Seluruh tubuh Adeeva bergetar hebat mendengar suara lantang lelaki di luar sana ijab kabul menyebut namanya. Mimpi apa dia telah menjadi isteri ke enam dari pengusaha tambang terkaya tanah air. Pernikahan yang tidak diharap Adeeva di usia relatif muda. Rasanya baru selesai kuliah, kerja setengah tahun di salah satu perusahaan di Bandung. Sekarang telah menjadi bini ke enam alias selir paling muda dari enam bini lelaki gila perempuan.
Sedikitpun Adeeva tak rela jadi gundik lelaki bernama Hakim Dilangit. Adeeva tidak tahu bagaimana tampang lelaki yang jadi suaminya. Ntah ganteng, jelek atau botak tak ada gambaran di otak Adeeva. Tidak pernah jumpa namun kini telah jadi suaminya. Jangan-jangan tampangnya idiot mirip badut jatuh di jalan tol lalu dilindas truk tronton. Hancur berantakan.
Kilas balik sebelum menikah.
Adeeva gadis cantik perpaduan Jawa dengan wanita China Singapura. Abah orang Jawa asli sedang Umi mualaf dari negara Singapura. Kecantikan Adeeva klasik perpaduan dua negara berbeda. Wajah seratus persen wajah asli Jawa bermata seindah mata ikan koi. Hidung mancung bak dasun tunggal, alis mata bak semut beriring. Satu-satunya warisan dari Uminya hanya warna kulit sebening salju. Kalau hendak beri nilai pada Adeeva mengenai kecantikannya bisa jebol nilai sembilan.
Adeeva selesaikan S1 di ITB lalu lanjut S2 di kampung halaman uminya di Singapura. Dengan ijazah dengan nilai mumpuni Adeeva berhasil kerja di perusahaan cukup bonafide di Bandung sebagai database administrator. Baru setengah tahun kerja Abah minta Adeeva pulang untuk dijodohkan dengan tunangan masa kecilnya. Tanpa pikir panjang Adeeva menolak pernikahan konyol ini. Kapan tunangan, siapa tunangan sama sekali Adeeva tak tahu. Betapa bodoh menikah dengan lembaran kosong tanpa warna.
Drama sakit jantung, hipertensi naik sampai diopname di rumah sakit bagai ******* meneror Adeeva. Mau tak mau Adeeva pulang ke rumah lihat kekacauan yang ditimbulkan kedua orang tuanya.
Adeeva mengendarai mobil SUV produk tahun seumuran dengannya balik ke rumah orang tuanya. Perjalanan hampir tiga jam membuahkan hasil Adeeva tiba dengan selamat di rumah.
Rumah jadi saksi bisu perjalanan hidup Adeeva berdiri tegak di depan mata Adeeva. Di sinilah asal mula Adeeva terbentuk jadi manusia. Hari demi hari Adeeva lalui proses dari bayi ke balita lanjut ke remaja tanggung menyusul jadi remaja hingga berdiri di rumah yang sama.
Tak ada yang berubah selain rumah di cat lebih bersih. Atap rumah masih sama sebelum dia tinggalkan, halaman masih rapi dihiasi aneka jenis bunga kesukaan sang Umi.
Langkah Adeeva terasa berat untuk melangkah masuk ke dalam halaman rumah tempat dia tumbuh dewasa. Ntah apa yang bakal terjadi bila dia jejakkan kaki ke dalam rumah. Ribut porak porandakan rumah agar rencana konyol kedua belah pihak dibatalkan.
Siapa mau jadi istri keenam dari lelaki yang umurnya pasti bangkotan. Ke mana abahnya yang sangat terkenal arif bijaksana. Saking arif sampai tega nikahkan anak dengan lelaki berbini lima. Adeeva berada di posisi ke enam. Klop setengah lusin bini orang sinting itu.
"Neng Eva...." seru Bik Nunik pengasuh Adeeva dari bayi. Perempuan paro baya itu berseru girang melihat orang yang dinanti satu keluarga telah pulang.
Eva tersenyum seringai serigala. Retina Adeeva mencari sesuatu di wajah perempuan yang jadi ibu keduanya. Adeeva mau tahu apa ibu asuhnya ikut terlibat dalam misi tragedi Siti Nurbaya abad nuklir.
Bik Nunik membuka pintu pagar agar mobil Adeeva bisa dimasukkan ke dalam halaman. Adeeva memilih biarkan mobil tetap di luar agar bisa cepat kabur bila suasana tidak kondusif. Bila kesepakatan tak berhasil jalan pintasnya ambil langkah seribu.
Adeeva masuk ke rumah hanya bawa badan. Semua barang masih tertinggal dalam mobil berhubung suasana belum ada kepastian. Masuk ke kandang singa butuh tameng pelindung. Adeeva bukan mau jadi anak durhaka cuma permintaan kedua orang tuanya di luar akal sehat.
Orang tua mana tega jerumuskan anak ke lubang buaya. Orang tua normal berharap anaknya hidup bahagia bersama anak suami tanpa kehadiran orang lain. Ini mah aneh umpan anak pada buaya buntung. Sudah buntung tua lagi.
"Neng...ayok masuk! Sudah ditunggu Abah dan Umi!" lagi-lagi suara Bik Nunik menyadarkan Adeeva dia harus berperang melawan musuh dalam selimut.
Adeeva tak mau menghela nafas kayak orang lain bila dapat masalah. Tarik nafas buang sejuta kali dia tetap harus jadi pengacara untuk diri sendiri di persidangan keluarga.
"Bismillah..." Adeeva berdoa dalam hati semoga ada pencerahan di hati kedua orang tuanya.
Tubuh Adeeva bergetar tatkala masuk ruang keluarga. Puluhan pasang mata menancap ke tubuhnya bagai serangan ratusan anak panah. Tidak sakit tapi panas. Jenderal, panglima serta hulubalang duduk rapi di sepanjang sofa rumah yang lumayan panjang.
