dari kamarnya yang berada di lantai dua, menuruni tangga dengan langkah hati-hati untuk menemui ibu yang tengah duduk di sofa ruang keluarga dengan ponsel yang menempel di tangannya.
Ibu seringkali menghabiskan waktu dengan berselancar di sosial media, menampung beragam berita yang dibacanya untuk kemudian dia bagikan pada anak, ibu-ibu komplek, atau kadang-kadang suaminya sendiri yang tentu akan merasa jengkel dengan ocehan tak berujung dari bibir istrinya.
"Bu.." Panggil Karin.
"Hmm?" Sahut ibu tanpa mengalihkan mata dari gawai di tangannya.
"Ayo jalan, berangkat sekarang kan?"
"Iya, ayo!"
Ibu berdiri, tapi mata nya masih terus saja memandang layar itu.
"Dimasukin ke tas dulu lah bu hape nya. Masa gitu terus sambil jalan, kalau nabrak nanti gimana?" Protes Karin akhirnya.
"Ini lho Rin, masa gosipnya si artis ini ternyata sudah punya anak dari cewek lain, aduh.. Gimana ya perasaan istrinya?"
"Diam-diam poligami?" Tanya Karin mencoba untuk sedikit merespon pembicaraan ibu yang kali ini soal gosip.
"Nggak tau, belum jelas ini," Ibu tampak menggeser-geser layar ponsel nya.
"Yasudah kalau belum tau. Sekarang jadi arisan nggak nih? Atau aku balik lagi tidur ke kamar ya?" Karin menekankan kalimatnya dengan nada ancaman.
"Eh, jangan dong. Iya iya iya, ayo kita berangkat!" Akhirnya ibu memasukkan ponsel ke dalam tasnya, sementara Karin tersenyum puas.
Mereka berangkat menggunakan mobil yang dikendarai Karin sendiri. Gadis itu memang belum memiliki SIM sebab usianya juga belum cukup untuk membuat kartu tanda penduduk. Namun ia berjanji, jika nanti umurnya sudah cukup, ia pasti akan mengurus semua dan menjadi warga negara yang patuh.
Dulu, abang nya yang nomor dua lah yang mengajarkan ilmu menyetir mobil padanya. Dan hal itu tentu tanpa sepengetahuan ayah mereka. Kamil berkata, anak perempuan itu harus mandiri, semua serba bisa sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain. Dengan begitu, semua laki-laki pasti akan segan padanya.
Dan Karin yang masih polos, hanya mengangguk-angguk dengan menaruh kepercayaan berlebihan pada Kamil yang memang lebih dekat dengannya. Padahal awalnya, Karin begitu menempel dengan Khalid, si abang nomor satu.
Namun ketika dia menikah dan tinggal berjauhan Kamil langsung mengambil alih posisinya. Sementara Kanaka, mereka lebih cocok disebut kucing dan tikus dibanding kakak beradik.
"Ayo turun Rin!" Ajak ibu begitu sampai di halaman rumah tante Lily.
"Aku nganter aja deh ya bu? Nanti aku jemput ibu lagi."
"Kenapa memangnya? Banyak sepupu-sepupu mu lho pada datang," Ucap ibu yang tak setuju dengan keinginan putrinya.
Daripada berdebat, pada akhirnya Karin memilih untuk menuruti perintah ibu. Mereka turun, dan gadis itu melangkahkan kaki dengan malas.
Tante Lily si pemilik rumah mewah ini adalah kakak dari ayah tepat di atasnya yang mempunyai tujuh orang saudara kandung. Dan hari ini, mereka kumpul semua, membuatnya sedikit risih karena pasti akan banyak sekali omongan menyebalkan.
"Selamat datang.." Sambut tante Lily yang berdiri di depan pintu, menyambut hangat kedatangan Karin dan ibu.
