NovelToon NovelToon

Rel(A)Tionship

A - 1

Brakkk...

"Cih, jadi gini kelakuan kalian? Kita selesai" ucap seorang gadis yang langsung berlari keluar kamar hotel dengan tangisnya.

Alvi Ardi Salim, cucu perempuan satu-satunya dari keluarga Salim. Ia adalah cucu kesayangan Tuan Salim, pengusaha ternama yang disegani banyak orang. Siapapun yang mendengar namanya, akan langsung tunduk tanpa perlawanan. Bukan hanya karena beliau yang memiliki banyak pengawal, tapi karena kebaikan hatinya yang membuat orang-orang segan untuk melawan.

Mobil sport Alvi melaju dengan sangat kencang menyusuri jalanan yang lumayan sepi malam itu. Dengan air mata yang terus mengalir tanpa bisa ia hentikan.

"Nih Alvi pulang" celetuk salah seorang pemuda kala melihat Alvi membuka pintu rumah.

Semua orang yang ada disana terkejut memandangi Alvi yang kacau dan berlinang air mata.

"Kenapa? Kamu diselingkuhi? Kakek sudah bilang dia bukan pria yang baik. Keras kepalamu itu yang membuat kamu terluka" omel Tuan Salim tanpa basa-basi. Beliau mengatakan hal kejam tanpa memandang cucunya sama sekali.

"Aku akan melakukan apapun, buat mereka jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku tidak pernah menyakiti mereka, kenapa mereka menjijikkan?"

Tuan Salim meminta Alvi untuk duduk disampingnya. Ia menghapus air mata cucunya dan meminta Alvi untuk melihat seseorang yang duduk dihadapannya.

Seorang pemuda tampan yang tengah menatap Alvi dengan raut wajah datarnya. Setampan apapun pemuda itu, Alvi tak tertarik sama sekali. Walau nyatanya ia mudah jatuh cinta, tapi pemuda itu tak membuatnya merasakan rasa itu. Terlebih kala hatinya tengah terluka.

"Dia calon suami mu" ucap Tuan Salim dengan nada santai.

Alvi jelas terkejut, ia menatap mata Tuan Salim dengan pasrah. Seolah tak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi dengan hidupnya. Bertanya pun tak ada dalam pikiran Alvi, ia hanya mengangguk tanpa alasan.

Apapun itu, dan bagaimanapun caranya Tuan Salim tak keberatan. Ia hanya perlu Alvi menyetujui hal ini, entah tulus atau tidak. Sebab ini adalah pilihan terbaik untuk sang cucu tersayang, begitulah pikir Tuan Salim.

"Bani, antar adikmu ke kamar" pinta Ardi yang merupakan Papa Alvi.

Bani mengangguk dan langsung memapah adiknya masuk ke kamar. Ia tahu hari ini Alvi benar-benar kacau. Gadis ini bahkan tak fokus pada apa yang ia setujui. Tapi walau begitu Bani ada dipihak sang Kakek, ia setuju jika pemuda itu menikah dengan Alvi, pilihan terbaik.

"Dek, tidur gih. Besok kita jalan-jalan" ucap Bani menenangkan adiknya.

"Kak, kalau gue bunuh diri, dosa kan? Terus gak bakal masuk surga ya?"

"Psst, ngaco kalau ngomong. Sana tidur, lecek banget tuh muka"

"Kakak kok baik? Biasanya sering ngejek gue, marahin gue, bilang kalau gue ini ngeselin, gue ini gak tau diri, gue pembawa sial"

Bani tidak menjawab pertanyaan adiknya. Ia memilih pergi keluar dari kamar Alvi. Sebelum benar-benar pergi, Bani memperhatikan adiknya dengan seksama. "Cuma Kakak yang boleh nyakitin adiknya bodoh" gumam Bani.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Hari berganti..

Alvi bangun dengan perasaan tak nyaman, ia malas bila harus melakukan ini dan itu. Tapi hari ini ia ada ujian dan harus masuk kelas. Langkah kakinya yang berat, matanya bahkan sembab sebab menangis semalaman.

"Jiahaha jelek banget anjir" celetuk Bani kala melihat adiknya yang abru saja bergabung di ruang makan.

Ardi sudah tak terlihat, beliau memang selalu berangkat pagi karena kesibukannya mengurus usaha mebel.