Kali ini Adeeva menyerah. Kesempatan untuk memenangkan perang ini tertutup sudah. Jenderal utama di keluarga mereka yakni Oma Uyut duduk gagah walau tanpa baju kebesaran jenderal. Nyali Adeeva yang sudah di upgrade ke level maksimum tak berguna bila jenderal pemegang kekuasaan telah turun gunung.
"Sayangku...akhirnya kau pulang!" seru Tante Lis adik Abahnya yang genit.
Adeeva meringis seperti ketelan sebakul cabe rawit. Lidah terasa kelu tak bisa keluarkan suara lagi. Kaki Adeeva bergerak menyalami Oma Uyut dengan takzim lalu ke Abah Umi disusul seluruh penghuni ruang tamu. Umur Adeeva paling kecil jadi dia harus merendahkan diri menyalami yang lebih tua.
Acara bersalam selesai berganti menanti sidang menentukan hidup mati Adeeva. Adeeva memohon pada Uminya agar membantunya keluar dari pembodohan status. Gadis secantik Adeeva dijadikan bini ke enam. Tragedi apa sedang disusun keluarga untuk mengubur Adeeva hidup-hidup. Di luar sana puluhan cowok antrian mengharapkan cinta Adeeva namun Adeeva masih ingin menikmati masa jomblo sambil meniti karier. Baru naik satu anak tangga langsung ditendang ke bawah lagi.
"Duduklah sayang! Kau pasti lelah! Bik...ambilkan Eva air teh!" ujar Oma Uyut kalem menghanyutkan.
Adeeva sengaja memilih kursi jauh dari sofa agar tidak pusing dicerca pertanyaan satu truk tronton. Adeeva takut malah melebihi kapasitas muatan.
"Terima kasih Oma...ada rapat apa sampai Oma Om Tante kak Deswita dan bang Farhan kumpul sini?" Adeeva berlagak pilon belum paham tujuan kumpul keluarga ini.
"Pertanyaan bagus! Kau sudah dewasa nak! Oma pikir waktunya kau berkeluarga."
"Oh itu...Eva belum terpikir ke situ! Eva ingin bekerja dulu gunakan ilmu yang Eva pelajari di kampus. Eva pasti nikah tapi bukan sekarang." tukas Adeeva cepat sebelum obrolan melebar ke mana-mana.
"Eva...Oma sudah ada calon untukmu! Bukan calon lho tapi memang suamimu sejak kau bayi! Sebelum kau lahir kau sudah dinikahkan dengan laki itu. Sesuai perjanjian sebelum kau berumur dua puluh empat kau harus menikah balik dengannya. Ini waktu tepat! Sekarang umurmu dua puluh tiga. Waktunya kembali pada suamimu!" Oma berkata kalem tanpa emosi.
Adeeva ingin mencekik leher sendiri biar bunuh diri di depan seluruh keluarga. Mana ada cerita jaman diungkit pada abad nuklir gini. Tradisi atau mitos jaman baheula dibawa ke jaman orang naik ke bulan. Bukan cuma injak kaki di bulan tapi sebentar lagi piknik ke planet Mars. Ini keluarga masih kuat pegang tradisi kuno di luar nalar waras.
"Oma...itu kisah jaman orang naik sepeda ontel! Sekarang orang naik kuda besi. Sebentar lagi naik kuda besi terbang. Eva tak mau nikah cepat. Orangnya mau mati ya maka ingin cepat nikah! Mati aja dulu! Tunggu lahir kembali baru nikahi Eva." Adeeva mulai liar terpancing emosi. Cucu idola paling cantik manis pupus dari sosok Adeeva yang berbalut emosi.
"Eva...bicara yang sopan!" bentak Abah anggap Eva keterlaluan bicara tidak sopan.
"Abah ini sama saja tidak ngerti perasaan Eva. Orang tua lain berharap anaknya hidup layak di masyarakat. Ini kalian ceburkan Eva ke kobaran api! Kenapa nggak sekalian mutilasi Eva kirim ke calon menantu songong kalian? Eva tetap menolak nikah sama orang jompo. Eva sudah punya pilihan hati." Adeeva terpaksa berbohong untuk meloloskan diri dari pernikahan mengerikan ini.
"Eva...dengar Umi nak! Sewaktu Umi hamil kamu hampir keguguran maka Abah bernazar bila kau terlahir sehat akan dinikahkan dengan Hakim. Hakim itu anak yang menolong Umi waktu jatuh di jalanan. Dia yang antar Umi ke rumah sakit. Berkat nazar ini kau terlahir di dunia. Nazar harus dibayar nak!" suara lembut Umi meresap di kuping Adeeva.
"Umi...ya nggak harus gitu! Masa anak Umi yang cantik jelita harus jadi bini ke enam. Enak banget tuh setan dikelilingi setengah lusin wanita. Eva jijik punya suami sejuta umat."
"Nak...keluarga Hakim sudah mendesak kalian segera menikah agar Hakim terbebas dari kutukan." timpal Tante Lis ikut sumbang bujukan.
"Laki songong itu dikutuk? Syukuri...emang pantas kok dikutuk! Rakus amat kumpulin bini. Emang dia maha raja produk jaman kerajaan kuno?"
Deswita dan Farhan tak dapat menahan tawa dengar kata-kata Adeeva yang asal bunyi. Dapat dibayangkan betapa putus asa Adeeva tiba-tiba harus menjadi bini orang di urutan enam. Adeeva cantik kayak bidadari nyasar ke bumi sayang nasib tak secantik wajah.
"Gini lho nak! Mamanya Hakim pernah berkata di hadapan para tetua keluarga kalau Hakim takkan punya keturunan kalau tak menikah denganmu." Oma perkuat kisah di luar nalar sehat ini.
"Itu urusan mereka! Oma jangan percaya mitos deh! Dasar si Hakimnya mandul aku jadi sasaran. Kalau niat mereka bersih tak mungkin kumpul bini sampai lima. Apesnya mengarah ke aku pula. Pokoknya nggak mau nikah sama suami songong. Jangan-jangan cacat mental! Mata juling sana sini, air liur mencurah menetes sepanjang leher. Amit-amit deh Oma!"