Tante Lily adalah seorang wanita berusia lima puluh lima tahun bersuamikan seorang pria asal Australia, dia masih nampak cantik dan bugar. Style nya juga keren, tak kalah dengan yang lebih muda.
Wajahnya juga dari dulu tidak banyak berubah, sampai pernah suatu ketika, Karin dengan dugaannya yang sembarangan, menuduh kalau tante Lily adalah titisan vampir.
"Hei.. Apa kabar?" Ucap ibu sambil saling mencium pipi dengan tante Lily.
"Apa kabar tante?" Karin ikut menyapa sambil mencium punggung tangannya.
"Kabar baik nak, tumben nih Karin mau ikut? Biasanya ibu kesini sama Kamil."
"Si Kamil lagi ada kegiatan sama teman-temannya, jadi nggak bisa anter," Sahut ibu.
"Oh begitu, ayo silahkan masuk."
Tante Lily mengajak keduanya masuk, sejurus kemudian Karin mendapati kenyataan bahwa di dalam sudah banyak sanak saudara yang datang. Ada beberapa saudara sepupu yang tengah berbincang, lalu salah satunya melambaikan tangan begitu melihat kehadirannya.
Tapi sebelum gadis itu menghampiri mereka, ibu menyuruh untuk menyalami terlebih dahulu beberapa orang tua di sana.
"Karin, ya ampun.. Sudah besar sekali sekarang. Kayaknya lebih tinggi dari yang terakhir ketemu ya?" Ucap salah satu perempuan, adik dari ibunya yang ia panggil bibi.
"Iya bi," Karin menjawab se ramah dan se singkat mungkin.
"Kamu kelas berapa sekarang Rin?" Tanya bibi nya yang lain.
"Kelas dua SMU bi."
"Oh, kirain sudah kelas tiga, muka nya lebih cocok jadi anak kelas tiga ya. Dewasa."
Jleb!
Karin berdecih dalam hati sungguh sangat malas menanggapi nyinyiran semacam ini sebab ia tak bisa berkutik sama sekali. Walau dinobatkan sebagai cewek judes, namun jika di depan para orang tua gadis itu seringkali mendadak kehilangan jati diri.
"He.. He.. Iya ya.." Jawab Karin sekena nya.
Ibu yang paham dengan atmosfir yang mulai tak nyaman langsung memberi isyarat agar putrinya berbaur dengan sepupu yang lain, dan menjauh dari kumpulan orang-orang tua tukang komentar itu.
"Akhirnya ratu kecantikan kita mau datang juga," Goda Marissa salah satu sepupunya ketika Karin datang menghampiri.
"Apa sih."
"Habisnya kamu itu susah banget datang kalau ada acara arisan Rin," Gina, sepupu nya yang lain ikut angkat bicara.
"Ya maaf deh," Ucap Karin pura-pura menyesal.
"Kan kita kangen kak Karin.." Dan adik sepupunya, si Putri sampai memeluk dengan erat.
"Kebiasaan kamu put! Meluknya kencang banget!" Protes Karin sambil berusaha melepas pelukannya yang menyesakkan, dan berakhir dengan rengekan si bocah SD itu.
Mereka asyik berbincang-bincang tentang sekolah, tugas yang menumpuk, pacar masing-masing, dan sesekali membahas oppa oppa Korea idola.
Disisipkan dengan guyonan yang di lemparkan secara bergantian, namun semua terhenti ketika Marissa menyebut nama seseorang, putra dari tante Lily yang dia sebut sangat amat tampan.
"Yang mana sih orangnya?" Tanya Karin penasaran.
"Astaga, kamu lupa ingatan atau gimana Rin?" Ucap Gina keheranan.
"Wajar sih Gin, dia kan memang sudah lama nggak tinggal sama tante Lily, si Karin juga jarang ikut acara kayak gini," Bela Marissa.
"Eh.. Tuh.. Tuh.. Orangnya dateng!" Gina menyikut lengan Karin sambil memberi isyarat dari mata nya ke arah seorang pria yang baru saja datang. Dia terlihat sedang menyalami para orang tua yang nampak takjub memandangnya.
