30 TAHUN YANG LALU.
RUMAH SAKIT BERSALIN KASIH IBU.
Broto menyesap rokoknya dalam. Duduk sendiri di bangku taman rumah sakit tempat istrinya Warti, baru saja melahirkan bayi mungil yang cantik dan menggemaskan.
Permisi sebentar keluar ruang perawatan istrinya untuk merokok. Istrinya di temani ibunya di dalam.
Suasana taman yang temaram, menambah tenang hatinya. Baru mendapat anugrah anak pertama setelah dua tahun menikah.
Broto melihat ada seorang lelaki yang bersimpuh di dekat bangku taman paling ujung. Lelaki itu bersimpuh menundukkan kepalanya. Sepertinya dia menangis.
Yah biasalah masalah kehidupan. Mungkin saja dia baru kehilangan anak atau istrinya. Hati Broto merasa kasihan melihatnya. Broto bergerak mendekatinya. Duduk di bangku tempat lelaki itu bersimpuh.
Menatap lelaki yang tersengguk menangis. kasihan juga. Pasti dia sedang dalam masalah.
"Mas" sapa Broto.
Lelaki itu mendongak dan menoleh. Tampak matanya basah oleh air mata.
"Sini mas. Duduk sama saya. Jangan di situ" ujar Broto lagi.
Lelaki itu menurut. Bangkit dan duduk di sebelah Broto.
"Rokok mas?"
Broto menyodorkan rokoknya. Dan lelaki itu menerima. Mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya. Menyesapnya pelan sambil menghapus sisa air matanya.
"Saya Broto. Mase jenenge sopo?" tanya Broto dengan logat Jawa yang kental.
"Saya Frans mas. Terima kasih rokoknya"
"Oohh.. ya ya.. sama sama mas"
Mereka terdiam lagi. Sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Broto melirik Frans sejenak. Melihat dari wajah dan penampilnanya, sepertinya lelaki ini orang baik.
"Istrinya baru lahiran toh mas?" tanya Broto lagi.
Frans menoleh. Lalu menggeleng lemah. Tampak kesedihan itu memenuhi raut wajahnya.
"Belum mas. Belum lahir"
"Ohh.. masih nunggu lagi toh mas?"
"Iya mas. Nunggu saya punya duit"
"Maksute Mase gimana toh?" tanya Broto tidak mengerti.
"Istri saya lagi nunggu oprasi mas. Tapi saya belum punya uang. Saya bingung. Saya tidak kenal daerah sini. Saya tidak tau mau cari duit kemana" jawab Frans sedih.
"Mas baru pindah?"
"Iya mas. Saya di usir dari rumah"
"Loh.. kenapa mas?"
"Orang tua tidak setuju saya nikahin istri saya ini. Jadi saya di usir mas"
Broto terdiam. Frans juga terdiam. Sama-sama memandang kedepan sambil menyesap rokok.
"Butuh uang berapa mas Frans?"
"Banyak mas. Sampai dua puluh juta"
"Banyak ya mas"
"Iya mas. Makanya saya bingung. Saya tidak sanggup lihat istri saya kesakitan. Saya ke sini"
Seorang perwat datang mendekat. Tampak terburu-buru.
"Bapak Frans. Segera temui istri bapak. Sudah dalam keadaan kritis pak"
Frans tegang. Tanpa permisi pada Broto, dia langsung berlari menemui istrinya. Broto hanya melihatnya pergi menjauh.
🌺
🌺
🌺
"Lik, suwun wes mbantu aku yo" ujar Broto berterima kasih pada Lilik temannya.
"Nggae opo toh mas duite?"
"Temen ku. Kasian bojone lahiran. Yo wes Yo"
Broto pergi. Sudah mendapatkan uang hasil menjual mobilnya. Langsung menuju rumah sakit lagi.
Sesampainya di rumah sakit, Broto langsung pergi ke ruang operasi. Terlihat Frans mondar-mandir dengan gelisah. Dia menangis.