"Eva...makin kurang ajar kamu! Lusa kau menikah. Waktu sudah ditetapkan. Ini demi kelangsungan hidupmu!" bentak Abah tak sabaran dengan sikap pembangkang Adeeva.
Adeeva yang biasanya patuh dan manis kok berubah sangar melawan orang tua. Dari mana nyali Adeeva berani melawan.
"Demi hidup Eva? Dua hari menikah Eva langsung menciut saking banyak makan hati. Gimana Eva bisa hidup tenang bila lihat suami saja jijik? Tiap malam ganti saos celupan. Najis tau..."
"Dek...bukan Abang mau ikut campur! Kita harus hormati nasehat orang tua. Gini saja! Kau coba dulu barang setahun kalau tidak cocok ya bubar! Asal nazar telah tercapai kalian tidak klop ya pisah?" Farhan mencoba beri jalan tengah agar persoalan capai titik temu.
"Lalu aku janda muda? Di KTP tertulis status Janda muda. Miris amat hidup aku! Mending aku gantung diri di batang tomat." ngedumel Adeeva bikin seisi rumah menahan tawa. Ada saja cara Adeeva ekspresikan amarah. Sok mau gantung diri di batang tomat. Kapan matinya.
"Abang punya solusi untukmu! Kamu minta nikah siri saja. Kalau cerai ntar tinggal talak. Tidak perlu naik sidang. Statusmu bersih. Gimana? Ide cemerlang kan?"
"Boleh gitu ya! Boleh juga ide Abang! Ok...aku punya beberapa syarat sebelum menikah dengan kakek tua bin keriput!" Adeeva bangkit dari kursi mengitari ruangan perlihatkan gaya orang sedang larut dalam sejuta pikiran.
"Oma janji penuhi tuntutan kamu asal menikah dengan nak Hakim!" seru Oma semangat.
"Pertama nikah secara siri, kedua Eva tetap kerja di Bandung, ketiga Eva pulang sebulan sekali, keempat Eva tak mau diganggu oleh kakek tua itu selama kerja, kelima busana menikah nanti Eva urus sendiri, ke enam..." Adeeva berhenti di syarat ke enam. Sejujurnya Adeeva belum ada ide untuk cetuskan syarat ke enam.
"Ayo apa yang ke enam?" Oma tak sabar menanti permintaan Adeeva selanjutnya.
"Oya...Eva tak suka tak mau tinggal serumah dengan para Harem kakek itu. Eva mau rumah asing sendiri. Bisa dipenuhi?"
"Cuma itu syaratmu? Apa tidak mau ditambah kakek tua tak boleh tidur di ranjang mu?" olok Deswita merasa Adeeva lucu banget ngasih syarat.
"Bagus juga ide kak Des! Ok ditambahkan syarat itu. Selama jalani pernikahan tak ada kontak fisik alias tak boleh kunjungi aku karena pernikahan ini hanya membayar nazar. Aku mau semua tertuang di kertas perjanjian secara tertulis dan ditanda tangani kedua belah pihak."
"Oma rasa itu tak perlu. Oma akan bicarakan syaratmu dengan keluarga Hakim. Kau tak boleh kabur lagi ke Bandung. Tetap di rumah sampai hari H."
"Ok...aku sudah ijin dua hari. Selesai nikah aku langsung balik ke Bandung. Deal?"
Oma besarkan mata tanda marah pada permintaan Adeeva yang tak masuk akal. Masa baru menikah langsung pergi. Nikahan model apa itu?
"Sayang...kita ini keluarga beradab. Bisa tidak hargai perasaan mertuamu? Mereka kan malu punya menantu kabur-kaburan."
"Apa mereka punya perasaan?" Adeeva menghina keluarga calon suaminya. Andai mereka punya perasaan tak mungkin memaksa seorang gadis muda menikahi lelaki jompo punya selir satu gudang. Kalau mau dibawa ke ajang debat umum, Adeeva akan babat mereka hingga ke akar-akarnya. Adeeva masih hargai Oma dan kedua orang tuanya maka mengalah.
"Eva...baru hari ini Oma tahu sifatmu sangat keras. Di mana cah ayu Oma yang manis?" Oma cukup terperanjat Adeeva sekeras ini menentang pernikahan dengan calon suami takdirnya.
Semula keluarga Adeeva mengira semua akan berjalan mulus karena sifat Adeeva yang penurut. Siapa sangka gadis kecil mereka telah tumbuh sayap terbang tinggi menatap mereka dari atas.
"Oma...semut itu kecil tak berdaya namun kalau ditekan terusan dia bisa menggigit. Itu syarat Eva. Mau terima atau tidak terserah. Eva bisa balik ke Bandung sekarang juga." Adeeva melangkah hendak tinggalkan ruang tamu yang ajang sidang masa depan Adeeva. Selagi masih ada kesempatan berjuang untuk kebebasan sendiri tetap Adeeva jabarkan.
"Berhenti...kalau kau keluar dari rumah ini maka selamanya kau tak perlu balik sini."
Langkah Adeeva terhenti oleh ultimatum keras dari Abah. Kelihatannya Adeeva tak diberi point untuk melawan. Vonis Abah sama saja mengusir Adeeva dari keluarga untuk selamanya.
Perlahan Adeeva memutar badan menghadap Abah yang mengeraskan wajah tak sangka putri kesayangannya berani berontak. Adeeva tidak ingin tampak lemah di depan semua orang. Ikuti saran orang tua sama saja melempar diri dalam kerangkeng besi. Di sana dia dikurung bersama selir lain menanti kapan sang maha raja menjenguk mereka. Pembodohan wanita di jaman moderen. Yang beginian harus dilawan agar jangan ada tragedi memilukan di kemudian hari.
"Baik...Eva takkan pulang lagi! Anggap saja di dunia ini tak pernah ada Adeeva Larasati. Assalamualaikum..." Adeeva keraskan hati menentang Abah kali ini. Adeeva tak berharap jadi anak durhaka tapi ingin perjuangkan masa depan. Tidak mungkin kisah hidup Adeeva berakhir tragis di tangan lelaki hidung belang.
