Disebuah lorong lantai 11 perusahaan Nugraha group, seorang wanita sedang mengempel lantai sambil bernyanyi.
Iwak peyek, iwak peyek nasi jagung,
sampe tuek, sampe nenek,
trio macan tetap disanjung.
Iwak peyek, iwak peyek nasi gule,
sampe tuek, sampe nenek,
trio macan tetep ok...
Sementara itu dua orang laki-laki sedang berjalan dengan terburu-buru.
"Jam berapa miting akan dimulai?" tanya Seno pada asistennya. Ya.., dia Seno Nugraha(29), CEO perusahaan Nugraha Group.
"15 menit lagi Tuan," jawab Tansel, asisten Seno.
"Ok. Masih ada waktu buat ngop... Awwk!!!"
Bruaak...
"Tuan! Anda baik-baik saja?" tanya Tansel, saat Seno terjatuh di lantai yang baru saja selesai di pel.
Tansel membantu Seno berdiri.
"Aw...aw...aww!! Kurasa tulang b*kongku remuk," aduh Seno, lalu berdiri sambil meremat b*kongnya yang sakit.
Sintia Tanesja(20), gadis yang sedang mengepel itu pun kaget, saat melihat bos besar di sebelahnya sedang di lantai dengan terduduk.
"Kau!" bentak Seno pada Sintia.
"Tuan, miting akan segera di mulai," Selah cepat Tansel.
"Kau! Membelanya?" Seno mengerutkan dahinya.
"Ma-maaf Tuan, saya hanya mengingatkan."
"Buat jadwal baru untuk miting, aku ngak mau pergi dengan keadaan begini." Seno mengalihkan pandanganya.
"Dan kau, akan mendapat hukumanmu!" ujar Seno pada sintia dengan tatapan tajamnya.
Mereka kembali berjalan kearah ruangan Seno, dengan Seno yang berjalan sedikit membukuk sambil memegang b*kongnya
"Haha...ha...ha..." Sintia tertawa saat melihat gaya berjalan Seno.
"Dasar cewek si-Alan!" Umpat Seno yang mendengar tawanya.
"Alan siapa Tuan?" Tanya Tansel tak mengerti.
"Bod*h..!" Kesal Seno karna si asistennya tak mengerti.
Seno dan Tansel masuk dan duduk di sofa.
"Tuan, apa sebaiknya aku panggilkan dokter saja?" tanya Tansel sedikit khawatir dengan keadaan Seno.
"Tidak perlu! Sekarang kau ke HRD ambil berkas wanita tadi!" titah Seno.
"Tuan, apa kau akan memecatnya?"
"Tidak ada urusannya denganmu!" bentak Seno.
"Maaf Tuan. Akan segera saya ambilkan." Tansel berjalan ke arah pintu keluar.
*
Di pantri Sintia sedang duduk dengan temannya sesama OG. "Eh Tia, trus gimana sih kejadiannya sampe lo kena marah sama 'ntuh bos tuan?" tanya Tina, teman Sintia.
"Yah... gimana? Orang bukan gue yang salah, tuh orangnya yang emang dasar g*blok. Udah tau lantai lagi di pel, eh... Jalan seenak jidatnya. Jatohkan!" jawab Sintia dengan gaya bicaranya.
"Yah... Elu kagak takut gitu kalau sampe di omelin? Loe tau ngak, itu tuh bos besar di perusahaan ini, dia itu CEO kita, mana tampan lagi, kan kasian jatoh pasti sakitnya 'ntuh disini." ucap Tina sambil menunjuk dadanya lebay.
"Eh, o'on! Yang jatuh tuh, yang nyium lantai itu b*kongnya bukan hatinya yang muntah!" Kesal Sintia sambil menimpuknya dengan handuk kecil di bahunya.
"Eh... kirain. 'Kan malu tuh, kalo dilihat orang."
"Hahaha.....ha....ha...." tiba-tiba Sintia tergelak tawa sampai terbahak-bahak.
"He.., napa lue? Sambet ya...." Tina bergidik ngeri karna Sintia tiba-tiba tertawa.
