Semesta tak pernah memberi tau terlebih dahulu tentang perjalanan hidup seseorang. Disetiap detik dan menitnya selalu menjadi rahasia untuk dikunci rapat-rapat. Namun akan dibuka setiap harinya dalam 24 jam yang telah dikaruniakan untuk setiap kita manusia.
Katanya dalam hidup ini tidak ada yang kebetulan, karena semua telah disusun secara apik dan sistematis oleh Allah SWT.
Seperti matahari, bulan dan bintang mereka tampak pada waktu yang telah Allah tentukan bukan hanya sekedar kebetulan. Bahkan Maha Besar Allah mengatur peredaran ketiganya begitu sistematis, naasnya terkadang kita lupa apa manfaat yang bisa kita ambil dari matahari, bulan dan bintang yang beredar pada tiap waktu yang telah ditentukan-Nya.
Hari itu di sebuah Rumah sakit ternama dan terbesar di kota S.
"Ma, kita tunggu di sini dulu ya! Grab yang Zalfa pesan dalam perjalanan ke sini." tutur gadis dengan paras manis dimana lesung pipi langsung turut menghiasi kedua pipinya saat ini. Pasalnya saat ini ia sedang tersenyum. Hidungnya yang mancung dan wajahnya yang berbentuk oval dengan dagu yang sedikit lancip memberikan kesan cantik natural pada dirinya. Tak cuma itu, bibir ranum yang berbentuk bagai daging terbelah ditengahnya menambah kesan tersendiri pada wajahnya. Seperti sangat pas dan serasi dengan wajah manisnya.
10 menit kemudian!
"Zalfa, mana Grabnya? Kereta kita setengah jam lagi sudah berangkat loh dan perjalanan dari rumah sakit ke stasiun itu memakan waktu kurang lebih setengah jam."
ucap wanita yang dipanggil Mama oleh Zalfa.
Mama Zalfa yang memang tidak lagi muda tapi juga tidak terlalu tua mau tidak mau, ia harus bolak-balik ke rumah sakit ternama dan terbesar di kota S itu untuk melakukan cuci darah. Penyakit ginjal yang diderita Mamanya seringkali membuat Zalfa khawatir dan memberikan perhatian lebih sang Mama. Apalagi semenjak kepergian Papanya satu tahun lalu tepatnya. Kini yang dimiliki Zalfa hanyalah sang Mama. Maka wajar saja kalau ia begitu menyayangi sang Mama.
"Ma, please jangan khawatir! Selama kita bersama enggak masalah kan kalau kita ketinggalan kereta?" ucap Zalfa dengan entengnya.
"Zalfa, mau berapa lama lagi kita di sini?" Mamanya tidak setuju dengan ucapan putrinya.
"Bagaimana dengan tanggungjawab mu Zalfa?" Mamanya mengingat kan perihal tanggungjawab yang harus putrinya laksanakan selain tanggungjawab mengurus dirinya, "jika kita terus-terusan di sini karena ketinggalan kereta."
"Ma, kita bisa pesan tiket kereta lagi. Sudah Mama tenang saja ya!"
Diberikan pernyataan seperti itu, malah membuat sang Mama menampilkan raut wajah sendunya dan berkata,
"Meskipun begitu Zalfa, Mama enggak mau kalau kamu kebanyakan izin karena Mama. Tanggungjawab mu juga sama pentingnya dengan Mama, Nak."
"Anak-anak itu pasti sudah menunggu kamu."
Katanya langsung tersenyum ke arah Zalfa karena teringat dengan anak-anak yang selalu bersama putrinya. Anak-anak itu adalah murid-murid Zalfa. Zalfa yang pandai dalam bahasa Inggris membuat nya menjadi guru bahasa Inggris disalah satu sekolah di tempat ia berasal.
"Ma ... Mama ingat sama mereka?" tanya Zalfa sedikit tak menyangka sang Mama akan ingat kalau Zalfa menjadi guru kesayangan mereka.
Mamanya mengangguk dengan memejamkan kedua netranya.
"Ma ..." Zalfa langsung memeluk Mamanya dengan melingkar kan tangan ke tubuh sang Mama. Tiba-tiba saja ia juga rindu pada murid-muridnya itu.
"Saat mengingat anak-anak itu Mama begitu bahagia karena teringat kebahagiaan dan semangat yang selalu ada pada diri anak-anak itu."
Mamanya bercerita sambil mengingat moment dimana anak-anak itu mendatangi rumahnya memberikan sebuah kejutan dihari ulang tahun Zalfa.