"Duh.. Panjang umur.." Gumam Marissa.
Tiga cewek termasuk yang masih kecil ini begitu terpesona dengan cowok satu itu, kecuali Karin, entah bagaimana ia tak merasa terpukau dengannya. Meski ia sendiri tak menampik bahwa menyadari sepenuhnya akan paras tampan yang di miliki cowok itu.
Tapi ia benar-benar berani bertaruh kalau hanya dirinya yang tak tertarik sama sekali. Karena semenjak menjalin hubungan dengan Darren, kekasih yang sudah dipacari nya selama empat bulan itu, ia merasa tak ada lagi cowok yang tampan di muka bumi.
Cuma Darren, hanya Darren.
"Kalau saja Putri sudah lebih besar, Putri mau jadi pacarnya bang Rey!" Cicit si bocah kecil yang isi pikirannya terkontaminasi dengan roman percintaan.
"Hush! Baru kelas enam SD nggak boleh pacaran sama om-om!" Ucap Karin menggoda adik sepupunya.
"Kan tadi Putri bilang kalau sudah lebih besar!" Ucap Putri sambil bersungut, sementara Karin mengacak-acak rambutnya karena gemas dengan celotehnya.
Gadis itu memandang lagi cowok tersebut, tadi Putri menyebut nya bang Rey, dan ia sedikit mengingat tentangnya. Dulu, kalau tidak salah dia sering main bareng dengan Khalid si sulung. Bertanding nintendo, taruhan kartu, dan permainan anak laki-laki lainnya.
Karin merasa dulu wajahnya bukan seperti itu, dan bertanya-tanya dalam hati mengapa orang-orang bisa berubah sedemikian rupa? Sedangkan dia, dari dulu rasanya begini-begini saja.
Rey banyak berubah, dia juga terlihat begitu sopan dengan orang tua, bahkan beberapa di antaranya dibuat takjub di tengah-tengah sesi mengobrol lantaran cowok itu mengaku bahwa dia menjalani perilaku hidup sehat dengan menjadi vegetarian dan tak pernah merokok sama sekali.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Karina Alamanda Iskandar
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Reynard Lewis
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Darren Adam Narendra
Karin mendapati ponsel yang bergetar dalam genggamannya. Ia menundukkan kepala sejenak untuk membaca nama yang tertera di layar tersebut. Dan ternyata, itu adalah Darren pacarnya!
Ia bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan sekumpulan cewek-cewek amnesia yang tengah terpesona dengan kakak sepupu mereka sendiri. Karin menganggapnya aneh, sebab bagaimana bisa menyukai orang yang masih ada hubungan keluarga dengan diri kita? Seperti tak ada lagi manusia batangan di muka bumi saja, pikirnya.
Gadis itu memilih tempat yang dirasa cukup aman untuk menerima panggilan telepon, khawatir kalau-kalau ibu mengetahui ia mulai berpacaran dengan seorang laki-laki. Di halaman belakang rumah tante Lily, terdapat sebuah gazebo tempat bersantai di pinggir kolam renang, dan Karin bersembunyi di belakangnya. Di sana sepi, dan takkan dilewati siapapun.
Maka dengan hati yang berbunga ia langsung menerima panggilan telepon itu.
"Halo, baby.." Ucap Karin senyum-senyum sendiri.
"Halo beb, kamu lagi ngapain sih? Lama banget angkat teleponnya," Protes Darren dari seberang sana.
"Maaf beb, aku lagi di rumah tante ku nganter ibu arisan"
"Haduh.. Kamu lupa ya?"
"Uhmm.. Lupa apa ya?," Karin balik bertanya sebab ia belum mengingat apa-apa.
"Hari ini kan kita mau jalan. Kok bisa sih kamu lupa?"