"Enak aja.., iman gue kuat kali! Setan jauh-jauh mah gue! Ngak berani deketnya. Kalo tuh setan berani berani deket-deket, gue timpuk pake ayat kursi. Suara guekan merdu." bangga Sintia
"Lah.. Trus lue kenapa ketawa sendiri? Kaya orang kesurupan aja."
"Gue tuh ingat kejadian tadi, haha...ha..." jawab Sintia sambil tertawa.
"Nah tuh kan, ketawa lagi. Trus kenapa lue ketawa kayak orang kerasukan gitu?" tanya Tina penasaran.
"Hahaha... okok. Gue ngomong, Lue tau kagak?" Sintia mulai bercerita.
"Kagak," potong Tina.
"Makannya degerin, jangan main potong aja," kesal Sintia. "Lue tau, gue ketawa itu gara-gara ingat gaya berjalannya tuh orang. Pas tadi gue lihat dia berjalan, gue langsung terbahak. Lue tau gaya berjalannya gini-gini, haha....haha..." lanjut Sintia Sambil mempraktekkan gaya berjalan Seno tadi.
"Haha....ha...ha...." Tina ikut tertawa gara-gara melihat gaya Sintia yang begitu lucu saat memperagakan gaya berjalannya.
Disela tawa mereka seorang pria sedang memperhatikan apa yang mereka bicarakan. Tanpa mereka sadari dia memperhatikan tingkah mereka sambil senyum-senyum sendiri karna menganggap mereka konyol, tapi tak bisa di pungkiri saat dia mengingat kejadian itu memang sangat lucu juga untuknya. Ya... dia Tansel yang sedari tadi memperhatikan mereka mengobrol.
"Ehem-ehem...." Tansel berdehem untuk mengalikan perhatian mereka.
Sintia dan Tina kaget saat melihat Tansel bersandar di pintu dan sedang memperhatikan mereka, dengan gaya sintia yg masih memegang bokong saat memperagakan gaya Seno tadi, dan Tina langsung menutup mulut dengan kedua tangannya.
'Wuah, apa malaikat turun ke bumi.' batin Tina, Sambil mengedip-ngedipkan matanya terpana dengan ketampanan Tansel yang bak Oppa-oppa korea menurutnya.
Sedangkan Sintia langsung memposisikan dirinya dengan baik
'Mampus gue.' batin Sintia.
"Maaf Tuan. Apa Anda perlu sesuatu?" tanya Sintia dengan perasaan was-was, takut kalau Tansel mendengar pembicaraan mereka.
"Kau Sintiakan?"
"I-iya Tuan." jawab Sintia kalud.
"Kau keruangan Bos, sekarang." jawab Tansel tanpa basa-basi.
"B-baik Tuan." jawabnya dengan terbata.
"Tamatlah riwayat gue... huhuhu...' batin Sintia menangis, takut kalau sampai di pecat.
"Dan kau.." Tansel bicara menghadap ke arah Tina
"Ya... Tuan" Tina mengangkat kepala melihat Tansel tanpa berkedip 'ya alloh... ngak kuat. boleh ngak sih gue karungin trus dibawah pulang' batin Tina.
"Buatkan kopi, antar keruangan saya."
Tina masih bergeming menatap Tansel dengan bangga. "Awwwk!" aduh tina saat keningnya di sentil oleh Tansel.
"Woy! Denger nggak sih?" kesal Tansel pada Tina.
"Baiklah." Jawab Tina langsung mengambil gelas untuk menyeduh kopi. Saat Tansel berbalik ingin keruangannya. "Eh tuan, jangan galak-galak ntar tumbuh keriput loh!" kata Tina pada Tansel tanpa rasa takut.
"Apa kamu bilang?" Tanya Tansel yang sebenarnya mendengar ucapan Tina.
"Eh, enggak Tuan. Saya bilang nanti saya antarkan kopinya." Alasan Tina.
