NovelToon NovelToon

Terjerat Pernikahan Dengan Pria Kejam

Awal mula

"Maaf, Tuan Asil. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi nyawa Nona Lunara tidak tertolong, dia meninggal," ucap Dokter Hasad lirih. 

Tangis kembali pecah, memecahkan keheningan yang beberapa waktu lalu tercipta. Di depan ruangan ICU itu semakin tegang, aksi jambak-menjambak kembali terjadi setelah pernyataan sang dokter yang menyayat hati. 

Lunara dinyatakan meninggal setelah mengalami kecelakaan, ia yang sedang menyeberang ditabrak oleh pengendara motor, itulah menurut saksi.

"Dasar pembunuh, enyah kau dari dunia ini," ucap Ayla berteriak. Ia adalah salah satu teman dekat Lunara yang paling murka dengan kejadian yang menimpa sang sahabat. 

Mirza Asil Glora ambruk seketika. Seluruh organ tubuhnya seakan ikut mati bersama dengan pernyataan itu. Wajahnya merah padam memendam amarah, Matanya berkaca dengan tangan yang mengepal sempurna. Darahnya mendidih mengingat cerita dari Ayla yang melihat kejadiannya. 

Kesedihan dan kemarahan bercampur aduk membuat dada pria yang itu sesak, bahkan beberapa kali ia harus mensuplai oksigen untuk bisa bernapas. 

Ulu hatinya teriris, kenyataan ini bahkan lebih pahit daripada menelan empedu. Tak menyangka, hubungan yang dirancang sedemikian indah berakhir tragis, mereka berpisah untuk selama-lamanya. 

Bukan ini yang Mirza inginkan. Dipisahkan oleh maut, bukan berarti harus secepat kilat, bahkan ia belum bisa menikmati manisnya menjalani rumah tangga dengan wanita itu. Apakah ini adil? 

Lunara adalah tunangan Mirza. Mereka akan melangsungkan pernikahannya besok, namun kini semua itu hanya tinggal rencana yang tak mungkin tercapai. 

Lunara meninggalkannya nya begitu saja tanpa pamit.

Mirza menoleh, menatap gadis yang terisak, wajahnya tampak lebam dengan pipi yang basah kuyup. Sudut bibirnya dipenuhi darah segar akibat aksi beberapa teman Lunara. 

Ya, itu adalah gadis yang menabrak Lunara. Dia bernama Haira. Gadis cantik berumur 19 tahun yang bekerja di sebuah pabrik garmen ternama. Ia tak sengaja menabrak Lunara karena sedikit pusing. 

Jangan ditanya penampilannya, pasti sederhana. Ia hanya gadis polos yang datang dari kampung untuk mengais rejeki. Baru tiga bulan dirinya diterima, dan kini harus mengalami musibah tragis.

"Saya tidak bersalah, Tuan," Haira mengucap dengan bibir bergetar, rasa sakit itu menjalar di sekujur tubuhnya, bahkan kulitnya banyak luka yang terasa perih. 

"Jangan bohong!" pekik Ayla kembali mencekik leher Haira hingga kesulitan bernapas. 

Tangannya terus mencengkal tangan Ayla yang hampir saja membunuhnya. Namun apa daya, Haira sudah kehabisan tenaga hingga ia tak bisa melawan wanita itu. 

Mirza masih bergeming, sedikit pun tak ada belas kasihan pada Haira yang nampak menderita, namun ia pun belum ingin turun tangan meskipun sekujur tubuhnya dibakar dendam. 

Untuk saat ini ia tak bisa memikirkan apapun selain calon istrinya yang sudah menjadi mayat. Masih belum percaya dengan kejadian yang menimpanya. 

Pintu terbuka lebar. 

Mirza mendongak, menatap brankar yang didorong dari dalam, dengan posisi duduk ia menggenggam satu kaki ranjang itu hingga menghentikan langkah dokter. 

Buliran bening lolos membasahi pipi hingga jatuh ke lantai yang berwarna putih mengkilap. 

Tangannya gemetar, seakan tak sanggup untuk menatap wajah Lunara. 

Sekuat tenaga Mirza berdiri. Menyentuh kain yang menutupi tubuh Lunara. Menariknya dengan pelan, hingga menampakkan wajah pucat gadis itu. 

Mirza tergugu, air matanya mengalir semakin deras bak banjir bandang. Berjalan pelan, mendekatkan wajahnya di telinga Lunara yang kini sudah terbujur kaku. 