Kedua bola matanya membulat seiring dengan datangnya ingatan yang terlupakan. Kemarin, dia telah berjanji bahwa akan menemani Darren jalan-jalan ke mall untuk membeli sepatu incaran nya, limited edition yang baru saja keluar dan mungkin akan segera habis jika ia terlambat satu hari saja.
"Astaga! Beb, maaf. Aku lupa banget! Duh.. Gimana ya," Ucap gadis itu dengan kerisauan yang menyerbu sambil menggigiti ujung kuku jarinya.
"Kamu izin pulang duluan aja beb!" Darren meng-ide.
"Hah? Mana bisa sayang.."
"Ya terserah kamu sih, aku cuma kasih saran aja. Itupun kalau kamu mau nemenin aku. Kalau nggak ya udah! Gapapa! Aku bisa pergi bareng temanku," Ucap Darren yang segera di sadari Karin bahwa ia mulai merajuk.
"No.. No.. No.. Sayang.. Baby.. Jangan ngambek dong.. Iya, iya, aku usahain dulu ya bilang ke ibu untuk pulang duluan," Karin mengiba.
"Oke. Aku kasih kamu kesempatan. Jangan lama, kabari aku segera!"
"Iya sayangku. Tunggu aku ya beb,"
"Sayang.. Bebii.. Lucu juga ya," Karin merasakan jantungnya yang nyaris lompat dari tempatnya ketika menyadari kehadiran seseorang di sebelahnya.
Ia menoleh dan mendapati seorang pria bertubuh tinggi kekar nan atletis dengan rahang yang ditumbuhi jambang kecoklatan dan bulu janggut halus menghiasi dagunya berdiri sembari menyandarkan punggung pada dinding dan kedua lengannya yang disilangkan di depan dada.
Dia, pria yang dikagumi para sepupu perempuannya tadi. Reynard, atau biasa dipanggil Rey datang dan menginterupsi gadis yang tengah berusaha membujuk pacarnya lewat telepon.
"Uhm.. Baby, aku akan mengabarimu sebentar lagi. Aku mau menemui ibu dulu ya, bye.." Karin berbicara sembari menutup mulut dan ponselnya dengan telapak tangan, sebab tak ingin Rey mendengar lagi percakapannya.
"Seru juga ya, ngeliatin anak kecil pacaran," Ujar Rey sambil cekikikan.
"Enak aja! Aku itu udah cukup usia buat punya pacar ya! Lagian ngapain abang tiba-tiba ada disini? Dasar penguntit!," Protes Karin.
"Buat apa aku menguntit? Ini tuh rumah mami ku, aku mau kemana kek, itu hak ku ya. Kamu yang mencurigakan, diam-diam ada di belakang gazebo. Teleponan suaranya pelan-pelan. Pasti kamu belum diizinin pacaran kan? Makanya sembunyi dari ibu kamu?," Tuding Rey.
"Sok tau! Mau aku teleponan sambil nyebur ke kolam renang sekalipun, itu urusanku!" Protes Karin. Walau ia menyadari betul, apa yang dibilang Rey memang benar seratus persen bahwa ia belum diizinkan memiliki pacar.
Pria itu berdecih dengan memasang senyum sinis pada gadis di sampingnya. Kemudian merogoh saku celana mengambil sebungkus rokok serta koreknya.
"Lho.. Lho.. Lho.. Abang ngerokok?," Karin tentu terkejut dengan kenyataan di depannya. Rey yang tadi mengaku tak pernah merokok seolah sedang menjilat ludahnya sendiri. Dia bahkan nampak dengan lihai menyulut api ke ujung rokok dan menghisap batangnya sambil mengepulkan asap.
Rey melirik Karin yang jelas terlihat shock. "Kenapa? Baru pertama kali lihat cowok ngerokok?"
"Tapi tadi abang bilang.."
"Itu cuma pencitraan," Kata Rey sambil menghisap lagi rokok nya.
"Aku pikir.."