"Bacot" jawab Alvi tak kalah garang. Ia melewatkan sarapan dan langsung melajukan motornya ke kampus.

Alvi dan Bani hanya beda dua tahun. Mereka kuliah di Universitas yang berbeda. Ini adalah tahun pertama Alvi kuliah, sedangkan Bani sudah memasuki tahun ketiganya.

Hatinya masih tak kuasa bila harus bertemu dengan mereka yang membuatnya terluka. Tapi mau bagaimana lagi, Alvi harus berpura-pura tak peduli pada apapun.

"Alviii, kangen" rengek Vita yang langsung memeluk sahabatnya itu.

Alvi, Vita, dan Tasya memang bersahabat sejak SMA. Menyenangkan sekali mereka bisa satu kampus lagi. Sebenarnya ada satu lagi sahabat mereka, tapi karena suatu insiden mereka memutuskan untuk tidak lagi bersama. Tak hanya kedua gadis itu, Alvi juga mempunyai beberapa teman pria yang selalu menemani dirinya berbuat nakal dan jail.

Karena kelas telah usai, Alvi, Vita dan Tasya memutuskan untuk makan di kantin. Bergabung dengan para gerombolan Alvi yang sudah lebih dulu meramaikan kantin.

"Vi, loe gak apa-apa kan?" Tanya Tasya penasaran. Ia pikir Alvi tak akan masuk hari ini dan akan sedih setiap waktu.Tapi nyatanya ia malah terlihat baik-baik saja seolah tak pernah terjadi apapun.

"Ya gak apa-apa lah. Lagian, gue juga mau nikah. Dahlah lupain je"

"Apa? Nikah?" Seru teman-teman Alvi berbarengan.

Alvi mengangguk dan melanjutkan makannya dengan santai. Ia tak ingin menjelaskan apapun dan tak ingin membuat segalanya menjadi rumit. Yang ingin Alvi lakukan hanyalah menikmati makanannya saat ini.

"Dek" panggil seseorang langsung saja menarik perhatian.

Kedua teman wanita Alvi berteriak histeris kala melihat dua pemuda yang berdiri di belakang Alvi. Mereka langsung saja berdiri dan bertanya kabar salah satu pemuda itu. Berbeda dengan teman laki-laki Alvi yang langsung saja berpindah tempat duduk di hadapan Alvi. Mereka seakan takut pada seseorang yang datang menghampiri.

"Kak Arfii, gak berubah ya, masih ganteng aja" puji Tasya yang kegirangan.

"Iya, Kak Arfi kenapa kesini? Mau ketemu teman ya?" Imbuh Vita tak kalah heboh.

"Yaelah, gue juga human kali, gak kelihatan apa? Dek, gue sedih deh, peluk dong" rengek Bani duduk di samping Alvi.

Alvi tak peduli dan masih saja terus menikmati makanannya. Para teman lelaki Alvi bergantian menyapa Bani. Pemuda lain itu juga duduk di samping Alvi setelah lepas dari keributan yang dibuat oleh Vita dan Tasya.

Pemuda itu bernama Arfi Prayudha, ia dan Bani seumuran, satu kampus, tapi seolah dalam dunia yang berbeda. Ia bagaikan idola yang di gemari banyak kaum hawa. Selain wajah tampannya, Arfi sangat pandai dalam segala hal tak terkecuali mengaji.

"Alvi minggir dong, mau duduk di samping Kak Arfi nih" rengek Tasya.

"Arfi siapa sih? Kenapa kalian mau duduk sama dia?" Tanya Alvi seraya menoleh ke sampingnya. Ia menatap pemuda yang tengah menatapnya juga. Mata Alvi terbelalak lebar mengetahui pria di hadapannya itu.

"Loe? Loe cowok nyebelin yang sering laporin gue ke guru BK kan?"

"Ha? Apa?"

"Buahahahha" tawa Bani meledak begitu saja tanpa alasan. Arfi menatapnya dengan tajam, hingga membuat Bani tersedak karena terkejut.

"Bener kan? Dia si Ketua OSIS jutek itu kan? Cowok gila yang selalu ikut campur urusan orang lain"

Para teman lelaki Alvi mengangguk dengan wajah yang tertunduk. Tidak dengan kedua sahabat perempuannya yang mengatakan jika Arfi adalah pemuda terbaik yang diciptakan oleh Allah untuk kaum hawa. Auh, itu sangat berlebihan, tapi memang tidak bisa dipungkiri. Baru beberapa menit Arfi disana, para kaum hawa sudah menatapnya dengan niat ingin memiliki.