Beberapa saat kemudian Grab yang dipesan pun datang dan berhenti tepat di depan mereka berdua.
Dengan lembut Zalfa menuntun lebih dulu Mamanya agar masuk ke mobil. Sementara itu, supir Grab membantu membuka dan menutup pintu mobil itu.
"Pak kalau memungkinkan tolong dipercepat mengemudinya, ya Pak?"
tutur Zalfa setelah berubah fikiran karena obrolan dengan Mamanya yang membahas murid-murid nya. Tapi Zalfa juga bilang kalau memungkinkan maksudnya kalau memang jalan yang mereka lewati sepi akan kendaraan.
Laki-laki yang mengendarai mobil Grab itupun mengangguk patuh dan mengerti.
Dalam perjalanan cukup ada kendala kemacetan karena memang jam untuk pulang kerja tapi untung saja kemacetan itu tidak berlangsung lama. Hanya berkisar 5 menit setelah itu jalanan pun tampak lenggang tapi tetap saja tidak memungkinkan untuk mengendarai dengan kecepatan lebih.
Kali ini Zalfa hanya bisa berdoa dan berpasrah akan apa yang terjadi kalau ia dan Mamanya ketinggalan kereta.
Disisi lain ...
Disebuah tempat pemberhentian kereta apalagi kalau bukan stasiun kereta api.
Di stasiun terbesar di kota S banyak manusia berlalu lalang di Stasiun satu itu.
Dari sudut lain tampak beberapa laki-laki dengan pakaian dinas yang dikenakan nya berjalan beriringan dengan tenang namun pasti.
Tampak pula satu laki-laki yang sedikit berbeda yang mengenakan pakaian dinas berwarna putih serta jaz dinas berwarna hitam yang menjadi kebanggaannya dan ialah Dimas Adityama Putra Wilaya.
Mereka (Dimas dan tim/kru yang bertugas) tengah melakukan opening atau apel terlebih dahulu sebelum pemberangkatan kereta.
Dalam apel tersebut seorang masinis akan memimpin apel. Apel tersebut terdiri dari dua apel, apel keberangkatan dan apel purna dinas. Hal tersebut bertujuan agar sesama petugas bisa selalu terjalin komunikasi yang baik. Karena jika komunikasi yang baik itu selalu terbangun maka besar kemungkinan harapan dari sebuah tim akan tercapai.
Apel telah selesai saat itulah Dimas bersama kru yang bertugas dengan penuh semangat serta rasa tanggungjawab menjalankan tugas mereka dengan sebaik-baiknya. Keselamatan dan kenyamanan para penumpang adalah hal utama bagi mereka. Terkhusus bagi seorang Dimas. Bagi Dimas saat melihat para penumpang sampai pada tujuan dengan perasaan lega dan bahagia karena bisa berjumpa kembali dengan keluarga mereka, merupakan hal yang sangat membahagiakan untuknya.
Dimas Adityama Putra Wijaya yaitu seorang laki-laki yang mengenakan pakaian dinas putih serta jaz hitam yang melekat pada badannya yang tegap, tinggi dan cukup atletis karena dia termasuk pencinta olahraga, laki-laki itu terlihat penuh kharisma saat bertugas terlebih senyum dan keramahan yang senantiasa terpancar di wajahnya. Dimas pun melangkah dan memasuki pintu pertama pada kereta penumpang.
Para penumpang kereta itu pun duduk dengan tertib dan teratur melihat seorang Dimas Adityama Putra Wijaya memasuki kereta dan memberikan instruksi kepada para penumpang agar tertib seraya memeriksa tiket para penumpang kereta.
Di satu sisi seorang gadis bersama dengan Ibunya tengah berlarian mengejar kereta mereka yang sudah mulai berjalan keluar dari stasiun.
Disisi lain Dimas masih terus melangkah dari pintu satu ke pintu seterusnya sampai menuju ke pintu kereta yang terakhir. Hingga pada akhirnya kejadian diluar dugaannya pun terjadi secara nyata didepannya.
Dimas memberikan senyum terbaiknya saat mendapati dua penumpang yang baru saja akan menaiki kereta dengan langkah tergesa dan nafas yang sangat terengah-engah. Terutama untuk wanita satunya yang tidak terlalu tua tetapi juga tidak lagi muda yang terlihat tampak pucat.
