NovelToon NovelToon

Istriku Bukan Adikku

IBA — Bab 1

Seorang pria paruh baya dengan tongkat di tangannya, tampak menahan sesak di dada karena perbuatan putrinya. Pria bernama Bagas itu menatap gadis cantik yang baru saja pulang entah dari mana.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, artinya dia sudah terlambat tiga jam dari yang sudah ditentukan oleh sang ayah. Namun, dia sama sekali tidak merasa bersalah.

“Kamu putri ayah satu-satunya, Kara. Kalau kamu terus-terusan begini, bagaimana ayah bisa menjawab pertanyaan ibu kamu nanti.”

“Ayah jangan bawa-bawa Ibu deh. Kara nggak suka.” Kara langsung pergi begitu saja meninggalkan ayahnya yang memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.

Sebagai seorang ayah, Bagas merasa sudah gagal mendidik anak semata wayangnya itu. Kara yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, membuat gadis itu sedikit manja dan seenaknya sendiri. Sangat susah mengatur Kara yang mulai tumbuh dewasa. Kara bukan lagi putri kecilnya yang akan menurut jika sudah dimarahi.

Laki-laki itu memasuki kamarnya dan mendekap erat sebuah foto lama yang menampilkan senyuman cantik dari seseorang yang sangat Bagas cintai. Air matanya tiba-tiba keluar saat menatap foto wanita itu.

“Maafkan aku, Maria. Maaf karena aku tidak bisa menjaga Kara dengan baik. Padahal, aku sudah berjanji padamu akan menjaganya dengan baik sampai dia menikah. Aku tidak tahu apa yang Kara perbuat di luar sana, Maria.”

Tanpa sengaja, Karamel yang sedang ingin mengambil minum, ternyata mendengar apa yang ayahnya itu katakan pada foto mendiang ibunya.

Aku baik-baik saja, Ayah. Aku hanya kesepian saja. Kenapa Ayah berpikir seperti itu?

Kara ikut menangis dalam diamnya. Hatinya ikut teriris mendengar apa yang ayahnya keluhkan pada orang yang sudah meninggal.

“Maria, aku menjaga Kara dengan sepenuh hati, sebagai kenangan terakhir yang sudah kamu berikan, tapi kalau di luar sana dia mengecewakanmu, apa kamu akan marah padaku, Maria?”

Air mata Kara semakin meluncur deras. Dia ikut merasakan sesak di dada saat mendengar tangis pilu ayahnya yang seumur hidup baru kali ini dia dengar.

Tiba-tiba, terdengar suara benda yang jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi pecahan kaca. Kara yang sedari tadi berdiri di samping pintu kamar ayahnya, dengan cepat dan tanpa pikir panjang segera menghampiri ayahnya.

“Ayah. Ayah kenapa? Ayah bangun,” teriak Kara di tengah malam itu.

Rasa takut kehilangan tiba-tiba melingkupi relung hatinya, Kara menangis sejadi-jadinya.

***

***

Kara duduk sendirian di depan ICU rumah sakit swasta tempat ayahnya mendapatkan pertolongan. Pakaiannya masih sama seperti beberapa jam lalu saat sang ayah menegurnya karena sudah sering kali pulang larut malam. Menyesal, tentu saja itu hal yang wajar dirasakan Kara saat ini, tetapi apakah semuanya sudah terlambat?

Dokter mengatakan bahwa ayahnya telah menderita penyakit jantung selama beberapa tahun terakhir, tapi alih-alih memilih operasi, Bagas justru menolak anjuran dokter itu. Laki-laki itu memilih untuk menjalani sisa usianya apa adanya dengan pengobatan jalan yang mungkin hanya meringankan sakitnya. Bagas bersikeras tidak akan menggunakan uangnya untuk operasi jantung karena pendidikan dan masa depan Kara jauh lebih penting.