"Mas Frans" panggilnya.
Frans menatapnya, tapi tidak menyahut. Dia tampak sangat panik.
"Sudah operasi istrinya mas?"
"Istri ku sekarat mas" jawab Frans menangis.
"Mas. Ini aku ada uang. Mas Frans pake dulu"
Frans kaget. Tidak percaya dengan apa yang di lihatnya. Broto menyerahkan amplop coklat besar yang di gulung pangkalnya.
"Ini buat saya mas?" tanya Frans masih tidak percaya.
"Iya mas. pake dulu. Untuk biaya operasi"
"Tapi mas. Ini uang yang banyak. Saya tidak bisa kembalikan nanti" Frans masih menolak. Merasa tidak enak hati.
"Sudah mas tidak apa-apa. Pake dulu. Yang penting istri dan anak mas Frans selamat"
Frans langsung memeluk Broto erat. Merasa sangat berterima kasih. Broto mau meminjamkamnya uang untuk biaya operasi istrinya.
"Mas Broto. Terima kasih banyak mas"
"Ya sudah mas. Lekas bayar dulu"
Frans mengangguk. Langsung saja berlari menuju kasir. Melunasi seluruh biaya operasi istrinya.
🌺
🌺
🌺
Frans berjalan di lorong rumah sakit. Operasi istrinya berjalan lancar. Untung saja dia bertemu Broto. Orang yang baru di kenal hitungan jam, mau berbaik hati meminjamkan uang tanpa di minta.
Mencari-cari ruang perawatan istri Broto. Frans melihat Broto sudah bersiap-siap akan pulang. Sudah akan meninggalkan ruang perawatan bersama istrinya yang sedang menggendong bayi mereka dengan duduk di kursi roda.
Langsung saja ia menghampirinya.
"Mas Broto!" Frans memegang tangan Broto.
"Mas Frans. Bagaimana? operasi nya berhasil?"
Dengan mata berkaca-kaca, Frans langsung memeluk Broto erat. Menangis terisak dengan rasa haru yang tak dapat di tahan lagi.
"Mas, terima kasih banyak sudah mau menolong saya. Kalau tidak ada mas Broto, saya tidak tahu bagaimana nasib anak dan istri saya mas"
"Alhamdulillah. Semoga semuanya baik-baik saja mas" jawab Frans tersenyum.
"Jangan panggil mas sama saya mas Broto. Panggil nama saya saja" ujar Frans.
Broto hanya tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Frans dengan rasa persahabatan yang kental.
Frans menoleh pada Warti, istrinya Broto. Tersenyum ramah dan mengangguk kecil. Warti membalasnya dengan anggukan.
"Laki-laki atau perempuan anaknya mas?"
"Laki-laki mas" jawab Frans tersenyum lebar. Tampak sangat bahagia.
"Alhamdulillah.. selamat ya mas"
Broto mengulurkan tangannya. dan di sambut Frans dengan erat.
"Mas, sudah mau pulang?"
"Iya, ini. Sudah waktunya pulang"
"Mas, nanti kalau saya sudah punya uang saya akan kembalikan uangnya"
"Sudah, jangan terlalu di pikirkan"
Broto tampak arif sekali. ikhlas memang berniat membantu kesulitan Frans.
"Anak mas Broto laki-laki?" tanya Frans.
"Perempuan"
wajah Frans berbinar cerah. sangat merasa tepat anak Broto adalah perempuan.
"Mas, saya pasti akan menjodohkan anak kita mas. Ini janji saya. Anak saya harus menikahi anak mas Broto nanti" ujar Frans sangat yakin.
"Hahaha.. mudah-mudahan saja dek Frans" jawab Broto sambil tergelak.
"Ini janji saya sama mas Broto. kalau tidak karena bantuan mas, saya sudah kehilangan anak dan istri saya. Saya berhutang nyawa mas"
"Jangan bilang begitu dek Frans. Semua itu atas kehendak Gusti Allah yang menghendaki"
"Aahh.. terima kasih sekali lagi mas"
Frans kembali memeluk Broto sebagai tanda rasa bahagia dan terimakasih yang sangat besar pada pria yang lebih tua darinya itu.