"Kenapa kamu tega meninggalkan aku," ucap Mirza di sela-sela tangisnya. Tangannya mengelus, mengusap lembut pipi sang kekasih.

Kenangan indah yang pernah mereka lalui. Pahit manis perjalanan cinta yang menghiasi waktu demi waktu terus terlintas di benaknya. Betapa hancur nya hati Mirza saat ini ditinggalkan orang yang paling ia cintai. 

Erkan, sang sekretaris itu maju satu langkah. Merangkul tubuh Mirza yang masih bergetar hebat. 

"Sudah, Tuan, biarkan Nona Lunara tidur dengan tenang, jika Tuan seperti ini, dia pasti akan sedih," tutur Erkan menyemangati. 

Perlahan Mirza melepaskan pegangannya. Membiarkan sang dokter membawa mayat Lunara ke ruang jenazah. 

Mirza berjalan pelan menghampiri Haira yang masih duduk bersandar di dinding dengan kepala terbenam di antara lutut dan paha. Tubuhnya yang penuh dengan luka itu membuatnya lemah, jangankan untuk berdiri, untuk bergerak saja terasa nyeri. 

Dentuman sepatu dan lantai yang semakin dekat membuat Haira terkejut. Ia menatap sepatu hitam mengkilap di depannya, lalu beralih menatap wajah pria tampan yang mematung di depannya. 

"Tuan, saya minta maaf. Ini bukan kesalahan saya sepenuhnya," ucap Haira mengiba. 

Mirza berjongkok, mengangkat dagu Haira dengan satu jarinya. Menatap tajam mata Haira yang nampak sendu. Tidak ada rasa kasihan sedikitpun melihat gadis di depannya itu. 

"Lalu kesalahan siapa, Lunara?" bentak Mirza sekencang-kencangnya hingga membuat mata Haira terpejam. Ia tak sanggup menatap mata Mirza yang menyala. 

Mirza mendorong kepala Haira dengan kasar hingga terbentur di dinding. Kembali berdiri dan berkacak pinggang. 

Dua orang polisi datang setelah mendapatkan panggilan. 

"Selamat malam, Tuan," sapa polisi pada Mirza. 

"Bawa dia!" Menunjuk Haira. "Biarkan dia membusuk di penjara," lanjutnya tanpa ragu. 

Haira menangis histeris. Meraih kaki Mirza dan merangkulnya dengan erat. 

"Tuan, saya minta maaf, jangan masukkan saya ke penjara," pinta Haira memelas, ia tak bisa membayangkan, bagaimana jika itu sampai terjadi, pastu nenek dan adiknya akan sok, bahkan dia tak bisa lagi bekerja dan menghidupi mereka. 

Mirza tak peduli dengan rengekan Haira, ia menendang gadis itu hingga tersentak ke belakang. Rok hitam selutut yang di pakai gadis itu tersingkap hingga menampakkan paha nya. Mirza memalingkan pandangannya seketika.

Tanpa menunggu waktu, dua polisi bertubuh kekar itu menarik Haira dan menyeretnya dengan paksa. Memborgol kedua tangannya seperti layaknya tahanan. 

"Erkan," panggil Mirza dengan suara berat. Matanya tak teralihhkan dari Haira yang semakin menjauh. 

"Saya, Tuan." Erkan menghampiri Mirza. 

"Kamu cari tahu siapa keluarga gadis itu. Mereka semua harus bertanggung jawab atas kematian Lunara."

Erkan menatap wajah Mirza yang sangat mengerikan. Tuannya itu bagaikan singa buas yang siap menerkam mangsanya. 

"Ba… baik, Tuan. Saya akan segera menyelidiki keluarganya." 

Setelah Erkan pergi, Ayla yang masih terisak menghampiri Mirza. Mengelus bahu lebar pria itu. 

"Kamu yang sabar, jangan biarkan gadis itu lolos begitu saja. Dia pantas mati." 

Seharusnya memang dia yang mati, bukan Lunara. 

"Saya tidak bersalah, Pak." Haira tak henti-hentinya memohon ampunan pada polisi. Ia menangkup kedua tangannya. Meminta belas kasihan pada mereka untuk membebaskannya. 

"Diam!" teriak salah satu petugas yang risih dengan suara Haira. Satu kata itu membuat Haira diam seketika. 

Nenek, tolong aku. Seandainya ada jalan lain, pasti akan aku pilih supaya aku tidak dipenjara, tapi sayang, mereka tidak mau mendengarkan penjelasanku sedikit pun, Nek. 

