NovelToon NovelToon

Jatuh Cinta Pada Istriku Sendiri

Bab 1. Permintaan orang tua.

Drrrrt

Drrrrt

Getaran ponsel yang sangat mengusik tidurku, entah siapa yang berani menelepon ku pagi buta begini.

"Eum, halo." Dengan suara yang serak khas orang bangun tidur aku menerima panggilan itu.

"....."

"Di rumah," jawab ku. Sepertinya aku mengenali suara ini, mirip suara Papa.

"......"

"Oh, iya iya." Panggilan pun terputus dan aku pun kembali memejamkan mata, namun beberapa detik kemudian aku tersadar bahwa yang menghubungiku tadi memang Papaku dan katanya dia sudah ada di depan rumah.

Ya ampun.

Dengan segera aku memakai baju lalu membasuh wajahku yang tampan ini. Sebenarnya kalaupun tidak cuci muka aku tetap tampan kok, hanya aja takutnya ada berlian di kelopak mata ku nanti.

Setelah membasuh wajahku, aku langsung turun kebawah. Di sana Papa dan Mama sudah duduk di sofa dengan beberapa koper yang sedang diangkut oleh pelayan.

Kenapa juga mereka datang tidak bilang-bilang terlebih dahulu, kalau aku tau mereka datang kan sudah ku gelar karpet ungu.

Haiz..

"Apa kabar Pa, Ma?" Aku dengan senyum termanis sejagat kota ini pun langsung menyalim kedua orang tuaku.

"Alhamdulillah baik," jawab Mama lembut menusuk ke relung hatiku. Tambah sayang aja sama Mama.

"Baru bangun kamu?" tanya Papa.

"I-iya, Pa." Tentunya aku harus jujur. Melihat sorot mata Papa saja aku bergidik kalau sampai ketahuan bohong.

"Berarti kamu gak shalat subuh ya?"

"Shalat kok Pa, bentar lagi." Mana mungkin aku meninggalkan shalat ku, secara aku ini laki-laki Sholeh.

Plak.

"Shalat apa tuh? Kamu lihat pukul berapa sekarang!" aku pun dengan segera melihat jam dinding, efek nyawa masih di kasur yah begini. Ternyata sekarang sudah jam 8 lewat.

"Shalat Dhuha, pa." Yah memang shalat Dhuha kan, ini sudah telat banget kalau mau shalat subuh.

"Yang Papa tanya itu shalat subuh, Reza."

"Iya pa, Reza kesiangan." Aduh, bisa-bisanya aku kesiangan. Padahal aku tadi bangun jam 5 untuk matikan alarm.

"Kamu ini gimana sih? Kalau terus-terusan begini kapan kamu bisa menjadi kepala rumah tangga? Bangun subuh aja kamu gak bisa, apalagi bangun rumah tangga," omel Papa. Yah, benar juga sih, cuma kan aku memang belum mau berumah tangga, ngapain bahas rumah tangga segala sih, kayak mau nikah aja.

"Hehehehe," apa lagi yang bisa aku katakan selain hehehe, aku sudah mati kutu. Mama yang ku cintai saja geleng-geleng melihatku.

"Gak kuliah ya?" tanya Mama mengelus kepalaku. Hanya mama yang boleh mengelus kepalaku, kalau Papa, aku langsung pasang kuda-kuda.

"Nanti siang, Ma." Sebenarnya malas sih, karena hari ini ada MK hitung-hitungan. Aku benci hitung-hitung.

"Pergi mandi sana! Papa dan Mama mau istirahat sebentar. Setelah kamu kuliah, langsung pulang!" Papa berbicara dengan tegas membuat bulu kaki ku merinding.

"Iya Pa," aku hanya bisa manut saja. Padahal kalau dalam film-film, seharusnya aku ini membantah. Tapi, karena aku sayang sama orang tua, jadi aku diam.

Setelah mengatakan itu, Papa dan Mama pun pergi ke kamar mereka sedangkan aku, lanjut tidur.

Tapi sebelum itu, aku berkenalan dulu dengan kalian. Pasti kalian penasaran dengan identitas anak sultan yang tampan dan juga dermawan ini.

Nama ku Reza Herryansyah, usiaku 24 tahun dan aku masih kuliah di jurusan manajemen. Aku terlahir di keluarga yang mampu, aku punya teman-teman orang mampu juga. Aku sedikit pemilih kalau masalah berteman apalagi menjalin hubungan spesial.