"Tapi saya sungguh-sungguh mas Broto. Saya akan menikahkan anak saya dengan anak gadis mas Broto. Pegang janji saya mas"
Broto tersenyum dan mengangguk saja. Mereka berjabat tangan. Dan broto pamit pulang pada Frans. Frans mempersilahkan mereka pergi.
🌺
🌺
🌺
Broto dan Warti sudah sampai di depan rumah sakit. Warti celingak-celinguk mencari mobil mereka. Tapi tidak terlihat.
Sebuah anngkot berhenti di depan mereka. supirnya ternyata Lilik, tetangga mereka.
"Ayo mas, kita pulang" ujar Lilik.
"Ya Lik. Bantuin ini mbak mu mau naik"
"Lho.. mas, mobil mu mana toh mas? aku kok Ndak lihat?"
Tanya Warti heran kenapa harus naik angkot kalau mereka punya mobil?
"Sudah aku jual dek"
"Apa?"
"Wes to dek. Nanti saja marahnya di rumah. Sekarang kita pulang dulu.
"Wadoooohh biuung.. kamu itu ada-ada saja loohh maassss"
Siang ini Sri duduk dengan lemas di gubuk bambu yang ada di tengah hamparan sawah yang masih hijau. Otaknya berpikir keras mencari cara menggagalkan acara pertunangannya dengan seorang pria dari kota.
Kata ibunya, lelaki itu mapan, kaya, dan juga tampan. Tapi itu semua tidak membuatnya tergiur sedikit pun. Sri masih bercita-cita ingin bekerja di perusahaan. Atau jadi pegawai PNS, atau setidaknya bekerja di kantoran.
Tapi hatinya semakin galau. Manakala pekerjaan tak kunjung di dapat. Sangat susah mencari pekerjaan sekarang. Apalagi hanya bermodalkan ijazah S1 tanpa ada pengalaman kerja dan tidak ada orang dalam.
Dan kini, dia harus di hadapkan pada beban lamaran dengan orang yang dia tidak kenal sama sekali. yang seharusnya lamaran ini di peruntukkan untuk Kakak perempuan tertuanya, mbak Lastri. Tapi karena Lastri sudah menikah dan punya anak, maka lamaran itu di tujukan pada dirinya.
Dewi Sri adalah gadis berusia dua puluh tiga tahun. Baru saja lulus S1 ekonomi. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakak perempuannya sudah menikah. Hanya tinggal dirinya seorang yang masih sibuk mencari pekerjaan.
Orang-orang terdekatnya lebih suka memanggilnya Sri. karena terbiasa dari kebiasaan ibunya. Sri kini hanya punya ibunya. sedangkan ayahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu.
Sebulan yang lalu, ada seorang bapak yang mencari alamat rumah mereka. Dan akhirnya bertemu dengan ibunya. Betapa senang ibunya di datangi tamu itu. katanya kenalan lama ibu.
Sri cuek saja. Tidak terlalu menanggapi kedatangan tamu yang namanya adalah Frans. Begitu yang di dengar Sri ketika ibu memanggilnya.
Sampai dengan malam harinya Sri tercengang mendengar ibu menerima pak Frans melamar Sri untuk anak semata wayangnya.
Jelas saja Sri mencak-mencak tidak karuan. Menolak lamaran yang sudah terlanjur di terima ibunya. Kata ibunya, bapaknya sudah terikat janji dengan pak Frans itu dari dulu. Jadi sekarang giliran Sri yang harus menunaikan janji bapaknya dan pak Frans.
"Ojo ngono loh bune. Sri masih kepingin kerja. Sri belum mau nikah buneeee.."
"Bune wes lihat calon mu loh Sri. wonge ngguuaannteng!"