A - 2

Setelah perbincangan konyol dikantin, Alvi Bani dan Arfi memutuskan untuk pergi.

"Dek, gue pinjem motornya ya, loe balik sama Arfi. Gue mau jemput cewek gue"

"Apa'an? Sialan loe, ogah"

"Loe pikir ngapain gue kesini? Udah mana buruan!!" Paksa Bani yang langsung saja merebut kunci motor Alvi. Ia meninggalkan helm Alvi agar adiknya bisa pulang bersama dengan Arfi.

Entah mimpi apa semalam harus pergi bersama seseorang yang paling Alvi benci. Tidak benci, hanya kesal saja sebab 90% saat di SMA, Alvi selalu dihukum karena Arfi.

"Males banget tau gak pulang sama loe"

"Hm... sorry ya, motor gue jelek ya? Loe malu naik ini? Ya gimana lagi Vi, gue cuma punya ini"

Alvi tertegun mendengar apa yang Arfi katakan. Ia menatap motor Supra Fit 2006 yang ada disamping Arfi. Ah sial, bukan ini yang Alvi maksudkan, hanya saja ia tak ingin bersama dengan Arfi dalam keadaan ini.

"Dih, gak cocok banget tau gak sama loe, merendah kayak ini"

"Gue emang rendah hati Vi"

"Hoekk, loe tuh cowok sombong yang kepedean, sebel gue"

Arfi terkekeh dan meminta Alvi untuk segera naik ke motornya. Sebenarnya Alvi sedikit ragu, ia merasa jika berat badannya mungkin tidak akan bisa di topang oleh motor Arfi. Tapi sekali lagi Arfi meyakinkan jika motornya sangat kuat. Terbukti jika dirinya dan Bani berboncengan sampai ke kampus Alvi.

Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Alvi setuju. Ia berdoa yang dikatakan Arfi memang benar. Memang dasar cewek, padahal tubuh Alvi sangat kecil seperti anak SMP.

Arfi melajukan motornya pergi meninggalkan kampus Alvi. Tapi bukan menuju arah pulang, melainkan ke arah lain. Ke tempat yang membuat Alvi geleng kepala tentunya.

"Butik? Ngapain kita kesini?"

"Gue disuruh Bani, anterin loe milih baju pernikahan"

"Kok loe? Harusnya kan gue sama calon suami gue"

"Dia sibuk, gak apa-apa gue dapat amanah dari Kakak loe. Yuk masuk"

Tak ada pikiran aneh, Alvi mengikuti Arfi masuk kedalam butik itu. Waktu rasanya berlalu dengan begitu cepat. Seminggu lagi Alvi akan menikah dengan pemuda pilihan Kakeknya. Pemuda yang tak Alvi ingat tampangnya dengan jelas malam itu. Pemuda yang hanya sedetik melintas dalam pikirannya.

Arfi tampak melihat beberapa jas di bagian lain. Sedangkan Alvi hanya menatap gaun-gaun pernikahan disana. Tak ada satu gaun pun yang menarik perhatian Alvi, memang pada nyatanya ia belum siap dengan semua ini.

"Nona Alvi cucunya Tuan Salim?" Tanya seorang karyawan butik yang menggunakan setelan jas rapi.

Alvi mengangguk, karyawan itu langsung menuntunnya pergi keruangan khusus tamu VVIP. Di ruangan itu ada sebuah gaun yang sangat indah, dan juga sebuah kebaya di sampingnya. Warna putih dengan kilauan emas yang membuat gaun itu terlihat begitu elegan.

"Ini yang anda pakai nanti, bisa kita mencobanya?" Ujar karyawan itu dengan sangat sopan.

"Kakek yang memesan? Ah maksudku Tuan Salim yang menyiapkan semua ini?"

"Benar Nona, mari kami bantu"

Helaan napas Alvi terdengar sangat berat. Ia hanya pasrah kala para karyawan disana mulai menyiapkan kebaya dan gaun untuknya. Apapun yang karyawan itu katakan, Alvi hanya mengangguk setuju dengan segalanya. Ia ingin ini semua cepat berlalu, juga tak ingin membuat Arfi lama menunggu.

"Arfi, loe mau beli setelan? Buat apa?"

