\-\- Andrea's PoV \-\-
Aku tidak pernah percaya dengan istilah 'cinta buta', sebab cinta selalu mampu menuntun hati untuk memilih apa yang terbaik bagi pemiliknya. Aku hanya percaya pada ketulusan cinta yang bisa membuatmu menyangkal diri dan melakukan sesuatu di luar batas kemanusiaanmu.
Aku, Andrea Elaine Williams telah membuktikan dengan hidupku, bahwa cinta itu kuat, hingga mampu menuntunku mengarungi sebuah pengalaman mencintai yang sulit untuk didefinisikan.
Aku hanya seorang gadis biasa dari keluarga sederhana. Papaku, Evan Williams hanyalah seorang pengajar di salah satu sekolah yang tidak terlalu populer. Sementara mamaku, Marry Anne Williams, sedikit lebih beruntung, sebab mama adalah seorang pengajar di salah satu elementary school terbaik yang ada di London. Selain mengajar di sekolah, kedua orang tuaku mencoba untuk menjalankan bisnis private course yang telah dirintis sejak 10 tahun lalu, demi menambah penghasilan mereka.
Menjadi anak pengajar membuatku memiliki beberapa keuntungan, karena aku tidak pernah mengalami kesulitan dalam hal belajar. Di sekolah, aku termasuk siswi yang cerdas dan berprestasi.
Meskipun aku bukan gadis yang cantik secara fisik menurut ukuran pada umumnya, aku cukup bangga dengan diriku karena aku memiliki banyak bakat yang membuat aku sedikit percaya diri.
Aku sangat mahir bermain cello dan aku adalah seorang penyair cinta. Meski demikian, aku tidak pernah menampilkan bakatku di sekolah. Aku menyimpannya bagi diriku sendiri dan menganggapnya sebagai alasan untuk tetap percaya bahwa aku juga istimewa.
Walaupun aku cukup beruntung karena memiliki gen cerdas dari orang tuaku, kesibukan mereka yang harus berjam-jam mengajar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kami, membuat aku sedikit tidak terurus.
Papa dan mamaku banyak menghabiskan waktu untuk mengembangkan usaha private course milik mereka sehingga mau tidak mau, aku dilatih untuk selalu mandiri. Aku terbiasa untuk berpikir dan bertindak praktis sejak kecil.
Akibatnya, hingga usiaku yang sudah 18 tahun ini, aku tidak tahu bagaimana caranya berdandan. Mama tidak pernah mengajariku menjadi 'perempuan' selazimnya karena terlalu sibuk.
Bagiku menggunakan bedak tabur baby setiap kali pergi ke sekolah itu sudah disebut berdandan. Rambutku yang lurus ini pun selalu dipotong sangat pendek, sebab mama tahu aku bukan tipe anak gadis yang akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdandan dan mengurusi rambutku. Hal ini tentu membuat aku tidak semenarik teman-temanku yang lain.
Penampilanku yang dibilang biasa-biasa ini, membuat aku tidak pernah menjalin kasih dengan teman laki-lakiku, namun bukan berarti aku tidak pernah jatuh cinta.
Cinta pertamaku ku berikan pada seorang laki-laki yang bernama Jericho Marthen Laurent, kakak tingkatku yang kini sudah lulus dan memutuskan untuk kuliah musik di Amerika.
Aku mengaguminya karena dia cerdas, populer, berbakat, dan tampan. Meski demikian dia tidak sombong.
Dulu, sebelum dia lulus, kami pernah menjadi partner dalam beberapa lomba karya ilmiah remaja. Beberapa kali kami memenangkan perlombaan karya ilmiah itu. Selama bekerja sama dengan dia, sikapnya sangat manis dan sangat menghargai aku. Beberapa kali pendapatku sungguh-sungguh diperhatikan olehnya.
" Sorry J, menurut aku, bagian ini sedikit lompat, kurang sistematis. Harusnya penjelasan masalahnya kita kupas tuntas dulu, baru masukkan pemikiran ahli yang pernah membahas itu, atau bagaimana kalau menurut kamu?" Aku bertanya sambil sesekali melihat mata hijaunya.