"Eva...Oma setuju...jangan pergi! Oma setuju semua syaratmu!" Oma menahan Adeeva di detik terakhir.
Adeeva tertegun sadar tak ada jalan putar balik ke titik nol di mana dia tak pernah mengiyakan pernikahan ini. Pernikahan ini akan dilaksanakan sesuai perjanjian lisan. Terbersit rasa menyesal Adeeva telah gegabah turunkan persyaratan. Pernikahan ini tak bisa dihindari.
"Baiklah! Eva siap menikah asal semua tuntutan dipenuhi. Ingat jangan usik kerja Eva!" tegas Adeeva tak mau kecolongan lagi.
"Oma janji...tapi bersikap sopan ya nak! Kita keluarga terpandang tidak melahirkan keturunan liar." ujar Oma Uyut lembut. Nenek tua ini sadar tak ada guna bersikeras dengan Adeeva. Adeeva makan lembut tak makan kasar.
"Deal...Eva minta maaf kalau tidak sopan! Eva mohon pengertian kalian semua. Siapa tidak kaget tiba-tiba di nikahkan sama lelaki tua. Jadi selir ke enam lagi." Adeeva melunak minta maaf sadar telah kurang ajar pada orang tua. Adeeva bukan tak tahu berdosa menjadi pembangkang.
"Nah itu baru cucu Oma. Sekarang pergilah istirahat! Kau pasti lelah bawa mobil dari Bandung."
"Eva mau keluar sebentar cari busana untuk akad nanti!"
"Kak Des kawani?" Deswita menawarkan diri temani Adeeva cari busana pengantin akad besok.
"Tidak kak! Eva ada teman punya butik pakaian pengantin. Selera kak Des nggak akan sama dengan Eva. Jadi keputusannya Eva pergi sendiri."
"Pergilah asal bukan kabur! Ambil ini untuk beli keperluanmu!" Abah memberi kartu warna gold pada Adeeva. Semarah apapun Abah tetaplah seorang ayah yang sayang anak. Sikap pembangkang Adeeva memancing amarah Abah.
Adeeva tidak malu-malu terima kartu itu. Yang punya hajatan orang tuanya jadi biarlah pakai uang mereka. Adeeva bisa berhemat untuk ambil kuliah S3 di ITB. Adeeva kumpul uang untuk sambung kuliah sementara Abah merasa ilmu Adeeva sudah cukup sekian. Perempuan kodratnya melayani suami di rumah. Bukan keluyuran di luar bersaing dengan suami dulang pundi emas.
"Terima kasih ya Bah! Eva pasti balik sini selama kesepakatan kita tidak berubah. Eva pergi ya! Assalamualaikum..."
Semua menatap kepergian Adeeva dengan hati was-was. Rencana apa lagi akan mengakar di otak Adeeva. Gadis cantik itu pasti sedang susun rencana licik buat acara nikah berantakan. Deswita paling tahu sifat adik iparnya itu. Di rumah gadis itu kemayu alim bagai putri keraton. Di luar sono tak ubah singa betina punya taring dan kuku tajam.
Deswita banyak menyimpan rahasia Adeeva. Sesuai janji Deswita pada Adeeva kalau dia takkan bongkar rahasia Adeeva selama tidak menjurus ke arah negatif. Untunglah tindak-tanduk belum mengarah ke arah negatif. Masih terkendali.
"Bu...bagaimana kita sampaikan pada calon besan kalau Eva beri syarat tak masuk akal?" keluh Abah setelah suara mobil Adeeva menjauh dari rumah.
"Kita tak punya pilihan lain selain ikuti permintaan Eva. Dia syok menikah jadi isteri ke enam itu wajar. Kau pikir ibu mau Eva dijadikan bini ke enam? Kalau bukan untuk melepaskan nazar ibu tak Sudi cucu kesayangan menikah dengan Hakim. Jarak umur mereka juga jauh. Berapa tahun? Sebelas atau dua belas? Kita harus maklumi perasaan Eva." Oma Uyut berkata bijak membaca penyebab pemberontakan Adeeva.
Abah menghela nafas. Memang tak ikhlas nikahkan Adeeva pada Hakim. Tapi sekali nazar telah terucap pantang dilanggar. Ini membahayakan hidup Adeeva menjelang usia dua puluh empat tahun.
"Gini saja Om! Biarkan Eva menikah dulu! Kalau Eva tidak betah ya biarkan mereka pisah. Makanya tak usah menikah sah di hukum negara. Nikah siri saja! Gampang kita tangani bila pisah! Aku yakin Eva pandai jaga diri." Farhan selaku Abang sepupu Adeeva menyumbang pikiran.
"Pernikahan ini hanya untuk melepaskan nazar antara dua keluarga. Kurasa calon besan takkan keberatan ikuti permintaan Eva. Toh si Hakim bininya hampir setengah lusin. Ada tidaknya Eva tidak ada beda." sahut Tante Lis alias mamanya Farhan.
Abah menarik nafas gundah. Jauh di lubuk hati Abah juga tak rela anak satu-satunya menikah dengan lelaki yang punya lima isteri. Kayak hidup di jaman kerajaan tanpa hukum. Raja adalah hukum, seenak dengkul kumpulin wanita cantik jadi penghias ranjang.
"Baiklah! Sekarang kasih kabar ke pihak besan kalau Eva siap menikah. Cuma katakan kalau Eva masih terikat kontrak kerja. Mereka pengusaha pasti maklum kondisi Eva." Umi Eva berkata dengan lembut. Dalam hati umi juga sedih tak bisa menyelamatkan anaknya dari pernikahan aneh ini. Nasib Adeeva kurang beruntung harus jalani pernikahan tanpa cinta. Parahnya berada di urutan keenam.