“Kenapa Ayah tidak pernah bilang kalau Ayah sakit? Kenapa Ayah menutupi ini dariku, Yah?” batin Kara yang semakin merasa bersalah. Jika saja dia tahu ayahnya menderita penyakit yang sangat parah itu, dia tidak akan mungkin keluyuran tidak jelas setiap malam.

Kemudian, seorang pria yang seusia dengan Bagas datang menghampiri Kara yang tak henti-hentinya menangis.

“Karamel,” sapa laki-laki itu.

Kara sedikit menengadahkan kepalanya, menatap ke arah sumber suara. “Om kenal saya?” Kara memicingkan mata, rasanya dia tidak pernah mengenal laki-laki yang kini duduk di sampingnya itu. Akan tetapi, kenapa laki-laki itu bisa tahu nama lengkapnya?

Laki-laki itu tersenyum tipis. Lalu, Kara menatap lekat pria paruh baya itu. Tatapan teduhnya bagaikan dewa penolong yang tiba-tiba muncul di tengah kekalutan hati Kara.

Hola, ketemu lagi sama karya baru aku. Jangan lupa tekan favorit ya supaya pas aku update, langsung dapat notifikasi 💋💋 Like komennya jangan lupa ❤

IBA — Bab 2

“Kamu pasti sudah lupa sama Om.” Laki-laki itu menyodorkan sapu tangan untuk menghapus air mata Kara. “Nama Om, Tio Wijaya, ayah kamu tidak pernah cerita soal Om?” tanya laki-laki itu.

Kara mencoba mengingat-ingat lagi siapa laki-laki di sampingnya. Akan tetapi, dia tidak bisa mengingat sama sekali tentang sosok laki-laki itu. Hingga akhirnya, Kara pun menyerah dan kembali bertanya, “Om temannya Ayah?”

Laki-laki itu mengangguk membenarkan pertanyaan Kara. “Om sama ayah kamu dulu teman kuliah. Kami berpisah cukup lama dan baru beberapa minggu ini kami bertemu lagi.” Laki-laki itu menunjukkan foto di ponselnya yang menampilkan gambarnya bersama ayah Kara.

Kara akhirnya percaya bahwa laki-laki itu adalah teman ayahnya. Entah ayahnya belum sempat cerita atau mungkin memang dia yang lupa soal cerita sang ayah. Setidaknya, saat ini ada yang menemaninya menunggu di rumah sakit.

“Ayah tiba-tiba pingsan, Om. Kata dokter, Ayah sudah lama sakit,” ucap Kara sambil menundukkan kepalanya. Sedih sekali rasanya melihat orang yang sangat disayangi tiba-tiba terbaring lemah dan Kara sama sekali tidak tahu soal penyakit ayahnya itu.

“Bagas memang sudah menderita sakit jantung itu sejak beberapa tahun terakhir. Saat om menyarankannya untuk operasi, dia menolak. Biayanya mahal sayang uangnya buat sekolah kamu saja. Dia juga menolak bantuan om saat om ingin membantunya. Ayah kamu itu sayang sekali sama kamu Kara.”

Mata Kara kian memanas. Bahkan laki-laki di sampingnya ini bisa tahu bahwa ayahnya menderita sakit, tapi kenapa dia yang tinggal satu rumah justru tidak tahu apa-apa.

“Aku anak yang nggak berguna, Om. Ayah nggak pernah cerita soal sakitnya sama aku,” kata Kara sambil terus menangis. Ayahnya adalah satu-satunya orang yang dia miliki saat ini, jika sampai terjadi sesuatu dengannya, Kara tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini.

“Kara, jangan berkata seperti itu, lebih baik kita berdoa untuk kesembuhan ayah kamu."

Seorang dokter muncul dan memberitahu pada Kara dan Tio bahwa Bagas telah berhasil melewati masa kritisnya.

***

***

Saat ini, ayah Kara sudah bisa dijenguk. Kara langsung masuk untuk menemui ayahnya. Sebuah alat terpasang di hidung laki-laki satu anak itu.

