Semakin bertambahnya usia, kita akan semakin jeli dalam menilai karakteristik seseorang. Kalimat itulah yang cocok menjelaskan isi kepala Giri saat ini. Pria tua yang sudah seharusnya pensiun itu, menatap tajam kepada cucu kesayangannya.
"Gimana Opa mau percaya sama kamu, kalau sama perempuan aja kamu dibodohi kayak begitu!" Giri meninggikan suaranya, sementara sang cucu malah enggan menghadap Opanya sendiri.
"Baru juga ketemu sekali, mana bisa langsung nge-judge kayak gitu." Bantah sang cucu.
"Alden! Kamu tahu, sudah berapa banyak Opa ketemu orang semacam dia?"
Alden, cucu kesayangan, yang bakalnya menjadi penerus bisnis perhotelan milik Giri, sekarang ini malah berkacak pinggan dengan kasarnya. Tidak mau mendengar nasihat, bahkan menghadap Giri pun tidak. Betapa kecewanya Giri, melihat cucu manisnya berubah hanya karena seorang wanita pengeruk emas.
"Kamu yang bakalnya gantiin Opa! Kalau sama perempuan aja kamu ditipu, gimana sama klien mu? Staff mu?"
Alden kini mengusap wajahnya kasar. Dengan suasana hati yang sedang sensitif, Alden merasa Giri kembali meragukan kinerjanya. Padahal sudah bertahun-tahun Alden bertahan dibawah tekanan Giri. Sudah bertahun-tahun juga Alden berusaha bekerja dengan profesional. Tapi kini, Alden yang sedang sensitif, dan mendengar kalimat seperti itu, membuatnya hampir meledak.
"Opa!" Alden akhirnya berbalik menghadap Giri, walau pun dengan hembusan napas yang jelas menandakan bahwa dirinya sedang kesal. "Gak ada hubungannya dia sama kinerjaku, Opa." Lanjutnya, dengan tegas.
"Kamu pikir dia cinta sama kamu, hah? Bocah SD aja tahu, kalau dia cuma mau manfaatin uangmu, Al!" Giri kini benar-benar kesal. Entah kenapa, cucunya yang satu ini sangat keras kepala. Sebenarnya dia tidak perlu heran, kalau dirinya sendiri juga keras kepala.
Alden berdecak kesal, dan kembali memunggungi Giri. Cukup, dia tidak mau melanjutkan pertengkaran ini lagi. Padahal baru saja mereka makan bersama dengan kekasih, yang sudah lama dia kencani. Alden tidak bisa menerima sikap Giri yang sangat mudah menghakimi seseorang, hanya dengan satu pertemuan.
"Alden pergi dulu. Ada meeting satu jam lagi." Itu saja kalimat yang Alden ucapkan, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Giri sendiri di apartemennya. Tanpa memikirkan bagaimana Giri akan pulang.
Kali ini, Alden benar-benar menjadi cucu yang kurang ajar.
❖❖❖
Akibat dari cucu yang durhaka, Giri akhirnya harus menelepon sopirnya, dan menunggu untuk dijemput. Satu hal yang terpikir olehnya adalah Kala, anak sematawayang yang juga mewarisi sifat keras kepala keluarga Adhigana. Kala yang lahir dari keluarga pebisnis malah bersikeras ingin menjadi dokter. Alhasil, Alden-lah yang akan menjadi penerus bisnis perhotelan yang dibangun Giri dengan susah payah.
Sudah dapat privilege yang sangat luar biasa, tapi lihat kelakuan anak itu. Kurang ajar luar biasa.
Giri sebenarnya benci sekali bau rumah sakit. Karena bau obat dan desinfektan yang bercampur itu, mengingatkan Giri akan saat-saat terakhir Istrinya. Di rumah sakit inilah, Istrinya pergi kepangkuan Yang Maha Kuasa. Giri menghela napas, sebelum akhirnya masuk ke lobby rumah sakit, yang tampak sangat sibuk.
"Permisi, mbak. Dokter Kala Senja selesai praktek jam berapa ya?" Giri langsung bertanya pada resepsionis, berharap bisa bertemu Kala secepatnya.