Selama ini aku tak memiliki pacar, aku tak suka dengan perempuan genit tebar pesona dengan lekuk tubuh mereka. Dulu aku pernah jatuh cinta pada seorang wanita yang pendiam dan juga cantik dan tentunya kaya.

Tapi, sayangnya dia sudah di lamar dan sekarang sudah menikah.

Ya sudahlah toh di dunia ini bukan dia saja wanita. Masih ada wanita yang lebih baik darinya di luaran sana. Apalagi dengan wajah tampan ku ini, bisa meluluhkan ribuan bahkan jutaan wanita, baik yang sudah menikah maupun belum.

Papa ku memiliki sebuah perusahaan yang cukup besar di kota ini, sedangkan aku masih merintis usaha di bidang kuliner secara mandiri, walau nanti perusahaan papa tetap diwariskan untukku juga. Usahaku terbilang sukses karena sudah ada beberapa cabang di luar kota. Sudah tampan, kaya, dermawan, wanita mana yang tak jatuh cinta padaku ha?

Pokoknya kalau membicarakan tentang hidupku, tak ada habis-habisnya, karena hidupku sangatlah indah dan baik. Aku tak mengatakan sempurna karena pastinya ada saja celah kekurangan di hidup setiap orang.

Ah sudahlah, aku mau tidur lagi.

******

Kampus.

Di sinilah aku sekarang, duduk di kantin bersama teman-teman ku. Aku memilih untuk tidak masuk kelas karena pelajaran menghitung-hitung itu merepotkan. Sebenarnya kalau tidak ada kedua orang tua ku di rumah, aku tidak akan pergi kuliah. Tapi, karena mereka ada dirumah, terpaksa aku pergi saja walau sebenarnya aku hanya nongkrong di kantin. Mana mungkin aku mencoreng nama baikku dimata orang tuaku.

"Malam ini kita nongkrong di cafe yang baru buka itu yuk," ajak Bima. Ia salah satu temanku yang terbilang jahat karena suka mempermainkan wanita.

"Gue mah oke-oke aja," sahut Doni. Anggota yang paling muda dan suka makan, tapi badannya tetaplah bagus.

Bagus lagi badanku sih.

Di pertemanan kami hanya ada 4 orang yang paling dekat. Ada Bima, Doni, Rian, dan aku si tampan.

Bima dan Rian itu kakak beradik, sedangkan Doni itu anak tunggal sama sepertiku.

"Lo gimana, bang? Ikut gak?" tanya Doni.

"Gak," jawabku singkat. Aku ini memang terbilang hemat bicara dikalangan teman-teman ku.

"Kenapa? Apa karena ada Om dan Tante ya? Jadi, lo gak berani keluar. Cemen lo, bang."

"Ngomong sepatah kata lagi, gue jahit tuh mulut!" Nah kan, langsung diam.

"Hm, jadi lo gak mau ikut, Za?" Tanya Rian kembali memastikan jawaban ku.

"Gak!" Aku tekankan nada bicara ini agar mereka mengerti bahasa manusia.

Setelah mengatakan itu, aku pun memilih pulang meninggalkan ketiga manusia yang kurang bisa memanusiakan manusia lainnya.

"Hai kak." Seorang wanita datang mendekatiku saat diparkiran.

"Aku membuatkan kue untuk kakak, kalau kakak tidak keberatan.....

"Keberatan," jawabku dingin. Aku langsung masuk ke mobil dan meninggalkan perempuan yang kesekian kalinya ku sakiti hatinya.

Salahnya sendiri!

Lagi pula aku tak memintanya membuat kue, dasar perempuan gatal.

*****

Malam harinya.

Kini aku duduk dengan tenang sembari menikmati makan malam bersama dua orang yang ku sayangi. Aku sebenarnya agak risih sih karena sedari tadi Papa terus melirikku.

"Reza, papa mau ngomong serius sama kamu."

Hm, bau-bau bahaya nih.

"Ngomong apa, Pa?" Walaupun mencurigakan, aku tetap penasaran.

"Dua Minggu lagi Papa akan menikahkan kamu dengan putri sahabat Papa di desa."

Mendengar itu, aku langsung tersedak. Apa-apaan Papa ini main jodoh-jodohkan sesuka hatinya.

"Reza gak mau!" tentunya aku menolak. Ini bukan zamannya pernikahan karena perjodohan.