Dengan sigap Dimas tak hanya menampilkan senyumnya tapi juga mengulurkan tangannya untuk membantu wanita itu naik dan berjalan mencari tempat duduk sesuai nomor yang telah diperoleh saat memasan tiket. Tapi, apa yang terjadi?
"Stop! Jangan sentuh Ibu saya! Saya bisa menjaga Ibu saya sendiri."
Tegas seorang wanita yang hendak Dimas bantu.
Dan wanita itupun naik lebih dulu dan mengulurkan tangannya untuk Ibunya bisa naik. Dan untungnya kereta yang mereka naiki berjalan tidak terlalu cepat.
Tak lama kemudian, terdengar suara lembut berimbuh nasehat terucap pada lisan Ibu itu saat sudah berhasil naik.
"Zalfa, apa yang kamu lakukan, Nak. Beliau ini kondektur di kereta ini. Sudah tugas beliau memberikan pelayanan sebaik mungkin, khususnya pada wanita yang tak lagi muda seperti Mama." tutur wanita yang ternyata adalah Mamanya Zalfa.
Tak selang berapa lama terdengar suara batuk dari sang Mama, melihat itu Zalfa begitu menghawatirkan kondisi Mamanya. Dengan langkah tergesa-gesa Zalfa menuntun Mamanya ke tempat duduk sesuai no yang diperolehnya. Namun, sang Mama itu masih sempat menatap ke arah Dimas dan mengucapkan terimakasih. Dimas pun membalasnya dengan memberikan senyum tulus dan hangatnya. Sekejap Dimas begitu salut akan perempuan itu, betapa kuat dan hebatnya dia bisa membantu Ibunya untuk naik kereta ini. Mana kereta sudah berjalan walaupun dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat.
Namun tak dapat dipungkiri oleh Dimas, suara gadis itu selalu terngiang-ngiang ditelinga dan fikirannya.
"Stop! Jangan sentuh Ibu saya! Saya bisa menjaga Ibu saya sendiri." Dimas kembali mengingat ucapan itu.
"Wanita galak dan aneh!" Dimas membatin.
Dalam kenyataan Dimas hanya mengelus-elus dada agar lebih bersabar mungkin ini cobaan dari Tuhan agar ia lebih bisa meningkatkan rasa sabarnya.
"Sabar ... Dimas ... Sabar!" ucapnya lirih.
Dan itulah "Dimas Adityama Putra Wijaya". Seorang laki-laki yang penyabar, penuh dengan tanggungjawab dan pastinya sangat tampan.😍
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰...!
🤩
Dimas Adityama Putra Wijaya merupakan seorang kakak dari seorang adik perempuan. Orang tuanya bekerja sebagai seorang guru di kota S. Guru PNS sekaligus Kepsek lebih tepatnya.
Menjadi kakak pertama dengan adik yang sudah hidup bahagia dengan keluarga kecilnya, membuat Dimas mendapat dorongan dari sang Mama agar ia segera menikah seperti sang adik.
Jujur saja itu sering kali membuat kepala Dimas cukup cenut-cenut. Karena bagi Dimas menemukan seseorang yang tepat untuk masa depannya sehidup dan semati itu perlu proses tidak bisa dengan asal-asalan yang penting ia segera menikah. Oleh karena itu ia selalu keukeuh untuk tidak menikah dulu sampai ... sampai ada wanita yang mampu menarik dan menggetarkan hatinya sama seperti seseorang di masa lalunya. Sayangnya seseorang dimasa lalunya tidak berjodoh dengannya. Dan malah mengkhianatinya.
Sejenak Dimas menatap kembali 2 wanita yang baru saja menemukan tempat duduknya. Ia berfikir bagaimana ia bisa mengatakan wanita itu aneh dan galak sedangkan lihatlah pemandangan di depan yang tak jauh dari tempat ia berdiri sekarang.
"Lihatlah! Betapa perhatian dan sayangnya wanita itu pada wanita yang dipanggilnya "Mama", "
ujar Dimas dalam hatinya. Ia menegaskan kembali pada hatinya bahwa tidak pantas kalau ia mengatai wanita itu dengan wanita aneh dan galak.
"Ma ... duduklah di sini! Hati-hati Ma! Hati-hati!" ucap Zalfa merangkul pelan dan lembut pundak Mamanya. Secara beriringan Zalfa pun ikut duduk disamping Mamanya.
Mereka tak sadar sedari tadi ada sosok yang tengah memerhatikan mereka dari tempat yang tidak cukup jauh dari tempat mereka duduk.