Haira pasrah, ia hanya mengharap ada mukjizat datang padanya. Sebab, hidupnya saat ini hanya ada di tangan satu orang, yaitu Mirza. 

Membuat surat perjanjian

Bibir Haira tak henti-hentinya memohon pada beberapa polisi yang melintas di depan sel. Memasang wajah melas dan meminta ampunan. Sepuluh jemarinya terus menggenggam rakitan besi yang mengurung dirinya saat ini. Matanya sembab dan memerah. Wajahnya layu dengan rambut yang berantakan.

"Obati luka kamu!" Seorang petugas datang membawa salep dan juga kapas. Menyodorkan ke arah Haira tanpa membuka pintu. 

Haira mengambilnya tanpa bertanya. Percuma saja, mereka tidak akan menganggapnya, apalagi mendengarkan kata-katanya. 

Bagi orang lain, dirinya bukan apa-apa. Hanya kelinci kecil yang tidak berhak untuk membela diri. Semua hanya berpihak pada mereka yang memiliki harta dan kekuasaan. 

Ia duduk lalu membersihkan setiap luka di tubuhnya. Membersihkan darah yang mulai mengering. Ternyata luka itu tak seberapa sakitnya dibandingkan dengan hatinya yang kini tersayat. 

Bagaimana nasib nenek Jubaida dan Nada sang adik, pasti mereka akan bertanya-tanya tentang kabar dirinya yang kini mendekam di penjara. Apa yang akan terjadi jika dirinya dihukum seumur hidup seperti ucapan Mirza.

"Aku harus melakukan sesuatu supaya nenek dan Nada tidak mendengar kabar ini."

Mata sembab Haira mulai menyipit. Seharusnya ini waktu nya ia beristirahat setelah seharian penuh bekerja. Namun, ia harus bergelut dengan otaknya mencari cara untuk bisa keluar dari tempatnya saat ini. 

"Pak, tolong saya!" ucap Haira untuk yang kesekian kali. 

Polisi yang berjaga hanya menatap tanpa ingin mendekat. Itu sudah biasa dilakukan semua tahanan, memohon untuk dilepaskan dengan berbagai alasan. 

"Saya tidak bersalah," lanjut Haira dengan suaranya yang semakin serak dan hampir habis. Setelah tak mendapat respon, terpaksa ia pasrah menerima nasibnya. 

Mendaratkan tubuhnya di lantai yang sangat dingin. Tidak ada alas sedikitpun  untuk menghangatkan tubuhnya, bahkan Haira memakai kedua tangannya sebagai bantal. 

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Acara pemakaman sudah usai, kini semua itu tinggal kenangan. Hari yang seharusnya bahagia berubah menjadi duka. Karangan bunga kini berbalik menjadi ucapan bela sungkawa atas musibah yang menimpa. 

Mirza memakai lagi kaca mata hitamnya lalu turun dari mobil. Mencoba sekuat hati untuk tidak meneteskan air mata. Meskipun luka itu sangat mendalam, ia harus bangkit dari keterpurukan. 

"Maaf, aku baru datang." Suara berat menyapa di depan gerbang. Seorang pria tampan dan bertubuh kekar itu berhamburan memeluk Mirza yang tampak lesu. 

"Nggak papa." Mirza menepuk bahu lebar Aslan sang sahabat sambil tersenyum paksa. Keduanya berjalan bersejajar lalu masuk, diikuti beberapa ajudan yang bertugas. 

"Aku dengar orang yang menabrak Lunara sudah tertangkap," ucap Aslan memastikan. 

Mirza menggebrak meja. Jika teringat wajah Haira, amarahnya kembali memuncak di ubun-ubun dan ingin segera menghabisi wanita itu. 

Tatapannya kembali tajam saat mengamati foto Luna yang masih terpajang di dinding ruang tamu. Senyum manis gadis itu seakan tak akan hilang dalam ingatan. 

"Aku akan menghabisinya secara perlahan, dia harus merasakan apa yang aku rasakan saat ini." Mengepalkan kedua  tangannya dengan mata yang tak berkedip. 

Aslan merinding mendengar perkataan itu, tubuh Mirza seperti dirasuki setan yang terkutuk hingga tak punya belas kasihan. 

"Permisi, Tuan," sapa Erkan yang baru saja tiba. 

Hemmm 

Hanya itu jawaban Mirza  saat membuka kacamatanya. 

"Nama gadis itu Haira, asalnya dari pinggiran kota dan bekerja di pabrik garmen milik, Tuan. Dia tinggal dengan nenek dan juga adiknya, saat ini ia menjadi tulang punggung keluarga. Mereka hanya keluarga miskin dan tidak punya apa-apa."