"Kamu harus mau! Papa tidak menerima penolakan! Anak sahabat Papa itu cantik, baik, Sholehah. Kalau kamu menikah dengan dia, kamu termasuk laki-laki yang beruntung," jelas Papa panjang lebar tak membuat ku tertarik sama sekali.

Dari desa ya tetap dari desa, kampungan dan jelek.

"Reza gak mau!" tolak ku sekali lagi. Kali ini sedikit lebih tegas.

Kalau memang Papa merasa perempuan itu baik, kenapa gak dia aja yang menikah dengan perempuan itu.

Eh, tapi kasihan Mama. Aduh, maaf yah Ma.

"Kami tidak menerima penolakan, Reza! Dua Minggu lagi kalian akan menikah. Kalau kamu berusaha untuk kabur, maka jangan anggap kami sebagai orang tua kamu lagi!"

Nah, kalau Mama yang ngomong aku kan jadi tidak bisa nolak. Tapi, menikah dengan orang desa? Aku juga tidak mau. Walau sebenarnya aku ini juga dari desa, tapi kan itu waktu aku kecil. Kalau sekarang aku sudah jadi orang kota, kaya, tampan pula.

Ck, mengesalkan!

_

_

_

_

_

_

_

Jangan lupa like komen dan vote nya. Semoga suka.

Bab 2. Pernikahan.

Setelah selesai makan malam, aku memilih langsung ke kamar. Aku tak mau lagi mendengar penjelasan Papa yang terlalu memuji-muji anak sahabatnya itu. Sebenarnya, anaknya itu siapa sih? Aku atau perempuan itu? Apa kami tertukar.

Ck, perasaan ku sangat tak enak sekarang, kacau. Aku tak mau menikah, aku tak mau menambah beban hidupku. Apa aku harus memberontak? Tapi, aku takut itu akan menyakiti orang tua ku. Aku tak mau mereka tersakiti karena ku.

Tapi, bukan berarti aku sayang pada mereka, mereka bisa memanfaatkan itu dengan memintaku menikah. Aku tak ingin jadi anak durhaka, tapi kalau terus begini nanti aku bisa khilaf.

Tok

Tok

Tok

"Mama masuk ya." Aku melihat ke arah Mama, pasti akan ada bujuk rayu level yang lebih tinggi dari sebelumnya.

"Reza udah gede Ma, kenapa Reza harus dijodohkan? Reza bisa memilih wanita yang baik kok," ucap ku kesal. Barang kali melihat tampang menyedihkan ku Mama jadi iba.

Kembali Mama mengelus kepalaku, tapi kali ini aku sedikit was-was, takutnya Mama membaca mantra yang membuatku luluh.

"Alia itu gadis baik kok, dia juga Sholehah, pintar masak, berpendidikan juga. Dia cantik, murah senyum, kurang apalagi coba? Kalau kamu udah jumpa sama dia, pasti kamu bakalan klepek-klepek," terang Mama masih terus mengelus kepalaku.

Oh, namanya Alia yah. Sialan kamu Alia! Awas saja jika kita menikah nanti!

"Ma, meskipun dia sempurna seperti kata Mama, tapi cinta itu gak bisa dipaksakan. Reza pengen nikah dengan wanita yang Reza cintai, Ma." Aku terus saja berdalih, aku harus berjuang menolak perjodohan ini.

"Cinta bisa datang seiring waktu, nak. Mama mohon kamu setuju ya," pinta Mama dengan wajah memohon. Kalau sudah seperti ini akan sulit untuk aku menolak. Aku tak ingin ada satu tetes air mata yang jatuh dari kedua orang tua ku. Tapi, aku juga tak mau menikah.

"Mama yakin kamu bisa." Setelah mengatakan itu, Mama pergi meninggalkan ku sendiri di kamar. Aku menatap kepergian Mama dengan perasaan campur aduk.

Prang!

Aku melempar gelas yang ada di nakas ke sembarang arah untuk melampiaskan kekesalanku.

Mereka yang memilih gadis itu untukku, tapi jangan salahkan aku jika gadis itu akan menangis setiap hari.

*******

2 Minggu Kemudian.

Di sinilah aku sedang duduk sembari meratapi nasib, besok aku akan menikah tapi aku bahkan belum melihat wajah gadis itu.

Aku bahkan tidak diberikan CV layaknya pasangan ta'aruf. Kata Mama, cukup mereka saja yang memastikan karena mereka yakin pilihan mereka sangatlah baik.