"Semoga mereka tidak tersinggung." timpal Oma Uyut kurang enak hati. Syarat Adeeva memang jauh dari akal sehat. Mana ada pengantin baru langsung pergi selesai menikah. Nikah kaburan apa?
Begitulah cerita Adeeva menjadi isteri dari Hakim Dilangit. Akad dilaksanakan di rumah Hakim yang super mewah. Delapan bangunan mewah berdiri di atas lahan dua hektar agak jauh keluar kota. Seluruh lahan di kelilingi tembok setinggi tiga meter menutupi tatapan mata dari luar.
Adeeva mana mau menyerah dinobatkan sebagai selir keenam. Kata orang isteri paling muda akan mendapat kasih sayang paling banyak dari sang raja. Boleh meminta segalanya sepuas hati.
Bagi Adeeva pernikahan ini bencana besar dalam hidupnya. Tapi Adeeva terlanjur berjanji pada Oma Uyut dan Abah jadi kelinci manis bagi semua orang. Untuk saat ini doang. Setelah akad nikah Adeeva tidak janji akan patuh.
Adeeva kenakan busana muslim menutupi seluruh tubuh termasuk wajah. Adeeva sengaja pilih busana muslim menutupi sosok aslinya dan memakai cadar niqab agar suaminya tidak melihat wajah aslinya. Adeeva sudah perhitungkan semua dengan tepat agar tak jadi batu sandungan di kemudian hari.
Deswita dan Umi yang dampingi Adeeva tak bisa berkata-kata lihat pakaian pilihan Adeeva dalam acara ijab kabul. Apa rencana di balik semua ini hanya dia yang tahu.
Di luar sana Hakim telah selesai ucapkan ijab kabul serta di sahkan oleh saksi. Dada Adeeva bergemuruh kuat tak rela menjabat bini lelaki songong tak berotak. Setua gini masih mau punya bini muda. Kemampuan ranjang masih jadi pertanyaan.
"Eva..ayok kita keluar!" ajak Umi untuk jumpakan Adeeva dengan suami.
Adeeva betulkan pakaian dan niqab di wajah sambil bercermin. Satu sosok wanita berbusana muslim tinggi semampai terpantul dari kaca cermin. Yang nampak hanyalah sepasang mata yang indah berbulu mata lentik. Adeeva tak butuh bulu mata palsu untuk perindah mata Adeeva. Mata itu sudah sangat indah.
"Kak Des...mana kacamataku?"
"Kacamata mana?"
"Lha? Yang aku titip dari rumah."
"Oalah...tertinggal di kamarmu! Gimana nih?" Deswita merasa bersalah telah lalai menjaga amanah Adeeva.
"Eva ngak mau keluar tanpa kacamata!" Adeeva merajuk duduk kembali ke bangku busa meja rias.
"Hanya kacamata kamu merajuk lagi nak! Jangan persulit orang tua!" bujuk Umi lembut tanpa amarah.
"Gimana kalau kacamata Oma Uyut? Ini dititip pada kakak tadi." Deswita menyodorkan kacamata gagang hitam model Charlie Chaplin.
"Boleh juga...barang antik banget!" Adeeva menerima kacamata Oma Uyut dengan suka cita. Tanpa ragu kacamata frame hitam itu bertengger di hidung yang bangir milik Adeeva."Buset..kok kabur?"
Adeeva meraba-raba mencari jalan. Kacamata rabun Oma dipakai tentu saja kabur. Anak seumuran Adeeva disuruh pakai kacamata orang tua yang min ntah berapa. Bukan jelas melihat jalan malah tak dapat melihat nyata. Hanya ada bayangan samar-samar di depan mata.
"Kau bisa Va?" tanya Deswita kuatir Adeeva kesandung jalan.
"Kakak pegangin dong! Antar sampai ke depan orang songong itu! Malu kalau terjatuh!"
Deswita dan Umi membimbing Adeeva keluar dari kamar untuk salaman dengan suami spektakuler Adeeva. Penampakan Adeeva asli berantakan. Jauh dari pengantin umum yang berlomba-lomba merias wajah agar cantik. Adeeva justru sengaja bikin suaminya ilfil agar cepat jatuh talak.
Kehadiran Adeeva membuka mata keluarga Dilangit. Di luar dugaan semua pengantin Hakim yang satu ini sungguh luar biasa. Yang lain licin mulus bak bintang artis sinetron, mengapa mendadak muncul makhluk aneh bin ajaib. Kelima isteri Hakim tersenyum simpul senang melihat madu mereka yang berantakan. Hakim pasti akan malu menggandeng wanita aneh menurut mereka.
Adeeva pede saja lewati semua orang. Toh dia tidak melihat tatapan sinis dari deretan isteri-isteri Hakim. Kacamata Oma Uyut menyelamatkan Adeeva dari amarah. Adeeva pasti kesal dianggap remeh oleh gundik Hakim. Mereka belum kenal Adeeva yang asli. Batu bata tiga susun sanggup dia patahkan dalam sekali pukul.
Adeeva di antar persis di depan Hakim. Samar-samar Adeeva melihat bayangan tinggi cuma wajahnya blur gara-gara kacamata Oma Uyut. Wajah Hakim tidak jelas dalam pandangan Adeeva. Peduli amat batin Adeeva berkata.
Adeeva diarahkan menyalami Hakim barulah dipasangkan cincin kawin yang bentuknya tak diketahui Adeeva. Adeeva memasang cincin ke tangan lakinya dengan susah payah. Sumpah mati Adeeva tak dapat melihat jelas mana jempol mana jari manis. Pokoknya asal masukan. Yang mana masuk itulah dia!
Tak ada protes dari laki itu artinya sudah pas. Setelahnya Adeeva merasa ada orang mengecup keningnya. Untung Adeeva kenakan kerudung menutupi aurat. Kalau tidak Adeeva akan gosok kening pakai kertas amplas paling kasar untuk hilangkan bekas kecupan manusia mesum.
Seujung rambut Adeeva tidak ikhlas disentuh manusia menjijikkan. Celup sana sini. Celup saos tomat, saos nenas, ntah saos apalagi. Yang penting tidak main celupan dengan Adeeva. Najis bagi Adeeva.