"Kamu harus tau, terkadang, kita perlu mengunggulkan diri di depan orang tua. Itu menguntungkan lho," Lanjut pria itu lagi.
"Itu pelanggaran! Abang sudah berbohong!"
"Apa bedanya sama kamu?," Balas Rey yang ucapannya seketika menampar Karin.
Gadis itu bersungut sambil mengerucutkan bibirnya. Sungguh pria ini amat menyebalkan.
"Abang nyebelin tau nggak! Awas ya, aku bilang ke tante Lily kalau abang diam-diam adalah seorang perokok!," Ancam Karin.
"Silahkan, mungkin di saat yang bersamaan ibumu juga akan tau kalau anak perempuannya yang masih SMU diam-diam udah punya pacar," Balas Rey yang masih asyik menghisap rokoknya.
Karin yang merasa jengkel mendengus kesal seraya melangkahkan kaki dengan hentakannya yang cukup keras meninggalkan Rey. Pria itu memandang dari arah belakang gadis yang berjalan menjauh darinya sambil terkekeh geli. Sejak dulu, ia memang sering menggoda Karin, adik sepupu yang menurutnya sungguh menggemaskan.
Dan hal tersebut masih dilakukannya bahkan saat anak kecil itu telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang memiliki tinggi badan nyaris menyaingi nya.
Karin masuk ke dalam rumah, berniat menemui ibunya yang nampak sedang menikmati obrolan dengan saudara iparnya. Sambil menyiapkan hati dan kalimat berisi kebohongan yang hakiki, ia memberanikan diri berdiri di samping ibu dengan dada yang berdebar.
"Bu.." Panggil Karin dengan suara dibuat se tenang mungkin meski hatinya melawan.
"Ya?," Sahut ibu ketika ia menolehkan kepala ke arah anak gadisnya.
"Aku.. Boleh pulang duluan nggak? Aku baru ingat kalau ada tugas yang harus di kumpulkan besok. Aku akan mengerjakannya bersama teman-teman kelompok ku," Ucap Karin dengan dadanya yang makin berdebar.
"Tugas?" Terka ibu.
"I-iya bu. Tugas dari.. Guru.. Killer," Ucap gadis itu lagi.
"Nggak bisa tunggu sebentar lagi? Nanti ibu pulang sama siapa dong?"
"Uhmm.. Tadi teman-teman ngabarin kalau mereka semua udah kumpul. Jadi aku harus cepat-cepat kesana," Ucap Karin sambil merutuk dalam hati.
"Tapi Rin.."
"Nanti tante Dewi biar aku yang antar," Ucap seseorang yang baru datang bergabung. Sebelum menoleh, Karin berani bertaruh bahwa itu adalah Rey jika di dengar dari suaranya. Dan saat pria itu berdiri di sebelahnya, ia betul-betul memercayai pikirannya sendiri.
"Duh.. Jangan Rey, nanti ngerepotin," Ujar ibu.
"Nggak masalah tante. Biarin aja kalau Karin mau pulang duluan. Dia.." Pria itu menggantung kalimatnya dengan sengaja sambil melirik Karin yang berdiri kaku dan wajahnya mendadak pucat. Sungguh Rey sangat menikmati saat-saat menggoda adik sepupunya tersebut.
"Dia baru saja janjian, dengan seseorang," Lanjut Rey.
"Mati aku matii.. Cowok ini pasti ngadu ke ibu. Awas lo Rey, awas!!," Batin Karin yang tubuhnya berubah kaku.
"Tadi aku nggak sengaja bertemu Karin waktu dia, teleponan sama.." Rey melirik lagi ke arah Karin yang juga meliriknya dengan tatapan jahanam. "Uhm.. Sama temannya, jadi aku nggak sengaja dengar sedikit percakapan nya. Sepertinya sekarang jadi saat-saat yang sibuk untuk anak-anak sekolah ya," Sambungnya lagi.