"Hmm, aku rasa kamu benar. Iya, aku melewatkan part itu. Thank's sudah jeli," katanya sambil tersenyum padaku dengan manis.
Seandainya aku mampu menghentikan waktu, aku pasti membuat detik-detik dia tersenyum padaku berhenti saat itu juga. Kebaikan dan kerendahan hatinya selalu membuat hatiku luluh.
Awalnya aku pikir aku hanya mengaguminya, hingga suatu kejadian membuat aku menyadari bahwa aku, untuk pertama kalinya, merasakan jatuh cinta pada kakak tingkatku itu.
"Entah kamu sadar atau tidak, bagiku, kamu adalah gadis yang sangat istimewa. Maukah kamu jadi pacarku?" Jericho menyatakan cintanya kepada Fergie, sahabatku kala itu. Iya, sahabatku.
Sebenarnya aku tahu bahwa Fergie menyukai Jericho sejak lama. Fergie selalu terbuka padaku. Fergie menceritakan betapa ia tidak bisa mengendalikan jantungnya saat berdekatan dengan Jericho. Dia bahkan mengatakan bahwa dia tergila-gila.
Aku yang mendengar ungkapan hati Fergie, hanya tersenyum simpul dan menanggapi dengan tenang. Aku percaya bahwa mengagumi, menyukai, dan mencintai seseorang adalah hak orang itu. Bagiku tidak logis membenci Fergie hanya karena kami mencintai orang yang sama.
Sebelum Jericho menyatakan cintanya, Fergie aktif menitipkan salam untuk Jericho lewat aku.
"An, salam ya untuk Jericho! Sampaikan kalau aku fans beratnya!" Fergie berkata sambil mengedipkan sebelah matanya.
Menitipkan salam itu adalah kebiasaannya, setiap kali dia tahu aku akan bertemu dengan Jericho untuk menyelesaikan proyek kami. Dengan polosnya, aku pun menyampaikan salam itu.
Selama aku menyampaikan salam-salam Fergie, aku tidak pernah menangkap kesan yang berlebihan saat Jericho menerima salam itu. Aku bahkan berpikir bahwa Jericho tidak akan menanggapi serius salam yang dititipkan Fergie.
Sahabatku Fergie adalah gadis yang cantik dan populer. Secara fisik, dia jauh lebih unggul dariku. Fergie berasal dari keluarga yang berada. Ia tidak pernah kesulitan mendandani dirinya. Kulitnya terawat, wajahnya cantik, gayanya asik, dia juga merupakan gadis yang supel dan baik hati.
Meski aku jauh lebih pandai dan berbakat dari Fergie, tetap saja aku tidak semenarik dia. Fergie seperti berlian yang berkilauan di mata Jericho, sementara aku, mungkin lebih cocok disebut sebagai mutiara dalam lumpur, itupun kalau dia menyadari bahwa aku adalah mutiara.
Insiden pernyataan cinta Jericho ke Fergie, membuat aku hancur. Aku sadar bahwa aku sudah kalah.
Aku berusaha menepis perasaan itu sekuat tenaga.Perasaan mencintai seorang laki-laki yang mungkin hanya menjadi khayalan masa mudaku. Cinta pertamaku tidak terbalaskan. Cinta pertama ini tidak sempurna.
Ingin aku menjauh dari hadapan mereka berdua. Ingin aku menghindar dari pertemuan proyekku dengan Jericho. Namun Jericho, selalu mempunyai alasan untuk membuat aku tidak bisa mengabaikan pertemuan itu. Sialnya lagi, Fergie juga sering memintaku untuk menemaninya menemui kekasihnya. Dan lagi-lagi, aku tidak berdaya menolaknya.
Aku mematrikan dalam hatiku bahwa Fergie dan Jericho tidak boleh tahu tentang perasaanku. Aku mencintai Jericho dalam diam, dan menerima kenyataan bahwa ia telah bersama sahabatku. Selama Fergie dan Jericho saling mencintai dengan tulus, maka aku akan mendukung dan mendoakan mereka.