"Pokok'e Sri ora Sudi. Sri ora kepengen seng ganteng. Sri pengen kerjo bune"
"hallaaaahh.. Yo mengko kerjo mu Yo neng dapur juga. Wes ojo ngeyel. bune wes terimo lamarane"
Kalau ibunya sudah bilang begitu, Sri hanya bisa menundukkan kepalanya. Melawan juga percuma. Yang ada nanti ibunya malah unjuk akting menangis lebay.
Sri semakin lemas saja jika mengingat perkataan ibunya. Tak dapat berbuat banyak.
"Sriiii..."
Dari arah samping, terlihat Nunik berlari kecil di betengan sawah. Sri hanya melihatnya hampa. Tampak Nunik ngos-ngosan mendekatinya.
Nunik adalah sahabat Sri dari kecil. Selalu bermain bersama, sekolah bersama, sampai kuliah juga sama-sama. Nunik yang selalu menemani Sri disaat suka dan duka.
"Mbak mu nelpon aku Sri" ujar Nunik begitu sampai di dekat gubuk dengan napas ngos-ngosan.
"Bilang apa?" tanya Sri.
"muleh. bune mu nangis"
Sri diam tak menyahut. Wajahnya muram. Ibunya sudah menangis karena dia belum pulang dari pagi tadi.
"Aku males tenan loh, Nik"
"Ojo ndumeh Sri. Lekas muleh. Ntar bune mu semaput loh" Nunik menyenggol lengan Sri.
"kamu aja yang gantiin aku Nik"
"Opo tooohh.. wes ayo Ndang lekas"
Nunik menarik tangan Sri untuk segera beranjak pulang. Sri tidak bisa menolak. Menuruti tarikan tangan Nunik beranjak menyusuri betengan sawah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sesampainya di rumah, Sri memarkirkan motornya. Ditemani Nunik pulang, agar Sri bisa memberi alasan.
Tampak keadaan rumah sudah ramai oleh sanak famili Sri. Karena besok adalah hari pertunangan Sri. Mereka sibuk mempersiapkan segalanya.
Welas menyambut Sri dengan wajah cemas. Belum sempat Sri membuka helm dari kepalanya, Welas langsung Menarik tangan Sri agak keras. Menggeretnya masuk ke dalam rumah. Sri hanya pasrah.
Mereka berhenti di ruang tengah. Tampak ibunya terbaring lemah sambil menangis. Wanita berumur yang selalu memakai kain dan kebaya, serta rambut kondenya itu terisak sedih. Ditemani Lastri kakak pertamanya.
"Tuh.. lihat bune. Dia semaput gara-gara kamu. Sana minta maaf" ujar Welas sambil mendorong tubuh Sri mendekat pada ibunya.
Sri maju kedepan akibat dorongan Welas. Tapi hanya berani berdiri tegak di samping sofa tempat ibunya terbaring.
"Bune" panggil Sri pada Warti, ibunya.
Warti menoleh. Masih terisak sedih. Air mata berderai di pipi tuanya.
"Kamu tega Sri" ujar Warti lirih.
Mendengar itu, rasa hati Sri bagai di remas tangan kokoh yang tak terlihat. Dia bukannya tega. Tapi di cuma tidak terima jika harus menikah sebelum bekerja.
Sri jatuh bersimpuh di lantai. menunduk dan terisak sedih.
"Maaf bune. Sri cuma kepengen kerjo ndisek" ujar Sri lirih. menunduk dalam tak berani menatap ibunya.
"Ini bukan soal itu nak. Tapi bapak mu dulu pernah menerima janji sama pak Frans untuk menikahkan putrinya sama anak'e pak Frans. bune Wedi loh Sriii... ntar pakne mu di tuntut Karo Gusti Allah" Warti menjelaskan apa yang selama ini yang terjadi.
Sri mendongak menatap ibunya. lalu beralih menatap kakak perempuan tertuanya.