"Lihatlah Dimas! Bagaimana wanita seperti itu nanti akan memerhatikan suaminya?" tanya hati Dimas, "Tentu wanita seperti itu akan memerhatikan dan melayani suaminya dengan sigap dan sepenuh hati. Itu tidak perlu diragukan lagi! Sebab Ibunya saja diperhatikan sebegitunya olehnya apalagi suaminya nanti." Dimas berkelana dalam hati dan fikirannya sendiri.
Hingga, beberapa menit kemudian ...
Tanpa Dimas bayangkan, seorang wanita telah berdiri tepat di hadapannya dengan sudut mata yang tampak sipit karena bibirnya tengah menyunggingkan sebuah senyuman.
Hati Dimas pun, entah bagaimana bisa? Yang pasti melihat sisi lain dari wanita yang ia bilang aneh dan galak itu, tanpa sadar hati Dimas telah berpacu dengan begitu cepatnya saat ini.
"Pak maafkan saya atas perilaku saya tadi yang kurang sopan kepada Anda." tegas wanita dengan pasmina hitam dengan mengenakan rok hitam dan baju batik yang dikenakannya. Tak lupa jam tangan kulit pun turut melingkar di tangan kirinya yang berkulit putih dan bersih.
Dimas boleh berdebar hatinya saat ini mendapati permintaan maaf dan seulas senyuman tulus pada wanita yang berdiri di hadapannya saat ini. Namun Dimas tetaplah Dimas, ia tetap bersikap seprofesional mungkin yang ia bisa. Berusaha untuk tidak gugup dan menetralisir detak jantung yang berpacu tidak karuan.
Wajah Dimas pun menampakkan seulas senyuman tulusnya dan membalasnya dengan, "Sama-sama."
"Alhamdulillah, baiklah saya akan kembali ke tempat duduk saya untuk menemani Mama saya. Mama saya pasti akan bahagia karena Anda telah menerima maaf saya." ucap wanita itu yang ternyata adalah Zalfa, "Sekali lagi terimakasih."
Zalfa pun perlahan hilang dari hadapan Dimas.
Zalfa telah duduk tepat di samping Mamanya. Sesekali nampak Zalfa yang begitu memanjakan sang Mama dengan beraneka makanan yang ditawarkannya untuk Mamanya.
...----------------...
Mama Zalfa menanyakan kembali pada putrinya perihal apakah Pak kondektur itu marah atau tidak.
Zalfa duduk tepat di samping Mamanya. Zalfa mengatakan bahwa Pak kondektur itu tidak marah dan menerima maafnya.
"Alhamdulillah ..." Mama Zalfa lega dan bahagia.
"Sekarang Mama makan dulu!" Tutur Zalfa mengeluarkan kotak makanan untuk sang Mama,"Selesai makan Mama harus minum obat, ya Ma!"
Mama Zalfa pun mengangguk.
~𝓕𝓵𝓪𝓼𝓱𝓫𝓪𝓬𝓴 𝓞𝓷~
Dikursi no 15 A dan 15 B dua orang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah gadis yang dengan beraninya dan tanpa segan menolak bantuan dari kondektur di kereta yang sedang ia naiki dengan Ibunya.
"Ma ... duduklah disini! Hati-hati Ma! Hati-hati!" ucap Zalfa merangkul pelan dan lembut pundak Mamanya. Secara beriringan Zalfa pun ikut duduk di samping Mamanya.
"Zalfa, kamu jangan begitu!" Mama Zalfa masih dengan posisi berdiri di depan tempat dudu mereka.
Zalfa pun menampilkan ekspresi seolah-olah bertanya apa maksud perkataan dari Mamanya barusan.
"Iya Nak. Kamu jangan bersikap seperti tadi dengan orang lain apalagi dengan Pak kondektur dari kereta yang kita naiki ini."
"Tapi Ma ..." Zalfa masih berusaha mengelak.
"Nak, enggak semua pria itu sama seperti Edo." Mama Zalfa menegaskan kalau tidak semua pria itu sama seperti Edo-pria dimasa lalu Zalfa, "Mama tau kalau Edo dulu juga seperti itu, enggak segan sama sekali bantu kita terutama membantu Mama dan tanpa pernah kita duga ia perlahan telah mengkhianati kita. Dia malah menikah dengan wanita lain padahal kalian sudah bertunangan."