Pernikahan ini diadakan di desa gadis itu yang namanya Alia Mayasyifa. Jelas aku tau namanya karena itulah yang akan ku ucapkan di ijab qobul nanti, tidak mungkin nama tetangganya yang ku sebut.

Akhh! Ingin rasanya aku kabur saja. Mana jantung ku tak hentinya berdebar, padahal aku sedang panik bukan jatuh cinta.

Untungnya tak ada teman-teman ku yang tau aku menikah. Aku menyetujui pernikahan ini dengan syarat pernikahan ini harus dirahasiakan karena aku tak mau malu.

Punya istri dari desa, ih malu.

Keesokan harinya.

Aku sudah duduk di depan penghulu dengan jantung yang berdetak kencang. Meski aku tak menginginkan pernikahan ini, tetap saja aku panik. Jangan sampai aku mempermalukan diriku sendiri.

Aku melirik dua biang kerok yang ku sayangi, mereka tersenyum penuh haru melihat ku akan menikah dengan gadis yang bahkan tak ku ketahui rupanya.

Ijab qobul pun dimulai, aku sangat gugup tapi, untungnya aku bisa melakukan nya dengan baik.

Kini aku resmi menjadi seorang suami.

Setelah ijab qobul selesai, barulah gadis itu datang. Saat aku melihatnya, wow, biasa aja. Gak ada cantik-cantik nya, palingan juga kebantu make up makanya nampak sedikit cantik. Tapi, dia masih di bawa rata-rata untuk di pasangkan dengan lelaki tampan seperti ku.

Akhh! Kenapa dia tidak kecelakaan saja terus meninggal. Eh, tapi kalau dia meninggal aku jadi duda. Tapi, tak apa toh duda di zaman sekarang semakin di depan, apalagi dudanya seperti aku, laris manis.

"Reza, tangannya." Mama berbisik membuat ku geli, ternyata semua orang menunggu aku mengulurkan tangan pada gadis ini.

Aku pun membiarkan dia mencium tangan ku yang tentunya wangi karena memakai handbody mahal, beda dengan tangannya. Pasti dia pakai handbody abal-abal.

Acara pun berlangsung hingga sore, aku sangat lelah rasanya.

Malam ini, aku harus memberikan pelajaran pada gadis itu, bisa-bisanya dia tak menolak perjodohan ini.

*******

Malam hari.

Aku duduk di tepi ranjang sembari memainkan ponselku membalas pesan dari teman-teman ku.

Terdengar suara pintu kamar mandi di buka, dia keluar dari kamar mandi dengan baju tidur bermotif kan kucing. Untung dia tak keluar dengan pakaian seksi, bisa ilfil aku melihat tubuh kurapan nya itu.

"Lo mau kemana, ha?" tanyaku saat ia berjalan mendekati ranjang.

"Tidur," jawabnya lembut. Cih, sok-sokan melembutkan suara, palingan juga suara aslinya jelek.

"No, no, no! Lo gak boleh tidur di sini!" tekan ku membuat ia terdiam sembari melirik sekelilingnya.

"Terus tidur dimana?" tanya nya.

"Terserah lo deh, mau di lantai, di sofa, di lemari, di kamar mandi. Yang penting jangan tidur di sini dan jangan tidur keluar kamar!" jawabku dengan angkuh. Untuk apa berbaik hati pada gadis perusak masa depan ini.

Dia pun tidak bertanya atau bicara lagi, dengan segera dia mengeluarkan selimut dari lemari lalu tidur di sofa. Hm, penurut juga tuh anak. Dengan begini, aku bisa lebih mudah menyiksanya agar dia tak betah menikah denganku.

"Mas," panggilnya membuat mataku melotot.

Melihat itu, ia seperti tak jadi bicara dan memilih untuk diam. Pasti dia mau minta jatah malam pertama dengan ku, secara kan aku ini tampan dan juga badanku yang bagus. Ih, mana mau aku malam pertama dengannya. Membayangkan nya saja aku sudah bergidik ngeri.

Terus, apa tadi? Dia memanggilku mas? Bisa-bisanya dia memanggilku mas, memang aku ini siapanya ha? Eh, tapikan aku suaminya. Tapi, tetap saja dia harus meminta persetujuanku terlebih dahulu kalau mau memanggilku menggunakan embel-embel.

Cih, mengganggu saja nih perempuan.