"Janjine kan Karo mbak Lastri, bune. Kenapa harus Sri yang menggantikan?" Sri masih mencoba bernego.
"laahh.. mbak kan wes nikah, Sri... Ojo Eden nopo" sahut Lastri.
"Sri, calon mu iku ngganteng. Ora nyesel Sri" Welas juga ikut menimpali.
Sri memberengut sebal melirik Welas. kakak perempuannya yang kedua ini juga malah tidak berada di pihaknya sama sekali.
"Wes toh Sri. Ojo ngeyel tenan. Bune cuma mau kamu menebus janji bapak mu sama pak Frans" ujar Warti lagi.
Sri hanya diam saja. menatap ketiga wanita di depannya dengan muka masam.
"Yo wes, Sri mau" ujar Sri akhirnya.
"Naaaahhh... ngono toh nduk. Kamu iku cah ayu"
Warti langsung berlutut di depan Sri dan memeluk putri bungsunya itu dengan rasa gembira tak terkira. Sri hanya diam Saja.
"Yo wes, Kono. mangan sek Karo mbak mu"
Sri bangkit berdiri. tapi tidak menuju dapur. tapi pergi ke kamarnya. tidak ada selera sedikit pun untuk makan. Nunik hanya menatapnya prihatin.
Sri si gadis periang kini menjadi gadis pendiam. Satu Minggu ini Sri selalu mengeluh pada Nunik kalau dia belum siap menikah. Tapi apa yang bisa Nunik lakukan selain mengatakan Sri harus bersabar.
Sri menghempaskan tubuhnya di kasur. telentang menatap langit-langit kamarnya. Dia tidak kenal lelaki itu. tidak pernah bicara sama sekali. Tidak pernah melihat bagaimana bentuk rupa calon tunangannya.
Sewaktu ibunya ingin menunjukkan foto lelaki itu, Sri menolak. Hanya membiarkan foto itu tergeletak di meja makan, tanpa ada niat melirik barang sejenak pun.
Sri tidak tahu apa yang bakal terjadi padanya nanti setelah menikah. pasti sangat asing sekali hidup dengan lelaki yang tak di kenal sama sekali.
"hhahhh... nasib mu sriiii.. Sriii..."
Sri mendesah berat. Penuh beban pikiran di hatinya. Tapi hanya bisa pasrah demi janji bapaknya dulu. Mungkin sudah suratan takdir ia harus memenuhi janji itu. Menikah dengan lelaki asing yang belum tahu watak dan karakternya.
Di tempat lain.
Keluarga Frans Albronze sudah tiba di kota tempat tinggal Dewi Sri. Mereka menginap di hotel yang lebih dekat jangkauannya ke kampung pak Broto.
Ayah, anak, dan ibu itu sedang duduk di sofa yang ada di balkon kamar hotel. Lucky anak Frans satu-satunya. Sudah berusia tiga puluh tahun sekarang. tampak kesal merasa harus terdampar di kota kecil ini, meninggalkan pekerjaannya yang menumpuk.
"Papi, apa tidak ada jalan lain? haruskah lucky menikahi anak pak Broto itu, pi?" tanya Lucky dengan wajah di tekuk.
"Papi sudah bilang pada mu. Karena pak Broto lah kau masih bisa hidup sampai sekarang Lucky" jawab Frans mengingatkan putranya lagi.
"hhh.. kolot sekali" gumam Lucky tersenyum skeptis.
"Bukan kolot luck. Papi mu benar. Kalau pak Broto tidak menolong papi mu dengan meminjamkan uang, mungkin mami dan kamu tidak ada sekarang"
Melani ibunya Lucky menimpali, seraya menyuapkan jeruk ke mulutnya.
"Kita bisa mengembalikan uang itu sepuluh kali lipat, mam. Kenapa harus jadi repot begini?" Lucky merasa makin kesal saja.
"Lucky!" suara Frans mulai meninggi. " Tidak semua masalah bisa di selesaikan dengan uang"
Lucky melengos. Tampak tidak terima dengan keputusan papinya.