Tanpa peduli Tansel kembali berjalan menuju keruangannya. Di perjalanan ia terus memikirkan kata-kata Tina. "Emang keriput bisa tumbuh? Setahuku yang tumbuh itu jerawat bukan keriput.' Batin Tansel bertanya pada diri sendiri. "Dasar memang cewek-cewek si-Alan! Semuanya nggak beres!" umpat Tansel.
"Kok gue jadi ikut-ikutan si Tuan Bos, ah dasar lama-lama gue bisa gila. Akh!" Tansel kesal sambil mengacak-acak rambut sendiri.
Sementara Sintia berjalan menuju ruangan Seno sang tuan besar. Jarak antara pantri dan ruangan Seno sekitar 60 meter, tapi Sintia sangat lama untuk mencapai ruangan itu, sambil memikirkan apa yang akan terjadi padanya.
'kira-kira gue di pecat ngak ya...?
atau gue disuruh bayar biaya pengobatannya!!
Huhu...hu... abis dong gaji gue, mana belum bayar kontrakan lagi, bisa tinggal kolong jembatan gue... huwaw..... abis deh gue,' aduh batin Sintia. Tak terasa dia sudah sampai di depan pintu.
Tok...tok...tok...tok...
.
.
.
Selamat membaca🤗
Tok...tok...tok...tok...
"Masuk!"
Ceklek
"Kenapa denganmu, apa ada sesuatu di wajah saya? Sudahlah, Saya tau wajah saya tampan, jadi tidak perlu menatapku seperti itu." Jawab Tansel narsis.
"Maaf ya, Tuan. Saya cuma mau mengantarkan kopinya Tuan. Lagian ya, saya menatap Tuan itu bukan karna tampan, tapi saya lihat diwajah Tuan sudah mulai tumbuh keriput, jadi jangan kepedean deh, Tuan." ucap Tina yang kesal dengan Tansel yang dianggap narsis.
"Haa!" kaget Tansel dengan perkataan Tina.
"Permisi Tuan, saya kembali bekerja dulu." Sambil membunggkukkan badan dan keluar dari ruangan Tansel dengan cengengesan karna melihat wajah Tansel yang kesal padanya.
Ruangan Tansel dan Seno hanya bersebelahan. Ketika Tina keluar dia melihat Sintia yang berdiri di depan ruangan Seno.
"Woy... kesambet loe, ngelamun aja. Udah masuk aja." tegur Tina.
"Eh! Kagetin aja sih loe, hampir saja gue timpuk lue pakai jurus seribu bayangan." Sintia kaget saat seseorang memegang bahunya. "Na, temenin gue yuk masuk," ajak Sintia.
"Udah, loe masuk aja. Yakin nggak akan terjadi apa-apa, seperti yang di pikiran loe."
"Tapi Na...."
"Udah, loe yang yakin dong. Gue slalu ada di pihak loe kok. Gue bantuin ketok pintu ya." tutur Tina dan mengetuk pintu ruangan Seno.
Tok...tok...tok...tok...
"Masuk!" suara dari dalam ruangan.
"Si-si-ang Tuan. Apa anda memanggil saya?"
Seno menutup laptopnya saat melihat wanita yang dipanggilnya tadi. Dia berjalan kearah sofa, duduk sambil memangku sebelah kakinya.
"Sintia!"
"I-iya Tuan."
"Duduk!" pinta Seno. "Haish, kenapa kau duduk disitu?" Seno menurunkan sebelah kakinya dan meninju angin karna keluguan wanita ini, yg bukan duduk di sofa tapi di lantai.
"Trus, saya harus duduk di mana Tuan?"
"Tuh, duduk di situ." pinta Seno dengan mengacung jarinya ke arah sofa depan.
"Oh... bilang dong, dari tadi kek."
"Haa!" Seno menganga karna gaya bicaranya.
"Kamu tau..." ucapan Seno terputus saat Sintia menyelahnya.
"Mana saya tau Tuan!"
"Ya makannya dengerin dulu, jangan main potong aja!" kesal Seno.
"Oh!"
"Huuu!" kesal Seno sambil meninju-ninju lengan sofa yg didudukinya.
"Kenapa tuan?" tanya Sintia bingung.