"Kalau sudah selesai kerjanya, saklar lampu ada di samping tempat tidur yah," ucapnya kembali bersuara. Aku pun menatap saklar lampu itu, aku juga tidak buta sampai dia harus memberitahukan dimana letak saklar lampu.

Dasar nyari-nyari perhatian, pecicilan!

_

_

_

_

_

_

_

_

Jangan lupa like komen dan juga vote nya kalau suka❤️

terimakasih.

Bab 3. Panggilan Mas.

Allahu Akbar Allahu Akbar......

"Mas."

"Hm."

"Mas, ayo bangun. Waktunya shalat subuh."

Aku membuka mataku ketika mendengar suara lembut yang seperti suara bidadari saja. Sangat lembut menusuk relung hati ku.

"Mas."

"Iya." Aku menatapnya yang juga menatap ku, rambut panjang yang sedikit bergelombang, hidung yang mancung, kulit putih mulus, cantik sekali. Dia mirip dengan istriku.

Ya, istriku!

Seketika aku langsung membuka mata lebar-lebar, bukan lagi mirip ini mah, dia memang istriku si Alia kampret itu. Akhh! Aku tarik kata-kata ku tadi, aku pasti belum sepenuhnya sadarkan diri ketika mengatakan itu di hatiku.

"Mas?"

"Apa?" tanyaku kesal dan juga marah karena tadi salah memuji orang

"Shalat subuh," ucap nya.

"Gue juga tau! Kan gue bisa dengar suara Adzan." Dengan kasar aku melempar selimut lalu berjalan ke kamar mandi dan menutup pintunya dengan keras.

Dia pasti kaget, hahahaha. Biar saja, biar dia kena serangan jantung sekalian.

Setelah selesai mandi aku segera pergi ke masjid, ku lirik dia yang tengah merapikan tempat tidur lalu aku melanjutkan langkah ku tanpa memperdulikannya.

******

Kini aku duduk di meja makan menikmati sarapan bersama seluruh anggota keluarga. Banyak yang meledek ku karena rambutku yang tak basah, kata mereka aku ini tak beruntung karena tak bisa malam pertama dengan Alia. Padahal aku merasa sangat beruntung tidak melakukan itu dengannya.

Ketika ditanya alasannya, untungnya istri udik ku itu sedang datang bulan. Bagus juga, datang bulan aja selama-lamanya kalau bisa.

Setelah selesai sarapan, Papa dan ayah mertuaku mengajak berbincang sejenak. Ah, meski aku sudah menjadi seorang suami, bukan berarti aku sudah jadi bapak-bapak, pembicaraan nya malah kearah bapak-bapak, ya mana saya tau topik ini, sayakan masih perjaka.

Setelah selesai mengobrol, aku pun kembali ke kamar. Tak ada yang bisa kulakukan di sini, aku tak tau jalan jadi, aku tak bisa jalan-jalan. Tapi, di rumah juga sangat membosankan dan menjengkelkan karena ada gadis udik itu.

Sesampainya aku di kamar, gadis itu tengah melipat baju dan ada beberapa koper di sana yang siap di tata dengan bajunya dan juga baju ku. Ya kami akan langsung pulang karena aku beralasan bahwa MK ku sangat padat.

Melihat kedatanganku dia pun tersenyum membuatku muak saja. Dia pikir aku terpesona, cih! Tidak semudah itu bodoh.

"Mas."

"Jangan panggil gue mas! Gue gak suka tau!" bentak ku. Seketika dia diam dan tak melanjutkan ucapannya yang ku potong tadi.

"Bang." Aku langsung melotot saat ia memanggilku Abang.

Bukannya diam, dia ternyata sedang berpikir untuk memanggilku dengan embel-embel lain. Nekat juga nih anak.

"Kakak?" lagi, aku melotot lagi. Seolah-olah itu adalah jawaban kalau aku tak suka dengan panggilannya.

"Kalau begitu, sayang." Kali ini bukan mataku saja yang melotot, tapi jantungku pun ikut berdebar. Sial! Bukan aku baper yah, aku hanya...hanya, akhhh! Sudahlah.

"Mas saja," ucap ku ketus. Mau tak mau aku harus mengizinkan ia memanggilku mas, daripada nanti di panggil sayang, bisa berdarah telinga ku nanti.

"Eum, oke." Dia tersenyum lalu melanjutkan melipat baju. Lah, bukannya tadi dia memanggilku karena ingin bicara sesuatu? Kenapa malah tak bicara? Apa ku tanya saja ya? Ah, jangan gila Reza! Jangan bicara padanya terlebih dahulu, kita tidak selevel dengannya.