Aku tidak iri dengan Fergie. Aku cukup sadar dengan diriku, apa kekuatanku, kelemahanku, seberapa besar tantangan yang aku hadapi jika memaksakan ingin mendekati Jericho, dan berapa banyak peluangku untuk dekat dengannya. Bagi Jericho, aku hanya partner studinya dan sahabat dari kekasihnya, hanya sebatas itu.
Pada akhirnya, kisah kasih yang dilalui Fergie bersama Jericho ternyata tidak berlangsung lama. Setelah Jericho lulus, Fergie yang tidak bisa menjalani Long Distance Relationship memutuskan untuk berpisah dengannya.
Kepergian Jericho ke luar negeri untuk mengambil kuliah musik di Amerika, bukan hanya melukai Fergie, tetapi juga membuat sebagian diriku ikut pergi bersamanya.
Meskipun dulu aku tahu Jericho adalah milik Fergie, setidaknya aku masih bisa memandangnya dari jauh, sesekali mendengar suaranya, dan merasakan kehadirannya. Sekarang, semuanya seketika lenyap.
Seperti aku mencintainya dalam diamku, demikian juga aku menangisi kepergiannya dalam senyapku. Aku kembali merapuh.
Setelah kepergian Jericho, aku memohon kepada Tuhan, jika mungkin aku bisa bertemu kembali dengannya, meski itu hanya sebagai seorang kawan lama, aku akan sangat mensyukuri pertemuan itu.
------------
Halo, semua. Terima kasih sudah mampir membaca cerita ini. Cerita ini adalah cerita fiksi pertama saya. Semoga kalian menyukainya.
Please support saya ya! Sekali lagi, thank's and enjoy!
\-\- Jericho's PoV \-\-
"J, dapat salam dari Fergie. Dia bilang, dia fans beratmu," ucap Andrea saat kami sedang mendiskusikan proyek karya ilmiah kami waktu itu.
"Fergie, yang mana?" Aku menanggapi ucapan Andrea.
"Yang biasa sama-sama aku, yang anaknya cantik, matanya bulat. Dia sahabatku," kata Andrea menjawab pertanyaanku.
Seringkali aku mendengar Andrea menyampaikan salam dari seorang gadis yang bernama Fergie. Sebenarnya aku sering melihat Fergie. Aku hanya ingin memastikan bahwa Fergie yang dimaksud Andrea adalah Fergie yang sama di dalam benakku.
Fergie memang cantik. Aku yakin setiap laki-laki tentu menginginkan memiliki kekasih yang cantik dengan perawakan yang enak dipandang mata, dan semua itu ada dalam diri Fergie.
Aku tentu juga mengagumi kecantikan Fergie, sebagaimana banyak temanku mengaguminya. Fergie sering menjadi topik pembicaraan hampir seluruh laki-laki yang ada di sekolah, bahkan banyak temanku mendamba ingin menjadi kekasihnya. Bisa menjadi kekasih Fergie tentu akan memberikan prestige tersendiri.
Naluri bersaing sangat kental dalam darahku. Aku yang terbiasa berkompetisi dan menang dalam berbagai ajang perlombaan, merasa tertantang untuk menjadikannya sebagai kekasihku. Jika aku berhasil mendapatkannya bertambahlah rasa banggaku di hadapan kawan-kawanku.
Sejak kecil, aku dididik oleh kedua orang tuaku untuk selalu berhasil memenangkan persaingan dalam hidup. Papaku, David Alexander Laurent, yang adalah seorang Direktur bagian marketing, terbiasa memotivasiku dengan memberikan target-target yang harus kupenuhi. Orang tuaku bersepakat untuk mendidik aku dan kakakku dengan keras, bukan dengan bermanja-manja.