"Wisuda"

"Kan masih lama, ntar keburu kekecilan tau. Loe mah aneh"

"Suka-suka gue dong. Udah belum cobain gaunnya? Gimana? Bagus gak?"

"Bacot loe, udah yok pergi, laper"

Arfi tersenyum kikuk, ingin sekali rasanya ia memukul mulut kasar gadis itu. Pada akhirnya tak ada setelan yang Arfi sukai dan mereka pun pergi meninggalkan butik.

Selama perjalanan pulang, Alvi beberapa kali menghela napasnya kasar. Seolah ada sesuatu yang menakan dadanya sangat kuat hingga membuatnya merasa sesak. Arfi yang menyadari hal itu, mengubah arah mereka menuju sebuah taman kota yang lumayan ramai hari itu. Sebab hari menjelang sore, banyak sekali muda-mudi yang lalu-lalang disana hanya untuk sekedar menghabiskan waktu luang.

Alvi awalnya ingin menolak, tapi setelah melihat taman yang cukup indah, ia pun mengikuti kemana Arfi pergi.

"Fi, gue Minggu depan mau nikah"

"Iya gue tau. Alvi, bunuh diri itu dosa dan tidak akan membuatmu masuk surga. Jika ada sesuatu yang membuatmu terluka hari ini, tahanlah. Setelah kau menikah nanti, bagi keluh kesah mu pada suamimu"

"Nanti kalau dia marah gimana? Kalau dia anggap gue gak tau diri gimana?"

Arfi tertawa kecil melihat gadis yang biasanya egois ini bisa memikirkan perasaan calon suaminya. Mereka membeli dua es krim dan memakannya bersama. Duduk di tepi danau kecil yang di penuhi eceng gondok.

Dengan begitu santai dan penuh pengertian, Arfi mencoba menjelaskan kepada Alvi. Hanya sebuah bayangan kecil mengenai pernikahan. Ketika dua manusia di persatukan dengan sebuah pernikahan, bukan hanya hubungan mereka yang bersatu. Tapi semua hal mengenai keduanya harus disatukan, dengan cara saling memahami satu sama lain. Berbagi kisah sedih dan menyenangkan, berbagi masalah dan solusi, begitulah pernikahan.

"Loe udah nikah Fi?"

"Belum, kenapa?"

"Sok tau dong loe berarti, dih mentang-mentang tua"

"Udah yuk pulang, udah sore. Nanti gue dimarahin Kakak loe"

"Kenapa sekarang? Masih sore kan, ntar lah agak maleman"

Arfi menarik tas Alvi dengan sangat kasar. Membuat gadis itu berdiri dengan rasa kesal. Bagi Alvi, Arfi adalah pemuda yang sangat aneh dan tak pernah ia temui. Teman-teman pria Alvi selalu mengajaknya bermain sampai malam hari bahkan sampai pagi menjelang. Tapi Arfi malah memarahinya padahal tak ada hubungan apapun dengan mereka.

"Kak Bani gak bakal marah Fi"

"Tapi gue gak suka ada cewek keluyuran tanpa ijin. Takut ada apa-apa"

"Sok romantis loe, cewek loe pasti seneng banget punya pacar kayak loe. Ternyata sekarang loe udah berubah ya, padahal dulu nyebelin bingit"

"Sekarang ngangenin?"

"Hoeek, jijay"

Arfi dan Alvi tertawa bersama, untuk pertama kalinya tak ada perdebatan setelah perbincangan. Sesuai janjinya, Arfi membawa Alvi untuk pulang kerumah.

Bani terlihat tengah duduk di teras rumah bersama dengan teman-temannya. Mereka tampak tersenyum lebar menyambut kedatangan keduanya.

"Wahh pengantin baru nih" ujar Oddy mengejek.

"Ha apa? Wah parah, loe sebenarnya udah nikah ya Fi?" Tanya Alvi merasa dibohongi.

Bani dan teman-temannya semakin tertawa terpingkal-pingkal.

"Rama? Ngapain loe disini? Kan loe bukan brandal kayak mereka"

"Loe ingat Rama tapi gak ingat sama gue?" Sela Arfi sedikit kesal.

Alvi mendengus kesal lalu pergi masuk kedalam rumah setelah menjulurkan lidahnya mengejek Arfi.