"Maaf semuanya! Hari ini aku harus berangkat ke Swedia! Acara telah selesai maka aku minta ijin berangkat! Kuharap kalian semua akur di rumah. Semua masalah dibicarakan bersama." Adeeva mendengar pidato lelaki yang baru saja ijab kabul dengannya.
Hati Adeeva bersorak gembira manusia songong itu akan berangkat jauh. Jika perlu tak usah balik lagi. Tinggal saja di Swedia bangun kastel baru piara lusinan cewek lain.
Kalau tak ada orang ingin sekali Adeeva goyang tik tok suarakan kemerdekaan. Doa anak Sholeha dijabar oleh Allah. Adeeva bersyukur tak perlu berduaan dengan makhluk songong perampas kebahagiaan orang.
"Antar nyonya kecil ke rumahnya! Dia pasti capek!" Adeeva dengar suara wanita agak serak. Didengar dari suaranya pasti tidak muda lagi. Bisa jadi itu mertuanya. Adeeva jadi buta sesaat berkat bantuan kacamata Oma Uyut.
Adeeva hanya bisa patuh digiring keluar dari rumah mewah yang menurutnya itu rumah induk. Rumah di sebelah merupakan tempat tinggal para selir-selir Hakim. Kini Adeeva akan mendapat jatah satu rumah di belakang rumah induk. Besarnya nyaris sama dengan rumah lain. Catnya berwarna pink campur maron.
Orang yang merancang rumah ini pasti pencinta pinky. Selera kaum wanita umum, namun itu bukan Adeeva. Adeeva pencinta warna hitam. Warna misteri lambang keangkuhan.
Deswita dan Umi mengikuti pembantu keluarga Dilangit mengantar Adeeva ke rumah barunya. Jaraknya lumayan jauh bila jalan kaki.
Adeeva tidak mengeluh karena tak mau cari perhatian. Makin diabaikan semakin bagus. Hakim pasti akan berpikir ulang punya isteri tidak licin macam bini lain. Adeeva tidak peduli bagaimana reaksi keluarga Dilangit padanya. Tujuan Adeeva hanya satu yakni akhiri semua kekonyolan ini.
"Ssssttt...sudah tak ada orang! Buka kacamatamu! Mual aku lihat kamu pakai kacamata Oma Uyut!" bisik Deswita lirik kiri kanan tak melihat orang lain ikuti mereka selain pembantu muda yang jalan di depan.
Adeeva mencopot benda warna hitam itu lalu serahkan pada Deswita. Kini Adeeva dapat melihat lebih jelas tempat yang bakal jadi tempat dia mondok selama menjabat sebagai selir keenam.
Rumahnya terletak paling ujung dari semua rumah yang ada. Model klasik ala-ala istana raja jaman dulu dengan ornamen patung-patung binatang purba. Kurang jelas singa atau harimau karena bentuknya kurang mirip kedua binatang itu. Cuma lucunya patung itu dicat warna maron campur pink. Emang ada binatang buas warna pink?
Adeeva mau ngakak sepuasnya tapi ditahan mengingat dia bukan di kandang sendiri. Ini rumah keluarga besar Dilangit yang kayanya selangit.
Akhirnya mereka tiba di depan pintu warna pink berkusen maron. Pembantu muda itu membuka pintu mempersilahkan Adeeva dan kedua wanita lainnya masuk ke dalam.
Begitu masuk Adeeva ingin sekali berteriak menolak funiture yang ke semuanya warna pink. Seisi rumah seakan kena bedak tabur warna pink tua muda. Sungguh gila orang yang menata rumah ini. Selera bertolak belakang dengan Adeeva.
Deswita dan Umi tak kalah bengong lihat isi rumah yang rasanya mirip anak gadis sedang jatuh cinta malu-malu kucing. Pink mbok!
"Maaf neng! Apa tak ada rumah lain selain pinky ini?" tanya Adeeva pada pembantu yang kawani mereka dari tadi.
"Ini rumah terakhir nyonya muda! Di belakang kebun ada satu rumah tapi kecil terbuat dari papan. Rumah pertama yang dibangun di lahan ini. Rumah itu sudah lama tidak dihuni tapi bersih kok! Tiap hari dibersihkan atas perintah nyonya besar. Emang nyonya muda mau tinggal situ? Sepi tak ada fasilitas bagus!"
Adeeva tertarik pada rumah yang dimaksud. Tidak masalah kecil asal layak dihuni. Adeeva betul-betul risih tinggal di rumah serba pink.
"Aku pilih rumah itu! Ada kasur dan kamar mandi kan?"
"Ya ada nyonya muda...semua lengkap cuma perabotan agak kusam karena memang peninggalan kakek majikan kami!"
"Ok...kita ke sana! Kak Des dan Umi balik ke rumah besar saja. Eva lacak dulu rumah di kebun belakang. Cocok selera Eva!" ujar Adeeva sambil bergelayut manja pada Uminya.
"Eva...jangan aneh deh! Dikasih tempat bagus malah ingin pindah ke gubuk! Apa di sana terjamin keselamatanmu?"
"Di sini aman Bu! Ada puluhan satpam di sini. Setiap jam mereka patroli apalagi kalau malam hari." pembantu itu mulai menemukan sesuatu yang segar dari Adeeva. Baru kali ini ada selir majikan mereka menolak kemewahan. Yang lain berlomba rebut perhatian majikan agar dapat keuntungan. Makin disayang tentu makin lancar aliran dana.
"Umi dengar itu? Eva akan baik-baik saja! Dan Umi tahu Eva orangnya malas tak suka bersih-bersih. Rumah segede gini berapa tahun baru bisa Eva bersihkan? Come on nona manis! Kita jelajahi dunia Dilangit!" Adeeva menggamit lengan pembantu muda itu tanpa peduli status mereka beda langit dan bumi. Adeeva statusnya nyonya muda sedang dia hanya pembantu kecil.
"Tapi nyonya muda..."