Saat aku sudah lebih dewasa dan memahami dunia, aku memberi target sendiri atas setiap hal yang aku lakukan, termasuk memberi target dengan menetapkan kriteria perempuan yang layak menjadi kekasihku.
Fergie adalah sosok ideal pada umumnya, yang tentu juga memenuhi kriteria kekasih idaman. Itu sebabnya aku memutuskan untuk memintanya menjadi kekasihku.
Sebenarnya Fergie bukan satu-satunya perempuan yang aku kagumi di sekolah. Andrea sempat menarik perhatianku dengan kepandaiannya. Aku sadar akan hal itu. Dia bukan hanya pintar, dia benar-benar cerdas.
Andrea adalah perempuan yang sangat logis. Dia adalah seorang pemikir. Ide-idenya yang kaya dan tidak terduga, caranya mengungkapkan dan membahasakan idenya, membuat aku menyadari bahwa dia bukan perempuan biasa-biasa.
Satu-satunya yang biasa dalam dirinya adalah penampilannya. Sorry to say, penampilannya benar-benar menggangguku. Aku tidak menyukai rambut pendeknya. Aku tidak tahu, apakah dia sadar atau tidak, potongan rambut itu benar-benar tidak cocok untuknya. Dia bahkan terlihat tidak punya kemauan untuk membuat dirinya menjadi menarik.
Aku sungguh heran pada Andrea. Gadis itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku dan menulis, tetapi untuk sedikit mendandani diri, sepertinya ia tidak punya waktu. Padahal aku yakin, kalau mau berdandan sedikit saja, dia pasti kelihatan lebih menarik.
Selain tertarik dengan kecerdasannya, aku sebenarnya penasaran dengan soft skill-nya. Beberapa kali aku mendengar dia bersenandung. Aku pernah mendapati dia menyenandungkan Nocturne Chopin Op. 9 no. 2, Fur Elise, dan Moonlight Sonata. Sungguh pilihan yang langka untuk disenandungkan.
Aku sangat memahami musik. Bisa dikatakan bahwa kecerdasan musikku di atas rata-rata. Musik adalah sisi lain dari hidupku yang tegang dan penuh persaingan. Aku selalu menemukan kedamaian dalam musik-musik yang aku mainkan. Aku juga menguasai beberapa alat musik seperti piano, biola, dan gitar.
Beberapa kali aku membuat konser musik classic sederhana untuk acara amal di sekolah. Musik classic sangat digemari di London, terutama bagi mereka kaum bangsawan. Cukup mudah bagiku mengumpulkan dana lewat konser classic seperti ini.
Diriku yang aktif dalam menyelenggarakan berbagai acara amal ternyata membuat aku cukup dikagumi banyak gadis. Mereka bahkan tidak enggan menyerukan namaku saat aku memainkan alat musikku. Bukankah itu sebuah keuntungan?
Mendekati masa kelulusanku, sekolah menawarkanku sebuah beasiswa untuk kuliah musik di Amerika. Guruku mengatakan bahwa itu merupakan penghargaan atas kreatifitas dan keaktifanku dalam kegiatan-kegiatan sosial di sekolah.
Awalnya orang tuaku tidak setuju. Mereka tidak mau menerima bahwa anak yang dibesarkan dengan berbagai target dan tantangan harus berakhir hanya menjadi seorang musisi.
Aku tentu tidak dengan mudah menyerah dengan jawaban orang tuaku dan melewatkan kesempatan ini. Aku membuat penawaran kepada mereka dengan mengambil double degree.
Aku berencana mengambil kuliah jurusan Ekonomi-Management seperti keinginan orang tuaku dengan biaya dari mereka sembari aku menjalani kuliah musik di kampus yang sama namun tentunya dengan beasiswa.
Awalnya orang tuaku meragukan apakah aku bisa menyelesaikan keduanya atau tidak. Tapi aku meyakinkan mereka dan menantang diriku bahwa dua-duanya akan selesai tepat waktu dengan nilai yang memuaskan. Pada akhirnya merekapun menyerah dan membiarkan aku menjalani pilihanku.