"Ayah, Ayah kenapa bisa sakit sih, Yah? Kenapa Ayah nggak cerita kalau Ayah sakit." Kara menangis sambil memeluk ayahnya yang terbaring.

"Kara." Suara Bagas terdengar sangat lemah. Meski begitu, dia berusaha kuat untuk bertahan demi Kara.

Beberapa jam setelah sadar, Bagas mulai diajak komnunikasi dengan lancar. Walau suaranya masih terbata, tapi setidaknya dia bisa diajak bicara.

Tio menemani Kara menjaga dan merawat Bagas, hingga tiba-tiba, seorang laki-laki berperawakan tinggi tegap masuk ke ruang perawatan Bagas.

"Selamat sore, Om. Bagaimana keadaannya, apa sudah mendingan?" sapa laki-laki tampan itu.

Kara menoleh pada laki-laki itu. Dia tampan dan terlihat gagah. Sayangnya, wajahnya terlihat dewasa sekali, tidak seperti laki-laki seusianya.

"Azka, kamu sudah datang," kata Tio. "Kara, kenalin ini anak Om."

Laki-laki bernama Azka itu mengulurkan tangan dan berkenalan dengan Kara. "Azka."

"Karamel."

Tio terlihat sangat senang. "Azka, kamu ingat dia, bayi mungil yang selalu kamu cium itu. Ingat?"

"Bayi?" Kening Azka tampak berkerut.

"Mungkin kamu sudah lupa. Waktu itu kamu masih sepuluh tahun saat kita menengok Kara waktu bayi. Beberapa bulan sebelum kita pindah, Ka."

Azka mengingat sesuatu. Lalu, dia tersenyum dan membuat wajah tampannya semakin terlihat rupawan.

"Ya, aku ingat, Pa. Dia yang waktu itu pipis di celanaku, 'kan? Padahal waktu itu aku pakai baju bola kesayanganku," timpal Azka usai mengingat lagi kisah masa kecilnya.

Bagas sedikit tersenyum melihat reaksi Azka. "Kara cantik 'kan, Nak Azka?" tanya Bagas dengan suara lirih. Ayah Kara itu berharap laki-laki itu akan menyukai putrinya.

"Ya, dia cantik dan imut. Apa dia sudah lulus SMP?" tanya Azka sembari melirik Kara yang dengan setia duduk di samping ayahnya.

"Jangan sembarangan dong, Om. Aku sudah mulai kuliah, Om."

Azka melebarkan kelopak mata dan menunjuk dirinya sendiri. "Om!? Kamu panggil saya om?"

like, komen, hadiah dan votenya jangan lupa ya 💋💋

IBA — Bab 3

Kara melihat Azka sebagai laki-laki dewasa yang sudah berumur, padahal umur Kara dan Azka hanya selisih sepuluh tahun saja. Gadis itu tidak terima saat Azka mengiranya masih SMP padahal dia adalah mahasiswi semester satu.

Sementara itu, Azka juga tidak terima saat Kara memanggilnya Om. Padahal dia merasa masih sangat muda dan tidak layak dipanggil Om.

“Kalau bukan panggil Om, lalu panggil apa? Abang? Kayak tukang nasi goreng.” Kara mengangkat ujung bibir atasnya mengejek Azka yang kini sedang meletakkan buah di meja yang disediakan rumah sakit.

“Kara, yang sopan dong.” Suara Bagas terdengar lirih. Laki-laki itu masih merasakan nyeri di dada, tapi sekuat tenaga dia berusaha menahan agar tidak terlihat lemah di depan Kara.

“Ayah, dia nyebelin. Masa’ Kara dibilang anak SMP sih. Padahal ‘kan wajah Om Azka yang kelihatan tua,” adu Kara pada sang ayah. Dia pikir ayahnya sudah sehat, karena Bagas berusaha terus terlihat baik-baik saja.