"Haiya...nyonya muda apaan! Panggil saja Adeeva! Umur kita toh jauh beda! Namamu siapa?"
"Tuti nyonya muda.."
"Nah Tuti...aku belum mau ubanan. Lebih baik kamu panggil aku Eva...Rugi kan muda sudah ubanan! Mari kita ke rumah antik yang dimaksud!"
"Tapi harus ijin nyonya besar dulu. Soalnya rumah itu jarang dihuni orang. Udaranya lembab dingin!" Tuti takut ambil keputusan karena resikonya bisa kena pecat.
Adeeva memaklumi posisi Tuti sebagai orang bawahan. Mereka tak bisa berbuat banyak di bawah tekanan majikan.
"Baiklah! Kamu pergi ijin sama nyonya besar dulu. Katakan aku kurang suka warna terang. Tolong ya! Oya sekalian antar Umi dan kakak aku balik ke rumah nyonya besar kalian!"
"Iya nyonya muda..."
"Tuti..kau ini jahat ya! Pingin lihat aku lebih cepat keriput? Namaku Adeeva..." suara Adeeva mulai menanjak satu oktaf. Adeeva sungguh tidak nyaman dipanggil nyonya. Seluruh bulu merinding mirip jutaan ulat bulu merayap di kulit.
"Maaf nona Adeeva..."
"Mendekati tapi usahakan hilangkan nonanya! Ok?"
Deswita dan Umi gelengkan kepala melihat tingkah Adeeva tak suka banyak adat. Adeeva ingin perkecil jarak antara sesama manusia. Tuti juga manusia walau pangkatnya cuma pembantu.
"Baik Adeeva...saya permisi dulu!" Tuti pamitan untuk minta ijin atas keinginan Adeeva.
Nyonya muda yang satu ini lain dari yang lain. Orangnya periang dan cuek bebek. Penampilan memang tidak menjanjikan namun gerak gerik lincah tidak seperti penampilan. Tuti suka pada majikan barunya. Cuma masih harus tergantung pada wewenang nyonya besar alias maminya Hakim.
Adeeva ditinggal sendirian di rumah lumayan besar. Warnanya cerah tapi berkesan dingin. Tak ada aroma manusiawi. Perabotan mahal tak ada guna bila tak ada kehangatan dalam rumah. Sedikitpun Adeeva tidak tertarik jadi penghuni rumah besar tak ada roh itu.
Adeeva berjalan lebih dalam lihat ruang apa di balik tembok pemisah dua ruang. Ruang keluarga yang cukup luas. Ada televisi ukuran jumbo dan home theater terletak angkuh di tengah ruang. Kursi sofa warna maron plus karpet warna pink masih jadi primadona penghias ruangan.
Di sudut ruang ada tangga putar cukup lebar untuk naik ke tingkat atas. Granit marmer warna maron bertotol hitam lapisi permukaan tangga. Adeeva tak tahu bangunan ini sudah berapa lama didirikan. Semuanya tampak masih baru belum ada pemilik aslinya.
Adeeva dapat kehormatan menjadi penghuni rumah pinky ini. Tak ubah mirip rumah boneka Barbie. Jelas bukan gaya Adeeva sok imut. Di rumah Adeeva bisa sulap diri menjadi kelinci imut manis bikin orang pikir Adeeva anak kalem.
Adeeva sengaja memilih tinggal di kota lain agar bisa ekspresi Adeeva yang sesungguhnya. Hidup merdeka tanpa perlu bersandiwara jadi kelinci imut.
Adeeva sudahi jelajah rumah pinky ntah milik siapa. Pendahulu Adeeva pasti orangnya melo jinak kayak marmut lucu. Dekorasi rumah saja terbaca bagaimana sosok pemiliknya. Yang pasti itu bukan Adeeva.
Adeeva ayunkan langkah kembali ke ruang utama di mana pertama dia injak kaki di rumah pinky. Kebisuan menjadi ratu di rumah besar itu. Seratus persen Adeeva takkan betah di situ.
"Nona Adeeva... Nona..." Tuti masuk membawa kabar untuk majikan barunya. Nafas Tuti terengah-engah seperti baru balapan dengan pocong di siang bolong.
"Up..sabar neng geulis! Tarik nafas...ok...berhembus pelan." Adeeva kasihan pada gadis muda yang perjuangkan permintaan Adeeva.
Tuti berhenti lalu menarik nafas dalam-dalam sampai pipinya kempot ke dalam. Perlahan nafas dilepas normalkan aliran nafas si Tuti.
"Ok...sekarang bikin laporan! Gimana misimu? Sukses?" Adeeva berharap Tuti bawa kabar gembira.
"Nyonya besar ijinkan asal nona Adeeva tidak keberatan. Sana semua lengkap kok cuma perabotan bukan baru! Ayok kita ke sana! Ini kunci rumahnya!" Tuti menyerahkan seikat anak kunci terdiri dari beberapa kunci. Adeeva belum tahu yang mana kunci utama serta kunci untuk pintu lain.
"Oh Tuti sayang...kau memang pahlawanku! Aku cinta padamu!" Adeeva memeluk Tuti dengan hati riang. Tuti kalah tinggi dari Adeeva hanya nyangkut di dada Adeeva.
Adeeva gadis dengan tinggi seratus tujuh puluh sentimeter. Termasuk gadis jangkung untuk ukuran orang Asia. Abah Adeeva lumayan tinggi maka hasilkan ras tak jauh beda.
Tuti tertawa geli mendapat majikan super kocak. Tuti beruntung jadi pembantu Adeeva yang tidak sok elite. Nyonya-nyonya lain berlomba tampil glamor untuk memikat suami agar dapat jatah lebih banyak. Begitulah pertarungan sesama bini satu suami.
Adeeva tidak akan masuk dalam ring pertarungan. Makin tersisih makin baik. Lebih baik lagi Si mesum jatuhkan talak. Adeeva akan nyanyikan lagu kemerdekaan tujuh hari tujuh malam rayakan kebebasan dari penjajahan lelaki berotak mata keranjang.