------
"Baby, sepertinya aku jadi mengambil tawaran scholarship itu. Kamu akan mendukungku kan?" Aku bertanya kepada Fergie saat dinner, sehari sebelum pengumuman kelulusanku.
"Kenapa harus jauh, honey? Sepertinya aku tidak bisa jika kita LDR," balas Fergie kepadaku sembari meletakkan sendok dan garpu yang dipegang di atas piringnya, dan menatapku dengan kecewa.
"Orang tuaku sudah setuju. Mereka bisa support, apakah kamu juga mau melakukannya?" Aku bertanya kembali padanya penuh harap.
"Mereka setuju? Aku rasa, aku tidak bisa J. Sorry, mungkin kita sampai disini saja. Aku bisa membayangkan betapa sibuknya kamu nanti dan mengabaikanku. Aku yakin orang tuamu itu setuju karena ide double degree-mu kan? Aku yakin mereka sebenarnya juga sama denganku, tidak rela kamu pergi," ucap Fergie kepadaku tanpa melihat mataku.
"Aku pikir meyakinkan orang tuaku akan lebih sulit dari pada meyakinkanmu, tapi ternyata aku salah. Aku berharap kamu akan terus di sisiku dan ternyata aku juga salah. Nampaknya memang banyak yang tidak aku pahami tentang kamu. Mungkin keputusan untuk mengakhiri hubungan kita adalah keputusan yang tepat," balasku padanya sambil menaruh beberapa lembar uang di atas meja dan pergi ke luar meninggalkan Fergie di restaurant.
Kami mengakhiri hubungan kami tanpa drama, tanpa air mata. Aku juga bingung, kenapa aku tidak terlalu merasa kehilangan dan mungkin Fergie juga begitu.
Aku menghubungi Andrea sesaat setelah aku meninggalkan Fergie di restaurant. Aku mengajak Andrea menemuiku di sebuah danau buatan di dekat kompleks perumahannya. Aku berniat menceritakan kekesalanku padanya.
📱'Hai An, bisakah menemuiku di danau yang ada di belakang rumahmu sebentar? Aku butuh teman untuk bercerita.' - Jericho
📱'Ok, two minutes.' - Andrea
Dua menit kemudian dia datang dengan berlari-lari sambil mengenakan kaos putih polos dan celana jeans pendek di atas lutut. Sebuah pemandangan yang aneh buatku, mengingat pakaiannya yang selalu sopan di sekolah.
Aku baru menyadari satu hal, Andrea punya bentuk tubuh yang sangat indah. Semuanya pas di mataku. Aku berpikir, seandainya dia memanjangkan rambut lurusnya itu, dia pasti akan lebih terlihat sangat manis dengan mata coklatnya.
"J, apakah aku terlalu lama membuatmu menunggu?" Andrea bertanya kepadaku. Aku tersadar dan menghentikan lamunanku tentangnya.
"Tidak, aku tidak lama menunggumu," kataku kepadanya.
"An, apakah Fergie pernah menceritakan kepadamu bahwa aku akan kuliah di Amerika?" Aku bertanya lagi kepada Andrea.
"Kamu, mau ke Amerika? benarkah?" Aku melihat Andrea sedikit terkejut dengan pertanyaanku. Aku juga sempat melihat ada raut sedih di mata coklatnya itu.
"Iya, aku akan kuliah di Amerika, An. Aku mau kuliah musik di sana. Aku bahkan berencana ambil double degree. Aku tahu ini berat bagi Fergie untuk LDR, dan mungkin nantinya aku juga akan kurang punya waktu untuknya, karena kesibukan kuliahku yang sangat padat. Meski begitu, aku tetap akan menyediakan waktu untuknya. Aku sebenarnya berharap dia terus mendampingiku, walau kita jauh. Namun sepertinya dia tidak bisa mengabulkan keinginanku. Kita baru saja putus," jelasku pada Andrea.
"Kamu sudah putus,J?" Andrea menatapku dan aku menganggukkan kepala tanda membenarkan. Andrea terdiam sejenak dan berbicara kembali.