Karin bersyukur Rey tak membocorkan soal dirinya yang diam-diam memiliki pacar, namun meski begitu, dia merasa sangat ingin mengutuk pria menyebalkan ini.
"Nggak apa-apa Wi di antar Rey aja. Karin biar pulang duluan. Lagian Rey juga belum ada pekerjaannya. Santai lah.." Tante Lily ikut menimbrung.
"Yasudah kalau nggak ngerepotin Rey," Ujar ibu.
"Oke, jadi.. Karin pulang duluan ya bu," Gadis itu kini mampu bernapas lega. Ia berpamitan dengan semua orang tua yang berada di sana, mencium punggung tangan mereka satu per satu. Kecuali dengan Rey, hanya pria itu yang ia lewatkan.
Kemudian secepat kilatan cahaya menghambur keluar dari ruangan tersebut meninggalkan belasan pasang mata yang memperhatikan gerak geriknya secara bersamaan. Sementara Rey, tersenyum menang sambil memandang adik sepupunya yang baru saja ia kerjai.
Sesuai janjinya, Karin mendampingi Darren pacarnya untuk membeli sepatu limited edition incarannya plus menonton film yang baru tayang di bioskop disebuah pusat perbelanjaan kota. Mereka adalah sepasang kekasih yang bahagia, meski harus menjalani hubungan diam-diam.
Pada awalnya, seringkali Darren memprotes Karin dan semua aturan yang dibuatnya. Namun lambat laun cowok keturunan Arab-Jepang itu menerima dengan lapang dada. Tak apa pikirnya, asal tetap bisa berpacaran dengan Karin si cewek primadona sekolah itu.
"Makasih ya beb, kamu sudah mau menemani aku," Ujar Darren dengan tangannya yang tak lepas menggenggam tangan Karin.
"Sama-sama beb. Aku senang kalau kamu senang," Balas Karin.
"Kamu mau beli apa? Aku traktir deh," Tawar Darren.
Gadis itu melempar pandangan ke sekelilingnya. Ada toko roti, donut, minuman boba, dan masih banyak lagi. Namun saat matanya menangkap stand penjual es krim di bagian ujung, ia langsung menunjuk dengan yakin.
"Mau es krim?"
"Hu'umm.." Sahut Karin seraya menganggukkan kepalanya.
"Oke, let's go." Mereka melangkah semakin cepat seolah tak ingin kehabisan stok es krim di stand itu.
Ketika akhirnya mendapatkan es krim cone favorit masing-masing, kedua sejoli ini langsung melanjutkan lagi langkahnya, mencari sebuah kursi atau apapun yang bisa mereka duduki sejenak sembari menghabiskan es krim yang bertumpuk dan nampak menggiurkan.
Hingga sampailah keduanya di sebuah taman yang masih dalam satu lokasi mall tersebut. Karin duduk sambil bersila di atas rumput hijau yang subur, dan Darren menyertainya.
"Yumm!" Seru Karin yang begitu antusias menikmati es krim matcha kesukaannya. Sementara sang kekasih mengamati gadis itu sambil terkekeh pelan.
"Kenapa beb?," Tanya Karin yang akhirnya penasaran.
"Aku tau, kamu suka es krim matcha nya. Tapi pelan-pelan dong beb makannya, sampai nempel di hidung gitu," Ledek Darren. Ia mencolek es krim yang tak sengaja ter-oles di pucuk hidung Karin dengan telunjuknya untuk kemudian ia tunjukkan pada si empunya.
"He.. He.. Makasih ya," Karin tersipu.
"Ngomong-ngomong, tumben kamu tadi nganter ibu? Bukannya biasanya itu tugas abangmu?"
"Bang Kamil lagi keluar, jadi nggak bisa anter. Ayah juga pergi, kata ibu sih dari pagi," Jelas Karin yang masih antusias menjilat es krim.
"Oh.."
"Beb, nanti kamu anter sampai gerbang masuk komplek aja ya. Takutnya ibu sudah pulang," Pinta Karin.