Bagas hanya menggelengkan pelan kepalanya. Putrinya yang kekanak-kanakan membuat Bagas merasa khawatir jika pergi dalam keadaan Kara yang tanpa pengawasan. Dia dan Tio sudah sepakat untuk menjodohkan kedua anak mereka karena Tio juga punya alasan khusus.

“Ya memang penampilan kamu kayak bocil sih,” balas Azka dengan suara lirih.

“Tio, apa kamu sudah cerita ke Azka soal pembicaraan kita waktu itu?” tanya Bagas pada sahabatnya itu.

Tio mengangguk dan menatap putranya yang kini terlihat tegang. “Aku sudah bicara dengan Azka, dan dia sudah setuju, Gas,” jawab Tio dengan raut bahagia.

“Baguslah, Tio. Aku bisa pergi dengan tenang kalau Azka mau menikahi Kara.” Bagas ikut tersenyum. Satu beban yang mengganjal di hatinya kini telah berkurang.

“Tunggu! Ini maksudnya apa, Yah?” tanya Kara yang mulai panik. “Ayah nggak lagi menjodohkan aku sama Om Azka, ‘kan?” Kara mulai melotot tidak terima.

Sebagai gadis muda yang baru menikmati masa-masa kuliah, Kara tidak mau terbebani dengan urusan rumah tangga. Dia ingin fokus dengan belajar dan tentunya menikmati kebebasan di masa mudanya.

“Kara, kalau kamu menikah dengan Azka, ayah bisa pergi dengan tenang. Sekali ini saja, tolong penuhi keinginan terakhir ayah.”

“Nggak, nggak, Kara nggak mau. Ayah jangan pergi. Kara masih butuh Ayah. Kara nggak mau nikah sama Om Azka, Yah,” teriak Kara sembari menggeleng pelan kepalanya.

Dia lalu berjalan keluar meninggalkan ruang perawatan ayahnya. Kara lari sejauh-jauhnya, hingga dia berhenti di taman rumah sakit.

Kara masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan. Bahkan, dia sama sekali belum memiliki impian pernikahan seperti apa yang dia inginkan. Suami seperti apa, mertua seperti apa, Kara sama sekali belum memikirkannya. Dia masih betah dengan dua laki-laki tampan yang sama-sama mengejarnya.

Sementara itu, Azka yang sejak tadi mengikuti Kara, kini memberanikan diri untuk mendekati gadis itu. Azka pikir, mungkin sebaiknya dia berbicara dari hati ke hati dengan Kara.

“Mel,” panggil Azka.

Yang dipanggil sama sekali tidak merasa. Kara masih sibuk dengan lamunannya sendiri. Dia merenungkan masa depannya jika menikah dengan om-om seperti Azka.

“Karamel,” panggil Azka lagi.

Kali ini Kara menoleh dan menatap laki-laki yang akan dijodohkan dengannya.

“Om Azka, ngapain ke sini? Jangan coba-coba bujuk aku ya. Aku tu nggak mau nikah sama om-om kayak Om Azka. Mending Om cari cewek lain yang mau sama Om, jangan sama aku.” Kara menolak tegas perjodohan yang membuatnya sangat syok. Dia berdiri beberapa langkah di depan Azka dengan berkacak pinggang.

“Siapa yang mau bujuk kamu? Lagian saya ini bukan om-om. Saya masih muda loh, belum ada tiga puluh tahun.”

“Tetap saja tua. Om pasti nggak laku ‘kan makanya mau dijodohin sama aku?” tuduh Kara yang emosinya mulai meledak.

Dituduh seperti itu, membuat Azka ikut kesal juga. Dia berjalan menghampiri Kara sambil melotot. Sayangnya, kaki Azka tersandung sesuatu yang membuatnya kehilangan keseimbangan, hingga akhirnya Azka pun jatuh ke rumput dengan menimpa tubuh Karamel.

Apa yang terjadi selanjutnya ya kira-kira? Kembang kopinya dulu dong 💋💋

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!