"J, hidup itu sebuah pilihan. Tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan. Kamu hanya harus lebih peka untuk menentukan apa yang terbaik. Tanyakan pada hatimu, apa yang terbaik. Kadang kala, hati mampu menjelaskan lebih dari apa yang dapat dijelaskan oleh akal," ucapnya seraya menatap mataku dalam-dalam.
"Setelah kamu memutuskan, jalani pilihanmu dengan bahagia, cintai apa yang sudah kamu pilih. Jangan pernah menyesal!" Andrea melanjutkan ucapannya lagi sambil tersenyum padaku. Walau dia tersenyum, aku merasa aneh dengan sorot matanya yang terlihat sendu.
Pada waktu itu juga, aku menyadari bahwa Andrea memiliki satu lesung pipi yang membuat senyumnya terlihat lebih manis. Kemana saja aku selama ini, kenapa aku baru saja menyadarinya.
Aku selalu terpukau dengan cara Andrea menyampaikan argumentasinya. Dia tidak pernah menggurui, dia selalu membuat aku memikirkan kembali apa yang ada di dalam kepalaku.
" Thank's An. Kamu selalu bisa kuandalkan saat otakku buntu," jawabku kepadanya.
Tidak lama setelah itu aku mengantar Andrea kembali ke rumahnya. Akupun segera bergegas pulang ke rumah, karena nampaknya hujan akan turun.
Hari itu adalah pertemuan terakhirku dengan Fergie dan Andrea sebelum aku pergi ke Amerika. Aku memilih untuk pergi mengejar mimpiku, dan seperti kata Andrea, aku telah memilih, aku mencintai pilihanku, dan aku tidak pernah menyesal.
--------------
Jangan lupa vote dan tinggalin jejak ya. Thank's all.
*Tiga tahun kemudian*
*************
--TANYA SANG PECINTA--
Rintik hujan dalam pesona sang senja..
Mencuri perhatian sang pecinta..
Melipurkan lara..
Dan menjawab berjuta pertanyaannya..
Mengapa ada malam, jika bulan dan bintang tak selalu memeluk peraduannya?
Mengapa mendung menepis cahaya, kala hujan menyapa semesta?
Mengapa kabut menjejak, saat dingin menembus Sukma?
kini..
Sang pecinta tak lagi bertanya..
Sebab kekuatannya tak bertumpu pada bulan dan bintang, tetapi pada keheningan malam..
Sebab kebahagiaannya tidak terletak pada cahaya mentari, tetapi pada bias warna pelangi selepas hujan...
Dan dingin..
Dingin adalah kawan...
Sementara kabut adalah bagian dari rona kehidupan...
✍️ Andrea E. Williams
***************
Segurat puisi karya Andrea Williams terpampang di sebuah warta kampus. Ia memenangkan lomba penulisan puisi di tingkat nasional. Itu bukan satu-satunya penghargaan yang diterima Andrea, berbagai macam penghargaan dalam berbagai kategori telah diterimanya. Bisa dibilang, Andrea Williams adalah sastrawati terbaik di kampusnya.
Sesuai dengan mimpinya, ia ingin mengambil kuliah jurusan sastra. Sejak dulu Andrea adalah seorang pecinta sastra dan filsafat. Andrea banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku sastra dan filsafat, merenung, berpikir, dan menulis demi menghasilkan karya-karya yang indah dan penuh makna.
Entah mengapa Andrea selalu merasa bahwa dengan menekuni sastra, ia seperti memperoleh Jericho kembali. Perasaan yang sama, kekaguman dan kebahagiaan yang sama. Itu sebabnya Andrea selalu konsisten dan bersungguh-sungguh dalam menghasilkan karya-karyanya.
Banyak orang mengatakan bahwa karya Andrea serasa hidup. Ada jiwa yang murni di sana, bukan hanya sekedar gairah biasa, hingga banyak penikmat karyanya tertarik untuk mengenal sosok Andrea Williams. Sosok yang sesungguhnya terlihat tangguh di luar, tetapi patah-patah dan sangat rapuh di dalam. Mungkin hanya Tuhan yang tahu bahwa Andrea selalu kesepian.