Darren berhenti memakan es krim vanilla miliknya. Ia merunduk tiba-tiba dan memasang wajah murung. Hal ini, tentu memancing rasa ingin tahu Karin yang menoleh ke arahnya. Gadis itu mendekatkan wajahnya dan berusaha mendapatkan perhatian Darren.
"Kenapa beb?,"
"Sampai kapan sih beb kita mau ngumpet-ngumpet gini?"
"Beb, kita kan udah bahas ini sebelumnya, kamu pasti masih ingat kan?"
"Iya aku ngerti, cuma kan bisa aku coba untuk bicara sama ibu dan ayah kamu. Kalau aku izin baik-baik masa iya mereka tetap nggak ngasih izin," Ucap Darren mengutarakan argumennya.
"Nggak semudah itu beb."
"Kita pacaran udah empat bulan lho. Kamu aja udah aku kenalin ke orang tuaku. Lihat kan respon mereka kayak apa? Setuju-setuju aja kalau aku pacaran sama kamu."
"Itu kan orang tuamu beb, orang tuaku beda lagi."
"Aah, kamu itu alasan terus!," Protes Darren sambil melempar es krim di tangannya ke atas rumput sebagai bentuk protes darinya.
"Darren, kok jadi ngambek sih?"
"Kamu nggak suka? Panggil nama lagi! Udah nggak mau pacaran sama aku?," Cowok itu bangkit dan berdiri, kemudian langsung meninggalkan Karin dan kantong belanja berisi sepatu yang baru dibelinya.
"Lho beb!," Karin ikut bangkit sambil membawa kantong tersebut dan menghambur ke arah Darren yang makin jauh. Namun gadis itu sudah terbiasa berlari dan melangkahkan kedua kakinya lebar-lebar di lapangan basket. Langkah dari orang yang tinggi badannya sama dengannya bukanlah lawan yang berarti.
Ia meraih sebelah lengan Darren yang merajuk dengan sedikit menarik dan menahan tubuhnya agar tak lagi melangkah.
"Tunggu beb, jangan ngambek dong.." Pinta Karin mengiba, tapi cowok itu tak menghiraukan.
"Beb!," Panggilnya lagi. Darren masih bungkam, bahkan memandangnya saja ia tak sudi.
"Oke.. Oke.. Aku minta maaf. Apapun itu, aku minta maaf ya? Aku pasti akan bilang ke ibu dan ayah kalau kita udah pacaran. Tapi nanti ya? Boleh kan? Aku butuh waktu," Ucap Karin mengajukan penawaran.
"Beb?," Panggil nya lagi.
Darren menoleh dan memandang kekasihnya masih dengan wajah yang murung.
"Yasudah. Aku akan beri kamu waktu. Tapi, tolong jangan main-main ya?,"
Gadis itu mengangkat tangan kanannya dan ia tempatkan di ujung alis membentuk gerakan hormat ketika upacara bendera. "Siap bos!," Ucapnya sambil mengukir senyum.
"Oke," Wajah cowok itu mulai berangsur membaik, ia tersenyum tipis dengan gengsi yang besar. "Mau pulang?," Tanya nya.
"Boleh, udah sore juga nih," Jawab Karin sambil memandang langit yang sebentar lagi berubah gelap.
Mereka kembali bergandeng tangan menuju tempat parkiran mobil di basement. Siang tadi, Darren yang datang menjemput Karin. Tentunya hanya di depan gerbang masuk komplek.
...***...
Karin sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam, ia turun di depan gerbang komplek sesuai aturannya. Dan meneruskan perjalanan hingga ke rumah dengan berjalan kaki. Jarak antara gerbang dan rumahnya hanya seratus meter, tidak seberapa beratnya ketimbang resiko ketahuan ayah dan ibu bahwa diam-diam ia sudah memiliki pacar.