Namun harapannya sia-sia ketika resepsionis menjawab, "Sekitar satu setengah jam lagi, Pak."
Giri mengangguk paham, dan memutuskan untuk menunggu di dekat ruang poli tempat praktek Kala. Tapi apalah daya manusia, semua bangku sudah terisi penuh. Giri lumayan terkejut melihat banyaknya pasien yang mengantre untuk bertemu dengan Kala. Sedikitnya Giri merasa bangga, padahal dulu dia yang pusing kepala karena Kala menolak berbisnis.
"Permisi? Duduk, Pak."
Giri tersadar dari lamunannya, saat seorang wanita berdiri dan menyilahkan dia duduk di bangku yang tadi didudukinya. Giri berterimakasih, dan mendapat senyuman manis dari wanita itu. Andai saja kekasih Alden semanis ini, pasti Giri akan langsung merestui hubungan mereka. Tidak perlu banyak drama.
"Mbak pasiennya dokter Kala juga?" Memang pada dasarnya Giri tidak bisa diam. Sudah begitu sejak muda. Dengan sikap itu juga, Giri bisa mengembangkan bisnisnya hingga besar.
"Oh, bukan Pak. Saya ada perlu sama dokter Kala." Balas wanita itu, sembari tersenyum. Lebar, ramah, dan terlihat sangat manis. Giri percaya siapa pun yang melihatnya pasti akan terpana. Atau mungkin hanya opininya saja.
"Oh... Mbaknya Medrep ya?"
Wanita itu tertawa kecil sambil mengangguk, "Iya, Pak."
Lumayan heran juga, bagaimana seorang pria tua bisa menebak profesi wanita itu dengan sekali coba. Tidak akan ada yang mengira bos besar seperti Giri juga pernah melalui masa-masa pahit dimana dia harus menjual. Ya, luamayan mirip dengan medical representative, marketing.
"Oh, iya mbak... Namanya siapa?"
"Alora, Pak."
"Alora? Cantik namanya, persis orangnya."
Keduanya tertawa. Giri tertawa riang, Alora tertawa renyah. Bingung harus bagaimana jika digoda oleh kakek-kakek. Tapi hal itu tidak mengganggu keduanya untuk kembali mengobrol kesana kemari. Satu setengah jam lebih lima menit, dihabiskan dengan mengobrol panjang kali lebar. Giri yang tadinya prustasi dengan Alden, kini lumayan terhibur oleh Alora.
Oleh karena itu, Giri sangat ingin meloloskan pertanyaan yang sangat gila. Saking prustasinya dengan Alden, didukung dengan alur cerita yang mengarah pada pria itu. Giri akhirnya meloloskan pertanyaan gila pada Alora.
"Mbak Alora, sudah menikah?"
Alora mematung dibuatnya. Terasa seperti disambar petir.
❖❖❖
"Hahaha! Aduh, Pa... Masa Alora mau dijodohin sama Alden sih?" Kala, yang sejak tadi ditunggu oleh Giri dan Alora, kini terbahak-bahak mendengar usulan dari papanya. Keduanya sejak tadi mengobrol sembari menuju ruang kerja Kala.
"Kamu sudah ketemu sama pacarnya Alden belum? Yang katanya artis itu."
Kala mengangkat bahunya, kemudian menggeleng. Kala membuka pintu ruang kerjanya, dan mempersilahkan Giri masuk lebih dulu.
"Tuh! Kamu kalau ketemu orangnya, bakal paham maksud Papa. Alden itu... Aduh... Gak tau deh kena guna-guna apa. Semar mesem kali ya!" Suara Giri meninggi memenuhi ruangan kerja Kala. Sedangkan Kala hanya terbahak-bahak mendengar Giri yang masih berdialog dengan menggebu. Disedikit kesempatan Kala bersyukur Ayahnya masih sangat sehat sampai bisa berbicara senyaring itu.
"Gak baik loh, Pa... Itu namanya judge a book by its cover."
"Sama aja kamu sama Alden."
Kala tertawa, kemudian menyuguhkan segelas air mineral pada Giri yang kini duduk di sofa.