--------
Tiga tahun berlalu semenjak kepergian Jericho, Andrea berusaha untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Sejujurnya, kepergian Jericho ke Amerika adalah kenyataan yang paling menyakitkan bagi Andrea.
Dalam kesendirian dan kesepiannya, ia sering kali meratap. Ia sungguh merindukan sosok itu. Sosok yang mengisi hatinya selama beberapa tahun terakhir ini. Sosok yang membuat cintanya menjadi tidak sempurna. Sosok yang bahkan tidak pernah menyadari keberadaan cintanya.
Banyak pertemuan dilalui Andrea, tetapi tidak ada seorangpun yang berhasil menggugah hatinya. Andrea yang sekarang memang banyak berubah. Andrea yang sekarang lebih terbuka dan memiliki banyak teman.
Awalnya, ia mau membuka diri untuk bergaul karena ia suka berdiskusi. Ia suka menelaah berbagai karya sastra bersama-sama dengan teman kuliah dan dosen-dosennya. Demi meningkatkan wawasannya dan mempertajam ilmunya, ia keluar dari zona nyaman dan mencoba menerima keberadaan banyak orang di sekelilingnya.
Di kampus ini juga, Andrea punya sahabat baru. Dia adalah Marylin Norah Zachary atau biasa disapa dengan Norah. Kehadiran Norah cukup membawa pengaruh dalam kehidupan Andrea. Norah juga adalah orang yang paling berjasa dalam mengubah penampilan Andrea.
Atas saran Norah, Andrea belajar untuk lebih peduli dengan penampilannya. Sudah bertahun-tahun semenjak kuliah, ia tidak lagi memotong pendek rambutnya. Ia membiarkan rambutnya terurai panjang, menjuntai hingga batas dada. Satu bulan sekali ia pergi ke salon untuk merapikan dan merawat rambutnya itu.
Norah tak lupa mengenalkan Andrea dengan make up. Dalam event-event khusus, Norah rela mendandani Andrea, supaya dia tampil maksimal. Untuk riasan sehari-hari, Andrea hanya mengoleskan lip-tint untuk menghias bibir mungilnya dan bahkan sudah mengganti bedak tabur baby andalannya itu dengan bedak padat, sehingga ia selalu terlihat segar dan manis ketika berada di luar rumah.
Norah mengajarkan kepadanya bagaimana seharusnya 'menjadi wanita' yang menghargai diri, tanpa mengubah jati diri. Andrea yang dulu adalah Andrea yang cuek dan serampangan dengan penampilannya, sementara Andrea yang sekarang adalah Andrea yang anggun dan menawan.
Memiliki Norah bukan berarti melupakan Fergie. Bagaimanapun Fergie adalah sahabat Andrea di Senior High. Ia menyayangi Fergie seperti keluarga. Hanya saja saat ini, Fergie kuliah di kampus dan kota yang berbeda dengan Andrea. Jarak membuat mereka menjadi jarang bertemu.
---------
Di belahan dunia yang lain, Jericho telah menepati janjinya kepada kedua orang tuanya untuk menempuh studi dengan sebaik-baiknya. Setengah tahun lagi, ia akan menyelesaikan studi manajemen dan studi musiknya. Prestasinya sangat memuaskan, ia bahkan bisa menyelesaikan studi lebih cepat dari waktu normal yang dibutuhkan.
Sama halnya dengan Andrea, Jericho juga banyak berubah. Semenjak putus dari Fergie, Jericho tidak lagi terlalu percaya dengan wanita. Ia begitu terhina, ketika Fergie memutuskan dirinya. Fergie memang tidak melukai hatinya, tetapi melukai harga dirinya sebagai seorang laki-laki.