Apa yang bisa dihancurkan selain tubuh dan harga dirinya.

Mirza tersenyum licik mendengar penjelasan dari Erkan. 

Mirza menyungutkan kepalanya ke arah ruang kerja. Setelah Erkan pergi, Mirza pun beranjak dari duduknya meninggalkan Aslan. Mengikuti langkah sang sekretaris. 

"Apa yang ingin Anda lakukan, Tuan?" tanya Erkan setelah menutup pintu. 

Mirza berdiri di depan jendela dengan kedua tangan dimasukkan ke kantong celana. Memunggungi Erkan yang ada di belakang pintu. 

Tidak ada yang sulit bagi Mirza, apapun bisa ia kendalikan, termasuk hidup Haira. Namun, ia akan mencari cara yang tepat untuk semua itu. 

"Aku akan menikahinya." 

Seketika Erkan membulatkan mata. Dadanya bergemuruh dengan detak jantung tak karuan. Entah apa yang akan dilakukan Mirza, Erkan mempunyai firasat yang buruk. 

"Ap… apa maksud, Tuan?" tanya Erkan terputus, bahkan ia meraih tisu yang ada di meja untuk mengusap peluh yang kian deras menembus pori-porinya. 

"Buatkan surat perjanjian, dan tulis secara terperinci. Setelah dia menikah denganku, maka dia adalah milikku. Jika dia setuju, aku akan membebaskannya dari penjara. Tapi jika tidak, dia akan menghabiskan hidup di bui untuk selama-lamanya." 

Ada senyum  mengerikan yang mengembang di sudut bibir Mirza, Erkan tahu maksud dari semua itu, namun ia tak bisa mencegah ataupun menghindar. 

Surat perjanjian hitam di atas putih sudah di buat. Erkan menulis sesuai keinginan Mirza. Ia membaca dengan lantang tulisan acara pernikahan yang berkedok hukuman itu. 

"Poin terakhir, dengan ini aku menyerahkan seluruh hidupku untuk Tuan Mirza." Suara Erkan terdengar begitu lantang hingga menggema di seluruh ruangan. 

Mirza tertawa keras. Peraturan itu membuatnya puas, bahkan belum apa-apa pun dirinya sudah yakin jika Haira akan memilih nya. 

Suara ketukan pintu menghentikan perbincangan Mirza dan Erkan. Sang sekretaris membuka pintu menatap gerangan yang datang. 

"Ngapain kamu ke sini? Tuan Mirza tidak mau diganggu," sapa Erkan ketus. 

"Aku hanya mengantarkan ini." Menunjukkan secangkir  kopi hitam di tangannya. 

Erkan melebarkan pintunya membiarkan wanita itu masuk. 

"Maaf, Kak. Bukan maksudku mengganggu, aku hanya tidak ingin kamu larut dalam kesedihan."

Mirza mengangkat tangannya. "Keluar dari sini, aku tidak ingin bertemu siapapun, termasuk kamu," usir Mirza dengan nada sinis.

Mau sampai kapan kamu membenciku, Za. Tapi aku tidak akan tinggal diam, sekarang aku memang belum mendapatkan kamu, tapi nanti, aku yakin kamu akan bertekuk lutut padaku. 

Wanita itu meninggalkan ruangan dengan hati kesal.

"Arini," sapa seseorang yang ada di balik tangga. 

Ya, wanita tadi adalah Arini. Dia adalah sepupu Mirza, namun juga sangat mencintai sang kakak. Bahkan cintanya tak surut meskipun Mirza sudah hampir menikah. Bagi Arini, Mirza bukan milik siapa-siapa, termasuk Lunara. 

"Ayla, ngapain kamu ke sini?" tanya Arini menghampiri Ayla yang ada di ambang pintu. 

Aslan yang belum pergi pun hanya menatap kedua wanita itu.

"Aku mau bertemu dengan Mirza. Aku mau memberikan ini." Menggenggam sebuah kotak putih di tangannya. 

Arini hanya menatap tanpa ingin menyentuhnya. 

"Apa itu?" tanya Arini menyelidik. Menatap benci pada setiap wanita yang mendekati kakaknya.

"Hanya ucapan bela sungkawa, dengan ini aku yakin Mirza akan cepat melupakan Lunara."

"Berikan padaku, biar aku saja yang memberikan pada kak Mirza, sekarang dia sedang istirahat." 