Mama Zalfa pun menuturkan nasehat pada putri cantiknya itu,
"Allah tidak menjadikan Edo jadi jodoh kamu karena Edo memang tak sebaik yang kita lihat. Di depan sana pasti akan ada yang lebih baik dari Edo untuk putri cantik Mama ini." memegang lembut wajah Zalfa.
"Mama benar sekali! Kalau Edo baik Edo enggak akan ngelakuin ini ke Zalfa."
Wanita yang dipanggil Mama oleh gadis bernama Zalfa itupun mengenggam tangan putrinya memberikan kekuatan bahwa Mamanya akan selalu ada bersamanya.
"Emm ... Ma Zalfa merasa sudah melakukan kesalahan pada orang yang berniat baik pada kita."
"Tadi Mama sih, sudah sempat mengucapkan terimakasih pada pak kondektur itu, tapi belum sempat untuk meminta maaf."
Zalfa pun tampak menyesali perbuatannya. Zalfa tanpa segan mengangkat wajahnya dan menatap sekeliling kereta yang ditumpangi nya. Seulas senyum kelegaan pun terpancar di wajahnya.
"Kenapa Zalfa?" Tanya Mamanya ingin tau mengapa putrinya tiba-tiba tersenyum begitu.
"Ma, Zalfa akan meminta kepada seseorang yang tadi telah berniat baik kepada kita."
Mama Zalfa mengeryitkan dahinya, Zalfa pun menunjuk ke arah belakang dengan wajahnya.
Mama Zalfa mengangkat sedikit wajah dan kepalanya. Tampaklah sosok pria baik itu.
"Semoga saja permintaan maaf kamu diterima."
"Maksud Mama? Mama meragukan kalau permintaan maaf Zalfa diterima?"
Mama Zalfa menggelengkan kepala seraya membuang muka hendak menggoda putrinya.
"Ih Mama ... kok gitu sih sama putri sendiri?" Zalfa tak suka dengan Mamanya yang tidak percaya padanya,"Zalfa akan buktiin kalau permintaan maaf Zalfa akan diterima."
Zalfa keluar dari tempat duduknya dan kembali berkata pada sang Mama yang masih saja meledeknya, "Semoga saja dia enggak marah sama seperti kamu yang sudah marah-marah padanya. Ya semoga saja!" ucap Mama Zalfa dengan samar.
"Pasti diterima! Pasti!" Tegas Zalfa membalas perkataan sama Mamanya yang masih terdengar olehnya.
Zalfa pun berjalan menuju tempat dimana orang yang ingin ia minta maaf kepada orang itu.
....
~𝓕𝓵𝓪𝓼𝓫𝓪𝓬𝓴 𝓞𝓯𝓯~
Zalfa menyuapi Mamanya dengan pelan dan segenap jiwa. Mama Zalfa juga menerima suapan itu dengan senang hati dan segenap jiwa.
Dimas, pria tampan yang berprofesi sebagai kondektur itu, kini tengah tersenyum melihat perlakuan Zalfa untuk sang Mama. Bisa diartikan senyuman Dimas itu adalah senyum kekaguman. Namun, tentu itu tidak membuat Dimas lupa akan tugas-tugas dari pekerjaannya saat ini.
𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰...!
Zalfa Aristya Az-zahira adalah nama lengkapnya. Sekarang ini kesibukannya adalah menjaga Mamanya dan menjadi guru bahasa Inggris di kota M. Zalfa terlahir sebagai anak semata wayang dari Mama dan Papanya yang bernama Bapak. Fariz dengan Ibu Ambar wati.
Papanya adalah seorang abdi negara namun satu tahun yang lalu papanya dinyatakan gugur dalam tugasnya menjaga kedaulatan NKRI tercinta. Sudah berjalan satu tahun lebih Zalfa dan Mamanya hidup mandiri berdua di kota M. Di sebuah rumah peninggalan Papanya untuk mereka berdua.
Kepergian Papanya yang begitu mendadak membuat Mamanya teramat sedih. Hingga pada akhirnya Mamanya dinyatakan terkena gagal ginjal yang salah satu pemicunya adalah tekanan darah tinggi sang Mama yang memang cukup parah setelah kepergian Papanya. Sehingga dokter menyarankan untuk melakukan cuci darah setiap dua minggu sekali di rumah sakit terbesar dan ternama di kota S.
Untuk berobat Mamanya mereka menggunakan sebagian uang pensiun Papanya dan harta warisan dari Papanya. Karena yang Zalfa ketahui Papanya memang ditinggali banyak warisan dari nenek moyangnya. Meskipun begitu itu tidak menjadikan Zalfa menjadi anak yang manja dan bertumpu pada harta warisan tersebut.