A - 3

Hari demi hari berganti, kini Alvi tengah menatap dirinya yang menggunakan kebaya di depan cermin.

"Kak, calon suami gue serius udah tua?" Tanya Alvi pada Bani yang tengah menemani dirinya di dalam kamar.

Sedangkan keluarga yang lain dan para tamu sedang melakukan akad di bawah sana. Bani selama ini tak pernah menunjukkan foto calon suami Alvi pada sang adik. Ia hanya menceritakan jika calon suami Alvi sudah berumur dan di segani beberapa orang. Dari situ saja Alvi yakin jika mungkin calon suaminya pasti pria tua, pak ustadz atau semacamnya. Sebab Tuan Salim selalu ingin memiliki cucu yang mengerti agama dengan sangat baik.

"Seumuran Papa kayaknya"

"Wah gila ya Kakek, gue di jual ke Om-om"

"Hei, Kakek gak jual loe, tapi barter. Soalnya calon suami loe pinter ngaji dan ngerti tentang agama banget"

Mendengar perkataan Bani, hati Alvi rasanya sakit. Air mata perlahan menetes di pipinya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana malam pertamanya nanti. Bani semakin tertawa menjadi-jadi setelah mendengar ucapan sang adik tercinta.

"Kok loe gak sedih sih Kak? Segitu gak sayangnya ya loe sama gue?"

"Karena gue sayang sama loe, gue setuju dengan pernikahan ini adikku tersayang"

Bani menyeka air mata Alvi dengan tisu, ia tak ingin riasan adiknya kacau. Tak bisa Bani pungkiri, rupanya sang adik terlihat cantik saat berdandan seperti ini, walau sedikit berlebihan. Walau Bani sudah berusaha menenangkan adiknya, air mata Alvi tak kunjung berhenti mengalir. Ia tak bisa membayangkan jika harus pergi dari rumah mewahnya. Terlebih harus tinggal hanya berdua dengan pria tua yang akan menjadi suaminya.

Tokk... Ttok...

Suara ketukan pintu terdengar, Mama Oddy masuk kedalam kamar dengan raut wajah keheranan. Ia terkejut melihat Alvi yang menangis seperti ini untuk pertama kalinya. Selama ini Mama Oddy tak pernah melihat Alvi menangis sekalipun, setelah kematian Mama Alvi lebih tepatnya.

"Tante, apa sudah terlambat? Aku tidak ingin menikah"

"Apa? Bukannya kamu setuju?"

"Iya waktu itu aku cuma lagi marah Tante, aku gak mau sama Om-om"

"Om-Om? Tapi kamu sudah menjadi istrinya Alvi, ijab qobul telah usai"

Tangis Alvi semakin menjadi-jadi, ia memeluk Mama Oddy dengan sangat erat. Ini memang kesalahannya, menerima begitu saja karena amarah yang tak terbendung. Mama Oddy mencoba menenangkan ponakannya itu. Ia kembali memperbaiki riasan Alvi dan segera mengajaknya turun ke bawah, sebab para tamu sudah menunggu mempelai wanita.

Alvi sangat sedih sebab harus melepaskan ini semua. Ia masih berusia 18 tahun dan baru lulus SMA. Haruskah secepat ini melepaskan masa mudanya? Pikiran Alvi kembali kalut dan tak bisa berpikir dengan jernih.

Setelah Alvi sedikit tenang, Mama Oddy membawanya turun kebawah. Bersama dengan Bani yang tertawa senang melihat adik kecilnya menangis seperti anak kecil. Perlahan Alvi duduk di samping mempelai pria, ia masih tak mau menatapnya, hanya tertunduk dan menguatkan hatinya. Ia cium tangan suaminya, sekali lagi air matanya menetes.

Semua tamu undangan mengucap syukur dan mengucapkan selamat pada keluarga pengantin.

"Alvi, kau menangis?" Tanya Arfi pada Alvi yang tertunduk.

"Arfi? Loe ngapain disini? Mau ngeledekin gue ya?" Sahut Alvi yang masih enggan mendongakkan kepalanya. Ia pikir Arfi tengah duduk di belakangnya dan berbisik padanya.

"Aku harus datang, kan aku suamimu"

"Apa?" Teriak Alvi terkejut. Ia mendongakkan kepalanya dan menatap pemuda yang duduk di sampingnya. Itu adalah Arfi yang tengah mengenakan setelan jas dengan senyuman lebarnya.