"Terus, kenapa tiba-tiba Alora deh, Pa? Papa juga baru ngobrol sama dia tadi. Cuma satu setengah jam, loh."
"Kala, umur Papa ini sudah gak muda lagi. Papa sudah ketemu banyak orang. Kebanyakan orang mudah ketebak sifatnya."
Kala mengangguk paham, karena kini dia pun merasakan hal yang sama. Setelah banyaknya pasien yang dia hadapi, Kala hampir hapal tipe-tipe pasien, dan itu memudahkannya untuk bersikap. Apalagi kalau memingat pengalaman masa lalunya, Kala semakin yakin Papanya sangat jeli dalam menilai karakter seseorang.
"Kamu sendiri, kan sering ketemu Alora. Kamu pasti tau sifatnya gimana."
Kala berpikir sejenak, mengingat momen dirinya bersama Alora. Kemudian menggeleng dan berkata, "Kala ketemu dia cuma urusan kerja, Pa. Gak bisa dijadikan patokan. Biasanya sifat orang beda-beda, di kantor sama di rumah. Kita gak pernah tahu sifat aslinya."
Setelah meminum sedikit minumannya, Giri mengangguk pelan, setuju dengan kalimat Kala. Giri menaruh kembali gelasnya di atas meja, kemudian menatap Kala dalam-dalam, menandakan dirinya sedang serius.
"Tapi gak ada salahnya kita coba, kan. Tolonglah, kamu atur mereka supaya ketemu dulu. Papa bener-bener gak mau Alden dimanfaatin wanita kayak gitu." Awalnya, Giri terdengar sangat serius, namun semakin lembut dikalimat akhir.
Kala sangat mengerti kekhawatiran Giri. Dia bisa merasakan perasaan tulus Giri pada Alden. Kala juga merasa tidak enak, karena Alden sudah kasar pada Giri. Dengan segala pertimbangan, Kala akhirnya tersenyum kemudian mengangguk. Melegakan hati sang Ayah.
❖❖❖
Suasana rumah sakit masih sibuk seperti biasanya. Pasien berdatangan, tenaga kesehatan mondar-mandir melakukan tugasnya, medrep mengejar waktu kunjungan dengan para dokter. Tapi tidak dengan kasus yang satu ini. Mungkin sejarah boleh mencatat momen ini, dimana seorang dokter giliran mengejar seorang medrep.
"Wah gimana ya dok... Saya harus kunjungan ke dokter Ryan." Ujar Alora sembari curi-curi kesempatan untuk melipir kabur dari Kala yang sejak tadi mendesaknya. Padahal poli tempat praktek dokter Ryan juga ada di gedung yang sama.
"Sebentar, Al. Aduh... Mana ya... Kalau dicari aja susah ketemunya. Nah, udah saya kirim kontaknya."
Alora tertawa renyah di luar, mengaduh dalam hati. Tapi Alora tetap mengecek pesan masuk dari Kala. Sudah terkirim, dan sudah diterima oleh Alora, kontak seorang pria bernama Alden yang tidak lain tidak bukan adalah anak dari Kala.
"Gimana ya dok... Bukannya saya gak mau, tapi kalau ketahuan kantor, saya bisa dapat teguran..." Alora berusaha menolak sehalus mungkin permintaan dari Kala. Semua ini gara-gara Alora mengobrol dengan kakek-kakek yang ternyata adalah Ayah kandung dari Kala. Alora mengira kakek itu sedang mencari Istri muda, ternyata sedang menginspeksi calon mantu.
"Ah, itu sih gak masalah, Al. Yang penting kamu mau." Kala masih menyelaraskan langkah dengan Alora yang berusaha menghindar. Alora tidak pernah tahu kalau ternyata Kala segigih ini. Karena tidak bisa berpikir cepat, Alora akhirnya hanya nyengir saja.