"Papi sudah berjanji pada pak Broto untuk menikahkan kamu dengan putrinya"
"Seharusnya perjanjian itu sudah batal, pi. putri pertama pak Broto kan sudah menikah, jadi Lucky tidak harus menikahi adiknya juga kan?" Lucky masih ngotot.
"Papi tidak pernah bilang akan menikahkan kamu sama anak pertamanya. Tapi dengan putrinya pak Broto. itu artinya dengan siapa pun putri pak Broto"
"ck.. kenapa harus menyebalkan begini sih"
Lucky berdecak kesal. Bukan hanya karena alasan perjanjian konyol papinya, Lucky tidak ingin menikahi putri pak Broto. Tapi yang lebih tepat, karena Lucky sudah memiliki kekasih hati. Tapi papi dan maminya tidak pernah menyetujui.
"Lucky, kamu tidak boleh begitu"
Melani mengelus punggung Lucky. mencoba membuat kekerasan hati Lucky agak melunak sedikit.
"Kamu tahu, hanya karena papi kehilangan alamat pak Broto makanya kamu belum menikahi putrinya. Andai saja pak Broto tidak pindah rumah, pasti papi sudah menikahkan mu dari dulu dengan putri pertamanya" Frans menjelaskan.
Lucky diam saja. Melirik maminya yang masih mengelus punggungnya. Tidak ingin membantah papinya karena menghormati maminya.
"Kita sudah sampai di sini. Jangan banyak alasan lagi Luck. Lagian umur kamu itu sudah pantas berumah tangga. Kamu mau nunggu apa lagi?" Frans menatap putranya tajam.
"Papi kan tahu, kalau Lucky punya Amira" jawab Lucky sambil wajahnya melengos menghadap ke arah lain.
"Kamu juga tahu, kalau papi tidak setuju. Dari kecil kamu sudah berjodoh dengan putri pak Broto. Jadi, ya sudah lah. Papi tidak mau alasan kamu lagi. Pokoknya besok kita harus datang. Besok adalah hari pertunangan kamu. titik!"
Frans bergerak berdiri. Dan meninggalkan Lucky dan istrinya. Amarah Lucky bergemuruh. Sakit hatinya mendengar papinya masih saja tetap tidak merestui hubungannya dengan Amira kekasihnya.
"Luck, benar kata papi mu. Apalagi yang kamu tunggu? Mau menunggu Amira juga?" tanya Melani.
Lucky hanya bisa menghempaskan napas dengan jengkel.
"Kamu yang mengejar Amira. Padahal Amira juga belum mau menikah bukan?"
Melani menggenggam tangan putra semata wayangnya itu. Mengerti perasaan Lucky.
"Lucky keluar dulu, mi"
Lucky beranjak keluar dari kamar maminya. Melani hanya membiarkan Lucky pergi. Lucky ingin menenangkan gejolak hatinya. Bara panas yang membakar hatinya perlu di dinginkan dengan udara segar.
🌺
🌺
🌺
Nunik sudah menunggu Sri di seberang jalan. Berdiri di depan warung pak Narto. Sri memintanya tidak masuk ke rumah karena dia tidak mau ibunya menghalangi jika tahu Sri akan keluar malam ini.
Sri mengendap-endap di samping rumah. keluar dari jendela kamarnya yang kebetulan jendela yang tidak berjeruji. Harus berhati-hati jangan sampai ada yang melihatnya. Karena banyak keluarga yang sudah berkumpul di rumahnya.
Merasa situasi sudah aman, Sri berlari kecil menuju gerbang depan rumah. Tapi sayang, aksinya di pergoki welas.
"Sriii.. mau kemana?" teriak welas.
"Sebentar mbaaakk!"
Sri tidak menggubris Welas. Takut aksinya di hentikan, Sri berlari ke sebrang jalan. Nunik sudah bersiap di atas motor yang sudah menyala. Sri langsung naik ke boncengan dan Nunik langsung tancap gas.