Kehilangan sosok Papa membuat Zalfa yang sudah beranjak dewasa menjadi anak mandiri. Dan beruntungnya Zalfa bisa menjadi seorang guru bahasa Inggris di salah-satu sekolah di kota M. Dari situ Zalfa menyibukkan dirinya. Selain itu ia juga disibukkan dengan tanggungjawab yang amat sangat luar biasa bagi Zalfa yaitu menjaga dan memerhatikan sang Mama.
Zalfa menggunakan waktunya untuk sesibuk mungkin dengan bermacam aktivitas yang dapat membuatnya sedikit lupa akan sosok Papanya.
Karena ia harus kuat dan tangguh agar sang Mama juga bisa kuat dan tangguh. Hidupnya bersama Sang Mama harus terus tetap berjalan meski kini mereka hanya hidup berdua saja.
Zalfa merasa bersyukur gagal ginjal yang diderita Mamanya tidak terlalu parah. Sehingga pengobatannya bisa dengan obat-obatan dan cuci darah. Selain itu dengan menerapkan pola hidup sehat dan mengontrol penyakit yang bisa meningkatkan resiko gagal ginjal kronis.
Saat ini, Zalfa menggenggam erat tangan Mamanya begitu pula sang Mama. Mereka saling tersenyum dan memberi kekuatan dan perlindungan satu sama lain serta saling menatap dengan tatapan yang dalam.
"Ma, Mama adalah satu-satunya orang yang Zalfa punya saat ini."
"Zalfa ingin Mama akan selalu bersama Zalfa sampai Zalfa tua nanti."
"Nikah dulu sayang baru tua!"
"Mama ..." Zalfa merasa tak suka karena ia tengah serius tapi Mamanya malah bercanda.
"Iya sayang iya." jawab Mamanya bahwa ia akan hidup bersama Zalfa sampai Zalfa menikah dan tua nantinya.
Zalfa membuka obat untuk Mamanya kemudian berkata, "Ini Ma, Mama minum dulu obat Mama!" Menyodorkan obat untuk diminum Mamanya.
Setelah itu Zalfa juga menyodorkan air putih untuk diminum Mamanya.
Mama Zalfa menerima air putih dalam kemasan L* Min*ral*. Sesaat pandangannya terfokus pada sebuah cincin yang masih melingkar di jari manis sebelah kiri tangan Zalfa.
"Zalfa?" Mama Zalfa memegang tangan Zalfa dan memegang cincin yang melingkar itu.
Dengan cepat Zalfa segera menarik dan menyembunyikan tangannya.
"Kenapa Zalfa? Kenapa? Kenapa kamu masih memakai cincin itu? Bukankah Edo sudah mengkhianati kamu dengan menikahi wanita lain?"
"Ma ..." Zalfa dengan suara yang cukup purau, "Maafkan Zalfa Ma! Zalfa cuma belum sepenuhnya bisa melupakan Edo. Makanya Zalfa masih pakai cincin ini."
"Kalau kamu belum bisa melupakan Edo, kenapa kamu anggap semua laki-laki itu jahat Zalfa?"
"Itu karena Zalfa reflek aja Ma. Setiap ada yang mau menawarkan bantuan Zalfa ingat wajah Edo Ma, Zalfa ingat kebaikan Edo, cinta yang pernah Edo berikan tapi ... dalam sekejap ia menghancurkan kebaikan, cinta yang selama ini Edo berikan pada Zalfa. Jadi Zalfa emosi gitu Ma, tapi sebenarnya juga Zalfa belum bisa sepenuhnya melupakan Edo."
"Oh maafkan Mama belum bisa mengerti kamu sepenuhnya sayang."
"No problem Ma!" Zalfa menenangkan Mamanya dan kemudian ia melepas cincin itu dari jari manisnya.
Dan yang mengagetkan Zalfa menjatuhkan cincin itu dan membiarkan cincin itu entah kemana.
Raut wajah sang Mama begitu menyiratkan sebuah pertanyaan yaitu apa yang telah Zalfa lakukan? Kenapa ia melepas dan menjatuhkan cincin yang cukup berarti bagi Zalfa begitu saja?