"Oke ya, Al. Nanti saya bikin janji, di restoran hotel Adhigana, ya. Detilnya nanti saya-"
"Dokter Kala! Maaf banget dok, tapi saya sudah punya pacar." Alora akhirnya menggunakan alasan klise, berharap Kala tidak curiga. Memang betul sih, Alora punya kekasih. Tapi tidak bisa diraih. Karena yang dia sebut kekasih itu, adalah Benedict Cumberbatch, bapak tiga anak, yang terkadang berperan sebagai dukun.
Kala menarik napas seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi niatnya terhenti. Kala baru sadar, kalau dia sama sekali tidak tahu apa pun tentang kehidupan pribadi Alora. Kala juga sedikit merasa tidak enak, sehingga dia menyilahkan Alora yang pamit undur diri. Tapi disisi lain hatinya, masih ingin menyenangkan hati Giri.
"Alora!"
Wanita yang disebut namanya itu, menoleh dan menunggu Kala yang berjalan ke arahnya.
"Coba dulu, ya. Makan siang sekali, saya jadikan obatmu prioritas."
Di sini, ada Kala seorang dokter yang melakukan penawaran kepada Alora, seorang medical representative, yang tergiur dengan tawaran itu.
❖❖❖
Alora tidak bohong, dia benar-benar harus memenuhi target kunjungan dengan dokter Ryan. Sehingga di sinilah dia, ruang tunggu poli tempat prakter dokter Ryan, dokter muda idaman para wanita. Banyak desas-desus, kalau selain dokter, Ryan hanyalah pria biasa yang sangat suka dikelilingi wanita. Sehingga tak jarang para medrep wanita memanfaatkan kondisi ini demi terpenuhinya target penjualan. Tapi tidak dengan Alora, dia malah lebih tergiur dengan tawaran dari Kala.
Gila. Alora mungkin sudah gila. Berpikir untuk menerima tawaran itu saja sudah sinting. Apalagi benar-benar menerimanya? Alora tertawa kecil, menertawai kebodohannya sendiri. Disepanjang lamunannya, ternyata dokter Ryan sudah mengakhiri jam prakteknya. Beberapa medrep mulai mengelilingi pria bernama Ryan. Setelah kembali sadar, Alora tersenyum menghampiri Ryan.
"Siang, dok..." Sapa Alora, sembari menyerahkan layar tablet yang diap ditandatangani.
"Alora!" Ryan membalas sapaan dengan ramah. Tangannya menandatangani layar tablet Alora, tapi matanya hanya tertuju pada wanita itu. Ryan sering sekali begitu, terkadang dia tidak menandatangani tepat di kotak yang tersedia, sehingga lumayan merepotkan. Beruntung kali ini, Ryan tanda tangan di tempat yang seharusnya.
"Aku sebenernya mau marah sama kamu loh, Al." Suara Ryan mendadak terdengar serius.
Sambil menyelaraskan langkah dengan Ryan, Alora mencoba untuk tidak panik, "Wah, kenapa ya, dok?"
"Soalnya kamu manggil dak dok dak dok. Panggil Ryan aja."
Alora tertawa, hanya sekedar menghargai candaan Ryan. Sudah beberapa tahun belakangan ini, Alora harus menahan diri dengan sifat Ryan yang genit sana-sini. Dulu, Alora tidak terlalu menarik perhatian, tapi entah kenapa tiba-tiba saja Ryan jadi sangat sering menggoda Alora.
"Sekarang serius, Al. Aku mau tanya, kenapa sih stoknya lama banget kosong? Coba kamu ke farmasi. Stok kita kayaknya udah mau habis, deh."
Alora bisa bernapas lega. Ternyata Ryan benar-benar membahas soal kerja. Karena Alora sudah tidak tahu harus bagaimana lagi, kalau Ryan terus-terusan menggodanya. Mau risih, tapi klien. Mau protes, tapi bisa fatal akibatnya kalau Ryan tersinggung.
"Waduh, coba nanti saya cek dulu ya, dok. Kalau di gudang masih kosong, biar saya minta kirim dari pabriknya langsung." Alora berusaha terdengar profesional, dan untung saja Ryan membalasnya dengan senyuman.
"Oke deh... Tapi jangan panggil 'dok' dong. Ryan aja!" Tanpa beban, Ryan tiba-tiba merangkul Alora, sampai wanita itu bergidik terkejut. Ryan bahkan menarik Alora untuk berjalan mengikutinya.