Mata Alvi yang penuh air mata terbelalak lebar. Ia melihat semua orang yang memandangi dirinya karena heran.

"Kenapa kau terkejut? Kakek sudah memperkenalkannya padamu malam itu" celetuk Tuan Salim.

"Tapi Kakak bilang, Kakek nikahin aku sama Om-om seumuran Papa" jawab Alvi dengan polosnya.

Para tamu undangan tertawa melihat Alvi yang kebingungan. Begitu juga dengan Bani, Oddy dan kawan-kawan. Mereka seperti orang kesetanan tertawa terpingkal-pingkal. Tuan Salim memukul Bani dan kawan-kawan nya dengan tongkat yang beliau pegang.

"Papaaa" teriak Alvi yang langsung memeluk Ardi dengan sangat erat.

"Tuan Putri Papa sudah besar sekarang"

"Pa, aku gak mau sama dia, dia tuh cowok nyebelin Pa"

"Hush, gak boleh ngomong gitu, dia suamimu sekarang. Kau harus mendengarkan apa yang suamimu katakan, seperti Mama mu dulu"

Alvi memeluk Ardi dengan sangat erat, entah apakah dirinya harus bahagia atau bersedih. Ia bahkan tak tahu pria seperti apa Arfi itu. Tapi ada hal yang lebih mengusik pikiran Alvi, apakah Arfi sepandai itu tentang agama? Apakah dia benar-benar bisa mengaji seperti harapan sang Kakek? Arfi masih seumuran dengan Bani dan Oddy, kedua Kakak Alvi itu saja tak bisa mengaji dengan benar saat Kakeknya menyuruh.

"Gitu banget lihatin nya, aku ganteng ya?" Tanya Arfi yang sudah berada di samping Ardi.

"Dih, loe tuh masih aja kepedean. Lagian, emang loe bisa ngaji?"

"Alvi, sama suaminya gak boleh kasar gitu" sela Ardi menengahi.

Arfi terlihat tertawa senang, sedang Alvi semakin kesal sebab sang Papa malah membela Arfi. Tuan Salim tiba-tiba saja memanggil Arfi, beliau meminta menantu barunya itu untuk duduk di tempat yang telah disediakan. Tak banyak tamu yang hadir, hanya orang-orang terdekat Tuan Salim dan keluarga Arfi tentunya. Beliau tak ingin mengundang banyak orang di saat pernikahan sang cucu.

Terlihat sebuah Al-Qur'an disana, salah seorang sahabat Tuan Salim meminta Arfi untuk membacanya.

"Nak Arfi mulailah" ucap sahabat Tuan Salim yang biasa dipanggil Pak Kyai.

Setelah mendengar permintaan Pak Kyai, Arfi mulai membuka Al-Qur'an dihadapannya. Arfi memulainya dengan membaca ta'awudz dan basmallah. Suara merdu Arfi muslim terdengar, ia membacanya dengan begitu indah, bahkan tajwid Arfi mendapat pujian dari Pak Kyai.

Alvi yang mendengarnya bahkan membuka mulutnya, Ardi sampai harus menutup mulut putrinya yang terpesona dengan bacaan Ayat suci yang Ardi lantunkan.

"Alvii" panggil seseorang membuyarkan lamunan Alvi.

"Ibu Maya dan Pak Hasyim, selamat ya" ucap Ardi dengan ramah.

Ardi meminta Alvi untuk mencium tangan kedua mertuanya. Maya meminta sang menantu memanggilnya Bunda, dan memanggil Hasyim dengan sebutan Ayah. Mereka juga memperkenalkan adik laki-laki Arfi yang bernama Arka. Arka baru saja duduk di kelas 1 SMP.

"Anak Bunda hebat kan? Arfi banyak cerita tentang kamu loh"

"Tentang aku? Tapi kami kan dijodohkan"

"Di jodohkan? Sayang, kami tidak akan menjodohkan anak-anak kami. Arfi sendiri yang memintamu kepada Papamu" jelas Maya.

"Dia sedikit keras kepala, kami sudah menasihatinya. Tapi Arfi bilang, keburu kamu dilamar orang lain" imbuh Hasyim.

"Iya nak, Arfi pemuda yang pemberani. Kakekmu langsung setuju hanya dengan satu permintaan pada Arfi"

"Apa Pa?"

"Mengaji, saat itu juga"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!