Dengan perasaan bahagia yang meledak-ledak dalam hati, ia membuka pintu gerbang rumah yang tingginya tak sama sekali melebihi tinggi badannya. Lalu berjalan masuk untuk mencapai pintu utama.
Gadis itu memegang handle pintu dan disaat yang bersamaan, seseorang dibaliknya juga membukanya. Hal yang membuatnya cukup terkejut adalah ketika menyadari orang yang berada tepat di hadapannya adalah Rey!
Pria itu, untuk apa berada di sini? Pikirnya.
"Abang! Ngapain ada disini?," Tanya Karin dengan intonasi yang tegas.
"Ucap salam dulu kalau masuk rumah itu," Balas Rey.
"Assalamu'alaikum!"
"Waalaikumsalam," Jawab Rey santai. "Ngerjain tugasnya lama juga ya, sampai jam segini baru pulang," Ucap pria itu sambil melirik arloji yang terpasang di pergelangan tangan kirinya.
"Bukan urusan abang!," Sahut Karin ketus.
"Kalau kamu tanya kenapa aku ada disini, tadi siang habis antar ibu kamu pulang."
"Lama juga ya, ngapain abang seharian di rumahku? Pasti habis geratak ya?," Tuding Karin sembarangan.
"Buat apa? Di rumah kamu nggak ada apa-apa."
"Ih sombongnya. Mentang-mentang anak orang kaya!" Karin mencebik. "Sekarang ngapain abang masih di depan pintu? Minggir! Aku mau masuk!"
"Anak kecil ini makin seenaknya saja ya. Hei, kalau bicara sama yang lebih tua itu yang sopan dong," Ucap Rey sambil mendekatkan wajahnya pada Karin.
"Hiii.. Ngapain sih? Jauh-jauh sana!," Gadis itu histeris saat menyadari wajah Rey telah begitu dekat dengannya.
"Ya sudah, sana masuk. Aku juga mau pulang kok." Rey berpindah posisi dari ambang pintu dan Karin langsung melewatinya.
"Ya sudah, abang pulang sana. Aku mau masuk!"
"Iya. Makasih ya," Ucap Rey sarkas. Ia berlalu dari hadapan Karin dan menekan tombol alarm mobilnya yang terparkir di depan pintu garasi untuk membuka kuncinya. Dan di detik itu pula Karin baru menyadari ada sebuah mobil terparkir di sana. Rasa bahagia seolah menghipnotisnya agar selalu terfokus pada kebahagiaan itu, hingga tak lagi memperhatikan keadaan sekitar.
"Dasar prik!," Ejek gadis itu yang jelas untuk Rey.
Ia masuk ke dalam dan menutup pintunya kembali. Saat melewati ruang tengah, nampak Kamil yang sedang bersantai duduk di sofa sembari menonton televisi.
"Abang, udah pulang?"
"Eh, adek abang yang paling cantik. Darimana aja?," Sahut Kamil yang malah balik bertanya.
"Habis.. Habis bikin.. Tugas," Jawab Karin grogi.
"Oh.. Iya iya."
"Kenapa bang Kamil tanya begitu?"
"Memangnya nggak boleh abang tanya? Kan abang juga kepingin tau, kegiatan adeknya itu apa," Sahut Kamil santai.
"Bang Rey nggak cerita aneh-aneh ke abang kan?"
"Bang Rey? Cerita apa?," Tanya Kamil dengan kedua alisnya yang mengkerut.
Karin diam sambil menerka-nerka dari raut wajah kakaknya.
"Rin?" Panggil Kamil.
"Uhm.. Nggak. Nggak apa-apa. Aku ke kamar dulu ya bang!" Ucap gadis itu sambil berlalu dengan langkah yang dipercepat. Ia jadi khawatir Kamil malah akan balik mencecarnya.
"Jangan lama-lama! Sebentar lagi makan malam bareng lho dek!,"
"Iya!" Sahut Karin yang tak menghentikan langkahnya sama sekali, menaiki tangga menuju kamarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!