"Sriiiiiii..." teriak Welas di pagar rumah.
tapi sayang, Sri dan Nunik sudah meluncur jauh.
🌺
🌺
🌺
Sudah mirip seperti begal saja Nunik melajukan motornya dengan kencang. Sri selalu menoleh kebelakang, takut ada yang mengejar mereka.
merasa sudah aman, Sri menyuruh Nunik memelankan laju motornya.
"Sebenarnya mau ngopo toh Sri?" tanya Nunik masih fokus ke depan.
"Aku mau beli gigi palsu, sama tahi lalat palsu yang gede" jawab Sri agak mengencangkan suaranya yang hilang akibat deru angin.
"looohh... mau ngapain kamu?" Nunik merasa heran.
"Buat besok nik"
"iya, tapi untuk opo toh Sri?"
"Udah cepetan lah. Kamu lihat besok saja"
Nunik tak bertanya lagi. Entah apa lah kira-kira yang akan di lakukan Sri besok di hari pertunangannya.
Mereka berhenti di jejeran toko di pinggir jalan. di samping toko swalayan ada yang menjual barang pernak-pernik.
"Ayo Nik"
Sri mengajak Nunik masuk ke toko pernak-pernik. Terlihat toko pernak-pernik sudah mau tutup. Penjaga toko sudah mau menutup pintu toko.
"Mas.. mas.. jangan tutup dulu" Sri mencegah.
"Sudah tutup mbake. Besok lagi" jawab penjaga toko.
"Aduh maaass... saya perlu banget mase"
"Salah sendiri toh. Datang malem-malem. Sudah tutup mbak"
Penjaga toko tidak mau tahu lagi. Meneruskan menggembok pintu toko. Dia sudah capek. Malas meladeni Sri.
Sri merengut. Tak bisa membujuk penjaga toko. Mendekati Nunik yang masih berdiri tak jauh dari motornya.
"Sudah tutup Nik. Gimana ini Yo?"
"Yo wes Sri. yuk, muleh" Nunik mengajak Sri pulang.
"Iissshh.. aku harus dapet giginya Nik"
"Laahh.. trus piye? toko ne wes tutup"
Sri lemas. Toko pernak-pernik cuma ada satu di tempatnya. Kalau ada pun, itu harus ke kota. Dan itu tidak mungkin. Ini sudah malam.
"Yo wes. yuk pulang"
Sri memutuskan pulang saja. Yang di cari sudah tidak bisa di temukan lagi. naik ke boncengan motor. memeluk pinggang Nunik dan menyenderkan kepalanya di punggung Gung sahabatnya itu.
Tapi, baru saja Nunik menjalankan motornya, dari arah belakang sebuah mobil meluncur menghantam belakang motor Nunik. Membuat motor yang di tumpangi Nunik oleng dan terperosok ke pinggir jalan. menghantam pembatas kaki lima.
daaarrr...
"Aduuuhh!!"
Sri terjatuh menimpa Nunik. sedangkan Nunik terjengkang ke depan. Saling menindih dengan muka saling merapat.
pemilik mobil itu turun. berlari kecil menolong Sri dan Nunik yang jatuh saling menindih. Dan penjaga toko pernak-pernik yang berjalan belum jauh dari tokonya juga menghambur mendekat. menolong Sri dan Nunik yang tertabrak mobil.
"maaf nona. Kalian tidak apa-apa?" tanyanya.
"aduuuhhh... ssshhh.. sakit"
Sri dan Nunik meringis menahan sakit. Tangan Sri lecet karena menahan tubuhnya. sedangkan Nunik, lututnya juga lecet.
"Anda tidak apa-apa nona?" tanya pemilik mobil itu lagi.
Mendengar itu, Sri menatap pemilik mobil dengan marah.
"nona nona... aku bukan nona! Ndak lihat apa, kalau kita berdua ini berdarah?! masih nanya lagi" hardik Sri.