Semenjak kuliah, Jericho adalah seorang playboy. Dia suka mempermainkan perasaan wanita. Wajah tampan, mata hijau, hidung mancung, ditunjang dengan rambut bergelombang yang agak panjang, menjadi daya pikat yang sempurna bagi kaum hawa. Belum lagi ditambah dengan status musisi, membuat Jericho semakin berkharisma.
Menjadi playboy sesungguhnya merupakan usaha untuk melampiaskan kekecewaannya pada Fergie. Ia ingin membuktikan bahwa Fergie salah, jika berpikir bahwa setelah kuliah, ia tidak memiliki waktu bagi wanitanya.
Jangan pernah menantang Jericho, sebab ia pasti bergerak melampaui tantangan itu.
"Halo, Darl**! Jangan lupa dengan kencan kita nanti malam!" Seorang wanita berucap sambil sedikit berteriak agar terdengar oleh Jericho yang sedang fokus dengan kertas dan pensilnya.
"Di atas jam 10 malam ya, babe. Aku masih ada proyek musik yang harus diselesaikan hari ini," balas Jerico terhadap wanita itu.
"Ok, Darl! Take your time," balas wanita itu seraya tersenyum menggoda.
Hubungan percintaan Jericho tidak pernah bertahan lama, Setelah puas bersenang-senang, ia akan memutuskan wanita-wanitanya tanpa perasaan.
Ia pernah berpacaran dengan wanitanya dalam rentang waktu satu Minggu. Menjalin hubungan selama tiga bulan dengan Jericho adalah sebuah prestasi. Hanya Fergie, yang mampu bertahan selama satu tahun. Tapi itu dulu, sebelum Jericho berubah.
Jericho menganggap wanita-wanita itu sebagai selingan di tengah padatnya tugas kuliah yang harus diselesaikan. Terutama ketika sudah mendekati fase tugas akhir sebelum kelulusan seperti saat ini. Jericho sangat butuh hiburan.
Jericho tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk menyelesaikan skripsinya dalam Program Studi Manajemen. Dia telah terbiasa menulis karya ilmiah sejak Senior High, sehingga tidak ada istilah 'skripshit ' dalam kamusnya.
Satu-satunya kekhawatirannya saat ini adalah proyek akhir kuliah musiknya yang mengharuskan dia mengaransemen sepuluh instrumentalia ber-genre classic, di mana semua instrumentalia itu harus dibuat sangat unik, karena memiliki karakter yang berbeda, tetapi masih memiliki jiwa yang sama, sehingga terhubung antara yang satu dengan yang lain.
Sepuluh instrumentalia itu harus ditampilkan dalam sebuah konser yang megah, dengan konsep yang sesuai dengan tema yang mereka pilih. Jericho telah menyelesaikan delapan aransemennya, kurang dua lagi yang tersisa.
Setelah menyelesaikan tugas aransemen itu, ia masih harus bekerja keras untuk melatih anggota orchestranya semester depan, sebelum konser diselenggarakan.
Jericho memilih konsep romansa untuk konser kali ini. Sebuah konsep yang selalu ia hindari sebelumnya, karena baginya musik itu realistis, tetapi cinta, romansa, atau apapun namanya hanyalah bualan belaka.
Ia terpaksa memilih konsep itu, karena mentornya yang memaksa dan menantangnya. Laki-laki dengan harga diri yang tinggi itu pun akhirnya menerima tantangan itu dengan terpaksa. Ia tengah menyiapkan sebuah konser romansa dengan tema, 'Lady in waiting '.
---------------
Hai, thank you buat teman-teman yang sudah support saya. Selanjutnya, saya masih berharap support anda semua. Please like, rate, vote, comment, jika anda menyukai cerita saya... Thank's a bunch... 😊
Note: Karena setting cerita ini adalah setting luar negeri, anggap saja puisi itu dan puisi yang nanti ada di belakang, aslinya ditulis oleh Andrea dalam bahasa Inggris.. Saya memutuskan menulisnya menggunakan bahasa Indonesia dengan pertimbangan supaya teman-teman lebih cepat memahami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!