Sementara Ryan senang-senang saja dengan aksinya, Alora sudah panik setengah mati. Tubuh seakan kehilangan roh, hanya berjalan seperti robot. Dia bingung harus bagaimana. Tangannya menggenggam erat tote bag yang diposisikan ke depan. Alora takut setengah mati. Dirangkul secara tiba-tiba saja sudah membuatnya takut, apa lagi kalau harus berpikir kemana Ryan akan membawanya.
"Alora!"
Seperti bantuan Ilahi, seorang wanita terdengar menyerukan namanya. Kesempatan ini digunakan Alora untuk lepas dari rangkulan Ryan, dan berbalik mihat sang pemilik suara. Ternyata Kala, dokter paling baik yang Alora kenal. Dalam hati Alora mengucapkan beribu-ribu terima kasih, akhirnya kini dia bisa bernapas lega.
"Siang kakak..." Sapa Ryan pada Kala, masih dengan senyum, dan tidak terlihat merasa bersalah sama sekali.
Kala hanya tersenyum miring pada Ryan, kemudian beralih menatap Alora. "Alora, saya ada perlu, kita ke ruangan saya, ya."
Alora mengangguk mantap, kemudian mengekori Kala menuju ruang kerja bertuliskan 'dr. Kala Senja Adhigana, Sp. B'. Di sana, Alora dipersilahkan duduk disofa, dan tidak lupa Kala menyuguhkan segelas air mineral. Kala duduk di sebelah Alora, kemudian menggenggam tangan wanita itu yang masih mengepal di atas pangkuannya. Dingin. Alora pasti sangat ketakutan.
Menyadari hal itu, Alora buru-buru menarik tangannya, sembari mengambil gelas dan meminum isinya setengah. Alora berterimakasih setelahnya. Dia masih diam, berusaha menyembunyikan rasa takutnya. Tapi terlambat, Kala sudah menyadari segala setuasinya.
Setelah menghela napas, Kala kemudian berkata, "Permintaan saya tadi gak usah dipikirkan ya, Al. Gak apa-apa kok." Kala membuat suaranya selembut mungkin, berharap bisa membuat Alora tenang.
Tapi wanita itu sangat ahli menyembunyikan perasaanya. Alora bahkan sudah tersenyum, walau pun Kala masih bisa merasakan kalau Alora belum tenang sepenuhnya.
"Maaf ya, dok."
"Loh gak usah minta maaf, Al... Saya yang minta maaf, udah minta yang aneh-aneh."
Alora tertawa. Kini dirinya sudah merasa lebih rileks berkat Kala. Mungkin seharusnya Alora lebih berterimakasih.
"Papa saya memang gitu, kalau udah suka sama sesuatu, pokoknya kudu dapet."
Keduanya tertawa. Kini, Kala merasa Alora sudah benar-benar tenang.
"Anak saya itu sebaya sama kamu. Akhir dua puluhan lah. Kamu 29, kan?"
"Saya 28, dok."
"Oh, beda satu tahun berarti. Yah pokoknya gitu lah. Kata papa, udah mau kepala tiga, gak nikah-nikah. Yah, pemikiran orang jaman dulu lah. Nah, cucunya ini punya pacar, tapi gak mau nikah. Singkat cerita ketemu lah papa sama pacarnya anak saya. Dia gak suka, malah sukanya sama kamu. Aduh... Jadi minta yang aneh-aneh. Saya yang gak enak sama kamu."
Padahal Kala dan Alora tidak pernah sedekat ini, tapi keduanya saling mengobrol tanpa canggung sedikit pun.
"Katanya kamu baik, cocok sama anak saya."
Alora tertawa, kemudian menyilangkan tangannya, "Waduh saya gak sebaik itu, dok. Jangan deh, saya gak pantas sama anaknya dokter Kala."
Kala ikut tertawa kemudian kembali bebicara dengan suara yang terdengar serius. "Kenapa gak pantas? Kamu gak percaya kamu itu baik?"
Alora diam.