Ku baringkan tubuh ini di kasur yang bahkan tidak cocok ku tiduri. Kasur ini sangat jelek padahal sepertinya masih baru. Yah, namanya saja kasur kualitas orang menengah ke bawah, jadi ya wajar tidak senyaman kasurku.

"Masih pagi, jangan tidur. Nanti rezekinya ketutup," ucapnya memperingati ku saat aku menutup mata menikmati angin yang masuk ke kamar.

"Bukan urusan lo!" Dia pun hanya tersenyum kecil saat mendengar bentakan ku. Kuat juga mental nih cewek.

"Kata ibunya adek, mas banyak MK ya. Apa kita tidak cuti dulu, kan kita baru saja menikah. Adek juga banyak MK, tapi adek ngambil cuti beberapa hari," lanjutnya dan aku menyimak saja. Oh, ternyata dia kuliah juga toh, tapi dimana yah? Ah, palingan di Universitas yang tidak terkenal, itupun pastinya karena beasiswa.

Aku tak merespon ucapannya tadi, aku memilih diam. Enak saja dia mengatur-atur aku harus cuti berapa hari. Aku kan ingin cepat-cepat jalan-jalan dan nongkrong.

Lagi pula, apa yang harus dilakukan saat cuti? Bulan madu? Apa ia sangat berharap untuk bisa malam pertama denganku? Kasihan sekali dia, karena pastinya aku tak akan mau menyentuh tubuh kurapan nya itu.

Melihat aku tak merespon ucapannya, dia pun memilih untuk diam. Bagus, jangan bicara apapun kalau perlu, aku tak suka mendengar suara sok lembutnya itu.

********

Malam harinya.

Setelah selesai shalat isya, aku memilih duduk kembali di kamar. Memangnya kemana lagi aku duduk, rumah ini tidaklah besar. Aku pun membuka laptop ku lalu mengerjakan beberapa tugas kuliah yang dikirim oleh Doni. Walau aku tak masuk, aku tetap harus mengerjakan tugas karena Minggu depan pastinya tugas itu diminta nanti.

Saat aku fokus pada laptop ku, istri gembel ku itu datang. Ia masuk ke kamar dengan membawa segelas minuman yang ia letakkan di mejaku.

"Dari Mama," ucapnya lalu membuka lemari dan mengambil baju lalu masuk ke kamar mandi.

Aku pun kembali fokus pada laptop ku dengan ponsel yang terus saja berbunyi karena pesan yang dikirim oleh teman-temanku. Pasti mereka penasaran aku sedang berada dimana sekarang. Ku pastikan mereka tak akan tau masalah pernikahan paksa ini, bisa malu aku nanti kalau mereka tau. Ih, mau taruh dimana wajah tampan ku ini nanti.

"Mas," panggilnya keluar dari kamar mandi dengan mengenakan dress tidur selutut. Aku menatapnya lama, mengamati tubuhnya dari bawah sampai atas lalu dari atas ke bawah lagi.

Bagus juga postur tubuhnya.

Eh, maksudku bajunya. Iya, bajunya yang bagus bukan tubuhnya itu. Aku mah tidak akan berselera dengan tubuhnya.

"Mas?"

"Apa sih?" tanya ku kesal memalingkan wajahku yang tiba-tiba saja menghangat. Ada desiran aneh di dalam sana yang menginginkan sesuatu.

Ah, sial! Mana mungkin aku tertarik pada gadis udik ini. Itu hanyalah halusinasi ku saja, tadi aku tak sadar diri mengatakan tubuhnya bagus di hatiku.

"Malam ini apa adek tidur di sofa lagi?" tanyanya polos.

Dasar bodoh! Apa dia pikir aku akan membiarkan ia tidur di atas ranjang bersama ku? Pemikiran yang konyol.

"Bukan malam ini saja, tapi setiap malam lo harus tidur di sofa." Dia pun tampak terdiam sejenak lalu mengangguk patuh.

Aku menghela nafas kasar, membayangkan dia tidur bersamaku lalu dia pasti akan memanfaatkan itu dengan meraba-raba tubuh indah ku, memelukku, menciumiku. Membayangkan nya saja aku sudah ilfil.

Jangan sampai itu terjadi. Aku yang tampan dan juga kaya ini, tak boleh tidur sekasur dengan gadis gembel sepertinya.

_

_

_

_

_

_

_

tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!