Pemilik mobil tampak kaget melihat marahnya Sri. Dia melirik ke arah mobilnya sejenak. Lalu menatap Sri lagi.
"Maafkan saya nona"
"Eh, mas. Jangan cuma minta maaf. Ini mbaknya luka loh" ujar penjaga toko membela Sri dan juga Nunik.
"Iya, ini orang ya... Bukannya tanggung jawab malah bilang dia ndak salah lo mas" Sri membumbui.
"Tapi, tadi nona yang tidak memperhatikan jalan" sambung pemilik mobil itu lagi.
"Enak aja kalau ngomong! Mase yang nabrak. Masak iya ada di depan tapi gak lihat? Mase sengojo Yo??" Sri melotot marah.
Pemilik mobil itu merasa tersudut. Penjaga toko juga menatap sinis ke arahnya.
Pintu mobil bagian belakang yang menabrak Sri dan Nunik, terbuka. Serempak mereka semua menoleh ke arah yang sama. Tampak turun seorang lelaki gagah dengan wajah dingin berjalan ke arah mereka.
pria itu berdiri tepat di hadapan mereka. Nunik sampai terbengong menatapnya. Lelaki yang tampan dengan mata tajam dan wajah yang ganteng sempurna, berdiri di depan mereka.
"Tuan" pengemudi mobil itu membungkuk hormat.
Pria tampan itu tak menggubrisnya. Membuat pengemudi mobil itu mengkerut takut. nyalinya ciut melihat tatapan tuannya setajam belati.
"Anda terluka nona?" tanyanya dengan suara bariton yang memukau.
Sri cepat tersadarkan mendengar pria itu bertanya. Dedangkan Nunik masih menatap takjub dengan bibir terbuka yang telah meneteskan liur saking terpesona.
"Mase lihat kan ini? luka ini, berdarah" jawab Sri sambil menunjukkan lukanya dan luka di lutut Nunik.
"Maafkan asisten saya yang tidak hati-hati" ujarnya.
"Saya harap, anda tidak membesarkan masalah ini. ini, untuk biaya berobat"
Pria itu mengulurkan tangannya yang penuh berisi lembaran uang. Sri dan penjaga toko pernak-pernik, memandangi uang di tangan lelaki itu.
"Ambillah. Bukannya kalian ingin meminta ganti rugi?" ujarnya lagi menyodorkan uang itu lebih ke dekat Sri.
Sri merasa tersinggung. Mudah sekali lelaki ini menyelesaikan masalah dengan uang.
"Eeehh... Mase ngeremehin aku Yo?" Sri menatap menantang.
"Maaf. Saya tidak punya banyak waktu. Terima ini"
lelaki itu menarik sebelah tangan Sri dan meletakkan gepokan uang berwarna merah itu. Lalu pergi meninggalkan mereka, dan masuk ke mobilnya lagi.
Bergemuruh dada Sri. Marah melihat sikap sombong lelaki itu. Sri menatap marah ke arah pengemudi mobil. Tapi lelaki itu juga hanya bisa tersenyum kikuk. Mengangguk menatap Sri, lalu ngeloyor pergi begitu saja.
Amarah Sri semakin memuncak, manakala melihat mobil bergerak meninggalkan mereka.
"heeeyyy... Ojo sombong yooo... awas kuwe yooo.." Sri meneriaki mobil yang sudah melaju menjauh.
"Kurang ajar weeesss... di kira aku cuma njaluk(minta) duwite opo, Yo" Sri memaki kesal.
Melihat Sri mencak-mencak, penjaga toko menyenggol tangan Sri.
"Mbak"
"Opo?!" bentak Sri masih terpengaruh amarahnya.
"Wes mbak, Ojo nesu (marah). Mbake masih perlu pernak-pernik toh?" tanyanya.
Sri hanya mengangguk. Penjaga toko melirik uang di tangan Sri. lalu tersenyum licik.
"Ayo belanja mbak. Toko ne buka lagi"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!