"Kamu jangan mikir kayak gitu... Kamu pantas kok buat pria baik-baik. Saya gak bisa bilang anak saya baik seratus persen. Dia punya kekurangan, dan saya rasa kamu pantas dapat yang lebih baik dari dia."
Alora masih terdiam. Dia tidak menyangka Kala akan mengatakan hal itu. Tidak salah Alora menilai Kala sebagai dokter paling baik di antara para dokter yang dia kenal. Kali ini, Alora merasa sangat berhutang pada Kala. Alora harus membalas kebaikan Kala, tidak peduli dengan target penjualan, Alora hanya ingin berterimakasih pada Kala.
"Restoran di hotel Adhigana ya, dok? Saya usakan tepat waktu."
Kala tertawa, begitu juga dengan Alora.
❖❖❖
Alora sudah berusaha tepat waktu. Diperjalanan saja, dia sudah mempercepat laju motornya. Semua usahanya membuahkan hasil. Alora datang tepat waktu. Jam 1 siang, di restoran hotel Adhigana. Begitu sampai, Alora langsung diantar oleh waitress, bahkan tanpa Alora mengenalkan diri.
Alora mengikuti waitress menuju sebuah meja yang sudah disiapkan. Di sana ada seorang pria dengan blazer kotak-kotak sedang duduk menunggu. Tiba-tiba saja Alora merasa tidak tenang, atau gugup, atau deg-degan, yah intinya begitu. Pasalnya, Alora tidak pernah sama sekali kencan dengan seorang pria. Lebih tepatnya dia menghindar. Tapi mengingat rasa terimakasih nya pada Kala, kali ini Alora tidak menghindar lagi.
Waitress menyilahkan Alora duduk di hadapan pria yang sedang sibuk dengan ponselnya. Karena mengira ada hal penting, Alora jadi enggan mengganggu aktivitas pria itu. Sampai beberapa saat, barulah pria itu menyimpan ponselnya dan menatap Alora.
Merasa sudah mendapat perhatian, Alora melebarkan senyumnya, hendak mengenalkan diri. Tapi belum sempat Alora buka suara, pria itu sudah lebih dulu memotong.
"Saya Alden, kamu pasti Alora."
Kenapa Alora merasa pria itu sok tahu, padahal dia memang benar, dan Alora juga memang berniat untuk mengenalkan diri. Tapi... Entahlah, Alora hanya tidak nyaman dengan nada bicara Alden. Seperti orang sombong yang merasa tahu segalanya, dan orang sok sibuk yang tidak mau diganggu. Kesan pertama yang buruk, bagi Alora.
Dari banyaknya kalimat di kepala Alora, dia hanya mengangguk mengiyakan kalimat Alden, membuat pria itu mengangguk juga. Alden biasanya mudah penasaran dengan hal baru, tapi melihat orang baru di hadapannya, tidak juga membuat rasa penasarannya muncul. Dia malah meneliti setiap penampilan Alora dengan raut wajah sedatar mungkin.
Alora mengenakan kemeja biru polos, celana jeans panjang dengan sneakers. Itu saja. Sekali lagi, hanya itu. Alden yang masih tergila-gila dengan kekasihnya, lantas membandingkan penampilan polos Alora dengan penampilan glamor kekasihnya. Sangat berbeda, dan Alden tidak tertarik dengan kepolosan Alora. Tidak untuk saat ini, tapi cukup memberi kesan pertama yang tidak baik.
Sepertinya kencan yang diatur secara tiba-tiba memang tidak bisa seindah drama korea, atau film romansa pada umumnya. Bisa saja kedua belah pihak malah tidak memiliki ketertarikan satu sama lain. Seperti Alden dan Alora.
Setelah memesan, satu persatu makan dan minuman yang mereka pesan datang. Alden, yang sudah bertekad membuat kesan buruk, memilih bir sebagai minumannya. Sedangkan Alora, yang memang sudah memiliki kesan buruk pada Alden, yah, biasa saja. Dia hanya pesan soda, dan pasta.