Terpaksa Ayla memberikan kotak itu dengan berat hati. 

Pilihan dari Mirza

"Nona Haira, ada yang ingin bertemu dengan, Anda." Seorang polisi cantik membuka pintu sel. 

Haira tersenyum lebar. Merapikan rambutnya yang berantakan. Banyak tanda tanya dengan gerangan yang ada di luar sana. 

Siapa yang ingin bertemu denganku? 

Itulah pertanyaan yang seketika membuat jantungnya berirama lebih cepat. Hatinya gelisah dengan kasus yang membelitnya saat ini. Ia berjalan pelan mengikuti polisi menuju ruang pertemuan. Meskipun dipenuhi keraguan, tetap saja yakin akan mendapat jalan keluar. 

Langkahnya berhenti di belakang pintu. 

"Silakan duduk!" titah polisi itu lalu keluar dan menutup pintu. 

Haira menatap punggung pria yang sudah duduk di ruangan itu. Dilihat dari penampilannya yang memakai jas hitam, dia bukan orang sembarangan. Bahkan jam tangan mewah yang terlihat itu menandakan bahwa yang ingin menemuinya adalah orang terpandang. 

"Tuan ingin bertemu dengan saya?" tanya Haira gugup. Ia hanya berdiri di samping meja dengan kedua tangan terpaut. Matanya mengarah pada beberapa map yang ada di depan pria itu. Wajahnya tidak terlalu asing. Akan tetapi, Haira lupa dengan sosoknya. 

"Panggil saya Erkan," pintanya. 

"Ba… baik, Tuan Erkan."

Haira masih dengan kegugupan nya lalu duduk di bangku kosong. Berhadapan langsung dengan pria itu. 

Apa dia orang suruhan Tuan Mirza, tapi mau apa ke sini?

Haira menyembunyikan kedua tangannya di bawah meja. Seluruh tubuhnya dipenuhi dengan keringat dingin saat Erkan mulai membuka map nya. 

"Tuan Mirza memberikan pilihan pada Anda, Nona." Menyerahkan dokumen itu beserta pulpen pada Haira yang masih menundukkan kepalanya. 

"Apa ini?"

Haira hanya diam, tangannya semakin gemetar saat ia menangkap tulisan menikah. 

"Silakan di baca! Jika Anda setuju, tanda tangan. Jika tidak, saya tidak memaksa." Erkan membuka yang satunya lagi hingga genap tiga map menjadi hidangan pertemuan mereka. 

Haira menelan ludahnya dengan susah payah. Mulai membaca surat perjanjian yang mencangkup beberapa poin namun menjurus dengan satu tujuan. 

"Tuan Mirza mau membebaskan saya?" tanya Haira dengan tersenyum. Ia belum membaca keseluruhan tulisan itu, namun dadanya sedikit lega setelah membaca  pernyataan bahwa Mirza akan membebaskan dan mencabut tuntutannya. 

"Tapi ada syaratnya." Erkan menunjuk satu map yang belum Haira baca. 

"Apa?" tanya Haira polos, dia belum tahu jika orang di hadapannya itu sebelas dua belas dengan Tuannya, yaitu tidak menjawab pertanyaan sembarang orang, apalagi dirinya. 

Haira membaca satu persatu syarat yang ditentukan Mirza lewat tulisan itu. 

"Menikah? Saya harus menikah dengan Tuan Mirza?" Seketika Haira menutup map nya tanpa ingin melanjutkan. "Saya tidak mau," tolak Haira mentah-mentah. 

Erkan menutup map nya kembali. Ucapan Haira seakan meremehkan keinginan Mirza, dan itu kesalahan yang sangat besar. 

"Kalau begitu silahkan menikmati sisa hidup Anda di penjara. Ini adalah kesempatan pertama dan terakhir, dan saya harap Anda tidak menyesal sudah menolak permintaan Tuan Mirza."

Deg 

Jantung Haira berdegup nyeri. Wajah tua sang nenek terlintas di depannya. 

Jaga diri baik-baik, Ra. Kota itu sangat kejam. Kamu pergi dalam keadaan sehat, dan harus pulang dalam keadaan yang sama. 

Bagaimana jika nenek tahu aku di penjara seumur hidup. 

Sakit tak berdarah, untuk yang kesekian kali Haira memikul beban berat dalam hidupnya. Setelah kehilangan kedua orang tuanya dan menjadi tulang punggung, kini harus menghadapi beban yang lebih sulit daripada itu. 