"Akh! Kamu tau... stop!" Sambil mengangkat lima jarinya saat Sintia akan bersuara. "Jangan bicara, biar saya selesaikan!" Sintia hanya mengangguk.
"Saya punya penawaran buat kamu dan pilihannya cuma satu!" ujar Seno. Tiba-tiba Sintia melupakan ketegangannya tadi sebelum masuk.
"Ya Tuan, itu namanya bukan penawaran, tapi pemaksaan!" ucap Sintia.
"Saya tidak memaksa!" timpal Seno.
"Yeh.., Tuan dimana-mana itu orang kalo mau ngasih penawaran itu setidaknya pilihanya lebih dari satu." bantah Sintia.
"Tidak! Di sini pilihan kamu cuma satu, yaitu setuju!" ucap Seno lagi.
"Ha.., sudalah! Terus pilihan saya apa?" tanya Sintia.
"Kamu harus ikut dengan saya dan menjadi calon istri saya!" jawab Seno sambil tersenyum.
"Apaa!!" pekik Sintia kaget.
"Husst..." Seno berdiri sambil meletakkan jari telunjuknya di bibir Sintia. Saling menatap dari mata kemata seakan terpesona dengan pandangan masing-masing. 'Tik tok tik tok' suara jam dinding, tak berapa lama kemudian mereka tersadar.
"Eh..," Sintia dan Seno menjadi salah tingkah.
"Duduk!" pinta Seno.
Sintia duduk dan sambil menggosok-gosok telinganya. "Tuan, saya salah dengar ya. Ini kuping minta operasi kali?"
"Tidak ada masalah dengan pendengaranmu, itu benar dan kamu harus setuju!" jawab Seno membenarkan.
'Duh gimana nih, gue harus cari alasan.' batin Sintia.
"Tapi Tuan, saya sudah punya pacar!" ucap Sintia.
"Belum nikahkan?" selah Seno.
"Haa! B-belum Tuan."
"Ya sudah, sekarang kamu calon istri saya!" ucap Seno tak mau di bantah.
"Yaak!! Nggak bisa gitu dong Tuan!" Sintia berdiri dan berteriak kepada Seno.
"Kok, kamu teriak? Nggak baik sama calon suami begitu, harus sopan." ujar Seno.
"Haa!" Sintia shock dengan perkataan Seno.
"Tuan, saya nggak mau ya!" Sintia menolak.
"Saya sudah bilang pilihan kamu cuma satu, mau nggak mau, suka nggak suka, kamu harus setuju!" ujar Seno.
'Gimana nih. Apa sih, maunya nih orang kok maksa banget? Pasti ada sesuatu!!!' batin Sintia.
"Haish..." Sintia berdiri dan pamit. "Huu... saya permisi Tuan." Hendak pergi.
Tiba-tiba tangannya ditarik oleh Seno masuk dalam pelukannya, memegang erat pinggang Sintia dengan tangan kirinya dan tangan kanan mengunci pergerakan Sintia yg hendak memberontak. Mata mereka saling memandang dalam, sepersekian detik kemudian
cup cup cup
Seno mengecup bibir Sintia, bukan hanya sekali tapi berkali-kali, berpikir agar Sintia akan terbuai dengan perbuatannya tapi tiba-tiba Sintia berontak dan...
*P***lak**....
Suara tamparan menggelegar di ruangan itu. Seno melotot, Sintia menamparnya. Seno merasa tak percaya. 'Wanita ini, dia menamparku.' batin Seno.
Disisi Sintia, dia merasa sedikit takut dengan apa yang dilakukannya. Ya, dia takut kalau sampai dia di pecat, karna sesungguhnya dia sangat membutuhkan pekerjaannya sekarang, walau gajinya sedikit tapi bisa menghidupi dirinya dan membayar kontrakkan yang dia tinggali sekarang.
"T-Tuan.."
"Maaf!" Selah Seno yang seperti tau apa yang ingin di ucapkan Sintia, melihat raut wajah Sintia yang sedikit ada ketakutan. "Tapi kamu tetep tidak bisa menolak." lanjut Seno.