Keduanya tidak banyak bicara, hanya berbincang soal data diri masing-masing. Seperti usia, pekerjaan, Alden juga bertanya bagaimana Alora bisa mengenal Giri, kemudian tertawa setelah mendengar jawaban wanita itu. Agaknya, rasa emosi Alden terhadap Giri kembali muncul ke permukaan.
"Aneh. Gak habis pikir aku sama Opa."
Alora tertawa kecil, mengetahui Alden mengubah kata ganti orang pertama dari Saya menjadi Aku.
"Ya kan? Aneh, kan?"
Alora lebih terkejut dengan kalimat Alden selanjutnya. Atau lebih tepatnya, pertanyaan. Tadi, Alden masih menggunakan bahasa baku dan nada yang tidak bersahabat, tapi kini dia malah bicara seolah-olah mereka sudah kenal dekat.
"Yah, aku pikir juga aneh, sih."
"Terus kenapa kamu ke sini?"
Alora baru saja membalas sikap santai Alden, tapi pria itu kembali berubah ke mode serius. Benar-benar orang yang tidak bisa ditebak, atau mungkin lebih tepat disebut spontan, atau frontal. Apa pun itu, intinya Alora merasa tidak nyaman dengan prilaku Alden.
"Sudah kubilang, karena dokter Kala-"
Kalimat Alora terputus karena Alden mengangkat jemarinya meminta wanita itu untuk berhenti. Kemudian Alden menatap ponselnya yang bergetar beberapa kali tanpa jeda. Seperti ada yang mengirim banyak pesan dalam satu waktu. Belum lama Alden menatap ponselnya, sebuah telepon masuk sudah membuat pria itu bangkit dan memberi isyarat permisi pada Alora.
Di potong seperti itu saja sudah membuat Alora kesal, apa lagi ditinggal begitu. Kalau dilihat-lihat, Alden ini seperti pria yang tidak punya sopan santun. Setidaknya itu opini Alora setelah bertemu Alden kurang lebih satu jam. Manusia memang unik, hanya dalam satu jam saja mereka bisa mencintau, atau membenci. Dan Alora memilih membenci, walaupun dia sembunyikan di balik senyuman.
Daripada pusing memikirkan pria yang baru dia kenal, Alora memilih untuk melanjutkan aktivitas makannya. Sesekali dia melirik ke arah Alden yang berdiri dekat dinding kaca, tak jauh dari mejanya. Disatu waktu, Alora melihat Alden menjauhkan ponselnya dari telinga sembari mengernyit, kemudian menghela napas dan kembali menelepon. Dalam sekali lihat, Alora bisa menebak yang ada di seberang telepon itu pasti kekasihnya.
Beberapa saat setelah itu, Alden kembali ke bangkunya kemudian memotong steak yang sudah dimakan setengah. Tapi berhubung sudah terlanjur emosi, Alden menjatuhkan pisau dan garpu ke piring, membuat suara dentingan yang keras. Alden membuang napas dengan kasar, lalu menegak birnya setengah gelas. Memang seharusnya dia tidak datang ke acara kencan ini, sampai membuat sang kekasih merajuk.
"Kamu tadi bilang apa? Kenapa kamu ke sini?" Tiba-tiba Alden mengulang pertanyaannya, membuat Alora menghentikan suapannya.
"Kubilang karena dokter Kala pernah bantu aku."
"Cuma itu?"
"Kamu sendiri? Bukannya kamu punya pacar?"
Alden mengernyitkan dahi, terheran kenapa Alora bisa tahu. Alden diam. Dia sendiri juga menyesal sudah menuruti Giri, karena malas diomeli terus menerus. Alden kembali memotong daging steaknya kemudan menjatuhkan pisau garpunya, untuk kedua kali. Selera makannya benar-benar hilang.
"****! Kenapa dagingnya alot gini sih?" Gerutu Alden, lalu menegak birnya.
Mendengar Alden mengumpat, benar-benar membuat Alora muak. Dia sudah kesal sampai ke ubun-ubun. Tapi yang namanya Alora, bibirnya masih saja tersenyum. Ditambah dengan sedikit tawa mengejek, saking herannya bagaimana Kala bisa melahirkan anak seperti ini. Alora berhenti makan dengan sedikit sisa makanan, kemudian meminum sodanya. Alden benar-benar membutnya tidak napsu makan.