"Ma sudah saatnya Zalfa melepas cincin itu. Jadi tidak masalah. Pertanyaan Mama membuat Zalfa sadar kalau sudah saatnya Zalfa hidup tanpa bayangan masa lalu Zalfa. Karena itu Zalfa melepaskan apa yang sudah seharusnya Zalfa lepas dari kemarin."
Binaran mata haru bahagia sedih bercampur menjadi satu pada netra kedua wanita itu. Tak ada yang lebih baik lagi selain memberi dukungan dan kekuatan satu sama lain. Meyakinkan selama mereka bersama semua akan baik-baik saja.
...----------------...
Gemerlap cahaya lampu malam yang kadang berganti dengan pepohonan rindang yang tumbuh di sekitar jalan menemani perjalanan selama menaiki kereta.
Dimas duduk kembali di tempatnya usai melakukan tugas-tugasnya. Dalam heningnya malam berhiaskan gemerlap lampu kota yang tampak dari kejauhan pada jendela tempat duduknya. Diselingi dengan suara khas dari kereta menambah kesyahduan malam itu.
Dalam heningnya Dimas memikirkan kata-kata dari sang Mama yang selalu mendesaknya untuk menikah sedangkan ia tidak mau menikah dulu sebelum ada sosok wanita yang mampu menggetarkan kembali hatinya.
Dan apa yang terjadi hari ini padanya? Wanita yang awalnya ia sebut aneh dan galak dan ingin ia hindari, dengan begitu cepat dengan hanya menyunggingkan senyuman dan suara lembutnya mampu menggetarkan hatinya saat itu juga.
"Oh tidak Dimas, apa yang terjadi padamu?" Dimas merutuki dirinya. Lalu menengok kembali ke arah belakang. Mengingat keberadaan wanita itu. Dan Dimas malah senyam senyum sendiri.
Sebuah senyuman misterius pun tersirat pada Dimas. Dimas berencana akan mencari tau lebih dalam lagi mengenai wanita itu. Tapi... tunggu dulu! Bagaimana caranya? Seketika ia langsung menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Dan tanpa terasa beberapa jam telah berlalu dan sampailah kereta yang dinaiki Zalfa bersama Mamanya telah tiba di stasiun terakhir dalam rute perjalanan kereta tersebut.
~Di stasiun terbesar di kota M~
Masih didalam kereta.
Zalfa dan Mamanya mengemasi dan mengambil barang-barangnya.
Dimas berjalan kembali menyusuri satu persatu pintu dalam kereta itu. Sampai ia melihat Zalfa dan Mamanya tengah beranjak dari tempat duduknya di kereta. Seketika itu Dimas mempunyai ide untuk membantu membawakan barang-barang bawaan Zalfa dan Mamanya. Sayangnya beberapa menit kemudian, Zalfa dan Mamanya telah pergi dari tempatnya.
Dalam hati Dimas kembali menyesal karena kenapa dia tidak bergerak dengan lebih cepat. Dan sama seperti tadi ia hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Saat Dimas akan berlalu pergi dari tempat duduk Zalfa dan Mamanya, Dimas tak sengaja menemukan sesuatu yang berada tak jauh dari tempat itu. Dimas menemukan sebuah cincin.
Diambilnya cincin itu dan dilihatnya baik-baik. Dan tampaklah sebuah nama pada cincin itu "Edo dan Zalfa".
Tidak salah lagi Dimas yakin ini adalah cincin milik wanita itu karena Dimas ingat betul Mama dari wanita itu memanggil wanita itu dengan nama "Zalfa".
Dimas serasa hancur melihat nama pada cincin itu. Tapi ia tak mau menyerah dan sedih saat itu juga. Kalau cincin itu lepas dari jarinya pasti wanita bernama Zalfa itu akan mencari dan mengambilnya kembali. Apalagi kalau merupakan cincin pernikahan atau semacamnya. Firir Dimas.
Satu, dua, tiga tidak ada tanda-tanda kalau wanita itu kembali ke kereta mengambil barang kecil namun sangat berharga itu.
Tanpa berfikir lama Dimas mempercepat langkahnya. Ia keluar dari kereta mencari keberadaan Zalfa dan Mamanya. Dimas pun mengikuti nalurinya yang entah mengapa Dimas ingin mengembalikan cincin itu pada Zalfa. Meskipun ada sedikit rasa perih dalam hatinya.
Setelah mengitari stasiun itu kesana-kemari, Dimas pun menemukan seseorang yang dicarinya.
"Tunggu Zalfa!" teriak Dimas mendekat ke arah Zalfa dan Mamanya yang akan segera naik Grab.