"Ha... Tapi Tuan, bagaimana dengan pacar saya?" Karna yang sebenarnya Sintia memang sudah memiliki pacar.
"Masih pacar 'kan, bukan suami? Putuskan dia! Bilang kamu mau menikah." jawab seno, yang terdengar seperti perintah.
"Tuan, tapi saya belum siap untuk menikah." bantah Sintia.
"Sudah saya bilang pilihan kamu cuma satu, SE-TU-JU." Sambil mengeja kata setuju pada Sintia.
"Haish... Tuan, anda tidak tau apa-apa dengan kehidupan saya, dan anda dengan segampang itu mau menjadikan saya calon istri."
"Saya tidak peduli..." balas Seno.
"Tuan, Anda akan menyesal nanti. Kalau menjadikan saya sebagai istri Anda." Jelas Sintia.
"Tidak, saya tidak akan menyesal!" balas Seno, yang menyangka kalau Sintia hanya mencari-cari alasan.
"Apakah sudah selesai Tuan?"
"Hemm.."
"Hemm, apa maksudnya Tuan, Saya tidak mengerti?"
"Iya, sudah selesai. Tapi pulang nanti kembali ke mari dan pulangnya harus dengan saya. Tidak ada penolakan!"
"Ya, baiklah." Sintia hanya bisa menerima, karna pria didepannya tidak bisa dibantah.
Sintia keluar, berjalan menyusuri lorong tanpa tau tujuannya. Hatinya galau tidak tahu apa yang harus di lakukan. Rasanya dia ingin lari saja, tapi kemana? Tidak ada tujuan.
Bugh
"Ah! Maaf, Mbak!" Sintia tercengaang saat melihat seorang wanita cantik, tinggi, body aduhai sexy.
"Hey... Jalan pake mata!" bentak wanita itu.
"Maaf, Mbak." jawab sintia sambil menangkup kedua tangan di dada.
Tanpa peduli wanita itu berjalan menuju masuk ruangan Seno.
"Dasar Playboy, udah punya kekasih masih mau tambah lagi." kesal Sintia yang melihat wanita itu masuk keruangan Seno.
"Woy! Napa lue?" Tina menepuk bahu Sintia.
"Eh.. Ngagetin aja sih!"
"Lue kenapa? Eh... kok loe lama di ruangan bos besar tadi? Loe ngak di apa-apainkan? Atau loe lagi yang ngapa-ngapain tuh bos bos besar." Cecar Tina dengan jiwa keponya.
"Eh.. Enak aja!! Fiktor loe. Dan loe kalo nanya itu satu-satu, mulut gue cuma satu kali buat ngejelasinnya. Tapi nanti deh gue cerita sama loe. Pikiran gue sekarang lagi jalan-jalan nggak di tempat nih." jawab Sintia.
****
Diruangan Seno, dia sedang bertengkar dengan seorang wanita.
"Apa maumu Hanny?" bentak Seno.
.
.
.
.
By... By..,
Diruangan Seno, dia sedang bertengkar dengan seorang wanita.
"Apa maumu Hanny?" bentak Seno.
"Seno, aku masih istrimu. Aku ingin mengajakmu pulang." jelas Hanny
Hanny Camelia, istri dari Seno Nugraha. Awal pernikahan mereka sangat bahagia, Seno pun sangat mencintai Hanny. Semua kemauan Hanny diturutinya. Sampai pada tahun kedua mereka belum mendapatkan keturunan, akhirnya mereka konsultasikan kedokter. Beberapa minggu kemudian Hanny kecelakaan dan di rawat dirumah sakit, akhirnya Hanny di nyatakan hamil 2 minngu. Tapi pada saat itu juga Seno menerima hasil pemeriksaannya dari dokter yang berkonsultasi dengannya Hanny dan bagai di sambar petir Seno saat dia membuka amplop yang di berikan dokter itu, Seno dinyatakan mandul.