"Kenapa baru alot sekarang? Padahal tadi fine-fine aja." Ujar Alora dengan senyuman, sengaja menggunakan nada menyindir sampai yang mendengar tersinggung. Biar saja dia emosi setengah mati.
"Apa maksudmu?"
Benar, kan?
"Kamu sudah habis setengah, tapi baru marah-marah. Harusnya kamu gak lampiasin emosi ke makanan."
Alden tertawa renyah, kemudian berkata, "Gak usah sok tahu!"
"Kenapa? Pacarnya marah ya?" Alora tersenyum, sengaja menggoda Alden dengan tenang.
Sedangkan yang digoda, terlihat semakin emosi. Alden menyandarkan bahunya, lalu menatap Alora dengan tajam. Sudah cukup Alden merasa kesal karena situasi ini, Alora malah menumpahkan minyak di atas api.
"Aku bilang, gak usah sok tahu."
"Yah, mana ada sih, yang mau pacarnya ken-"
"Stop, Alora!"
Alden memotong kalimat Alora untuk kedua kalinya. Kali ini dengan nada yang agak ditinggikan. Tidak perlu menggebrak meja atau melempar air, suara Alden sudah cukup membuat beberapa orang menoleh ke arah mereka. Beberapa waitress bahkan mulai berbisik, antara bergosip atau terheran-heran. Jujur saja, kondisi ini sangat cocok untuk digosipkan. Bagaimana bisa sebuah kencan berubah menjadi pertengkaran?
Kali ini, Alora tidak merasa kesal setelah kalimatnya diputus oleh Alden. Dia malah tersenyum, merasa puas karena sudah membakar emosi Alden yang sudah tersulut. Alora menegak sisa minuman sodanya sampai habis. Kemudian kembali menatap Alden sembari tersenyum.
"Aku heran. Wajar kalau pacarmu marah. Tapi, kenapa kamu ikut marah?"
Alden berdecih, kemudian meremehkan Alora, "Kamu tahu apa sih?"
"Oh, gak... Aku gak tahu apa-apa... Yang aku tahu, sikapmu gak wajar." Alora mengangkat bahunya, lalu melanjutkan kalimatnya, "Kelihatannya sih gitu..."
Tak disangka-sangka, kalimat Alora mampu menekan emosi Alden. Alora benar, Alden yang salah karena sudah bertemu dengan wanita lain. Seharusnya dia tidak emosi seperti itu. Mungkin karena hari ini Alden terlalu sensitif. Tapi itu pun tidak bisa dijadikan alasan. Setelah mendengar Alora, lantas Alden bisa berpikir jernih.
"Iya sih..." Ujar Alden, akhirnya melunak. "Aku kesal karena harus ke sini. Kena omelan sana sini." Lanjutnya, lalu menghela napas panjang.
Oke, walaupun Alden terlalu banyak bercerita, padahal Alora tidak penasaran juga, tapi wanita itu tersenyum pada pria di hadapannya.
"Sorry, jadi merusak suasana."
Alora cepat-cepat menggeleng untuk menanggapi Alden. Suasana di antara mereka memang tidak pernah baik, jadi tidak ada yang bisa dirusak.
"Nah, it's okay."
Alora dan Alden saling bertukar pandang, cukup lama. Kemudian Alden mengangkat sedikit ujung bibirnya, membalas senyuman Alora yang selalu mekar sejak tadi. Ini adalah pertama kalinya mereka saling menatap cukup lama. Ini juga pertama kalinya Alora melihat Alden tersenyum, walaupun sedikit.
"You can go. Go and tell her you're sorry."
Alden mengangguk, lalu bergegas bagun dan pergi. Dia sempat berbicara sebentar dengan waitress, kemudian menoleh pada Alora dan mengangkat tangannya memberi isyarat pamit. Alora tersenyum, sembari ikut mengangkat sebelah tangannya.
Akhirnya, suatu hari yang terasa sangat campur aduk, dapat diselesaikan dengan baik.
❖❖❖
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!