"Pak Kondektur?" Zalfa dan Mamanya cukup heran dengan sosok yang memanggil dan berdiri tepat dihadapan mereka saat ini.
Tanpa basa basi dan tunggu lama, Dimas memperlihatkan cincin yang ditemukannya disamping tempat duduk mereka kepada mereka.
"Ini cincin kamu kan? Tadi saya tidak sengaja menemukannya di samping tempat duduk kamu dan Mama kamu." Dimas menjelaskan.
Zalfa tersenyum dan tertawa kecil karena apa yang dilakukan Dimas saat ini.
Dimas pun malah bingung dengan tingkah Zalfa bukannya bahagia tapi malah tertawa dan tak mau mengambil cincin itu dari tangannya.
Melihat ekspresi dari Pak kondektur itu, jelas membuat Zalfa tidak tega karena sudah membuatnya semakin bingung. Zalfa pun menjelaskan apa yang sebenarnya ia lakukan pada cincin itu.
"Sebelumnya terimakasih atas niat baik Anda mengembalikan cincin ini pada saya. Tapi cincin itu sengaja saya buang karena memang sudah sepantasnya untuk dibuang."
Dimas masih bingung. Yaa bagaimana ia tidak bingung karena ia tidak tahu menahu tentang kehidupan Zalfa. Iyakan?
"Emm ... sudahlah Pak! Anda bisa membuangnya kembali karena cincin itu cuma masa lalu yang kurang menguntungkan bagi saya."
Baiklah Dimas mengerti sekarang kalau itu adalah cincin masa lalu yang cukup pahit untuk Zalfa. Tapi bisakah sekarang Dimas tau masa lalu seperti apa itu?
"Maaf Pak kami harus segera pergi karena Grab kami sudah menunggu kami sedari tadi." tutur Zalfa duduk di kursi penumpang sedangkan Mamanya sudah duduk di kursi depan samping Pak sopir.
"Pak putri saya masih sendiri kok, kalau Anda memang laki-laki baik dan bertanggung jawab sesuai profesi Anda. Perjuangkanlah ia! Semoga takdir akan mempertemukan kalian kembali!" Ucap Mama Zalfa tanpa sepengetahuan Zalfa dari kaca mobil yang masih terbuka.
Dimas lega sekali mendengar ucapan Mama Zalfa. Dan hatinya pun tidak perih lagi seketika itu. Yang ada hanyalah bunga bermekaran dalam hatinya. Apa ia sudah jatuh cinta? Ah iya rasanya memang ia sedang jatuh cinta.
Dimas bahagia. Ia mengamati cincin itu baik-baik kemudian menyimpannya ke dalam sakunya. Dengan alasan mungkin suatu saat nanti, saat ia bertemu Zalfa ia bisa mendekati Zalfa dengan alasan cincin itu. Setelah itupun ia langsung bergegas kembali.
"Pak Dimas, darimana saja?" tanya salah satu kru yang bertugas dengannya, begitu mendapati Dimas yang begitu tergesa-gesa. Aneh fikir salah satu kru tersebut, sebab tak biasanya Pak Kondektur Dimas Adityama Putra Wijaya seperti ini dalam bertugas. Setaunya Pak. Dimas orang yang sangat disiplin.
"Ada urusan mendadak." ucap Dimas santai.
Yang memberi pertanyaan semakin mengernyitkan dahinya terasa tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pak Dimas nya.
"Kamu tidak percaya pada saya?" tanya Dimas melihat ekspresi dari kru tadi.
Reflek kru tersebut menggelengkan kepalanya. Membuat Dimas merasa keteteran harus memberikan jawaban seperti apa lagi, tidak mungkin rasanya ia mengatakan yang sebenarnya telah terjadi saat ini juga.
"Sudahlah, kamu percaya saja kepada saya! Karena itu akan lebih baik untukmu."
"Bagaimana bisa, Pak?"
"Bagaimana bisa? Emm ... begini-begini dengan kamu percaya pada saya itu akan membuat kamu lebih baik karena kamu tidak perlu memikirkan apa yang tidak harus kamu pikirkan."
"Itu karena saya tidak ingin kamu terbebani memikirkan urusan saya. Cukup kamu fikirkan urusan mu yang seharusnya kamu fikirkan dan kamu cari tau jalan keluarnya!"
"Hemm kalau sudah begini saya hanya bisa mengangguk patuh pada Anda, Pak." Dimas pun merangkul bahu kru tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!