Sempat tidak terima dengan apa yang dinyatakan dokter itu, dia pun memeriksakan dirinya lagi ke dokter lain, Namun hasilnya tetap sama dan pada saat itu juga Seno memberi talak pada Hanny, tapi Hanny tidak mau menerimanya, surat perceraian pun sudah Seno layangkan kepadanya tapi dia tidak menandataganinya.
"Tidak, kau bukan istriku lagi." bentak Seno kembali.
"Seno, aku tidak mau menandatangi surat itu, dan aku juga sedang hamil, jadi talak yang kau berikan itu tidsk sah!" sarkas Hanny. Usia kandungan Hanny sudah memasuki minggu kelima, dia tidak mau sama sekali untuk berpisah dari Seno.
"Kau ingin aku membuktikan bahwa talak itu sah!" hardik Seno
Seno memang tak pernah memberitahu Hanny perihal kemandulannya, dia akan memberi tahu Hanny saat mereka resmi bercerai. Lelaki yang menghamili Hanny pun tak pernah di cari tahunya, biarlah Hanny mengurus sendiri pria itu setelah mereka resmi bercerai.
"Coba saja!" tantang Hanny.
"Ck, sebaiknya kau pergi dari sini Han," usir Seno.
Hanny mendekat ke arah Seno, duduk di pangkuannya dan mengalungkan tangannya di leher Seno dan membelai wajah Seno. "Dulu kau tak pernah mau jauh dariku Sen..." Kata Hanny sambil menenggelamkan kepalanya di leher Seno. "Kau selalu romantis, tak pernah kasar dan selalu menomor satukan aku. Tapi sekarang, kau berubah." Hanny sampai menitikan air mata.
"Pergilah, Han. Aku tidak mau kasar padamu." Seno masih mencintai Hanny, tapi bagi Seno penghianatan yang Hanny lakukan, dia tidak bisa menerima hal itu.
"Tapi Sen, aku sangat mencintaimu." Sesungguhnya Hanny sangat mencintai Seno, dan tidak akan pernah mau berpisah dari Seno. "Katakan Seno, bahwa kau mencintaiku," pinta Hanny.
Seno menutup matanya dan mendongakkan kepalanya. Terasa sesak didadanya kala ia harus bertanya 'anak siapa yg dikandungnya' tapi pertanyaan itu hanya sampai di lubuk hatinya. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakannya.
"Hanny, pergilah," ucap Seno.
"Tidak, aku tidak akan pergi."
"Hanny!" bentak seno.
Hanny berdiri. "Kau berubah Sen, kau berubah." Air mata Hanny jatuh semakin deras, kemudian berlalu dari ruangan Seno. Seno hanya menatap punggung Hanny yang keluar dari ruangannya.
Sungguh perasaan Seno sekarang tak bisa digambarkan, disatu sisi dia masih mencintai Hanny, namun disisi lain dia tak bisa menerima penghianatan Hanny.
tok tok tok tok
Suara ketukan pintu, setelah beberapa saat Hanny pergi.
"Masuk"
"Tuan, ini berkas kerjasama sama dengan perusahaan Candramas." ucap asisten Tansel.
"Ah iya, taruh saja disitu."
"Tuan apa ada masalah? Saya lihat tadi nona Hanny keluar dari ruangan anda." tanya Tansel yang melihat wajah masam bosnya.
Tansel menjadi asisten Seno sudah 7 tahun lamanya, jadi dia tahu seluruh kejadian yang terjadi pada Seno termasuk kemandulannya. Bahkan Seno sudah menganggap Tansel seperti adiknya sendiri, sebab Tansel lebih muda 1 tahun darinya.
"Ya.. Biasalah Hanny ingin aku pulang kerumah. Tapi, kau tau sendiri bahwa aku tidak bisa serumah lagi dengannya, huuf..." Seno membuang nafas kasar. "Aku tak bisa tinggal serumah dengan penghianat itu." lanjut Seno.
"Kenapa kau tidak jujur saja, Tuan?" imbuh Tansel
"Tidak Tansel, dia akan mengetahui pada waktunya."
"Terserah Anda, Tuan. Semoga semua yang terbaik."