"Lewat sini lebih dekat! Kita potong jalan saja! Ikuti jalan utama jauh banget!" Tuti menunjuk jalan pintas di belakang rumah.
Jalan sedikit berbatuan menyulitkan Adeeva bergerak dengan pakaian gamis yang panjang sampai ke mata kaki. Tuti malah bergerak lincah bak kelinci dilepas di alam bebas mencari makan.
Lebih kurang seratus meter berjalan mereka tiba di rumah yang dimaksud. Rumah type sederhana namun antik. Atap masih model jadul, rumah dicat warna biru keabuan. Lebar sekitar delapan meter dengan teras cukup lega.
Adeeva langsung jatuh cinta pada rumah terbuat dari papan jaman. Sepintas dilihat mirip rumah sinetron Si Doel Anak Betawi. Adeeva puas dapat rumah ini walau agak jauh dari rumah induk.
"Kita masuk nona Adeeva?"
"Oh iya .." Adeeva menyerah kembali kunci rumah pada Tuti untuk masuk ke dalam.
Tuti membuka pintu dengan senang hati. Bau harum kayu Cendana menyambut kehadiran Adeeva sebagai tuan rumah baru. Suasana mistis terasa akibat wewangian dari kayu mahal itu.
Adeeva mengitari seisi rumah pakai netra dan kontan mengangguk puas. Suasana adem beginilah impian Adeeva. Serba alami.
"Kau sering ke sini?" tanya Adeeva mengusir kebisuan.
"Pernah beberapa kali disuruh bersihkan rumah! Dia hari sekali harus disapu dan dipel. Saya akan ganti sprei biar tidak berdebu. Kamarnya cuma satu. Kamar mandi juga manual tanpa shower maupun air panas. Apa nona betah?"
"Betah...aku ini orang malas tak cocok tinggal di rumah gede. Aku nyaman di sini! Nanti antar koperku ke sini ya!"
"Baiklah! Apa nona berani tidur sendiri? Tuan Hakim tidak akan datang malam ini. Beliau berangkat ke luar negeri."
"Biarin saja! Aku berani neng Tuti! Kau tidur dimana?"
"Kami ada mes khusus untuk pembantu. Jumlah kami sekitar lima puluh orang. Yang cowok sekitar dua puluh orang. Masing-masing ada mesnya."
Kepala Adeeva pusing dengar jumlah pembantu di rumah ini. Bisa bangkrut hanya untuk bayar gaji pembantu. Betapa kayanya tuan rumah ini.
"Kok banyak amat?"
"Ya iyalah...setiap nyonya dapat jatah empat lima orang pembantu. Belum untuk urus kebun, rumah utama majikan kami. Kerja bergantian..."
"Oh gitu...aku tak perlu banyak pembantu cukup kamu saja! Kalau aku balik ke Bandung kamu yang ngawasin rumah. Kamu hanya kerja untuk aku! Kita sini santai saja. Ok?"
Tuti tentu saja setuju dapat majikan baru yang lucu. Rumahnya juga mungil jadi kerjanya lebih ringan. Ini berkah buat Tuti ditunjuk layani Adeeva. Majikan kocak tidak angkuh.
"Saya ambil seprei baru dulu ya non! Sekalian koper baju nona."
"Adeeva...panggil Adeeva..." Adeeva mengulang namanya berkali agar masuk ke otak Tuti.
"Iya Adeeva..."
Adeeva acung jempol puji Tuti tidak sebodoh bayangannya. Adeeva memeriksa ruang lain agar lebih akrab dengan kondisi rumahnya. Yang paling pertama Adeeva ceking kamar lihat apa kamarnya layak pakai.
Sama seperti pertama masuk ke rumah. Kamarnya juga berbau kayu Cendana. Adeeva menduga lemari dan tempat tidur terbuat dari kayu Cendana. Bau abadi yang takkan lekang dimakan waktu.
Tak ada yang sepesial dari kamar. Hanya ada tempat tidur, lemari dan meja rias. Semuanya terbuat dari kayu mahal. Bagi Adeeva semua ini sudah lebih dari cukup. Toh dia jarang di sini, hanya untuk persinggahan kalau pulang.
Dari kamar Adeeva memeriksa kamar mandi. Kamar mandi telah bernuansa moderen terpasang tegel keramik putih bersih. Kloset duduk warna senada serta bak penampung air juga putih. Lagi-lagi Adeeva puas.
Pemeriksaan berlanjut ke dapur. Dapur telah dirombak menjadi dapur moderen dengan kompor gas tanam. Semula Adeeva mengira akan melihat dapur pakai tungku kayu. Prediksi salah total.
Di samping dapur itulah ruang makan dari meja kayu berbahan sama. Selebihnya hanya lemari dan bufet. Hanya itu luas rumah Adeeva.
Bagi pencinta keramaian rumah ini akan membosankan. Terbalik dengan Adeeva yang sangat menyukai rumah klasik ini. Tinggal di situ serasa terlempar ke masa lampau di mana masih serba manual. Di jamannya rumah ini termasuk rumah mewah karena semua perabotan terbuat dari kayu mahal.
Adeeva melepaskan penat di kursi kayu tanpa alas busa. Begitu pantat mendarat langsung bertemu papa keras. Bagi yang pantatnya tipis pasti tidak nyaman duduk tanpa alas busa. Untunglah pantat Adeeva cukup bahenol ada isinya. Kerasnya kursi kayu tidak terasa.
Cukup lama Tuti baru balik bersama seorang pria juga muda. Pria itu membantu Tuti bawa koper baju Adeeva yang tak seberapa. Adeeva hanya beberapa helai baju muslim untuk kelabui suami dan para selirnya.
Kalau Adeeva menampilkan wajah aslinya maka dia tak bisa bergerak bebas di luar sono. Adeeva masih harus berjuang untuk kuliah S3. Adeeva ingin jadi dosen ngajar di universitas. Maka itu dia harus rajin kumpul duit untuk kejar cita-cita mulianya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!