Suara dentuman sepatu dan lantai semakin menjauh. Haira menitihkan air mata. Hatinya berat untuk menerima, namun bibirnya harus mengucap, itu bukan sebuah pilihan, namun penekanan yang sadis. 

"Baiklah, Tuan. Saya akan menerima syarat dari tuan Mirza," ucap Haira dengan bibir gemetar. 

Erkan menghentikan langkahnya tanpa membalikkan tubuhnya. 

"Anda yakin?" tanya Erkan tanpa menatap. 

Setidaknya aku masih bisa bertemu nenek dan menghirup udara di luar. Nada masih membutuhkanku, dia harus sekolah yang tinggi. 

"Yakin, Tuan," jawab Haira mengusap air matanya yang lolos membasahi pipi. 

Erkan kembali dan menyodorkan pulpen. Tanpa membacanya kembali, Haira menanda tangani beberapa map itu. Ia memantapkan hatinya, meskipun belum tahu apa yang dihadapi, setidaknya lepas dari jeruji yang orang bilang sangat menakutkan. 

"Anda sudah tanda tangan. Itu artinya Anda tidak bisa mundur dan sudah siap menjadi istri tuan Mirza dan menerima semua syarat darinya. Silahkan ikut saya!"

Erkan melangkah keluar. Diikuti Haira dari belakang. 

Setibanya di parkiran, Erkan memanggil salah satu sopir utusan Mirza untuk mengantarkan Haira terlebih dulu. Ia merogoh ponsel di saku jas lalu meletakkan di telinganya. 

"Semua sudah beres, Tuan. Haira menuju ke rumah Anda. Sekarang apa yang harus saya lakukan?" tanya Erkan menanti perintah selanjutnya. 

"Siapkan pernikahan!" titah seseorang dari seberang sana. 

Erkan menutup sambungannya lalu melajukan mobilnya. 

"Silakan turun, Nona!" Supir yang mengantarkan Haira membuka pintu mobil untuk gadis itu. 

Haira turun. Menatap sebuah bangunan yang ada di depannya. 

Matanya hampir tak berkedip, takjub dengan bangunan itu. Bahkan tiga bulan tinggal di kota, ini pertama kalinya ia melihat rumah semewah itu. 

"Ini rumah siapa, Pak?" tanya Haira, matanya masih menyusuri setiap sudut bangunan yang dipenuhi dengan ornamen yang megah dan elegan. 

"Rumah tuan Mirza, silahkan masuk! Anda sudah ditunggu di dalam."

Ternyata ini rumah tuan Mirza. 

Dua orang wanita cantik menghampiri Haira. Mereka tersenyum namun tampak tegas. 

"Mari ikut kami!" sapa mereka dengan lembut. 

Haira hanya mengikuti tanpa bersuara. Berhenti di ruangan depan. Tempat yang pertama kali Haira injak namun sudah membawa aura yang menakutkan. 

Apa Tuan Mirza serius akan menikahiku? Tapi bagaimana bisa? Bukankah dia sangat membenciku. Apa maksud dari semua ini?

Hati Haira mulai tak tenang. Wajahnya menciut saat melihat sosok Mirza yang baru saja turun dari arah tangga. 

Pria dengan bola mata biru dan hidung mancung itu menghentikan langkahnya di sudut tangga. menatap Haira dengan tatapan tajam. 

Meskipun jarak jauh, Haira bisa melihat kebencian di mata pria itu untuk dirinya.

Semua sudah terpahat di otaknya. Setelah menjadi istri Mirza, ia harus melakukan kewajibannya kecuali tidur bersama.

Erkan datang, berjalan melewati tubuh layu Haira. Mendekati Mirza dan berbicara pelan, bahkan Haira pun tak bisa mendengarnya. 

Tersenyum tipis yang tak bisa diartikan. Ruangan itu nampak mencekam saat Erkan kembali mendekatinya. 

"Siapkan diri, Anda. Jangan sampai mengecewakan Tuan Mirza. Karena setelah menikah, Anda harus mematuhi semua perintahnya. Anda tidak berhak menolak atau membantah, ingat itu." 

Ini benar-benar bukan mimpi, sebentar lagi aku akan menikah dengan orang yang tidak aku kenal. Demi nenek aku akan menjalaninya. Semoga pilihanku tepat dan bisa lepas dari masalah ini. 

Masih mematung di tempat. Haira lagi-lagi melihat orang asing yang keluar dari arah ruangan yang berbeda. Gadis cantik dengan rambut sebahu serta memakai baju seksi itu mendekati Mirza. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!