Tok tok tok tok
"Tuan," sapa Sintia.
"Ah iya. Tansel bereskan semuanya kita akan segera pergi." pinta Seno, langsung berdiri dari duduknya.
"Baik Tuan. Saya permisi." pamit Tansel, segera keluar dari ruangan Seno.
Seno berjalan mendekati Sintia.
'Mau apa nih orang' batin Sintia was-was. "Tu..an, kalau boleh tau, kita akan kemana setelah ini?" tanya Sintia.
Seno berbalik dan mengambil tas kerjanya. Sebenarnya dia hanya mengetes Sintia saja, melihat Sintia yang sedikit takut dia mengakhiri jaimnya pada Sintia. "Kau ikut saja, tidak usah bertanya. Tugasmu hanya menuruti perintahku."
"Tapi, tidak yang aneh-aneh, kan Tuan?"
"Tenang saja, saya tidak akan menyuruhmu gantung diri," jawab Seno. "Ayo cepat."
"Haa..." Sintia kaget dan langsung mengekori Seno dari belakang. Apa-apaan dia? Tidak akan menyuruhku gantung diri, Jangan-jangan dia akan menyuruhku lompat ke dalam jurang, hii...' Sintia bergidik dengan batinnya sendiri.
Tansel sudah menunggu Seno di depan ruangannya sendiri.
"Ayo!" ajak Seno pada Tansel.
"Silakan Tuan." Tansel langsung mengikuti langkah Seno. Mereka berjalan beriringan menuju lift khusus dengan Seno di depan, Tansel dan Sintia yang sedikit tertinggal.
'Astaga apa mereka tak bisa memelankan langka mereka. Aku harus sedikit berlari untuk mengejar mereka. huuu...' gerutu Sintia dalam hati.
Sampai ke lantai dasar Tansel memutar arah kelorong belakang kantor untuk mengambil mobil. Seno dan Sintia menunggu di depan.
Tansel telah sampai, keluar dan dengan sedikit berlari menuju pintu belakang mobil untuk membuka pintu.
"Silakan Tuan."
Seno menghadap Sintia yang berdiri di belakang. "Ayo masuk!" pinta Seno pada Sintia.
"Tuan, apakah dia akan ikut dengan kita?". tanya Tansel yang melihat Sintia dengan tatapan tak mengerti.
"Oh, iya. Kita mampir ke butik sebentar." jawab Seno.
Tansel hanya menatap saja, tampa berani berkata dan akhirnya mobil pun berjalan ke arah butik.
.
.
Rumah keluarga Nugraha
Disisi lain mobil Hanny memasuki pekarangan rumah mewah. Dia turun, dan memasuki rumah tersebut. Terlihat diruang tamu, duduk sepasang suami istri. Duduk dengan mesra tanpa peduli dengan sekitar mereka. 'Dasar... Sudah pada tua juga, masih mengumbar kemesraan.' batin Hanny dan memulai aksinya.
"Ma..." Panggilnya.
Sepasang suami istri itu mendongakkan kepala memandang ke asal suara.
"Hanny!" sapa Selena.
"Hiks...hiks...hiks..." Hanny menangis memeluk Selena.
"Hanny... ada apa?" tanya Selena. "Di mana Seno? Apa kau datang sendirian?" cecar Selena pada Hanny.
"Hiks...hiks...hiks... Ma... Seno!" aduh Hanny.
"Ada dengan dengan Seno? Bicara yang jelas, Hanny!" Selena mulai panik.
"Ma, tenanglah!" ucap suaminya, Ferdino Nugraha, suami dari Selena Maldric. Ya, mereka adalah orangtua dari Seno.
Hanny, sengaja datang kerumah itu untuk mengadu kepada orangtua Seno, agar mencegah perceraiannya, dan memberi tahu kehamilanya. Memang orangtua Seno belum mengetahui tentang kehamilan Hanny, karna Seno melarang Hanny.
"Ma... Seno ingin menceraikanku! Hiks..." aduh Hanny pada Selena.
"Apa!!" pekik Selena.
.
.
.
.
By... By...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!